Wednesday, October 1, 2008

Kembali Suci Selamanya

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak

Hari Raya Idul Fitri merupakan perayaan yang dilakukan secara bersama sebagai bentuk kembalinya manusia pada kesucian, sebagaimana awal manusia diciptakan. Itulah inti dari khutbah yang disampaikan Dr. Aswandi, Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Tanjungpura (Untan), pada salat Idul Fitri di Masjid Mujahidin, Jalan A Yani, Pontianak, Rabu (1/10).

Kalimat fitri merupakan ajaran penting Islam. Bahwa, muasal manusia dilahirkan dalam keadaan suci dan bersih. Oleh karena itu, manusia bersifat hanif. Dalam artian, selalu merindukan dan mencari yang benar dan baik.

Kebenaran dan kebaikan sesuatu yang alami. Sedangkan, kepalsuan dan kejahatan tidak alamiah. Bertentangan dengan jati diri manusia yang ditetapkan Allah SWT.


“Jadi, inti dari perayaan Idul Fitri adalah, bersihnya kita dari dosa kepada Allah,” kata Aswandi. Dilengkapi dengan memohon maaf kepada sesama, serta saling memaafkan. Terutama kepada kedua orang tua, saudara dan saudari, dan para tetangga.

Pentingnya memohon maaf, tercermin dari doa malaikat yang diamini Nabi Muhammad SAW. Ketika itu, Beliau membaca khutbah kedua pada salat Jumat pada Ramadan. Yakni, tidak diterima ibadah puasa seorang hamba, ketika Idul Fitri tidak saling memohon maaf.

Hal itulah yang membuat manusia di seluruh penjuru dunia, berusaha balik dan kembali ke tempat asal mereka berada. Demi bersilaturahmi dan saling memohon maaf.

Kehidupan itu mempersyaratkan kondisi netral atau fase kesucian. Dosa kepada sesama, hanya dapat pengampunan dari Allah SWT, jika sesama manusia saling memaafkan. Karenanya, awal baru kehidupan hanif, hendaknya dimulai dengan merajut dan memantapkan kembali silaturahmi. Saling memaafkan, tanpa melihat status dan kedudukan dalam masyarakat.

Setelah mengalami masa pembinaan fisik dan mental menuju kesucian di bulan Ramadan, banyak manusia dengan mudah kambuh kembali kepada kebiasaan tidak baik yang pernah dilakukan. Ahli psikologi menjelaskan, fenomena kambuh kembali cenderung terjadi 80 persen, dalam waktu 90 hari. Sebanyak 60 persen kekambuhan berawal dari kesulitan emosional seperti perilaku tidak sabar dan tidak mampu menahan amarah.

Sekarang ini, rasa kemanusiaan semakin merosot. Beberapa tahun lalu, puluhan rektor berkumpul dalam suatu konferensi di Universitas Michigan, Amerika Serikat. Mereka tersentak dengan sebuah fenomena. Sekarang ini, manusia memiliki orang terdidik dan pintar yang jauh lebih banyak sepanjang sejarah. Setiap tahun memiliki lulusan dengan jenjang pendidikan lebih banyak. Namun, nilai kemanusiaan yang dimiliki, berpenyakit atau cacat. Tidak utuh.

Ini bisa dilihat dengan semakin banyak orang pandai, tetapi semakin sulit mencari orang jujur. Bernalar tinggi, tapi berhati kering. Sarjana pandai merekayasa dalam teknik, namun merayap dalam etik. Kaum intelektual pongah dengan pengetahuan, tapi kebingungan menikmati kehidupan.

Sekarang ini, manusia bukan hanya membutuhkan pengetahuan. Tapi juga kemanusiaan. Sesuatu yang bersifat spritual.

Kini, bulan Ramadan telah purna. Mulai hari ini, semua manusia memikul beban berat, mempertahankan kesucian yang telah diperoleh. Apalagi dengan momentum bakal diselenggarakannya Pilkada di Kabupaten Kubu Raya, Sanggau, Pontianak, dan di Kota Pontianak. Pada saat bersamaan, juga diselenggarakan persiapan Pemilu, memilih anggota legislatif dan presiden pada 2009. Dari pengalaman yang pernah terjadi, setiap penyelenggaraan Pemilu, sering menimbulkan konflik. Fitnah juga tumbuh subur di tengah masyarakat.

“Mulai saat ini, kita akan diuji oleh Allah SWT. Apakah termasuk golongan orang yang terus mensucikan diri, berzikir atau tetap mencintai dan mendahulukan hegomeni atau kesenangan dunia,” kata Aswandi.

Manusia pantas cemas. Berhati-hati. Memikirkan dan menjaga diri, setelah bulan Ramadan berlalu. Rasulullah sering merintih memohon ampunan. Padahal, Beliau manusia suci, dan insan yang sudah mencapai kesempurnaan.

Kesucian hati dan perbuatan, berhubungan erat dengan kesucian pikiran. Kesucian pikiran tergantung pada informasi yang dibentuk oleh pikiran tersebut. Baik yang diperoleh melalui pengamatan mata maupun telinga. □

Edisi cetak ada di Borneo Tribune 1 Oktober 2008
foto oleh Jessica Wuysang

1 comment :

djarot sujarwo said...

minal aidin wal faidzin
mohon maaf lahir bathin.

semoga silaturrahmi tetap terjaga.

salam
www.payjarotsujarwo.blogspot.com