Ah, ini hari, aku dipaksa lagi untuk mengingat dan membuka sebuah memori. Pada sebuah tempat, di mana tembuniku ditanam dan dikaitkan lagi pada petilasan. Tempat yang telah menyemai bibit dan manusia unggul pada zamannya. Ratu Shima, Ratu Kalinyamat dan RA Kartini.
Ketiga manusia berkarakter tersebut, dihidupkan melalui dongeng pengantar tidur. Tidak untuk beromantisme pada sejarah. Tapi, demi menyalakan semangat dan pencapaian yang telah dilakukan. Pada lingkungan keluarga, masyarakat dan negara.
Ratu Shima sangat terkenal keadilannya. Karenanya, istriku tak keberatan, saat anak kedua perempuanku, diberi nama Shima. Shima Anna Calluella. Perempuan jelita yang membawa berkah dan keadilan. Begitu kira-kira artinya.
Ratu Shima sangat melindungi dan menyejahterakan rakyatnya. Menurut cerita, suatu saat, Ratu ingin menguji kejujuran rakyatnya dengan meletakkan buntalan emas, dan ditaruh di perempatan jalan. Hingga semingguan, emas tak ada yang mengambil. Dan, sang anak mengambil buntalan berisi pundi-pundi tersebut. Demi menjalankan hukum dan keadilan, anaknya sendiri dipotong tangannya.
Pisau hukum memang tak memandang pengecualian. Begitu pesan moral yang ingin disampaikan.
Ratu Kalinyamat terkenal berani melawan kezaliman. Kokoh dan teguh pada prinsip. Tak heran bila kedatangan pasukan Portugis di Malaka, disambutnya dengan pengiriman bala pasukan penggempur. Ratu berani melawan kekuasaan yang bakal menghegemoni dan menindas.
Jauh jarak tak menyurutkan langkah. Meski akhirnya, armada perangnya kalah dan porak poranda. Namun, langkah yang dilakukan, telah menyurutkan Portugis. Untuk terus melaju, dan menanamkan kekuasaannya di Nusantara.
RA Kartini, perempuan yang melebihi zamannya. Ia memperjuangkan kaum perempuan. Memberikan pendidikan dan pencerahan. Dari ketertinggalan dan segregasi hukum, serta tata sosial yang timpang.
Lalu, sudahkah masyarakat Jepara mengadopsi semangat, konsistensi dan usaha, untuk terus melaju menuju perubahan?
Hingga sekarang, aku sudah banyak kehilangan memori tentang kota ini. Namun, semasa kecil hingga remaja, yang kulihat adalah kesahajaan hidup masyarakatnya.
Sebagian besar orang bergerak dengan mencipta dan berkreasi. Mengukir. Menganyam. Membuat songket. Gerabah. Cincin monel, emas dan lainnya.
Sebagian lainnya, membawa berbagai dagangan ke pasar. Membawa puluhan kilo dagangan di punggung. Berjalan beriringan menuju sebuah pasar. Di pundak mereka, harapan dan doa dari seluruh keluarga tertumpah. Setiap langkah adalah asa. Setiap keringat yang menetes, wujud pengorbanan tanpa pamrih. Pada anak yang menunggu di rumah.
Mereka jarang berpikir jadi pegawai pemerintah. Amtenar. Atau, seonggok daging yang menggelayut pada nyawa orang lain. Mereka manusia mandiri dengan segala kesahajaan. Mengabdikan diri dan mengubah nasib. Tanpa rengekan dan tuntutan. Bahwa, mereka harus diberi perhatian atau fasilitas penunjang.
Manusia-manusia itu, sebagian menyebar. Tanpa meninggalkan entitas dan identitasnya. Terus membawa semangat perubahan dan pencapaian.
Bau tatal kayu jati, tiba-tiba-tiba menyeruak.
Lembut angin pantai, seolah berembus pelan di sekitar.
Aku, tiba-tiba merindu.......
Sunday, September 19, 2010
Jepara dan Semangat Zaman
Posted by Muhlis Suhaeri at 9:05 PM 0 comments
Labels: Opini
Subscribe to:
Posts
(
Atom
)