Jakarta, 30 November 2010 – Setelah melalui penundaan lebih dari lima hari dari waktu yang dijadwalkan, akhirnya, dewan juri final kategori Cetak/Online Anugerah Adiwarta Sampoerna (AAS) 2010 hari ini memberikan keputusan nama-nama jurnalis yang menjadi finalis AAS 2010.
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, tahun ini dewan juri hanya memilih total 27 karya sebagai finalis, terdiri dari 21 karya untuk finalis Kategori Cetak/Online Liputan Kemanusiaan, masing-masing tiga karya untuk tujuh kategori, serta 6 karya untuk Kategori Cetak/Online Liputan Investigatif yang terdiri dari lintas kategori. Dari keseluruhan finalis, 10 diantaranya berasal dari luar Jakarta, yaitu: Aceh, Batam, Bali, Surabaya, dan Kalimantan.
Para juri final yang terdiri dari Atmakusumah Astraatmadja, Effendy Gazali, Faisal Basri, Indria Samego, Francisia Seda, Seno Gumira Ajidarma, TD Asmadi, Wina Armada Sukardi, dan Sonny Keraf, bekerja ekstra keras terutama dalam memberikan penilaian untuk kategori Liputan Investigatif. Seperti diketahui, pada penyelenggaraan AAS tahun kelima ini, kategori Liputan Investigatif hanya memilih enam karya investigatif terbaik, tanpa memilahnya berdasarkan bidang.
“Kami ingin mendorong lebih banyak lagi karya-karya liputan investigatif yang tidak hanya berbobot, namun juga memenuhi kriteria sebuah liputan investigatif,” ujar Effendy Gazali, Juri Final Umum Kategori Cetak/Online AAS 2010. Kriteria tersebut antara lain adalah topik yang diangkat merupakan hal-hal yang menyangkut kepentingan umum, mengungkapkan fakta dan fenomena yang patut diketahui publik, mencari informasi dan data dengan melakukan investigasi, serta hasil tulisan yang komprehensif atau bersifat mendalam.
Meski kategori Liputan Investigatif ini terbuka bagi bidang-bidang diluar tujuh bidang pada kategori Liputan Kemanusian, panitia hanya menerima peserta dari ketujuh bidang yang sama, yaitu Ekonomi Bisnis, Sosial, Politik, Hukum, Olahraga, Seni Budaya, dan Lingkungan Hidup dengan jumlah 94 karya dari 58 peserta.
Tidak mudah bagi dewan juri final untuk menentukan karya Liputan Investigatif terbaik. “Dalam prosesnya, masing-masing juri bidang dan umum menentukan finalis untuk tiap bidang, kemudian seluruh karya tersebut dibaca kembali oleh semua anggota dewan juri guna menentukan 1 orang pemenang dan 5 orang finalis. Jadi, karya yang terpilih adalah benar-benar yang terbaik dari seluruh karya-karya yang ada,” ujar Indria Samego, Juri Final Bidang Politik AAS 2010.
AAS 2010 mencatat adanya kenaikan dari jumlah peserta. Tahun ini tercatat 1.149 karya jurnalistik telah diterima yang berasal dari 357 jurnalis dan 128 media, baik nasional, lokal, maupun internasional. Jumlah peserta tahun ini merupakan yang terbanyak dibandingkan dengan AAS tahun-tahun sebelumnya. Dari total 406 karya yang masuk untuk Kategori Cetak/Online, 312 karya untuk Kategori Cetak/Online Liputan Kemanusiaan dan 94 karya untuk Kategori Cetak/Online Liputan Investigatif.
AAS 2010 akan mengumumkan nama-nama pemenang untuk seluruh kategori pada acara Malam Penghargaan Anugerah Adiwarta Sampoerna 2010 yang akan berlangsung pada tanggal 9 Desember 2010 di Ballroom XXI Djakarta Theater.
Pemenang AAS 2010 untuk kategori Liputan Kemanusiaan, Foto Berita, dan Televisi masing-masing akan memperoleh trofi, sertifikat, dan uang tunai sebesar Rp18 juta sedangkan para finalis akan memperoleh sertifikat dan uang tunai sebesar Rp3 juta. Khusus untuk Kategori Liputan Investigatif media cetak dan online yang menjadi penghargaan tertinggi AAS 2010, pemenang akan memperoleh trofi, sertifikat, dan uang tunai sebesar Rp27 juta , sedangkan para finalis akan memperoleh sertifikat dan uang tunai sebesar Rp6 juta.
——————
Mengenai Anugerah Adiwarta Sampoerna
Anugerah Adiwarta Sampoerna (AAS) merupakan sebuah ajang penghargaan dan kompetisi bergengsi tahunan bagi para jurnalis Indonesia. Diadakan pertama kali pada tahun 2006, ajang ini diadakan oleh PT HM Sampoerna Tbk. untuk mengapresiasi karya-karya jurnalistik, yang diharapkan dapat memotivasi para jurnalis untuk terus meningkatkan kualitas karya mereka.
Anugerah Adiwarta Sampoerna 2010 memiliki dua kategori, yaitu liputan investigatif dan liputan kemanusiaan, dimana kategori liputan kemanusiaan menggantikan kategori humaniora pada AAS 2008. Meskipun demikian, kategori liputan investigatif dan liputan kemanusiaan ini masih dapat menampung jenis artikel hardnews maupun feature. Kategori televisi di tahun ini pun terbagi menjadi dua bidang, yaitu reportase investigatif dan dokumenter masing-masing untuk stasiun televisi lokal dan nasional.
NAMA-NAMA FINALIS ANUGERAH ADIWARTA SAMPOERNA 2010
– KATEGORI CETAK/ONLINE
LIPUTAN KEMANUSIAAN
Bidang Hukum:
• Bambang Sulistyo – Majalah Gatra. Judul Karya: “Lelaki dengan Tujuh Perkara”
• Rita Triana Budiarti – Majalah Gatra. Judul Karya: “Seniman Pemalsu Paspor”
• Anton Aprianto – Majalah Tempo. Judul Karya: “Bukan Sekedar Urusan Setrum”
Bidang Politik:
• Muhammad Iqbal – Harian Batam Pos. Judul Karya: “Penyalahgunaan Anggaran di Natuna (1&2)”
• Astari Yanuarti – Majalah Gatra. Judul Karya: “Ironi Mobil Mewah Para Menteri”
• Taufik Alwie – Majalah Gatra. Judul Karya: “Jenderal Bertaburan, Kualitas (Janganlah) Meragukan”
Bidang Ekonomi Bisnis:
• Fatkhurohman Taufik – Tempointeraktif.com. Judul Karya: “Mengatasi Kemiskinan, Keuletan Sebagai Jaminan”
• Nesia Artdiyasa – Majalah Trubus. Judul Karya: “Citarasa Bangsawan dari Perut Luwak”
• Suryadi – Tabloid Modus Aceh. Judul Karya: “Mancong dan Inovasi Seorang Mantan Kombatan”
Bidang Sosial:
• Erwin Daryanto – Majalah Tempo. Judul Karya: “Dilema Anak Jalanan”
• Masuki M. Astro – LKBN Antara Biro Bali. Judul Karya: “Harmoni Hindu-Islam dalam Belanga Toleransi”
• Muhammad Nur – Harian Batam Pos. Judul Karya: “Lingkaran Setan Nasib Buruk TKI”
Bidang Seni & Budaya:
• Muhlis Suhaeri – Harian Suara Baru. Judul Karya: “Ironi Manusia Pilihan Dewa”
• Bambang Sulistyo – Majalah Gatra. Judul Karya: “Zapin: Warisan Kearifan Ikon Budaya”
• Yophiandi Kurniawan – Majalah Tempo. Judul Karya: “Kala Seni dan Nalar Berpadu (Memoar Daoed Joesoef)”
Bidang Olahraga:
• Ratna Hidayati – Koran Tokoh. Judul Karya: “Dunia Nancy, Klop”
• Yudhi Oktaviadhi – Bolanews.com. Judul Karya: “PSSI, Kejahatan Kemanusiaan VS HAM”
• Rizki Adhar – Tabloid Modus Aceh. Judul Karya: “Syahrial dan Nasib Atlet Berprestasi”
Bidang Lingkungan Hidup:
• Musyawir – LKBN Antara Jawa Timur. Judul Karya: “Kholifah Kendalikan Hama Ramah Lingkungan”
• Bagja Hidayat – Majalah Tempo. Judul Karya: “Kasih Ibu di Teluk Biru”
• Heru Pamuji – Majalah Gatra. Judul Karya: “Protes Sang Patih Demi Hutan Adat”
FINALIS LIPUTAN INVESTIGATIF
• Hamdani – Tabloid Modus Aceh. Judul Karya: “Rupiah Dikejar, Limbah Terlupakan”
• Yuliawati – Majalah Tempo. Judul Karya: “Pondok Bambu Rasa Istana”
• Astari Yanuarti – Majalah Gatra. Judul Karya: “Perang Musiman Greenpeace – Sinar Mas”
• Bagja Hidayat – Majalah Tempo. Judul Karya: “Praktek Ilegal Upah Pungut”
• Arif Gunawan Sulistiyono – Harian Bisnis Indonesia. Judul Karya: “Optima, Skandal yang Terperam”
• Irawan Santoso – Indonesiarayanews.com. Judul Karya: “Dirobohkannya KPK Kami”
Berita dan foto dari http://anugerahadiwarta.org
Tuesday, November 30, 2010
Finalis AAS 2010 Kategori Cetak dan Online Akhirnya Diumumkan
Posted by Muhlis Suhaeri at 10:08 AM 1 comments
Labels: Pers
Monday, October 11, 2010
Derita di Tanah Sabrang (Bagian 1-4)
By Muhlis Suhaeri
Pembangunan melalui program transmigrasi, bagai dua sisi mata pisau. Keberhasilan program ciptakan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan warga. Kegagalan program, menciptakan keterasingan dan keputusasaan psikologi dan sosial.
Titin Suprihatin (29), biasa dipanggil Titin, baru saja mencuci piring di dapur. Ia bergegas menuju ruang tengah rumah kontrakannya. Yang nampak hanya televisi 14 inch. Itu pun sedang rusak. Ia tak ada hiburan lagi. Bola lampu 15 watt, tak menyisakan sinar terang, meski cat warna putih mendominasi warna tembok. Temaram mendominasi kondisi rumah. Sejenak, ia memperhatikan kaleng racun serangga di ruang itu.
Tiba-tiba, ia meraih kaleng dan menuangkan dua sendok ke gelas. Segelas teh menjadi alat pencampur. Ia biasa memberi anaknya jamu. Karenanya, ia minta anak-anaknya minum “jamu”.
Dua anaknya, Asiah (9) dan Satrio Sujatmiko (6), segera meraih gelas dan minumnya. Anak ketiga, Ahmad Hadi Waluyo (3,5) sudah terlelap. Suprihatin minum setengah gelas serangga dicampur teh. Asiah dan Waluyo muntah. Merasa tak ada hasil, ia mengambil pisau di dapur.
Tiga anaknya diiris satu per satu pergelangan tangan kanannya. Selepas itu, Titin mengiris pergelangan kirinya dengan parang. Keempatnya bersimpah darah. Lantai kamar depan yang terbuat dari papan, menjadi saksi upaya bunuh diri. Namun, sebelum keempatnya meregang nyawa, Suyono (46), sang suami, tiba di rumah.
Ia baru saja memarkirkan gerobak baksonya di pelataran rumah. Begitu masuk rumah, ia heran ada suara ribut-ribut. Lebih heran lagi, pintu kamar bagian depan terkunci dari dalam. Tak biasanya pintu dikunci.
Ia berkata pada istrinya, agar pintu dibuka. Imbauan tak digubris. Malah, sang istri memberikan jawaban, “Sudah, kamu urus diri sendiri saja.”
Merasa ada yang tak beres, Suyono mengambil kapak di dapur. Ia mencongkel pintu kamar. Begitu terbuka, ia kaget bukan kepalang. Darah berceceran di kamar seukuran tiga kali tiga meter tersebut.
Suyono menghubungi ketua rukun tetangga (RT). Ia kenal baik dengan pimpinan warga di RT 12 RW 06. Sang ketua RT, Santoso, segera bergegas. Bersama istrinya, Juwariyah, ia menuju rumah kontrakan warganya. Sangking terburu-buru, Juwariyah hanya mengenakan daster.
Melihat empat orang bersimbah darah, Santoso dan istrinya menuju ke rumah sakit terdekat. Dengan motornya, keduanya menyusuri kegelapan Gang Cempaka Putih menuju Jalan Raya Adisucipto. Jalan sempit dan berkelok sepanjang satu kilometer tersebut, diterabas sesegera mungkin. Sesampai di rumah sakit militer, keduanya menemui petugas jaga. Oleh petugas jaga, mereka diberi saran melapor ke polisi. Sebab, polisi punya mobil untuk membawa korban ke rumah sakit. Segera saja, keduanya menuju Polsek Parit Baru di Sungai Raya. Mendapat laporan, polisi menuju rumah korban.
Empat orang korban segera dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Soedarso. Keempatnya dibawa ke Unit Gawat Darurat (UGD). Nyawa mereka terselamatkan. Anak paling besar paling parah lukanya.
Melihat peristiwa itu, Santoso terkejut bukan kepalang. “Selama ini saya lihat bapaknya baik saja. Keluarga itu tak pernah bertengkar dengan warga,” kata Santoso.
Astuti (23), adik Suprihatin juga kaget. Sehari sebelumnya, dia bertandang ke rumah tersebut. Ia tak melihat permasalahan di keluarga kakaknya. “Mbak Titin orangnya pendiam. Kalau ada masalah juga diam,” kata Astuti.
Asro (35), suami Astuti, saat ditemui di rumah kontrakan iparnya mengatakan, ia kaget dengan peristiwa itu. Sekitar pukul 23 WIB, rumahnya digedor kerabat. Ia diberitahu, iparnya kena musibah. Ia heran, kenapa iparnya berbuat nekad. Yang dia tahu, Suyono pernah marah pada Suprihatin.
Saat itu, Suyono hendak belanja keperluan dagangan baksonya. Ia biasa berangkat jam lima pagi. Suyono minta Suprihatin menyeduh kopi. Namun, kopi habis. Lagi pula, jam lima pagi toko belum buka.
Suprihatin juga sedang risau. Hutangnya Rp 500 ribu pada keluarga adiknya, belum terbayar. Padahal, ia berjanji mengembalikan uang dalam jangka sebulan. Ditambah lagi, anak keduanya harus masuk sekolah. Ia butuh uang.
Sementara itu, hasil jualan bakso hanya cukup untuk makan. Sedari pagi, keluarga ini sudah persiapkan dagangan. Suyono berangkat pukul 11.0 Wib, dan pulang pukul 22.0 Wib. Untung yang diperoleh sekitar Rp 20-30 ribu setiap harinya. Modal yang harus dikeluarkan Rp 150 ribu.
Sejak melonjaknya kebutuhan pokok, harga bahan baku naik semua. Sebelumnya, ia hanya keluarkan Rp 50 ribu untuk berdagang. Sekarang ini, dengan uang Rp 150, baru bisa berdagang. Padahal, ia tak bisa menaikkan harga semangkok bakso.
Suyono tak menyangka dengan apa yang dilakukan istrinya. “Karakter istri baik dengan keluarga. Ia sedang khilaf saja, karena ekonomi atau apa,” kata Suyono. Sebelumnya tak ada apa-apa. Ibaratnya, makan dengan garam saja bisa terima.
Saat berbincang di selasar RSUD Soedarso, Suprihatin tak punya alasan jelas, kenapa ia melakukan perbuatan itu. “Tak ada masalah. Tiba-tiba kepikiran, anak akan kasihan kalau ditinggal mati oleh saya,” kata Suprihatin. Ia sangat sayang pada ketiga anaknya.
Selama ini, ia jarang ke mana-mana. “Memang suntuk, Mas. Mau ke mana bingung. Pakai motor tak tahu jalan, dan takut ditilang polisi,” kata Suprihatin.
Prihatin punya penyakit darah tinggi. Terakhir sebelum kejadian, tekanan darahnya 150/100 mmHg. Tekanan darah normal biasanya 120/80 mmHg.
Suprihatin telah menetap lima tahun di Desa Parit Baru, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya (KKR). Sebelumnya, ia warga transmigrasi di Desa Radak, Kecamatan Terentang, KKR. Ia berusaha cari penghidupan lebih baik. Selama merantau, ia sudah sanggup beli tanah dan kredit motor. Ia beberapa kali pindah rumah kontrakan. Rumah terakhir baru ditempati tiga minggu. Penghuni sebelumnya, Agus, tinggal bersama istrinya di rumah itu.
Ibu Agus, demikian ia biasa dipanggil, selalu bertandang ke rumah Juwariyah. Suatu ketika, Juwariyah mendapat cerita. “Kalau motong wortel, perasaan selalu ingin motong tangan sendiri terus,” kata Juwariyah, menirukan ucapan Ibu Agus.
Berita mengenai keluarga ini, segera merebak. Tak urung, Bupati KKR, Muda Mahendrawan, segera menjenguk korban di RSU Soedarso. “Saya turut prihatin dengan masalah ini,” katanya.
Camat Terentang, Rasudi (40) dan Kades Radak I, Sumardi (36), bahkan datang menjemput warganya. “Kami tak ingin anaknya putus sekolah,” kata Camat Terentang, Rasudi.
Banyak kecaman terhadap Suprihatin. Ada yang berharap, ia mendapat hukuman setimpal. Tapi, ada juga yang tak setuju. Dasar pertimbangannya, saat ia jalani tahanan, bagaimana dengan nasib anak-anaknya?
Kapolda Kalbar, Brigjen (Pol) Erwin TPL Tobing dalam kata sambutannya di Hari Bhayangkara Polri ke 64, Kamis (1/7), mengatakan, “Tidak semua masalah hukum harus diselesaikan secara hukum, walaupun itu melanggar hukum. Tapi, ada cara pendekatan lain.”
Devi Tiomana dari Yayasan Nanda Dian Nusantara (YNDN) berpendapat, permasalahan itu tak harus diselesaikan secara hukum. Walaupun, ada unsur hukum terkandung di dalamnya. “Harus ada kebijakan bagi kebaikan anak, lek spesialis. Agar tak memunculkan masalah baru,” kata Devi.
Menurutnya, harus dilakukan pendekatan psikologi dan spikososial. Psikologi orang tua dan anak harus dipulihkan melalui terapi. Anak harus pulih secara psikologi, agar bisa percaya pada orang tuanya lagi. Ia berpendapat, dalam psikologi anak sudah tertanam bahwa, ibunya jahat dan berusaha membunuh. “Hal itu harus dipulihkan,” kata Devi.
Begitu juga dengan lingkungan sosialnya. Harus ada pemulihan secara sosial, sehingga warga bisa menerimanya kembali. “Kalau bisa lakukan pemulihan yang tepat, dia akan belajar. Kalau melakukan relasi sosial, dia akan banyak belajar,” kata Devi.
Dalam hal itu, peran serta pemerintah harus kuat. Agar, tak timbul permasalahan lagi kedepannya, kata Devi.
***
Tanggal 3 Maret 1984, hari paling diingat Mistin (55). Pasalnya, pada hari itu, ia bersama suami, Sakijan dan tiga anaknya, menginjakkan kaki pertama kali di Terentang. Saat itu, Terentang masuk wilayah Kabupaten Pontianak. Sejak pengesahan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2007, tentang Pembentukan KKR di Provinsi Kalbar, Terentang masuk wilayah KKR.
Mistin kelahiran Lumajang, Jawa Timur. Kehidupan di tanah kelahirannya sulit. Saat kepala desa menawari keluarganya ikut transmigrasi, mereka setuju. “Ikut transmigrasi ada masa depan,” kata Mistin.
Dia bareng dua KK di kampungnya, Desa Lumajang, ketika memutuskan transmigrasi. Dari Kabupaten Lumajang, ada 25 KK. Mereka berangkat ke Surabaya dengan bis. Dari kota Surabaya menggunakan pesawat terbang ke Pontianak. Rombongan menginap sehari di Pontianak. Esoknya langsung menuju Terentang.
Mistin berangkat bersama seluruh keluarga. Salah satu anaknya bernama Titin Suprihatin. Dia nomor tiga dari tujuh bersaudara. “Saat itu, Titin baru berumur tiga tahun,” kata Mistin.
Hal sama dialami Sumi (68). Ia punya lima anak. Semuanya lelaki. Salah satu anaknya bernama Suyono. Saat itu, ada pengumuman dari kepala desa, siapa yang mau transmigrasi, pemerintah akan memberangkatkan. Kebetulan, ia tak punya apa-apa di Jawa. Rumah masih kontrak. Suami bekerja sebagai tukang becak.
“Jadi, maulah kita berangkat transmigrasi,” kata Sumi.
Ia berangkat dari Blora, Jawa Tengah, bersama 55 KK. Dari Blora, rombongan ke Semarang naik bis. Perjalanan berlanjut ke Jakarta menggunakan kereta api. Setelah itu, naik pesawat ke Pontianak. “Pakai Garuda,” kata Sumi dengan bangga.
Setelah di penampungan sehari, mereka berangkat menuju Terentang. Rombongan dari Blora bergabung dengan transmigran dari Sukabumi, Jawa Barat. Namun, pada perkembangannya, sebagian besar rombongan dari Sukabumi, pergi dari lokasi transmigrasi. Mereka tak tahan.
Mistin dan Sumi menempati Desa Radak 1. Desa itu dibagi lima RW. RW 1-3, wilayahnya agak tinggi. Ini menguntungkan untuk bercocok tanam. Tanahnya subur dan tak terendam air. Bisa menanam berbagai macam sayuran dan padi. Wilayah RW 4-5, sebagian besar tanahnya datar dan gampang terendam air. Kondisi tanah RW 1-3 dan RW 4-5, ibarat bumi dan langit. “Sangat berbeda,” kata Yuyun, ipar Suprihatin.
“Radak merupakan pasang surut rendah. Adaptasinya ekstrem,” kata Mulyoto, Kepala Bidang Pembinaan Masyarakat dan Kawasan Transmigrasi (PMKT), Dinsosnakertran Provinsi Kalbar.
Meski tanah subur, bila turun hujan sebentar saja, wilayah itu tergenang air. Ini tak cocok bagi tanaman tahunan. Misalnya, tanaman kelapa. Biasanya kelapa akan mati setelah kena air pasang. Sehingga warga tidak tanam kelapa lagi. Tanah hanya cocok bagi padi. Panennya setahun sekali. Tiap satu hektar, biasanya hasilkan dua ton gabah. Kalau tak jadi, paling 5 kwintal. RW 1-3, wilayahnya agak tinggi dan subur. Warga bisa menanam berbagai macam sayuran, ubi kayu, dan jagung.
Untuk memulai hidup, para transmigran mendapat bantuan jatah hidup selama setahun. Karena mereka tinggal di daerah pasang surut, pemerintah memberikan bantuan selama 18 bulan. Tiap bulan, kepala keluarga atau ayah, dapat 17 kg beras. Ibu dapat 10 kg. Anak dapat 7,5 kg. Minyak goreng dapat 3 kg. Gula 3 kg. Kacang ijo 3 kg. Ikan asin 5 kg.
Pemerintah juga memberikan peralatan pertanian. Seperti, cangkul, parang, linggis, kapak, dan lainnya. Pupuk urea satu kantong atau 50 kg diberikan pada para trans, setelah mereka tanam padi. Warga juga mendapat baju stel baju kebaya dan jarik.
Warga mendapat dua hektar tanah. Seperempat lahan pekarangan. Satu hektar lahan usaha. Tiga per empat lahan usaha dua, yang hingga 26 tahun masih berupa hutan. Warga mendapat rumah dari papan dengan tipe 36.
Rumah papan itu sangat sederhana. Berlantai tanah dan berdinding papan kayu atau papan partikel. Bila terkena hujan, papan itu melengkung. “Kami sering menyebutnya karbot meteng,” kata Endang Kusmiyati, warga trans dari SKPD D Sintang. Meteng dalam bahasa Jawa berarti hamil. Banyak rumah warga papannya lepas dan bertebaran di sekitar area desa.
Di SKPD ada tujuh desa. Ada Satuan Pemukiman (SP) 1-8. Daerah itu sekarang lebih dikenal dengan nama Pandan. Ketika pertama kali ditempati pada 1982, daerah itu masih berupa hutan lebat yang baru dibuka. Masih banyak kayu besar di sekitar rumah warga. Begitu juga binatang liar, semisal ular. Masih jadi ancaman.
Cuaca dan kondisi tanah di Kalimantan, sangat berbeda dengan di Jawa. Hal itu membuat warga harus menyesuaikan diri. Perubahan drastis membuat banyak warga meninggalkan lokasi transmigrasi. Kalaupun bertahan, mereka harus makan seadanya.
“Selama berbulan-bulan, kami biasa makan ubi rebus saja atau makan pakai garam,” kata Suprihatin. Sesuai namanya, Suprihatin, hidup dengan prihatin di daerah transmigran.
Pemerintah menyediakan sekolah bagi anak transmigran. Satu sekolah untuk satu pemukiman yang baru dibuka. Sekolah itu jauh dari rumahnya. Dia harus berjalan kaki sekitar 2-2,5 km ke sekolahnya. Kalau ada teman bersepeda, ia akan membonceng. Selepas kelas enam SD, ia jadi buruh tani. Tugasnya menjaga sawah.
Lalu, ia masuk Tsanawiyah. Alasannya, ia juga ingin dapat pelajaran agama. Selain itu, jaraknya tak begitu jauh dari rumah. Kalau mau sekolah SMP, jaraknya sekitar 4 km dari rumah. Tapi, ia hanya sampai kelas dua Tsanawiyah. Ia keluar sekolah karena tak ada biaya.
Selepas putus sekolah, Suprihatin bekerja di luar wilayah transmigrasi. Ia bekerja serabutan. Menginjak dewasa, Suprihatin dijodohkan dengan Suryono. Kedua orang tua berteman.
Setelah tiga hari kenalan, keduanya menikah. “Ya, kita nurut orang tua saja. Dari awal saya terima dia apa adanya,” kata Suprihatin.
Pada awal pernikahan, Suprihatin juga biasa makan nasi dengan lauk garam saja. Setahun menikah, pada 2001, anak pertama lahir. Begitu anak kedua lahir dan mulai ada kebutuhan, keduanya memutuskan pindah ke Kecamatan Sungai Raya.
“Di Terentang sempit cari lapangan kerja,” kata Suyono. Menjual hasil bumi juga sulit, karena jalan jelek. Di pertanian hanya cukup untuk makan. Kebutuhan sehari-hari hanya bertani. Jadi, tak ada sampingan.
“Namanya orang, tentu ingin perubahan,” kata Suyono.
***
Radak I, termasuk Kecamatan Terentang. Pertama kali ditempati transmigram pada 1984. Ada 500 KK menempati lokasi tersebut. Pada 2010, tinggal 439 KK. Padahal, idealnya ada 3.000 KK. “Karena tak ada penghidupan, orang pergi ke kota untuk mengubah nasib. Kalau ekonomi cukup, warga tidak akan pindah ke kota,” kata Sumardi (36), Kades Radak I.
Sumardi tinggal 26 tahun di Radak. Ia jadi kepala desa angkatan ketiga. Jabatan itu warisan dari kakek dan bapaknya.
Ia berkata, Kecamatan Terentang itu TTT. Artinya, tertinggal, terlantar dan terisolir. “Karenanya, Kecamatan Terentang harus dipacu,” kata Sumardi.
Ia berpendapat, pemerintah belum memberikan terobosan. Ada perusahaan besar masuk ke Terentang, namun belum memberikan kontribusi pada warga. Seperti, beroperasinya tiga perusahaan yang bergerak di bidang Hutan Tanaman Industri (HTI). Ada PT Iciko, BPG dan Rezeki Kencana. Warga transmigrasi kurang dilibatkan dari segi lapangan kerja. “Kalaupun ada yang kerja di HTI, hanya sebagai kroconya,” kata Sumardi.
Menurutnya, daya tampung banyak. Investor sudah ada. Tapi, tak bisa beroperasi secara penuh. Menurutnya, pemerintah harus mendukung sektor pertanian. Caranya, memberikan alat dan mesin pertanian. Selama ini, warga menggunakan pola tanam tanpa olah tanah (TOT).
Ia berharap, pemerintah membantu alat pertanian. Sehingga program pemerintah KKR, peningkatan beras lokal dan Terentang sebagai penyangga pangan, bisa terlaksana.
“Insya Allah dengan cara itu, urbanisasi bisa diperkecil. Sehingga menuntaskan pengangguran,” kata Sumardi.
Sampai saat ini, belum ada transportasi darat dari Pontianak ke Terentang. Ada Sungai Kapuas yang membatasi. Perjalanan ke Terentang dapat ditempuh dari Sukalanting di Kecamatan Sungai Raya ke Teluk Bayur, Kecamatan Terentang. Butuh waktu sekitar 5-6 jam dengan perahu klotok. Biayanya Rp 20 ribu. Bila menggunakan speed boat 40 PK, sekitar satu jam. Biayanya 50 ribu.
Sebelum ke penyeberangan ke Sukalanting, jalan harus diperbaiki. Butuh waktu sekitar 1-2 jam dari Sukalanting ke Pontianak. Padahal, jaraknya tak lebih dari 35 km. “Idealnya, akses ke ibukota harus ada jalan yang baik,” kata Rasudi, Camat Terentang.
Tak adanya jalan membuat warga kesulitan memasarkan hasil pertanian, karena akan lama di perjalanan. Ongkos menjadi mahal. Namun, waktu lebih penting. Lama di perjalanan akan membuat sayur layu, busuk, dan tak laku.
Jumlah penduduknya Terentang sekitar 11 ribu. Tingkat kepadatan penduduk masih sedikit. Masih banyak lahan tidur tak digarap. Pada 2010, ada transmigran masuk ke Kecamatan Terentang sebanyak 100 KK. Mereka akan ditempatkan di Terentang Hulu.
“Terentang kecamatan yang tertinggal. Investor bisa masuk ke Terentang untuk atasi pengangguran,” kata Rasudi.
Hal yang sama dikatakan Muhammad Layim, dari Pemuda Pelopor. Menurutnya, Terentang daerah yang ditinggalkan dari segi pembangunan. “Kurang ada perhatian,” kata Layim.
Tidak ada tindak lanjut dan kesinambungan pembangunan dari segi ekonomi, sosial, dan ekologi. “Kalau kita kritis dianggap musuh,” katanya.
Menurutnya, masyarakat harus ikut berperan. Pemerintah harus lakukan sosialisasi, begitu ada pembangunan. Menciptakan modal butuh bimbingan. “Agar tidak terputus, karena SDM-nya rendah,” kata Layim.
Ia berkata, pemerintah setempat harus proaktif dari segi permodalan dan kembangkan potensi. “Sarana dan prasarana sangat tidak mendukung. Sehingga orang kabur dari sana,” kata Layim.
Banyak yang mengkritisi program transmigrasi. Pendapat muncul seiring tata kelola dan penanganan program yang dianggap tak ada koordinasi antara satu institusi dengan lainnya.
Dalam bukunya berjudul “Ayo ke Tanah Sabrang”, Patrice Levang peneliti dari Perancis menulis, pada 12 Desember 1950, setelah menempuh perjalanan panjang yang melelahkan dengan bus, 23 kepala keluarga dari Jawa Tengah, akhirnya menjejakkan kaki di Lampung. Keluarga-keluarga itu berasal dari kota yang terlampau padat penduduknya atau lahan kritis. Mereka menghindar dari kelaparan dan penyakit, menuju tanah baru yang menjanjikan kehidupan lebih baik. Mereka merupakan keluarga pertama yang memanfaatkan program ambisius pemerintah Indonesia, yang bertujuan memberikan lahan dan kesempatan kerja kepada warga termiskin. Program itu bernama transmigrasi.
Transmigrasi berasal dari politik etis yang dikeluarkan Belanda: pendidikan, irigasi dan migrasi. Bagian ketiga menjadikan kolonisatie pada 1905, sebagai cikal bakal transmigrasi masa kini. Asisten Residen, H.G. Heijting, yang pertama mempelajari kemungkinan pemindahan penduduk Jawa dari Karesidenan Kedu (Jawa Tengah), ke daerah-daerah lain di luar Jawa. Dia juga yang usulkan dalam setiap pemindahan, ada kelompok inti yang terdiri dari 500 KK. Keluarga ini mendapat jaminan hidup selama setahun. Transmigrasi dibagi menjadi tiga fase. Fase percobaan (1905-1931), Fase Kedua (1931-1941) dan Pascaperang.
Kini, setelah seabad lebih usia program transmigarsi, tabir permasalahan masih menyelimuti program ini. Ada silang pendapat dalam penanganan.
“Kalau menuruti hati nurani, saya tidak ingin ada program transmigrasi lagi. Tapi, kalau melihat kondisi di Jawa, masih diperlukan program transmigrasi,” kata Akhmadi (40), Ketua Perhimpunan Keluarga Transmigran RI (PATRI) Kalimantan Barat.
Menurutnya, ada kewajiban lain yang membuat, ia harus dukung program transmigrasi. Apalagi dengan berbagai permasalahan yang terjadi di Jawa. Misalnya, kurangnya lahan pertanian, bencana alam, seperti lumpur Lapindo, banjir dan lainnya.
Akhmadi ingat betul, bagaimana program pembinaan dilakukan di daerahnya. Ia kelahiran Banyuwangi, Jawa Timur. Tahun 1982, ia sudah lulus SD. Keluarganya dapat tawaran transmigrasi ke Kendari, Sulawesi tenggara.
Keluarganya menjual seluruh barang dan rumah. Namun, ketika semua barang sudah dijual, pemberangkatan belum dilakukan. Terpaksa, dia bersama keluarga menumpang di rumah neneknya, hingga enam bulan. Untuk biaya hidup, terpaksa menjual berbagai barang yang ada, sekedar buat makan. Tiba-tiba, ada tawaran transmigrasi di Sekadau, Kalimantan Barat. Keluarga setuju saja. Ketika berangkat ke Sekadau, uang sudah habis sama sekali.
Ia menempati SP 1 Transmadya, Desa Landau Kodah, Kecamatan Sekadau Hilir, Kabupaten Sekadau. Wilayah itu diberi nama sesuai dengan nama CV yang jadi kontraktor pembangunan. Jarak dari Sekadau sekitar 12 km. Karena tak ada uang, sekeluarga hanya mengandalkan jatah hidup dari pemerintah. Selama berbulan-bulan hanya makan ikan asin.
“Jadi, sekarang kalau tak makan ikan asin, tak sah makannya,” kata Akhmadi, sembari tertawa. Akhmadi beruntung bisa mengenyam bangku kuliah di Fakultas Bahasa Inggris, Untan. Ia pernah menjadi guru sekolah dan kursus bahasa Inggris.
Menurutnya, program transmigrasi merupakan program nasional. Karenanya, penanganannya harus secara nasional. Bila ditangani secara nasional, kepentingan daerah praktis ikut terfasilitasi.
Transmigrasi pertama kali berjalan pada era Orde Baru. Pada zaman pemerintahan Gus Dur atau Abdurrahman Wahid, melalui kebijakan yang dituangkan, minta pada Riyas Rasyid menyusun konsep otonomi daerah pada 2001. Gus Dur juga membubarkan Departeman Transmigrasi (Deptran). Program transmigrasi tak ada kegiatan dari tahun 2001-2002. Tahun 2003, program kembali berjalan dengan konsep berbeda.
“Banyak sekali perbedaan transmigrasi antara dulu dan sekarang,” kata Akhmadi.
Dulu, setiap Satuan Pemukiman (SP), ada Kepala Unit Pemukiman Transmigrasi (KUPT). Lengkap dengan stafnya. Kaor KUPT dibantu staf bidang tata usaha, pembimbing ekonomi, serta pemukiman dan penempatan. Ada staf yang tangani penyuluhan bagi petani, pelayanan kesehatan dan membina masyarakat dari segi sosial budaya. Sejak otonomi daerah, tanggung jawab transmigrasi hanya di kepala desa beserta perangkatnya.
Masalah yang khas di daerah transmigrasi, biasanya benturan budaya. Sebab, proses akulturasi budaya akan terjadi. Warga dari berbagai daerah dan penduduk setempat, tentu punya banyak perbedaan. Sehingga bisa saja menimbulkan benturan budaya. Sehingga kalau ada masalah cepat tertangani. Pembinaan jelas. “Ibaratnya, dari belum bisa berenang hingga bisa berenang sendiri,” katanya.
Menurutnya, sekarang ini, antara Dinas Transmigrasi Provinsi dan Kabupaten/Kota tidak ada jalur koordinasi. Sehingga ketika ada massalah, saling lempar tanggung jawab. Misalnya, ketika suatu masalah diurus ke kabupaten/kota, dikatakan harus ke Dinas Provinsi. Sementara, orang provinsi berkata, hal itu bukan kewenangan mereka. “Kalau ada masalah, tak tahu di mana penyelesaiannya,” kata Akhmadi.
Sekarang ini, kepala Dinas Transmigrasi, karena yang menentukan adalah gubernur, bupati/walikota, kadang tak memahami transmigrasi. Dulu, transmigrasi ditangani langsung Departemen Transmigrasi (Deptran). Sehingga orang bertugas punya pengetahuan dan pemahaman tentang transmigrasi.
Sengkarut penanganan transmigrasi bisa dilihat dari berpindahnya penanganan di level departemen. Sudah berkali-kali transmigrasi pindah departemen. Dalam bukunya, Patrice Levang menulis, pada 1947, tranmigrasi masuk Departemen Tenaga Kerja dan Sosial. Tahun 1948, masuk Departemen Pembangunan dan Kepemudaan, kemudian ke Departemen Dalam Negeri. Sebagai dinas dari Departemen Pembangunan Daerah, transmigrasi kembali ke Departemen Sosial sebelum dijadikan Departemen pada 1957. Sejak 1959, transmigrsi digabungkan dengan Departemen Koperasi dan Pembangnan Masyarakat Desa dalam tiga bentuk yang berbeda. Kemudian dipindahkan ke Departemen Dalam Negeri. Selanjutnya ke Departemen Veteran, setelah itu kembali ke Departemen Koperasi. Tak lama kemudian dipindahkan ke Departemen Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi. Pada 1983, sepenuhnya menjadi Departemen Transmigrasi.
Dalam perkembangannya, transmigrasi digabung lagi dengan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Setelah itu, masuk Departemen Kependudukan. Lalu, menjadi Departemen Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
“Kalau dulu transmigrasi seolah dipaksakan. Sekarang jadi lebih parah. Karenanya, tak heran bila terjadi berbagai masalah mengenai transmigrasi,” kata Akhmadi.
Masalah itu misalnya, terjadinya penyerobotan tanah yang sudah menjadi hak para transmigran. Belum selesainya surat sertifikat tanah. Bahkan, meski ada sertifikat, transmigran tak mendapatkan tanah garapan. Penyebabnya? Ketika ada sosialisasi mengenai penempatan transmigrasi, yang tahu hanya para tokoh warga, kepala adat dan lainnya. Dalam perjalanannya, warga tak tahu mengenai hal itu.
Ia berharap, harus ada revisi terhadap program transmigrasi, termasuk revisi terhadapp UU Transmigrasi.
Mulyoto, Kepala PMKT Dinsosnakertrans Kalbar menyatakan bahwa, transmigrasi pada era Orde Baru dengan sistem target. Para transmigran didistribusikan sesuai kemampuan daerah. Pelaksanaanya bersifat sentralistik. “Provinsi menjadi wakil pemerintah pusat,” kata Mulyoto.
Petugas UPT disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan. Struktur dinasnya jelas. Ada kepala UPT dibantu beberapa petugas. Jumlah setiap penempatan di UPT sekitar 300-500 KK. Sehingga bisa menjadi desa baru.
Sejak otonomi daerah, transmigrasi menjadi kebutuhan daerah. Jumlah transmigran tergantung permintaan daerah di setiap UPT. Bisa 100 KK atau 200 KK. Semua pelaksanaan transmigrasi berada di kabutapen sebagai pelaksana. Provinsi berfungsi sebagai fasilitator, monitoring, bimbingan, serta evaluasi. Kebutuhan SDM di lapangan tidak terpenuhi. Banyak UPT hanya mengandalkan SDM yang tersedia. Malah di beberapa UPT, hanya menggunakan perangkat desa dengan bimbingan teknis dan pembekalan seadanya.
Padahal, transmigrasi merupakan dinas yang spesifik. Jadi, harus ada pelatihan tentang unit transmigrasi. Cuma, pada era otonomi daerah, kepada daerah terkadang memutasikan orang yang sudah paham transmigrasi ke bidang lain. “Sehingga harus mulai dari nol lagi,” kata Mulyoto.
“Jadi, krisis SDM terjadi di semua lini,” kata Mulyoto.
Upaya yang dilakukan, memaksimalkan potensi dan bimbingan, terkait yang ada tersebut. Hasilnya, tidak bisa maksimal seperti masa lalu, dimana petugas UPT lengkap. “Langkah yang ditempuh belum ada, karena masalah SDM yang tidak cukup di kabupaten,” kata Mulyoto.
Sementara program transmigrasi tetap berjalan, meski tak sebesar masa lalu. Pembinaan berjalan apa adanya. Sehingga hasilnya tidak maksimal. Akibat kekurangan SDM, kelayakan SDM di dinas kurang tersedia. Ketersediaan SDM, ini yang jadi soal, akibat pengembangan atau pemekaran kabupaten.
Menurutnya, regenerasi, kebutuhan dan pemenuhan belum imbang. Hal itu terjadi karena kemampuan pemerintah merekrut pegawai masih terbatas. Sementara itu, provinsi tak bisa memberikan saran pada kabupaten, menempatkan orang yang memang punya kapasitas di kabupaten.
“Semua berjalan sesuai dengan apa yang ada,” kata Mulyoto.
Tapi, hal itu tak hanya di lingkup transmigrasi. Juga terjadi di lingkup lainnya. Misalnya di bidang pertanian, dokter atau pelayanan kesehatan dan lainnya. “Yang jadi persoalan di pembinaan. Kabupaten sebagai penerima kegiatan, belum didukung SDM memadai di bidang transmigrasi. Terutama dalam jumlah dan kualitas,” kata Mulyoto.
Untung Hidayat, Sekretaris Dinsosnakertran KKR menyatakan, sukses tidaknya seorang transmigrasi tergantung dari banyak hal. Misalnya, pola dan tradisi berbeda dalam bercocok tanam. Di Jawa, kalau orang mencangkul harus dalam, sehingga tanahnya bisa diolah dengan baik. Sementara di Kalimantan, tanah gambut unsur hara tidak tebal atau tanah mentah. Mencangkul tak perlu terlalu dalam. Sebab, tanah subur hanya sekitar 20 cm di atas tanah.
Karenanya, kalaupun di Jawa seseorang bisa berhasil dalam bercocok tanam, di Kalimantan belum tentu. Sebab, banyak faktor berperan. Musim tanam lain. Cara bercocok tanam lain. Pengolahan tanah dan kesuburan tanah berbeda. Hal itu butuh penyesuaian dan waktu. Para transmigran yang masih tingal, merupakan transmigran terseleksi.
Tidak semua kabupaten di Kalbar ada program trans. Tergantung wilayahnya. Program transmigrasi masih berlangsung di Kabupaten KKR, Ketapang, Kayog Utara, Sambas dan Kapuas Hulu. Lima kabupaten itu masih usulkan program transmigrasi.
Pihaknya selalu meningkatkan pelayanan di satuan pemukiman dengan memberikan berbagai insentif, pada mereka yang bekerja di sektor pelayanan masyarakat. Di pemukiman ada tenaga kesehatan. Dokter dapat insentif Rp 300 ribu. Bidan Rp 300 ribu. Para medis Rp 250 ribu. Obat-obatan disediakan pemerintah.
Dalam bidang pertanian, sejak 2009, penyuluh pertanian lapangan (PPL) tidak diberi honor. PPL tidak membawahi desa transmigrasi. Sebab, sekarang jumlah trans tidak begitu besar. Sehingga ketika ada penyuluhan, warga trans ikut dengan peserta dari desa di mana dia tinggal.
Di lokasi transmigrasi dibentuk TKPMP. Tugasnya, membantu warga transmigrasi atau sebagai pembimbing. Setiap lokasi ada satu orang. Sistemnya kontrak satu tahun. TKPMP akan koordinasi dengan kepada desa.
Tiap tahun Depsosnakertran melakukan bimbingan teknis untuk FKPMP, pegawai yang melayani bidang itu. Petugas transmigrasi sebagai koordinator. Secara teknis, kehidupan orang hidup merupakan bagian dari dinas-dinas lainnya. Misalnya, pertanian dengan penyuluh pertanian. Kesehatan dengan penyuluh kesehatan. Segala aspek kehidupan ada di transmigrasi dan secara sektoral.
“Hal itu merupakan kewajiban di dinas secara sektoral,” kata Hidayat.
***
Sebagai wilayah yang memiliki luas sekitar 146.807 km persegi, Kalbar merupakan wilayah terbesar keempat setelah Irian Jaya, Kaltim dan Kalteng. Kalbar memiliki luas 7,53 persen dari luas Indonesia. Atau, 1,13 kali luas pulau Jawa. Berdasarkan sensus terakhir, jumlah penduduk Kalbar 4.4247.516 jiwa. Jumlah kepadatan penduduk 28 jiwa setiap kilometer persegi. Kalbar memiliki 12 kabupaten dan dua kotamadya. Wilayah itu terbagi atas 149 kecamatan, 80 kelurahan dan 1.417 desa.
Kalbar ditetapkan sebagai daerah transmigrasi melalui Keppres No. 12 Tahun 1974, tanggal 11 Maret 1974. Transmigrasi pertama di Kalbar, terdapat di Sungai Durian, Kubu Raya, dekat bandar udara Supadio. Namanya Trans Obyek.
Data dari Dinsosnakertrans, sejak ditetapkan pada 1974 hingga 2008, terdapat penempatan trans sebanyak 125.186 KK atau 512.310 jiwa. Pada 2009, terdapat penambahan sebanyak 725 KK. Jumlah UPT yang dibangun hingga 2008, sebanyak 328 UPT. Tahun 2009, terdapat satu UPT baru. Terdapat 212 UPT yang menjadi desa. Jumlah itu merupakan 15,80 persen dari jumlah desa di Kalbar. Jumlah UPT yang menjadi kecamatan baru, sebanyak 10 kecamatan. Dan, luas area yang dibangun seluas 271.975 hektar, dengan asumsi setiap KK mendapat 2,21 hektar setiap KK.
Dari ketersediaan lahan, sebagian besar wilayah Kalbar, bisa menerima transmigrasi. “Cuma, tergantung pemerintah daerah. Mau atau tidak membuat program transmigrasi,” kata Akhmadi.
Kabupaten Kubu Raya (KKR) merupakan salah satu kabupaten yang masih menerima para transmigran. Masih banyak wilayahnya yang bisa ditempati para transmigran. Saat ditanya mengenai transmigrasi, Muda Mahendrawan, Bupati KKR menyatakan, “Transmigrasi untuk membuka memotifasi masyarakat lokal. Yang paling penting di program transmigrasi sekarang adalah, diperencanaan.”
Ia menilai, transmigrasi pada masa Orde Baru ada sisi positif. Cuma, kadang tupang tindih juga. Sekarang, semua Pemda yang tangani. Karenanya, perlu ada sinergi dengan Pemda dalam rangka pemberdayaan masyarakat, pendidikan, dan lainnya. Artinya, harus mendasar pada pelayanan.
Ia memberikan penghargaan pada otonomi daerah. Pemda diberi hak menentukan kebutuhannya. Ada perjanjian dengan daerah pemasok transmigrasi, sebelum pelaksanaan kegiatan. “Sebab, transmigrasi tidak sekedar memindahkan penduduk. Tapi lebih kepada pemberdayaan daerah,” kata Mahendrawan.
Menurutnya, transmigrasi pascaotonomi daerah, Pemda diberi peran menentukan kebutuhannya sendiri. Tidak asal mendatangkan transmigran. Tapi dicari dulu, daerah mana yang siap kirim transmigran. “Bahkan, kita juga tahu CV-nya. Mereka seperti apa, kita harus tahu,” kata Mahendrawan.
Pemda lebih leluasa memilih peserta transmigrasi. Misalnya, pilihan peserta yang ahli di bidang tertentu. Setelah itu disampaikan ke departemen. Kalau cocok, baru perjanjian kerja sama dengan daerah pengirim transmigrasi. Misalnya, KKR ingin mengembangkan ternak itik di wilayahnya. Maka, dalam penentuan peserta transmigrasi, KKR bisa mengajukan peserta trans dari Brebes, Jawa Tengah. Sebab, daerah itu terkenal sebagai ahli beternak itik.
Ia berkata, program transmigrasi ideal sekali bagi orang yang bermukim di lokasi baru, berbaur dengan penduduk setempat, dengan fasilitas pemerintah di dalamnya dan mengandung hasil. Dalam hal ini berbagi segalanya. Penduduk setempat punya banyak sumber daya alam, tapi minim keterampilan. Yang didatangkan punya keterampilan di atas rata-rata, dan punya etos kerja tinggi. Ketika di lapangan mereka berbagi di lapangan.
“Dan itu, ideal sekali. Kalau mereka bisa bekerja sama dan saling memberi,” katanya.
Pemda harus menciptakan magnet terlebih dahulu. Misalnya dengan investasi yang masuk. Agar, orang tertarik mengirimkan peserta transmigrasi. Menurutnya, transmigrasi melibatkan pihak swasta dengan Pemda. Misalnya, perkebunan jagung. Ketika kebun jagung sudah berjalan, transmigrasi bisa masuk. Dengan adanya perkebunan, ada jaminan hidup kedepan. “Jauh lebih baik dari sistem dulu. Pemda lebih leluasa memilih trans,” kata Mahendrawan.
Dari segi komposisi, asal transmigran juga disandingkan dengan translokal. Transmigran lokal Pemda yang menentukan. Warga yang bermukim di lingkungan padat dan sesak, bisa dipindahkan. “Warga yang tak ada harapan lagi, kita giring ke daerah yang sudah ada jaminan transmigran,” kata Mahendrawan.
Dengan adanya pemukiman yang masuk, Pemda ingin masyarakat lokal, terjadi perubahan sosial di masyarakat. Esensinya, bagaimana melihat cara pandang tidak hanya secara fisik saja. Untuk menciptakan masyarakat produktif, salah satu cara dengan membuat warga heterogen. Warga transmigran diharapkan bisa memberikan motifasi dan inspirasi. Ketika warga lokal bergaul dengan warga pendatang, ada sesuatu bisa dipelajari. Sikap produktif warga transmigran diharapkan bisa tertular. Sehingga SDA bisa dikelola dengan baik.
“Transmigrasi mengajak perubahan sosial, agar tidak stagnan,” kata Mahendrawan.
Karenanya, perencanaan Pemda harus tepat, agar potensi bisa dimaksimalkan. Di daerah, semua instrumen harus diperkuat. Tidak hanya cetak sawah, tapi kelembagaan petani harus diperkuat, permodalan, teknologi, transportasi, akses keluar masuk sudah harus dipikirkan dari awal.
Mahendrawan berpendapat, kalau Pemda hanya berorientasi proyek dan transmigrasi bisa masuk, tanggung jawabnya bakal lebih besar. Sebab, tanpa disadari kalau ada trans tak betah, akan berpengaruh pada warga lainnya. Padahal, Pemda ingin warga berpikir terbuka, sehingga ada perubahan sosial.
Ia berharap, melalui cara tersebut, muncul partisipasi. Intinya, bagaimana cara warga ikut partisipasi. Salah satu cara, didorong komunitas yang produktif. Sehingga menular pada warga setempat.
Lokasi transmigrasi harus dilihat kembali ke tata ruang pengembangan kawasan, bagaimana Pemda fokus dengan sektor sistem yang dibangun. Misalnya, mengenai pertanian. Kalau orientasinya lebih pada bagaimana menentukan lahan, akan terjadi benturan. Misalnya, lahan produktif tak bisa untuk sawit. Dari segi ketahanan pangan dan lahan produktif berkelanjutan, bagaimana komitmen daerah itu. Harus ada lahan pangan di sana.
Pemda harus melihat struktur masyarakat setiap desa. Harus ada datanya sehingga bisa dilihat kapasitasnya. Harus diberi peluang investasi yang masuk ke lokasi itu. Cara menentukannya, melihat prospek di sana. “Biasanya kita menyediakan wilayah pencadangan dan dibuatkan SK,” katanya.
Pemda juga membuat program wilayah cadangan bersertifikat Pemda. Sehingga ketika trans masuk, fasilitas sudah ada. Pembangunnya bisa dilakukan investor atau Pemda. Tenaganya harus dipersiapkan.
Mahendrawan tak menampik bila pada era otonomi daerah, banyak pejabat yang tak sesuai dengan kemampuannya. Termasuk penempatan pejabat di transmigrasi. Menurutnya, hal itu kembali ke visi atau tidaknya seorang kepala daerah. “Karena terlalu banyak koptasi dalam masalah politik. Akhirnya, kerja tak bisa berjalan,” katanya.
Mengenai syarat bagi pembukaan sebuah wilayah baru bagi lokasi transmigrasi, Untung Hidayat mengatakan, daerah yang punya program transmigrasi usul ke pemerintah pusat. Setelah itu, Depsonakertran mencari daerah yang siap memberangkatkan tran. “Ada legalitas lahan untuk transmigrasi,” katanya.
Mekanismenya, dimulai dari desa setempat yang ingin ada penempatan program transmigrasi. Usulan melalui Badan Perwakilan Desa (BPD). Isinya, desa itu bersedia lahannya untuk transmigrasi. Setelah itu usul dilanjutkan ke camat dan bupati. Setelah ada pertemuan di tingkat desa, kecamatan dan kabupaten, dilanjutkan dengan peninjauan lokasi ke lapangan.
Bupati mengusulkan ke provinsi. Provinsi mencermati usulan kabupaten dengan mengadakan identifikasi lokasi. Pihak provinsi meneruskan usulan ke Menakertrans melalui Dirjen P4T (Pembinaan Penyiapan Pemukiman Penempatan Transmigrasi). Setelah itu, pusat membahas usulan tersebut. Berapa target di Kalbar, akan disesuaikan dengan dana di pemerintah pusat melalui dana Dekon. Kalau lokasi bisa untuk transmigrasi, Bupati membuat Surat Keputusan (SK) Pencadangan lahan.
Setelah SK terbit, Pemda harus membuat studi kelayakan. Namanya Rencana Teknis Satuan Pemukiman (RTSP). Dari studi kelayakan, akan diketahui daya tampung dari lahan tersebut. Setelah studi, lahan harus memenuhi syarat 2C4L. Artinya, Clear and Clean. Clear maksudnya, lahan harus jelas dan ada batas-batasnya. Clean, bebas dari kepemilikan atau penggunaan. Kepentingan surat-surat jelas. Sehingga tidak ada konflik dikemudian hari.
RTSP yang menentukan 4L. Yaitu, layak lingkungan, huni, berkembang dan usaha. Layak lingkungan berarti, lahan bisa dikembangkan dan tidak merusak lingkungan, dan tidak ada konflik dengan penghuni. Layak huni, lahan bisa dihuni dan layak dijadikan pemukiman. Layak berkembang, antara investasi dan hunian bisa sesuai. Misalnya, membangun jalan tidak terlalu panjang, dan langsung bisa menuju lokasi transmigarsi. Zaman dulu membangun jalan 50 km, bisa dilakukan. Sekarang harus efisien.
Idealnya, sekali penempatan 500 KK, sehingga bisa langsung menjadi satu desa. Rumah transmigran berupa rumah panggung dari kayu. Rumah itu dibuat seharga Rp 28-29 juta. Harga itu sangat minim. Rumah seperti itu, minimal dananya Rp 36 juta. Fasilitas umum, 1.300-1.500 meter. Pembangunan infrastruktur dananya hanya Rp 10 juta. Dana yang dibutuhkan untuk program transmigrasi setiap KK sekitar Rp 50-60 juta.
Tahun 1990-an, usaha perkebunan menanjak tajam. Tahun 1992, Deptran kembangkan transmigrasi perkebunan. Setiap KK dapat setengah hektar lahan pekarangan dan dua hektar lahan kebun kelapa sawit. Program itu ada di Sambas, Bengkayang, Sanggau, Ketapang, Sekadau, Melawi, Sintang, dan Ketapang.
Beberapa nama perusahaan di lokasi transmigrasi antara lain, di Kabupaten Sambas terdapat PT Multi Inti Sejati Plantations. Di Sanggau, PT Multi Prima Entake, PT Kalimantan Sanggar Pustaka. Di Sintang, PT PSDK. Di Ketapang, PT Benoa Indah Grup.
Dengan masuknya perusahaan, kondisi jalan ikut diperbaiki. Bagaimanapun, angkutan bagi buah tandan segar (BTS), membutuhkan kondisi jalan yang baik. Perusahaan ikut membuat dan memperbaiki jalan. Warga mendapat keuntungan dari mudahnya akses jalan. Warga mudah menjual hasil bumi.
Sejak pertama digulirkan, permasalahan mendasar transmigrasi berkutat pada minimnya akses transportasi dan komunikasi. Sehingga semuanya tidak lancar. Dengan adanya alat komunikasi, misalnya telepon genggam, kalaupun hasil bumi tak bisa dibawa ke pasar atau kota secara langsung, ada pedagang pengumpul. Mereka datang dan membeli hasil bumi tersebut. “Hasil muncul juga karena orang rajin bekerja dan transportasi, serta komunikasi yang mulai lancar,” kata Hidayat.
Endang Kusmiyati merasakan perubahan betul perubahan warga transmigrasi di tempatnya tinggal. Sekarang ini, Pandan sangat panas. Tak banyak lahan kosong untuk mengembalakan ternak kambing atau sapi, dengan masuknya perkebunan kelapa sawit masuk ke desa sekitar 1992.
Kini, hampir semua lahan milik masyarakat telah diserahkan kepada perusahaan. Kesejahteraan karena hadirnya perkebunan tersebut, masih begitu dirasakan sebagian besar masyarakat trans. Rumah-rumah karbot tidak ada lagi, lampu sentir atau pelita tak ada lagi. Kendaraan roda dua terparkir hampir di setiap rumah, walaupun dengan status kredit.
Ada dampak positifnya. Kesejahteraan ekonomi, sedikit demi sedikit merembet kearah pendidikan. Dulu, orang tua merasa cukup, bila anaknya tamat SMA. Kini, mereka memilih perguruan tinggi, bagi kelanjutan pendidikan anak-anak mereka. “Sudah tak terhitung jari lagi, anak-anak trans yang telah menjadi sarjana,” kata Endang.
Namun, Endang juga kecewa dengan adanya isu putra daerah, yang selalu dihembuskan ketika berlangsung sebuah hajatan politik. Meski terlahir di Kalbar, ia seakan tidak dianggap tidak memiliki hak yang sama dengan warga setempat.
Muda Mahendrawan, Bupati KKR menganggap, euforia politik terkadang membuat orang keluarkan isu putra daerah. Menurutnya, hal itu wajar saja, karena untuk keluarkan eksistensi. “Saya lihat tanpa dorongan untuk muncul komunitas yang lain, pemahaman politik masyarakat menjadi lambat,” kata Mahendrawan.
Percepatan perubahan sosial dan pemberdayaan, bisa dilakukan dengan transmigrasi. “Semakin kita tutup, transmigrasi ibarat menjadi teror politik. Kesadaran, partisipasi politik menjadi terlambat,” kata Mahendrawan.
Terbit di Voice of Human Right (VHR), 23 September-11 Oktober 2010
Posted by Muhlis Suhaeri at 11:46 AM 1 comments
Labels: Sosial
Sunday, September 19, 2010
Jepara dan Semangat Zaman
Ah, ini hari, aku dipaksa lagi untuk mengingat dan membuka sebuah memori. Pada sebuah tempat, di mana tembuniku ditanam dan dikaitkan lagi pada petilasan. Tempat yang telah menyemai bibit dan manusia unggul pada zamannya. Ratu Shima, Ratu Kalinyamat dan RA Kartini.
Ketiga manusia berkarakter tersebut, dihidupkan melalui dongeng pengantar tidur. Tidak untuk beromantisme pada sejarah. Tapi, demi menyalakan semangat dan pencapaian yang telah dilakukan. Pada lingkungan keluarga, masyarakat dan negara.
Ratu Shima sangat terkenal keadilannya. Karenanya, istriku tak keberatan, saat anak kedua perempuanku, diberi nama Shima. Shima Anna Calluella. Perempuan jelita yang membawa berkah dan keadilan. Begitu kira-kira artinya.
Ratu Shima sangat melindungi dan menyejahterakan rakyatnya. Menurut cerita, suatu saat, Ratu ingin menguji kejujuran rakyatnya dengan meletakkan buntalan emas, dan ditaruh di perempatan jalan. Hingga semingguan, emas tak ada yang mengambil. Dan, sang anak mengambil buntalan berisi pundi-pundi tersebut. Demi menjalankan hukum dan keadilan, anaknya sendiri dipotong tangannya.
Pisau hukum memang tak memandang pengecualian. Begitu pesan moral yang ingin disampaikan.
Ratu Kalinyamat terkenal berani melawan kezaliman. Kokoh dan teguh pada prinsip. Tak heran bila kedatangan pasukan Portugis di Malaka, disambutnya dengan pengiriman bala pasukan penggempur. Ratu berani melawan kekuasaan yang bakal menghegemoni dan menindas.
Jauh jarak tak menyurutkan langkah. Meski akhirnya, armada perangnya kalah dan porak poranda. Namun, langkah yang dilakukan, telah menyurutkan Portugis. Untuk terus melaju, dan menanamkan kekuasaannya di Nusantara.
RA Kartini, perempuan yang melebihi zamannya. Ia memperjuangkan kaum perempuan. Memberikan pendidikan dan pencerahan. Dari ketertinggalan dan segregasi hukum, serta tata sosial yang timpang.
Lalu, sudahkah masyarakat Jepara mengadopsi semangat, konsistensi dan usaha, untuk terus melaju menuju perubahan?
Hingga sekarang, aku sudah banyak kehilangan memori tentang kota ini. Namun, semasa kecil hingga remaja, yang kulihat adalah kesahajaan hidup masyarakatnya.
Sebagian besar orang bergerak dengan mencipta dan berkreasi. Mengukir. Menganyam. Membuat songket. Gerabah. Cincin monel, emas dan lainnya.
Sebagian lainnya, membawa berbagai dagangan ke pasar. Membawa puluhan kilo dagangan di punggung. Berjalan beriringan menuju sebuah pasar. Di pundak mereka, harapan dan doa dari seluruh keluarga tertumpah. Setiap langkah adalah asa. Setiap keringat yang menetes, wujud pengorbanan tanpa pamrih. Pada anak yang menunggu di rumah.
Mereka jarang berpikir jadi pegawai pemerintah. Amtenar. Atau, seonggok daging yang menggelayut pada nyawa orang lain. Mereka manusia mandiri dengan segala kesahajaan. Mengabdikan diri dan mengubah nasib. Tanpa rengekan dan tuntutan. Bahwa, mereka harus diberi perhatian atau fasilitas penunjang.
Manusia-manusia itu, sebagian menyebar. Tanpa meninggalkan entitas dan identitasnya. Terus membawa semangat perubahan dan pencapaian.
Bau tatal kayu jati, tiba-tiba-tiba menyeruak.
Lembut angin pantai, seolah berembus pelan di sekitar.
Aku, tiba-tiba merindu.......
Posted by Muhlis Suhaeri at 9:05 PM 0 comments
Labels: Opini
Thursday, August 26, 2010
Pelajaran Mahal Sekarung Sawit
Oleh: Muhlis Suhaeri
Tiga warga Sanggau ditahan dan diperkarakan karena mengambil sawit seharga Rp 60 ribu. PTPN XIII bersikukuh hanya memberikan pelajaran.
PT Perkebunan Nusantara (Persero) XIII memperkarakan pencuri brondolan sawit di Blok 107 Kebun Inti PTPN XIII Parindu, Sanggau, Kalimantan Barat. Tiga warga tertangkap tangan membawa 60 kilogram brondolan sawit. Harga sekilogram brondolan sawit Rp 1.000 hingga Rp 1.500.
Tiga warga yang ditangkap adalah Yulita Linda (27), Agung (27), dan Norweti (30). Linda dan Agung merupakan suami-istri. Mereka ditahan di Mapolsek Tayan Hulu, Sosok, Sanggau, 14 hingga 17 Mei 2010.
Kejadian berawal pada 14 Mei. Ketika itu Linda berembuk dengan suaminya untuk membayar uang SPP anak mereka. Sudah setahun ini anak mereka menunggak uang SPP. Mereka juga harus membayar uang seragam sekolah Rp 480 ribu.
Saat itu datang Norweti. Ia mengajak Linda mencari buah sawit di kebun milik PTPN XIII. Agung melarang istrinya ikut. “Perbuatan itu bisa dianggap mencuri,” kata Agung. Agung berangkat ke kebun miliknya sambil memberikan uang Rp 15 ribu untuk biaya mencicil uang SPP anak mereka.
Sawit Busuk
Linda dan Norweti berangkat menuju kebun milik PTPN XIII. Selama dua jam, dari pukul 14.00 hingga 16.00, keduanya mengumpulkan sekitar 60 kilogram sawit. “Kami mengambil buah yang jatuh dari pohon dan tak diangkut. Kami kumpulkan dan masukkan karung,” kata Linda.
Buah sawit itu sudah busuk. Buah yang sudah jatuh diperkirakan tidak dipakai PTPN XIII lagi. “Saya yakin ini tidak dibawa dan tidak dibutuhkan perusahaan,” kata Norweti.
Karena tak sanggup membawa sendiri, Linda memberi tahu Agung melalui SMS. Dia meminta suaminya datang untuk membawa dua karung berisi sawit. “Saya baru saja operasi sesar. Jadi, tak sanggup bawa karung itu,” kata Linda.
Agung datang mengendarai sepeda motor dan mengangkut dua karung sawit tersebut di bagian depan motor. Di perjalanan, ia bertemu Razak, satpam PTPN XIII, Segianto, polisi Tayan Hulu, dan Asman, anggota TNI. Ketiga orang itu baru saja menonton pertandingan sepak bola di Sanjan Emberas.
Razak curiga melihat karung di sepeda motor Agung. Ia minta Agung ke kantor satpam PTPN XIII. Setelah diperiksa dan kedapatan membawa sawit, Agung dibawa ke Polsek Tayan Hulu. Dari pemeriksaan, Agung mengakui membawa dua karung berisi buah sawit tersebut. Polisi mengenakan Pasal 363 dan 362 KUHP, pencurian yang dilakukan secara bersama. Ancaman hukumannya selama-lamanya 7 tahun penjara.
Agung menyatakan hanya membawa sawit itu. Kemudian polisi memanggil Linda dan Norweti. Polisi menahan Agung. Linda dan Norweti diperbolehkan pulang. Keduanya diminta membuat surat pernyataan tak melakukan perbuatan itu lagi. Namun, karena khawatir dengan kondisi suaminya, Linda minta ditahan juga.
Linda meminta Norweti membawakan pakaian dan kedua anaknya. Sebab, dia tak membawa pakaian, dan anaknya tak ada yang menjaga. “Anak di rumah tak ada yang mengasuh. Jadi, dibawa ke kantor polisi juga,” kata Linda.
Polisi menahan Agung di sel tahanan. Linda dan dua anaknya di ruangan Polsek Tayan Hulu. Di kantor polisi, mereka tidur beralas tikar. Hari pertama, kondisi kedua anak itu baik saja. Hari kedua, anak-anak mulai rewel dan menangis. Hari ketiga, dua anak itu mulai sakit. Akhirnya, polisi memberikan penangguhan penahanan.
Jalur Hukum
Mereka dibebaskan dengan syarat wajib lapor setiap Senin. Pihak PTPN XIII bersikukuh melanjutkan kasus ini ke pengadilan. Berkas sudah dikirim ke kejaksaan.
Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Daerah Pemilihan (Dapil) Kalimantan Barat, Erma Suryani Ranik mengatakan, seharusnya kasus ini dihentikan. Sebab, dampak dari kasus tersebut tidak hanya terhadap orangtua, tetapi juga terhadap anak-anaknya. “Anak akan mengalami trauma. Banyak efek timbul dengan kasus tersebut. Terutama pada psikologi anak.”
Erma meminta kasus ini dihentikan dan selesai secara kekeluargaan. Erma secara resmi akan mengirim surat kepada Kementerian BUMN agar Direksi PTPN XIII diganti. “Sebab, mereka telah melakukan tindakan sewenang-wenang,” katanya. Erma bersama anggota DPD lainnya berjanji mengawal kasus ini.
Hairiah, anggota DPD dari Kalimantan Barat, menyatakan penyesalan atas sikap Direksi PTPN XIII. Menurut dia, apa yang dilakukan warga merupakan bentuk dari tidak terpenuhinya kebutuhan mendasar warga. “Seharunya PTPN mengembangkan CSR bagi warga yang berada di sekitarnya,” kata Hairiah. Corporate Social Responsibility merupakan bentuk dari tanggung jawab sosial perusahaan terhadap warga di sekitarnya.
SD Hasugian, Manager Kebun Inti, Kembayan, Sanggau, menyatakan selama ini sudah sering terjadi pencurian buah sawit. “Sudah terlalu banyak yang diselesaikan secara kekeluargaan.”
Menurut Hasugian, sebagai pegawai BUMN yang diberi mandat pemerintah, dia harus melakukan penanganan. Kalau dia memberikan toleransi terhadap pencurian, orang yang sudah pernah dipenjara atau sedang menjalani proses pemeriksaan, akan protes. “Ini efek domino yang akan terjadi. Orang akan mempertanyakan hal itu.”
Hasugian memberikan data, pada tahun 2008 ada sekitar 1.000 ton buah tandan segar (BTS) hilang. Jumlah itu nilainya setara dengan Rp 1,2 miliar. Pada 2009 buah sawit yang hilang berkurang menjadi ratusan ton saja. Pada 2010, dari Januari hingga Agustus, ada sekitar 16 kasus pencurian. “Jumlah yang dicuri biasanya lebih besar, karena tidak ketahuan,” katanya.
Hasugian mengatakan, manajemen PTPN XIII terpaksa menempuh jalur hukum karena ingin memberikan edukasi atau pendidikan kepada warga. Sebab, selama ini yang sudah dilakukan, setiap ada masalah selalu dilakukan penyelesaian secara adat. “Ketika hukum adat sudah dilakukan, dan mereka melakukan lagi, cara hukum positif yang kita lakukan.”
Selaku badan usaha milik negara (BUMN) yang menangani 4.300 hektare kebun inti dan 5.000 hektare kebun plasma, Hasugian mempunyai kewajiban meningkatkan hasil kebun. Salah satu cara yang dilakukan adalah mengurangi pencurian sawit dan memangkas tengkulak sawit hasil warga.
Pembelaan
Erma Suryani Ranik mengatakan, bila PTPN XIII ingin menjadikan hal itu sebagai bentuk pembelajaran, sangat mengkhawatirkan. “Sangat tidak masuk akal, untuk membuat efek jera dengan uang Rp 60 ribu,” katanya.
Erma akan menyiapkan tujuh pengacara untuk melakukan pembelaan. Salah satu pengacara, Marselina, menyatakan dalam penanganan kasus hukum ada aspek keadilan. Tidak hanya menegakkan hukum. “Biaya yang akan dikeluarkan untuk sidang tidak sebanding dengan harga sawit yang diambil,” katanya.
P Girsang, General Manager Distrik Kalimantan Barat II, mengaku prihatin atas apa yang terjadi. Menurut dia, PTPN XIII sudah melakukan berbagai pemberdayaan pada masyarakat yang hidup dan tinggal di sekitar kebun. Warga diberi berbagai pekerjaan semisal memberi pupuk dan memelihara tanaman . “Intinya, kalau warga mau bekerja, tidak akan kelaparan,” katanya.
Repotnya, warga di sekitar kebun PTPN XIII tidak mau bekerja sebagai petani kebun. “Setiap hari kami malah mendatangkan puluhan truk pekerja dari luar daerah. Sebab, warga di sini sudah tak mau bekerja seperti itu lagi,” kata Girsang.
Pencurian yang terjadi biasanya dilakukan orang yang sudah tidak mempunyai kebun plasma. Dan, brondolan yang jatuh dari pohon merupakan sawit paling bermutu. Sebab, kandungan minyaknya mencapai 40 persen. Buah tandan segar hanya memiliki kandungan minyak 20 persen hingga 22 persen.
PTPN XIII sudah menggelontorkan dana Corporate Social Responsibility Rp 32 miliar untuk memberdayakan warga. Dana itu diberikan selama tahun 1998 - 2010 untuk semua daerah di Kalimantan.
Humas PTPN XIII, Subardi, menyatakan kewajiban PTPN XIII sebatas melaporkan kepada yang berwajib, sekecil apa pun permasalahan yang menyangkut kasus hukum. Masalah pencurian brondolan kelapa sawit sudah di ranah hukum. Dia meminta semua menyerahkan penanganan kasus ini kepada aparat hukum. “Mari kita belajar menghargai hak-hak orang lain. Jangan hanya menonjolkan hak sendiri,” kata Subardi.
Sebab, hidup memang seperti itu. Katanya. (*)
Dimuat di Voice of Human Right (VHR)
Posted by Muhlis Suhaeri at 8:34 AM 0 comments
Labels: Hukum
Wednesday, June 9, 2010
Kisruh Patung Naga di Singkawang
Naga Meliuk Warga Bertumbuk
Makalah Menyulut Amarah (bagian 1)
oleh: Muhlis Suhaeri
Malam semakin larut. Suasana jalan sepi. Hanya angin dan kepak serangga malam, menjadi penguasa jagat, malam itu. Empat orang masih terjaga dan terlibat pembicaraan serius, di tengah isu dan rumor bakal terjadi demo besar pagi harinya di Singkawang, Kalbar.
Aku, satu di antara orang yang sedang berbincang itu. Tiga orang lainnya, guru, PNS dan pemilik warung. Kami berbincang mengenai pilkada langsung di Singkawang, makalah Wali Kota, Hasan Karman, tugu naga, hingga kondisi dan situasi terakhir, pascabentrok antara kelompok FPI dengan aparat kepolisian, 28 Mei 2010.
Singkawang kota yang indah. Dua gunung mengapit dan menghadap laut. Di antara cekungan itu, Kota Singkawang berada. Sesuai dengan nama asalnya, San Keow Jong. Artinya, kota yang diapit bukit dan menjulur ke laut.
Singkawang dihuni tiga etnis besar, Tionghoa, Melayu dan Dayak. Tionghoa sebagian besar tinggal di Singkawang selatan. Melayu di utara. Dayak di timur. Jejak ketiganya, menanda pada nama daerah. Di selatan, ada nama Cong Sa Pa, Atap Kong, Jam Tang, Sakkok, Saliung, Kopi San dan lainnya. Di utara, banyak dimulai dengan nama sungai. Ini nama khas Melayu. Misalnya, Sungai Kunyit, Resak, Daun, Bulan, Garam, dan Nangka. Semelagi Besar dan Kecil. Di timur, Bagak, Mayasopa, Nyarumkop, Sanggau Kulor, Pendereng, Mencong, dan Senggang. Nama-nama itu berasal dari Dayak Selakau. Di Kalbar, Dayak ada 150-an subsuku.
Suku lainnya, Jawa, Madura, Bugis, Batak, Minang dan lainnya. Isu etnisitas sangat sensitif di Kalbar. Sejarah panjang konflik berlatar belakang komunitas etnis, kerap terjadi. Semua waspada.
Dari pembicaraan itu, aku menangkap banyak ketidakpuasan pada pemerintahan Hasan Karman dan pribadinya. Sebagian besar narasumber yang diwawancara, juga menyatakan hal sama. Ada ketidakpuasan menumpuk, kebuntuan komunikasi, segregasi sosial dan kelompok, serta ketidaksiapan sekelompok masyarakat terhadap kepemimpinannya. Pada akhirnya, semua jadi bom waktu yang efektif. Tinggal cari pemantik. Dan, konflik pun terjadi.
Naiknya Hasan Karman atau Bong Sau Fan sebagai wali kota Singkawang, tak lepas dari terbukanya demokrasi dan reformasi 1998. Ia mencalonkan diri dalam pilkada pertama yang dilakukan secara langsung. Ada lima pasangan. Hasan Karman berpasangan dengan Edy R. Yacoub. Awang Ischak dengan Raymundus Sailan. Darmawan dengan Ignatius Apui. Suyadi Wijaya dengan Bong Wui Khong. Syafei Djamil dengan Felix Periyadi. Awang Ischak merupakan incumbent atau wali kota menjabat.
“Secara komposisi, empat lawan satu,” kata Mansyur dari KNPI. Maksudnya, suara Melayu diperebutkan empat calon dari Melayu, dan suara Tionghoa untuk Karman.
Berdasarkan data terakhir pilkada, jumlah penduduk Singkawang sebesar 210 ribu. Jumlah paling besar di wilayah barat dan selatan. Bila sanggup memenangkan dua daerah itu, bisa memenangkan pemilihan. Begitu rumusnya.
Karman muncul pada saat yang tepat. Begitu bertanding langsung menang. “Dia memposisikan diri sebagai pembela yang tertindas. Ini membuat dia menang,” kata Wijaya Kurniawan, pemimpin Majelis Adat Budaya Tionghoa (MABT), cabang Singkawang.
Euforia politik membuat warga Tionghoa memilihnya. Mereka ingin pemimpin Tionghoa di Singkawang. Ini suatu pandangan yang membuat warga Tionghoa sangat antusias mengikuti pilkada. Kantung-kantung warga Tionghoa, secara penuh mendukungnya.
“Suara orang Tionghoa, 90 persen untuk Hasan Karman,” kata Awang Gunawan, tim sukses Awang Ischak. Ia mengontrol seluruh saksi TPS di Singkawang. Malah, ada TPS-TPS, dimana suara Ischak tak ada sama sekali. “Saksi dari kita, tak memilih Pak Awang Ischak. Inikan aneh. Ada apa dengan itu? Tentu money politic,” kata Gunawan.
Masuknya politikus Tionghoa ke kancah politik, membuat politisi lain merasa gerah. Keberhasilan di bidang ekonomi selama ini, tentu tak membuat para politisi Tionghoa kesulitan menyediakan logistik, bagi jalannya politik praktis.
Karman dapat dukungan dari para pengusaha Jakarta, Pontianak, Singkawang dan sekitarnya. Dia pendiri dan Wakil Ketua Permasis (Perkumpulan Masyarakat Singkawang dan Sekitarnya), periode 2006-2009. Ini wadah para perantau Singkawang, Sambas dan Bengkayang di Jakarta.
Karman datang dan minta dukungan tokoh-tokoh Tionghoa. Sentimen etnisitas jadi pintu masuk. “Dia datang ke saya, kita inikan sama-sama Tionghoa, bantu saya jadi wali kota,” kata Chai Ket Khiong, pemimpin Majelis Tao Indonesia (MTI) cabang Singkawang.
Awalnya, dia menolak. Namun, Karman bisa menyakinkannya. Akan ada perubahan bagi kehidupan warga Tionghoa, saat dia jadi wali kota. Karman juga berjanji, listrik tak akan mati, jalan diperbaiki, dan air lancar.
Khiong menganggap janji itu tak mewujud. “Yang ada, listrik naik 100 persen. Jalan berdebu. Air tidak lancar,” katanya.
Ischak tak mau berjanji. “Saya orang realistis karena birokrat. Apa yang dapat kita lakukan dengan potensi dan dana yang ada,” kata Ischak.
Ia menilai, pilkada langsung yang pertama di Singkawang, masih memilih suku. Bukan figur pemimpin. “Alangkah baiknya tak gunakan isu ras dan politik uang,” kata Ischak.
Dari jumlah total suara yang sah, 86.294 suara, Ischak mendapat 30.706 suara. Karman peroleh 36.103 suara. Meski memenangkan pilkada, langkah Karman tak mulus menuju kursi wali kota. Pilkada Singkawang menyisakan permasalahan.
Pasangan Awang Ischak dan Raymundus, melakukan gugatan ke pengadilan. Mereka menganggap pasangan Hasan Karman dan Edy R Yacoub, melakukan banyak kecurangan. Seluruh bukti sudah dikumpulkan. Ada anak SMP mencoblos, politik uang, memberikan barang, selebaran berbau SARA, hingga kehadiran Karman di KPU Singkawang jelang rekapitulasi suara. Dari rangkaian berjalannya sidang, Ischak yakin memenangkan gugatan.
Ada lima hakim dalam perkara itu. Ketua Majelis Hakim dipimpin Sofjan Tandjung. Anggota majelis hakim, CH Kristipurnami Wulan, Asmaini Adlis, I Nengah Suriada, dan Sudjono.
Malam hari menjelang keputusan sidang, Ischak masih yakin memenangkan gugatan. Bahkan, ia dan timnya, sudah menyiapkan rombongan dan kendaraan menuju ke Pontianak. Keputusan sidang di luar dugaan. Tiga hakim menolak gugatan, dua hakim menerima gugatan. Ischak kalah.
KPUD Kota Singkawang menetapkan pasangan Karman dan Yacoub sebagai pemenang pilkada dalam rapat pleno, Jum’at (23/11). Keduanya jadi Wali kota dan Wakil Wali kota Singkawang periode 2007-2012. Pelantikan berlangsung pada 17 Desember 2007.
Gaya kepemimpinan Karman dan Ischak berbeda. Ischak birokrat lulusan Sekolah Ilmu Pemerintahan. Ia meniti karir sebagai PNS. Jabatan awalnya camat. Karman mantan manager di perusahaan Barito Pacifik, milik konglomerat asal Bengkayang, Prayogo Pangestu. Karman juga pengusaha dan pengacara.
Karman dianggap memimpin pemerintahan dengan gaya perusahaan. Siapa pun anak buahnya tak akan menampik, ia paling awal datang ke kantor. Juga, paling terakhir pulang. Setelah pulang, dia menutup rumah dinas. Sejak itu, rumah dinas wali kota selalu tertutup.
“Dia salah satu pejabat yang paling sulit ditemui,” kata Iwan Gunawan, pengusaha, mantan tim suksesnya.
Gaya kepemimpinan perusahaan dan pemerintahan, dasar dan prinsipnya sangat berbeda. Memerintah dengan gaya perusahaan, pemerintah harus diuntungkan. Konsep pemerintahan, kalau warga sejahtera berarti berhasil. Sebab, konsep kebijakan publik, warga dapat untung.
Hingga 100 hari pemerintahannya, warga Singkawang menunggu realisasi pembangunan yang dijanjikan Karman. Repotnya lagi, Karman tak mau mendengar saran dan usul orang lain.
“Dia selalu bilang, jangan ajari bebek berenang, bila orang memberi saran dan usul,” kata Iwan Gunawan.
Zaman Ischak, rumah dinas tak memiliki pintu. Semua orang bisa masuk tanpa kecuali. Mulai dari tukang becak hingga pejabat. Semua membaur di ruang tamu. Anggaran rumah tangga sebesar Rp 18 juta setiap bulannya, habis untuk membeli berbagai keperluan rumah tangga wali kota, dalam menjamu setiap tamu yang datang. Pembelian gula dan kopi, jumlahnya mencapai ratusan kilogram setiap bulannya.
Karena itukah, meski tersandung kasus “Mercure Gate”, rakyat tetap memilihnya? Mercure Gate merupakan video Ischak dan Anita Cheung yang sedang berangkulan dan tidur bareng. Aku pernah meliput kasus itu, untuk Majalah Gatra. Setelah tiga tahun tidak pernah kontak sama sekali, ternyata Ischak masih mengenali.
Aku bertanya pada banyak orang, bagaimana sikap mereka terhadap kasus itu. Sebagian besar tak mempermasalahkan. Apakah norma sudah longgar atau dia memang diterima warga? “Ya, namanya orang, tak selamanya lurus. Kadang ada bengkoknya,” kata Awang Gunawan.
Pada 26 Agustus 2008, berlangsung seminar dan bedah buku Fiqih Melayu bertempat di Gedung Dekranasda Singkawang. Ada tiga pembicara. Hasan Karman, serta dua akademisi dari Untan dan UGM. Kegiatan diikuti sekitar 50-orang.
Dalam seminar tersebut, Karman meringkas penelitian dari desertasinya sebagai doktor di Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Makalah berjudul, “Sejarah dan Asal-usul dan Melayu.” Dalam makalahnya, Karman menulis, kerajaan Melayu hidup dari perdagangan dan perompakan. Perluasan wilayah dilakukan dengan mengawini para putri pemimpin di pedalaman.
Selepas acara belum muncul polemik. Nah, kenapa muncul dua tahun setelah itu? “Mungkin, saat itu, karena dia kepala daerah, orang setuju saja. Tak ada yang bereaksi atau menyanggah,” kata Kurniawan.
Mansyur, Ketua KNPI menyesalkan tindakan Karman. Hal itu melukai perasaan Puak Melayu. Sebagai kepada daerah, tak seharusnya Karman menulis seperti itu. Secara akademis, hal itu bisa saja dilakukan. “Tapi, sebagai kepada daerah, hal itu bisa menimbulkan kontroversi dan polemik,” kata Mansyur.
Menurutnya, Karman melanggar UU Nomor 23 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah. Ada satu pasal berbunyi, kepala daerah dilarang mengeluarkan pernyataan yang bisa menimbulkan kontroversi. “Sebagai kepada daerah, wajib hukumnya menjaga stabilitas daerah,” kata Mansyur.
Mengenai tuntutan mundur yang dilakukan terhadap Karman, Mansyur menyatakan, masyarakat sudah memberikan toleransi pada pemerintahan Karman. “Ini terkait dengan janji Hasan Karman. Manakala dalam waktu dua tahun tak bisa bangun Singkawang, ia akan mundur,” kata Mansyur. Menurutnya, Karman selalu mengatakan hal itu, ketika berkampanye.
Beberapa akademisi memberikan pendapat terkait makalah Karman. Prof Dr Syarif Ibrahim Alqadrie, dosen Untan berpendapat, setiap orang bisa setuju atau tidak dengan makalah yang dibuat seseorang. Namun, ketidaksetujuan terhadap suatu makalah, tak bisa diselesaikan dengan pemaksaan.
“Orang harus mengubah ketidaksetujuan tersebut, melalui makalah dan argumentasi,” kata Alqadrie. Sebab, tak ada kekuatan yang bisa mengubah suatu penelitian. Harus dilakukan penelitian baru. Sehingga ilmu pengetahuan berkembang.
Ia berpendapat, “Mungkin, saja sewaktu menulis seminar, Karman kurang memperhitungkan faktor yang timbul secara psikologis, sosiologis dan religiusitas,” kata Alqadrie.
Prof Dr Chairil Effendy, Rektor Untan yang juga Ketua Majelis Adat Budaya Melayu Kalbar menyesalkan ketidakbijaksanaan Karman menulis makalah. Karman dianggap mengutip tanpa menjelaskan referensinya. “Meskipun hanya kutipan, berarti dia setuju dengan kutipan tersebut,” kata Effendy.
Kutipan yang tertulis dalam makalah, kerajaan Melayu dibangun dari perdagangan dan perompakan, menurutnya merupakan pandangan kolonial. Karenanya, sebagai akademisi yang hidup pada era sekarang, harus dapat mengkaji atau mendekonstruksi pandangan kolonial yang ada.
“Sayangnya Hasan Karman meneruskan pandangan itu. Sehingga orang Melayu membuat penolakan,” kata Effendy.
Dr Akil Mochtar, Hakim Mahkamah Konstitusi, dalam suatu pertemuan dengan jurnalis mengatakan, ada cara bijak menyelesaikan makalah Karman. Ada mekanisme bisa ditempuh. Misalnya, melalui jalur hukum.
“Orang atau organisasi yang tidak setuju dan dirugikan terhadap suatu persoalan, bisa melaporkannya secara hukum,” kata Akil.
Pada akhirnya, relasi sosial di Singkawang meski berjalan sangat baik, tetap saja menunjukkan sisinya yang retas dan gampang terbelah. Apalagi bila diiringi ketidakpuasan dan ketidaksiapan terhadap sebuah kepemimpinan. Juga, komunikasi yang tersumbat dan mandek.
Naga Emas Membuat Panas (bagian 2)
Sebuah Patung Naga berwarna kuning emas. Melingkar pada tugu setinggi enam meteran. Tugu terletak di perempatan Jalan Niaga dan Kepol Mahmud, Singkawang. Lokasi itu pusat pertokoan. Ada banyak bangunan rumah toko di sekitar Tugu Naga.
Sudah dua tahun Tugu Naga bertengger di sana. Sudah dua kali pula, warga mendemo. Ada pihak setuju dengan pendirian Tugu Naga. Pihak lainnya tak setuju. Mereka yang setuju menganggap, Kota Singkawang perlu ornamen kota, demi menarik wisatawan. Yang tak setuju menganggap, naga simbol komunitas masyarakat Tionghoa. Padahal, Singkawang multietnis.
Polemik dan penolakan terhadap Tugu Naga, sebenarnya bukan kali pertama terjadi. Tahun 2003, masa pemerintahan Awang Ischak sebagai Wali Kota Singkawang, pendirian Patung Naga sudah bergulir. Saat itu, Patung Naga dibangun di dekat Klenteng Bumi Raya, di tengah kota. Penyandang dananya, Beni Setiawan, pemilik Hotel Prapatan dan Iwan Gunawan. Keduanya pengusaha di Singkawang.
Saat itu, bentuk Patung Naga memanjang, membelah persimpangan dan menjadi pembatas jalan. Namun, baru separuh dibangun, ada penolakan dari masyarakat. Sebagian warga tak setuju. Mereka membungkus Patung Naga dengan kain putih. Tanda tangan dibubuhkan sebagai isyarat penolakan.
“Karena ada penolakan dari warga, dan bila dilanjutkan bisa memicu konflik, pembangunan Patung Naga dihentikan,” kata Ischak.
Namun, saat tampuk pemerintahan berganti, dan Hasan Karman menjadi Wali Kota Singkawang, dia memberikan izin pada Beni Setiawan dan Iwan Gunawan, untuk membangun Tugu Naga. Bentuknya melingkar ke atas, membelit sebuah tugu.
Kedua orang itu beranggapan, Tugu Naga berfungsi memperindah kota. “Saya menganggap, Tugu Naga merupakan karya seni,” kata Gunawan. Tujuannya, agar Kota Singkawang memiliki ikon. Seperti, ketika orang datang ke Paris, ada Menara Eiffel. Atau, ke Singapura, ada Patung Singa.
Beni Setiawan juga menganggap, Tugu Naga hanya seni. Tak lebih. “Karena barang kesenian, ditaruh di mana saja tidak ada persoalan,” kata Setiawan.
Dana pembangunan Tugu Naga sekitar Rp 50-60 juta. Ia rela mengeluarkan uang bagi pembangunan Tugu Naga, sebab, ingin membangun Kota Singkawang dengan berbagai ikon. Nanti, setelah Tugu Naga, mungkin akan ada tugu atau patung yang melambangkan suku Dayak, Melayu atau lainnya.
Ia menganggap, pembangunan Tugu Naga bukan proyek besar. Sehingga tak perlu melibatkan banyak orang. “Kalau sesama teman bisa, kenapa libatkan banyak orang,” kata Setiawan.
Uray Sutamsi berpendapat, munculnya berbagai simbol yang identik dengan Tionghoa, tak lepas dari euforia politik, karena Wali Kota Singkawang dari Tionghoa. Seharusnya, masalah itu bisa diselesaikan sejak awal, bila ada undangan atau silaturahmi dilakukan Karman.
“Karena tak ada komunikasi itulah, muncul masalah dan penolakan terhadap Hasan karman,” kata Sutamsi.
Bagi warga Tionghoa pemeluk agama Khonghucu dan Tao, naga merupakan binatang tunggangan Dewi Kwan Im atau Dewi Welas Asih. Kwan Im menempati posisi istimewa dalam kepercayaan pemeluk Khonghucu dan Tao. Karenanya, naga dianggap binatang suci dan sakral. Naga hanya ada di tempat peribadatan.
“Naga tempatnya di atas, bukan di bawah,” kata Chai Ket Khiong, pimpinan Majelis Tao Indonesia (MTI), cabang Singkawang.
Ada tiga jenis naga. Naga Emas, Biru dan Hitam. Naga Emas jenis naga paling bagus. Naga Emas dianggap membawa keberuntungan dan rejeki berlimpah. Naga Biru adalah naga jantan. Biasanya dibangun di pintu gerbang. Fungsinya sebagai penjaga. Naga Hitam adalah naga sial.
Naga binatang suci. Kalau sudah buka mata, naga jadi binatang sakral. Buka mata dilakukan dengan upacara khusus. Dipimpin ta-thung atau orang sakti yang punya kemampuan sebagai sinsang atau dukun Tionghoa.
“Tak heran, Tugu Naga itu ‘memakan’ orang,” kata Khiong.
Ada pengendara motor menabrak Tugu Naga. Ia tewas seketika. Bahkan, seluruh keluarga korban, kerasukan roh dan meludah terus sepanjang hari. Mereka sembuh, setelah dilakukan upacara yang dipimpin ta-thung.
Tugu Naga memang diterjemahkan dengan beraneka versi. Wijaya Kurniawan dari Majelis Adat Budaya Tionghoa (MABT), berkata, “Tugu Naga tak lepas dari kami punya simbolisasi.”
Secara pribadi ia menilai, Tugu Naga tidak di persimpangan jalan. Sebab, naga binatang sakral. Bahkan, ketika naga dibangun, para pemilik ruko tak mau kepala naga menghadap ruko mereka. Warga menganggap, hal itu bisa membawa ketidakberuntungan. Kepala naga, akhirnya diarahkan ke jalan yang menghadap arah terminal Singkawang.
Chia Jung Khong atau Haji Aman, pemimpin Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI), cabang Singkawang, berpendapat, naga bagi Tionghoa muslim tidak masalah. Cuma, letaknya yang di perempatan jalan, membuat orang menolak keberadaannya.
Menurutnya, alasan pendirian Tugu Naga untuk menarik wisatawan, kurang tepat, bila Tugu Naga berada di perempatan jalan. “Bagaimana orang mau berfoto di Tugu Naga? Nanti malah menganggu lalu lintas, dan bisa tertabrak kendaraan,” kata Khong.
Menurutnya, kalau mau menarik wisatawan, harusnya Patung Naga ditempatkan di taman. Sebab, masih banyak taman kosong di Singkawang.
Menanggapi berbagai polemik yang muncul seputar Tugu Naga, Wali Kota Singkawang, Hasan Karman berpendapat, “Tugu Naga itu bukan tempat ibadah sakral. Itu bukan binatang sesembahan,” kata Karman, “jadi, harus dibedakan antara tugu, patung dan arca. Tugu Naga hanya karya seni yang dicipta seorang perupa asal Singkawang, M. Hasbi. “
Orang memaklumi pendapat Karman, karena selepas SMP, ia tak lagi di Singkawang. Balik lagi setelah 30 tahun. “Jadi, dia dianggap tak memiliki sensitivitas terhadap warganya,” kata Kurniawan.
Kalau Tugu Naga tetap dipertahankan, akan menjadi tugu kebencian bagi orang yang tak setuju. “Sehingga akan selalu memicu konflik,” kata Kurniawan.
Benarkah, orang yang telah lama tak tinggal di wilayahnya, mengalami kemunduran dalam memahami sensitivitas terhadap warganya?
Aku menemui orang Tionghoa kelahiran Singkawang yang lama tinggal di Jawa. Selepas sekolah, ia kuliah dan menetap 20 tahun di Yogyakarta dan Bandung. Sekarang, ia balik lagi dan tinggal di Singkawang. Namanya Dalimonte. Ia seorang notaris.
Menurutnya, orang Tionghoa di Jawa, lebih menyesuakan diri dengan budaya Jawa. Di Singkawang, karena Tionghoa jumlahnya banyak, biasanya hidup dengan komunitasnya sendiri.
“Karenanya, hidup terkotak-kotak,” kata Dalimonte. Terutama generasi tua. Generasi muda sudah lebih baik dalam hal pergaulan sosialnya. Ada pembauran.
Ia menilai, masuknya politikus Tionghoa ke kancah politik, sangat baik. Tapi, jangan sampai berlebihan. Harus pandai merangkul dan membangun relasi sosial.
“Ini yang saya lihat kurang dari kepemimpinan Hasan Karman,” kata Dalimonte, “ia kurang merakyat dan kurang bisa merangkul elemen masyarakat.”
Dia berharap, dalam membangun sesuatu, jangan terlalu frontal. Harus selaras dan serasi. Demikian juga dalam pembangunan Tugu Naga.
****
Mess Daerah Singkawang seolah tak sanggup lagi menampung orang yang hadir. Bangunan itu penuh dan sesak. Mereka yang tak kebagian tempat duduk di ruangan, berdiri dan tumpah ruah di halaman gedung. Siang itu, Jum’at (28/5), bangunan yang terletak di Jalan Merdeka, Singkawang, menjadi saksi dari ribuan massa yang mulai resah.
Tujuan dari pertemuan, minta pertanggungjawaban Wali Kota Singkawang, Hasan Karman, terkait makalahnya yang telah menimbulkan kontroversi di masyarakat. Pesertanya unsur pemerintah, pimpinan dari berbagai organisasi pemuda, sosial dan keagamaan di Singkawang. Ada juga utusan dari keraton Sambas, Sukadana, dan Ketapang. Karman diundang pada pertemuan, namun tak hadir.
Pemangku kegiatan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI). KNPI selalu melakukan kegiatan pada tanggal 28. Hal itu mengambil semangat Sumpah Pemuda 28 Oktober.
Acara dimulai pukul 14.00 WIB. Suasana semakin memanas. Terjadi perpecahan pendapat. Massa yang hadir mulai tak sabar. Mereka menggeruduk ke ruangan, dan ingin bukti konkret dari pertemuan tersebut.
“Suasana sudah tak terkendali dan kacau,” kata Mansyur, Ketua KNPI Cabang Singkawang. Dia menjadi moderator dalam kegiatan itu. Pertemuan sudah kantongi izin dari pihak keamanan.
Di luar ruangan, tiba-tiba sekelompok massa mengangkat Ilyas Buchairi, pimpinan Front Pembela Islam (FPI), cabang Singkawang, ke atas meja untuk berorasi. Ia tak bisa menolak. Dalam orasinya, ia menyampaikan program FPI terkait keberadaan Tugu Naga yang dibangun akhir 2008.
“Mari kita robohkan Patung Naga,” teriaknya lantang.
Massa bergerak ke arah Tugu Naga. Namun, para pimpinan organisasi dan utusan tetap melanjutkan dan membahas, langkah apa yang dilakukan, untuk membuat Karman mempertanggungjawabkan makalahnya.
“Perumusan tetap berjalan. Demo Tugu Naga tak ada di agenda pertemuan,” kata Mansyur.
Pertemuan berlangsung hingga pukul 18.00 WIB. Ada tiga keputusan dihasilkan. Mereka menyebutnya “Dekrit Melayu.” Pertama, Hasan Karman harus mempertanggungjawabkan makalahnya secara hukum. Kedua, dalam waktu 1x24 jam, Hasan Karman harus turun dari jabatannya. Ketiga, Hasan Karman harus minta maaf dengan pihak keraton Sambas dan masyarakat Melayu.
Setelah orasi, Buchairi dibonceng sepeda motor keluar Mess Pemda. Selepas itu, dia masuk mobil bersama beberapa anggota FPI. Menurutnya, tindakan itu spontanitas saja. Tak ada rencana. Sebab, selepas shalat ashar, ia ada jadwal memberikan tausiah atau ceramah agama di majelis taklim Assyifah di Jalan Veteran, Singkawang.
Ia sampai di lokasi Tugu Naga sekitar pukul 15.00 WIB. Ia melihat banyak massa berkerumun. Ada puluhan aparat polisi dan Brimob mengelilingi Tugu Naga. Aparat dilengkapi tameng dan pentungan. Ada mobil antihuru-hara diparkir.
Sempat terjadi aksi saling dorong antara aparat dan massa. Ada yang mulai melempar batu. Tugu Naga jadi sasaran. Ada empat batu melayang. “Salah satu batu mengenai Tugu Naga dan memantul ke aparat,” kata Buchairi.
Tiba-tiba ada teriakan maju dari aparat. Seketika polisi yang berjaga, segera merangsek ke arah massa. Massa pendemo atau sekedar penonton, segera berlarian. Mereka saling berdesakan. Ada yang terjatuh. Buchairi salah satunya. Ia tertabrak massa yang lari dari kejaran aparat. “Saya tak lari, karena tak merasa melakukan demo,” kata Buchairi.
Polisi melakukan penangkapan. Tak sekedar menangkap, tapi juga memukul, menendang dan menyeret mereka yang tertangkap. “Ada banyak salah tangkap,” kata Buchairi.
Ada remaja yang hanya menonton, ikut tertangkap. Mereka terkena pukulan dan tendangan, hingga lebam di sekujur tubuh. Tindakan represif polisi menuai protes.
Kapolres Singkawang, AKBP Anthony Sinambela, saat ditemui di rumah dinasnya menyatakan, “Apa yang kami lakukan sudah sesuai prosedur.”
Ada tujuh orang ditangkap. Mereka adalah, Ilyas Buchairi, Iwan, Bambang Prayogi alias Bilal, Uray Robi, Hendra, Deni, dan Jery. Mereka dianggap melanggar pasal 160 dan 170 KUHP, karena melakukan pengrusakan dan mengganggu ketertiban umum. Ancaman hukuman maksimalnya, enam tahun penjara.
Bentrokan anggota FPI dan aparat, terdengar di Mess Pemda. Isunya, Buchairi dipukuli dan ditangkap aparat. “Namun, rapat terus berlanjut, karena ada beberapa rumusan belum selesai,” kata Mansyur.
Setelah ditangkap, ketujuh orang itu dibawa ke Mapolres Singkawang. Polisi memberlakukan Siaga 1. Malamnya, beberapa pimpinan FPI dan KNPI menjenguk tahanan. Hanya Mansyur dan M Zein, Sekretaris FPI, boleh masuk. Keduanya merasa, aparat terlalu arogan.
Dengan nada tinggi, Kapolres menunjuk Mansyur dan Zein. Ada urusan apa mau ketemu tujuh orang itu. Sebab, yang berhak mendampingi adalah pengacara.
“Saya terus terang tersinggung. Kita mau jalin komunikasi, malah disambut seperti itu,” kata Mansyur. Tapi, Sinambela membantah hal tersebut. Menurutnya, ia sudah melakukan yang sesuai prosedur. Mengenai suaranya yang terdengar membentak, karena karakternya memang seperti itu.
Setelah menginap dua malam di Polres Singkawang, 31 Juni 2010, sekitar pukul 16.55 WIB, mereka dibawa ke Pontianak dengan tangan diborgol tali plastik, lengkap dengan baju tahanan. Model borgol itu, semakin orang berusaha melepaskan diri, tali semakin kuat menjerat tangan. Pembukanya dengan gunting. Ketujuh orang ditempatkan dalam mobil tahanan, dan dikawal kendaraan khusus, selama perjalanan.
“Tak ada pemberitahuan kepada keluarga. Status kami sebagai tahanan titipan dari Polres Singkawang,” kata Buchairi.
Mereka diperlakukan dengan baik. Setelah berada semalam di tahanan Polda, ketujuh orang itu mendapat penangguhan penahanan, pada 1 Juni 2010. Mereka dibawa menuju Singkawang dengan mobil pribadi pada siang harinya. Menjelang magrib, ketujuh orang itu sampai di Masjid Raya Singkawang. Ada ribuan massa menyambut. Ada sambutan tepung tawar.
Meski pernah ditahan, Buchairi dan FPI akan terus melakukan perjuangan. “Selama, Tugu Naga tidak pada tempatnya,” kata Buchairi.
Rentang waktu selepas demo Tugu Naga yang berakhir dengan bentrokan, Jum’at (28/5), hingga Jum’at (5/6), merupakan waktu yang penuh dengan ketidakpastian. Banyak isu beredar. Akan ada isu demo besar lagi. Ada provokasi. Ada pembakaran kantor PKK. Pembakaran lapak dagangan. Percobaan pembakaran mobil. Pelemparan molotov, hingga sweeping terhadap Karman.
Pada 30 Mei 2010, Pemda dan Muspida melakukan koordinasi dalam acara silaturahmi di Kantor Bappeda. Ada aparat keamanan, polisi, Kodim, pemerintah dan seluruh pimpinan elemen masyarakat di Singkawang. Agendanya, bagaimana mengatasi permasalahan yang kadung muncul.
Dalam pertemuan itu, Karman bertanya pada yang hadir. “Ini ada SMS dari Rumah Betang, ingin meletakkan tempayan di Tugu Naga,” kata Karman.
Meletakkan tempayan yang diikuti dengan upara Pamabank, merupakan isyarat, kondisi sedang gawat. Bila tempayan sudah diletakkan, wajib hukumnya warga Dayak, turut mengamankan Kota Singkawang. Ini berbahaya. Puak Melayu bisa berhadap-hadapan langsung dengan Dayak.
Puak Melayu juga sudah mengibarkan bendera kuning di berbagai tempat. Hal itu sebagai isyarat, sedang ada masalah. Harus bersiaga.
Menurut Kilim, ada yang coba menggiring masalah itu ke etnis. Tapi, tindakan itu bisa dicegah oleh Kilim yang hadir dalam pertemuan. “Belum saatnya,” kata Kilim, menanggapi SMS tersebut.
Aloysius Kilim adalah Ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Singkawang. Dia juga anggota DPRD Singkawang.
Beberapa pucuk pimpinan Melayu, juga sudah menyiapkan diri. “Musuh jangan dicari. Ketemu, jangan lari. Takkan hilang Melayu ditelan zaman,” kata pucuk pimpinan ini.
Aku berusaha menemui beberapa simpul massa. Saat itu, sudah banyak warga dari luar yang masuk ke Singkawang. Sudah ada koordinasi. Bila ada yang menghentikan, akan berhadapan dengan massa. Pembagian tugas pun sudah dilakukan. Siapa bertugas di mana.
“Bagi kami, membakar Singkawang ini terlalu kecil. Kami tidak mau melakukan itu,” katanya. Apalagi dengan berbagai pengalaman yang pernah dijalani. Tak hanya di Asia Tenggara. Tapi juga di jaringan berskala Internasional.
Ah, aku hanya mendengus. Membayangkan liukan naga yang terlihat elok, namun bisa membakar apa saja yang ada di hadapannya……
Dimuat di Voice of Human Right (VHR).
Foto oleh Muhlis Suhaeri
Posted by Muhlis Suhaeri at 5:17 AM 0 comments
Labels: politik
Monday, June 7, 2010
Black Panther Party (Bagian 1-4)
Sang Legenda Tanpa Jejak
Oleh: Muhlis Suhaeri
DRAMA PENYERGAPAN
Sebuah pagi di Oakland, California, Amerika Serikat (AS). Daerah itu, pemukiman kulit hitam. Sebagian besar penghuninya miskin dan termarjinal. Dua belas mobil sedang parkir di sepanjang jalan. Penanggalan menunjuk angka, 6 April 1968.
Pagi itu, David Hilliard dan beberapa pimpinan Black Panther Party (BPP), Bobby Hutton dan Eldridge Cleaver sedang berkumpul dalam suatu kegiatan. Tanpa mereka ketahui, tempat itu telah dikepung ratusan polisi. Aparat memberikan peringatan. Mereka diminta menyerahkan diri.
Hilliard teringat pada bagasi mobilnya. Ada persediaan makanan dan senjata. “Kami selalu bawa senjata, karena memang ada ancaman,” kata Hilliard.
Bersamaan dengan peringatan, polisi mulai menembakkan senjata. Orang yang berkumpul di rumah, segera bubar dan menyelamatkan diri. Polisi terus memuntahkan peluru.
Hilliard meloncat dan keluar rumah. Ia menyeberang ke rumah sebelah. Kebetulan, rumah tersebut milik kerabatnya. Sepupunya sedang di kamar. Ia terkejut. Namun, dia berkata pada Hilliard, supaya tidak keluar rumah karena berbahaya. Hilliard menurut. Dia tak keluar rumah hingga satu jam.
Suasana di luar rumah tegang. Tembakan dan raungan senapan masih mencari sasaran. Polisi mulai membakar rumah. Gas air mata dilempar. Hutton dan Cleaver di ruang dasar rumah. Cleaver tertembak pada bagian kaki. Keduanya berencana keluar rumah. Hutton memutuskan keluar lebih dulu.
Ia keluar rumah dengan telanjang dada. Tangannya diangkat ke atas. Polisi menemukan orang yang dicari. Hutton disuruh berlari meninggalkan rumah. Selepas itu, polisi menembakkan puluhan butir peluru. Ia menjadi martir. Di tubuh Hutton, 15 butir peluru bersarang. Dia mati seketika. Ketika itu, usia Hutton 17 tahun.
Setelah tembakan tak terdengar dan suasana mulai reda, Hilliard keluar rumah. Ia melihat-lihat sekeliling lingkungan. Darah berceceran. Serpihan kaca dan kayu berserakan. Warga mulai membersihkan trotoar.
Hilliard mencari informasi keberadaan anggota BPP lainnya. Dia mendapat kabar, Hutton tewas. Saat melihat-lihat lokasi, dua orang polisi muda bertanya pada dirinya. Warga yang melihatnya mulai diinterogasi berkata, Hilliard warga lokal dan orang baik.
“Jangan ganggu. Dia tinggal di sini dan tak apa-apa,” kata warga.
“Siapa nama Anda?” kata polisi.
“Charles Robbin,” kata Hilliard.
Ia memberikan nama palsu. Polisi melanjutkan pemeriksaan. Lalu, ia disuruh masuk ke mobil dan dibawa ke kantor polisi. Kepala polisi melihat kedatangan Hilliard. Dia langsung berkata pada dua polisi muda tersebut.
“Ih, goblok kalian. Memang kalian tidak tahu, ini salah satu dari pemimpin mereka,” kata pimpinan polisi.
Setelah itu, dua polisi tersebut, mulai memukuli Hilliard. Seorang polisi kulit hitam datang dan melerai. “Dia orang baik, jangan dipukul. Dia teman lama,” katanya.
Tapi, Hilliard tetap saja ditahan selama seminggu. Setelah itu, semua tuduhan dibatalkan. Dan, Hilliard dibebaskan.
Pada 1970, Hilliard mengikuti seminar di Aljazair. Sepulang dari seminar, polisi lokal dan FBI mengepung dan menahannya di Bandara.
Polisi berdalih, ada bukti baru dan akan menghukumnya. Polisi menemukan senjata dengan sidik jarinya. Mereka menemukan mobil berisi banyak senjata di dekat kantor BPP. Padahal, Hilliard sedang berada di rumah yang diserbu. Saat itu, tidak ada hubungan antara kejadian di rumah dan mobil di kantor BPP.
“Polisi sengaja mencari bukti-bukti baru untuk menjerat kami, agar bisa ditahan,” kata Hilliard. Kemudian, polisi mengusut dan menganggapnya bersalah, karena memukul polisi.
Hilliard diancam hukuman 6 bulan hingga 10 tahun. Ia bertanya, kenapa hukuman selama itu? Padahal, polisi tak punya dasar menghukumnya. Akhirnya, ia menjalani hukuman, tiga tahun sepuluh bulan.
Selama di penjara, anggota FBI mendatanginya. Mereka menawarkan Hilliard uang 50 ribu dollar, dan pembebasan bagi dirinya. Syaratnya, Hilliard harus memberikan informasi kegiatan BPP. Tapi, ia menolak.
Aparat tak putus asa. Mereka menambah uang 10 ribu dollar, kalau Hilliard mau jadi informan. Hilliard kesal dan berkata, “Anda mau tahu apa lagi? Semua sudah Anda ketahui mengenai organisasi ini.”
Hilliard tak mau jadi informan polisi dan menghianati organisasinya. Suatu ketika, anggota FBI datang dan mengatakan, ia bisa pulang. Hilliard dapat keringanan hukuman. Tapi, ia sudah terlanjur mendekam di penjara.
Lalu, ia bertanya, kenapa boleh pulang? Polisi menjawab, karena BPP sudah tak ada kegiatan. Pada 1974, BPP bubar. Jaksa Agung dan Presiden Richard Nixon menyatakan, BPP tak ada lagi.
Hilliard tak tahu, siapa penghianat yang memberitahu polisi, saat mereka berkumpul di rumah tersebut. Mereka dijebak orang dalam salah satu mobil. Sampai sekarang, ia tak tahu siapa dia. “Saya ingin tahu orang itu, “ kata Hilliard.
Penyerbuan itu terjadi, dua hari setelah Dr Martin Luther King dibunuh pada 4 April 1968, di Memphis, Tennessee.
Rumah yang diserbu polisi, masih berdiri hingga sekarang. Orang yang punya rumah, tahu sejarah dan kejadian tersebut. Dia tak memperbaiki rumah itu seluruhnya. Ada bagian-bagian yang kena peluru, dibiarkan apa adanya. Dulu, rumah itu banyak lubangnya.
“Ada sekitar 1.300 butir peluru bersarang di rumah itu,” kata Hilliard.
SEJARAH BERDIRINYA BPP
Black Panther Party (BPP) berdiri di Oakland, San Francisco, California, 15 Oktober 1965. Nama awalnya, The Black Panther Party for Self-Defense. Black Panther untuk mempertahankan atau menjaga diri. Pendirinya, Huey P. Newton dan Bobby Seale. Struktur awal organisasi partai, diisi Huey P. Newton sebagai Presiden. Bobby Seale, Wakil Presiden. Eldrigde Cleaver menjabat Menteri Informasi. David Hilliard sebagai Ketua Staf Organisasi.
“Kalau Partai Republik punya simbol gajah. Partai Demokrat punya simbol keledai. Kita sebagai partai juga butuh simbol,” kata Hilliard.
Simbol BPP, macan hitam atau panther. Binatang yang suka menyerang. Artinya, menyerang untuk mendapatkan makanan dan mempertahankan diri. Panther memiliki makna, garang dan agresif.
Pergerakan BPP mulai ada, ketika ada sebuah gereja dibom pada 1965 di Birmingham, Alabama, AS. Zaman itu penuh dengan kekerasan. Karena itu, pergerakan berdiri demi kesetaraan ekonomi dan sosial.
Tujuan awal BPP berdiri, memperjuangkan hak dan kebebasan berbicara. Menghilangkan diskriminasi. Peluang mendapatkan pekerjaan bagi orang kulit hitam. Melindungi warga dari kebrutalan polisi dan rasisme.
“Pergerakan kami muncul, karena adanya ketidaksetaraan pada warga kulit hitam,” kata Hiliiard. Mereka yang terlibat kebanyakan anak muda. Umurnya, tak ada yang lebih dari 20 tahun.
Orang kulit hitam harus bangkit dan berjuang. Ada tiga penyebab ketertinggalan. Secara sistem, hukum dan budaya. Ada sistem yang tidak berubah. Ada ketidakadilan. Ada kemalasan. Ketiganya, jadi penyebab.
Secara budaya, orang kulit hitam datang sebagai budak. Kemudian dipaksa mengikuti dan mengadopsi budaya orang kulit putih atau barat. Mereka mungkin tidak siap. Dan, ini menjadi masalah secara kultur. Yang membuat orang kulit hitam, tak bisa menghadapi situasi dan kondisi budaya barat yang masuk.
Apalagi makin banyak komunitas dan bangsa yang menempati AS, semakin membuat orang kulit hitam sulit berkembang. Persaingan ketat membuat mereka semakin terjepit. “Sistem ini kelihatan ada perubahan, namun tidak. Banyak generasi muda tak bisa sekolah dan melanjutkan kuliah,” kata Hilliard.
BPP punya sepuluh program. Intinya, mendapatkan tanah, makanan, perumahan, pendidikan, dan pakaian yang layak. Menentukan nasib sendiri, keadilan dan perdamaian.
Salah satu kegiatannya, membagikan makanan gratis pada anak-anak. Terkadang sampai 10.000 ribu paket. Selama lima tahun, BPP bisa memberikan makan gratis pada 200 ribu anak. Pemeriksaan kesehatan juga dilakukan. Misalnya, tes keracunan timah. BPP lakukan cek darah hingga 500 ribu orang.
“Padahal BPP tidak punya uang dan fasilitas. Namun, kami bisa lakukan itu semua,” kata Hilliard.
Pada waktu bersamaan, pemerintah AS melakukan perang di Vietnam. Miliaran dollar terkuras. Hilliard menganggap, pemerintah tak melakukan tanggung jawab pada anak-anak itu.
BPP punya terbitan sendiri, The Black Panther. Koran itu menyebar hingga ke delapan negara. Pimpinan redaksinya, Eldridge Cleaver. Sirkulasinya bisa mencapai 250 ribu. “Media-media mainstream punya berita dan cerita sendiri. Media kita juga punya cerita dan berita sendiri,” kata Hilliard.
Koran juga dipasarkan di Oakland. Banyak orang membaca. Warga merasa lebih dekat. Pasalnya, koran bicara persoalan mendasar warga.
Setelah berdiri di Oakland, BPP terus merambah dan buka cabang di beberapa kota di AS. Pada 1968, terbentuk cabang di Los Anggeles, San Diego, Chicago, Boston, Pittsburgh, Detroit, Denver, Cleveland, Baltimore, Washington D.C., Newark, New York City, Seatle dan lainnya. Ada sekitar 45 kantor cabang. Awal pendirian anggotanya sekitar 400 orang. Lalu, terus berkembang lebih dari 5.000 orang.
Ada beberapa hal penting dalam gerakan ini. Mereka tak mau disebut black power, karena anggotanya tidak hanya orang kulit hitam. Juga tak mau disebut black militan, karena konotasinya negatif dan suka ciptakan kerusuhan. Mereka lebih senang disebut pejuang kebebasan.
Anggota dan pendiri BPP kaum terpelajar. Huey P. Newton pernah belajar di berbagai kampus terkenal di Amerika. Semisal, Universitas Stanford. Ia seorang doktor. Bobby Seale kuliah di Oakland City College. Hilliard lulusan Universitas Connecticut, jurusan filosofi dan agama.
“Jadi, kami bukan anak-anak jalanan atau punya latar belakang keras, seperti yang biasa digambarkan,” kata Hilliard.
Anggota BPP biasa berkumpul di rumah Bobby Hutton atau anggota lainnya. Mereka diskusi banyak hal mengenai permasalahan di Africa, Eropa, Asia, dan lainnya.
Untuk menjalankan organisasi, mereka mencari rumah sebagai kantor. Caranya? BPP mengerahkan anggotanya jual buku The Little Red Book. Buku itu mengenai revolusi merah di China yang dipimpin Mao Tse-tung.
Mereka menjual ribuan buku dalam dua hari. Buku dijual dan tawarkan pada teman-teman di kampus. “Kalian harus baca buku ini, karena ada 400 juta orang di China yang ikut gerakan sosialis yang dilancarkan Mao Tse-tung,” kata mereka.
Kantor pertama BPP, sekarang untuk berjualan roti. Pemiliknya, anak yang sering dapat makanan gratis dari program BPP.
Hilliard mengklaim, BPP organisasi pertama dari AS yang diundang ke China. BPP jadi semacam duta besar bagi Mao Tse-tung. Gerakan BPP memang mengarah ke China. Sebab, revolusi China merupakan contoh revolusi yang berhasildan efektif. Karenanya, BPP dengan negara dan orang China keturunan Amerika, menjadi kawan.
BPP tak jadikan revolusi di Iran sebagai contoh. Meski di negeri Mullah tersebut, juga contoh revolusi yang berhasil. Mereka lebih banyak mengambil contoh di China, Kuba, Afrika, dan Amerika latin. Alasannya, ideologinya berbeda.
Ideologi BPP, merupakan sejarah panjang sejarah dan perjuangan bangsa kulit hitam di Amerika, yang diterjemahkan melalui suatu kontradiksi dari alat proses produksi. Hal itu tak lepas dari sejarah panjang penindasan dan perbudakan, terhadap orang kulit hitam.
Kegiatan BPP melintasi berbagai belahan dunia. Ke China, Korea, Cuba, Afrika dan lainnya. “Dan, itu mengancam pemerintah AS. Oleh sebab itu, kami dianggap berbahaya oleh pemerintah,” kata Hilliard.
Karenanya, BPP dianggap musuh pemerintah, FBI, polisi lokal, dan CIA. Bahkan, seorang Direktur FBI, J. Edgar Hoover mengatakan, BPP merupakan ancaman nomor satu dalam negeri AS. Pada November 1968, FBI membentuk COINTEPRO, suatu badan kontra intelejen yang bertujuan melumpuhkan BPP.
Dalam masa pergerakannya, sebanyak 28 anggota BPP terbunuh dalam tembak menembak dengan polisi. Atau, penyergapan yang dilakukan. Ada anggota BPP dipenjara 40 tahun.
Hilliard punya alasan ikut organisasi. Ia percaya dengan pemikiran, orang muda yang bisa mengubah dunia. Ia punya teladan dan kagum pada tokoh gerakan. Semisal, Malcom X, Che Guevara dan Nelson Mandela. Hilliard kenal Malcom X. Setiap sore sepulang sekolah, ia biasa ketemu dengannya.
Selama beraktivitas di BPP, ia pernah ketemu banyak tokoh dunia. Salah satunya, pemimpin PLO, Yasser Arafat.
Banyak pengalaman menegangkan dalam hidup Hilliard. Ancaman pembunuhan. Pernah baku tembak dengan polisi. Di penjara tanpa alasan jelas. Dan, kenapa ia masih hidup sampai sekarang, ia pun tidak tahu.
“Mungkin Tuhan selamatkan nyawa saya,” kata Hillard, “yang pasti, kita sangat berkorban mendirikan organisasi ini.”
AKSI ANGGOTA BPP
Ada dua bangunan mendominasi Oakland. Gereja dan toko minuman keras. Dulu, sebagian besar rumah dan tanah di Oakland, dimiliki orang kulit hitam. Sekarang, banyak rumah di pinggir jalan dibeli orang kulit putih. Setelah dimiliki orang kulit putih, harga rumah dan tanah jadi mahal.
“Itu yang membuat orang kulit hitam merasa, ini sesuatu yang tidak adil,” kata Hilliard.
Begitu pun dengan bisnis dan kegiatan ekonomi di Oakland. Sebelum tahun 1970-an, hampir semua toko minuman keras dimiliki orang kulit hitam. Mereka punya 5-6 toko minuman. Yang dijual aneka minuman keras. Seperti, liquer dan liqour, bir, wine, sampagne, dan lainnya.
Walau toko-toko itu dimiliki orang kulit hitam, tapi supplier atau perusahaan pemasok minuman keras, tak mau pekerjakan orang kulit hitam. Oleh sebab itu, para pemilik toko berunding dengan pimpinan BPP, Huey P. Newton.
Newton mendatangi perusahaan dan bernegosiasi. Intinya, orang kulit hitam dipekerjakan. Pemasok minuman menolak. Anggota BPP melakukan protes, saat truk supplier datang bawa minuman ke Oakland. Orang BPP berkata, “Hei, jangan kirim barang ke sini. Kami tidak akan menerimanya.”
Kemudian, truk-truk itu kembali ke perusahaan mereka. Sopir katakan pada perusahaan, mereka tak bisa antar barang, karena didemo anggota BPP. Orang perusahaan pemasok menelepon wakil para pemilik toko.
“Anda mau apa?”
“Kami mau orang kulit hitam dipekerjakan.”
Dan, perusahaan supllier akhirnya menyetujui.
Newton berkata pada para pemilik toko, mereka mesti sumbang untuk program makanan gratis, bagi anak-anak di Oakland. Ada sekitar 170 toko minuman keras di Oakland. Mereka memberikan uang. Besarnya berfariasi.
Ada yang berikan 500 dollar. Newton ingin uang itu dikurangi. Sebab, selama masih ada anak-anak kekurangan makan, mereka akan buat program makanan gratis. Tapi, pemilik toko berkata, tidak apa-apa.
Ada satu toko tak berikan uang. Toko itu diboikot selama enam bulan, hingga hampir bangkrut. Pemilik toko datang ke BPP, memberikan uang bagi program makanan gratis. Newton berkata pada pemilik toko, supaya mendengarkan BPP. Bila tidak, mereka akan memberikan dampak politik ke pemilik toko.
Meski untuk kegiatan sosial, aksi BPP menuai protes. Ada yang tak setuju. Mereka anggap aksi BPP, ganggu bisnis orang kulit hitam juga. BPP tidak melihat, hal itu ada kaitannya dengan masalah rasial. Mereka tidak melihat orang kulit hitam, putih, coklat, atau lainnya.
“Sebab kalau mereka sudah mengekploitasi komunitas, harus kembalikan sedikit ke komunitas,” kata Hilliard.
Pada awal 1970-an, orang Arab mulai masuk ke Oakland. Sebagian besar dari Yaman. Mereka bawa uang. Banyak toko minuman keras dibeli. Orang kulit hitam hanya bisa bilang, “Ya, sudah, kalau memang kamu punya duit banyak dan bisa membeli toko, kita juga akan berikan.”
Hal ini menuai protes. Kenapa sebagai orang muslim, menjual minuman keras? Para pemiliki toko menjawab, mereka hanya menjual apa yang warga Oakland butuhkan. Begitu juga sebagian besar toko minuman keras di San Francisco, pemiliknya orang Lebanon.
Ketika Anda mengunjungi Oakland, di persimpangan lampu merah Jalan Market, St 5500 dan 55 St 900, akan terlihat plang berwarna kuning. Plang terbuat dari lempengan besi, ukuran 30 kali 30 cm. Plang berisi peringatan, pernah ada empat anak tertabrak mobil. Keempatnya meninggal. Di persimpangan itu, digantungkan sepatu anak korban tabrakan di atas lampu merah tersebut.
Hilliard beserta simpatisan warga di sana, melakukan demontrasi dan berkeliling wilayah itu. Mereka membuat petisi. Sebanyak 1.000 tanda tangan terkumpul. Isinya, pemerintah memasang plang tersebut. Usaha itu tak gampang. Hingga satu tahun lamanya, petisi itu baru disetujui pemerintah.
Tak hanya masalah sosial, aktivitas BPP pada bidang politik, juga besar pengaruhnya. Pada 1973, Bobby Seale calonkan diri sebagai Walikota Oakland. Lawannya, walikota yang masih menjabat dari Partai Republik. Sebanyak 70 persen suara orang kulit hitam, memilih dalam pemilihan walikota yang pernah dilakukan. Dalam berbagai pemilihan sebelumnya, tak sampai demikian besar keikutsertaan orang kulit hitam.
Meski kalah, Seale masih sanggup meraup 43.710 atau 40 persen suara. Dan, nomor dua dari sembilan kandidat. Seale menjadi calon dari Partai Demokrat. Hasil itu jadi kejutan tersendiri. Sebab, hampir 110 tahun, Oakland dikuasai Partai Republik.
Begitu juga ketika Hilliard mencalonkan diri anggota Dewan Kota di Oakland, 2006. Ia kalah. Pemenangnya perempuan Yahudi. “Yang menarik, saya tidak memakai uang sama sekali dalam kampanye. Saya hanya memakai warisan sejarah,” kata Hilliard.
Hilliard berkata, bila orang mau terjun sebagai politikus di AS, harus punya uang banyak untuk kampanye. Sekarang tak ada lagi BPP. Ada yang calonkan diri, tapi tak wakili BPP.
Pada 1974, BPP dinyatakan bubar. Tapi, pada 1989, muncul kelompok menamakan diri New Black Panther Party (NBPP) di Dallas, Texas. Pemimpinnya, Khalid Abdul Muhammad. Namun, kelompok ini tak diakui keberadaannya, dan dianggap tidak representatif menggunakan nama BPP, oleh para pendiri BPP.
AKHIR YANG TRAGIS
Dua orang keluar dari sebuah rumah, pada sebuah penghujung pagi, 22 Agustus 1989. Beberapa orang mengiringi. Dua orang itu, seorang anak muda dan pria setengah baya. Huey P. Newton keluar rumah bersama Tyrone Demetrius Robinson (22 tahun).
Begitu keluar dari rumah, Tyron tiba-tiba memukul kepala Newton dengan senjatanya. Saat pelatuk ditarik, senjata itu macet. Ia segera meraih senjata temannya. Saat mau ditembak, Newton masih sempat berkata, “Silakan bunuh saya. Tapi, semangat untuk kebebasan, tidak akan bisa hilang.”
Senjata meletus dua kali. Newton tersungkur ke tanah. Dua lubang menembus dinding kepala. Dia mati seketika. Selepas itu, anak-anak muda tadi, segera meninggalkan tempat kejadian. Jasad Newton ditinggal sendirian. Akhir yang tragis. Jalan West Oakland bersimbah darah.
Ketika BPP dinyatakan bubar, para anggota dan pemimpinnya, tak lagi berkecimpung di gerakan. Mereka terpencar dalam berbagai aktivitas dan usaha menyambung hidup. Mantan pemimpin BPP, Huey P. Newton jadi pecandu narkoba.
Lingkungan Oakland sangat mendukung aktivitasnya. “Tak adanya pekerjaan membuat sebagian besar pemuda menjual narkoba,” kata Hilliard.
Karenanya, Hilliard selalu bicara pada generasi muda, narkoba sangat berbahaya dan bisa merenggut nyawa. Mengenai pembunuhan tersebut, Hilliard berpendapat, terkadang di wilayah tersebut, orang bisa saja membunuh tanpa alasan. Lain halnya dengan Tyrone, dengan membunuh Newton, ia akan mendapat kehormatan di komunitasnya. Karena membunuh orang yang pernah jadi legenda.
Mumia Abu Jamal dalam bukunya berjudul Memberangus Keadilan menulis, menurut laporan, Huey dan Tyrone meributkan 14 ampul kokain dan 160 dollar. Tragisnya lagi, Tyrone adalah anggota Black Guerilla Family (BGF), sebuah cabang BPP yang berbasis di penjara. Semasa remaja, Tyrone sering sarapan di salah satu lokasi Program Sarapan Gratis BPP di Bay Area.
Tyrone dihukum 36 tahun. Dia mendekam di penjara Pelican Bay SHU, di mana ia mendapat kesempatan membaca tulisan-tulisan Huey, dan terilhami oleh kata-kata orang yang telah dibunuhnya.
Huey sanggup berdiri diri di masa yang kelam itu. Ia melawan kekuatan-kekuatan bersenjata, dan bertahan hidup. “Tindakannya merupakan teladan yang patut ditiru. Caranya menemui ajal adalah tragedi yang memilukan, caranya menjalani hidup sangat luar biasa,” kata Mumia.
Mumia jurnalis radio. Dia dihukum dengan tuduhan pembunuhan yang tak pernah dilakukannya. Tahun 1969, dia turut mendirikan dan menjadi menteri informasi di Cabang BPP di Philadelphia. Mumia pernah bekerja di penerbitan koran BPP di Oakand.
Sekarang ini banyak orang mengklaim, mereka pendiri BPP. Hilliard tak memedulikan itu. Ia terus berjuang dengan caranya sendiri. Ia dosen sejarah di Universitas Albuquerque, New Mexico. Hilliard menulis tujuh buku mengenai BPP, dan sejarah lainnya.
Yang ia inginkan dengan mengajar dan menulis buku, memberitahu sejarah yang pernah terjadi. “Kami tidak akan lupakan sejarah gerakan itu, tapi tidak akan meratap. Sebab mempelajari sejarah adalah sesuatu yang penting,” kata Hilliard.
Jadi, sejarah itu penting. Dengan melakukan penelusuran sejarah yang mereka alami, hal itu penting bagi pelajaran kedepan.
Sekarang ini kondisi makin buruk, karena tidak ada lagi gerakan seperti Martin Luther King. Tidak ada organisasi atau kelompok yang suarakan kepentingan mereka. Organisasi yang memberikan pendidikan, kesehatan, tergantung pada orang-orang tertentu.
Mengenang gerakan yang pernah menyuarakan mereka, tentu saja sesuatu yang baik. Tapi, hal itu juga tidak dengan tinggal diam, dan hanya meratapi masa lalu. Jadi, ia akan terus berjuang menghapus ketertinggalan. Salah satu cara, mendirikan Newton Foundation, memberikan pendidikan sejarah dengan mengadakan tour.
BPP pernah melegenda. Namun, ia tak meninggalkan jejak lanjutan dan semangat pembebasan, bagi generasi muda kulit hitam di Amerika. “Sekarang ini tak ada kesinambungan gerakan, antara orang tua dan generasi muda. Yang tinggal dari gerakan kita adalah budaya kekerasan,” kata Hilliard.
Sayang memang. Partai berlambang macan hitam tersebut, tak lagi terdengar dan diingat generasi muda di Amerika. Legenda yang menghilang. Tanpa jejak.
Dimuat di Voice of Human Right (VHR). Foto-foto oleh Muhlis Suhaeri
Posted by Muhlis Suhaeri at 4:20 AM 0 comments
Labels: politik