Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Sambas
Peringatan Hari Kemerdekaan RI ke 63, baru saja dilaksanakan. Berbagai kemeriahan terhampar di hadapan. Ada berbagai pengibaran bendera merah putih. Perlombaan di tiap kampung, kota atau kabupaten. Semua itu, seolah menawarkan berbagai jawaban atas semangat kemerdekaan itu sendiri.
Kemeriahan tiap tahun yang selalu dilaksanakan, jadi jawaban atas hikmah kemerdekaan yang terproklamirkan. Namun, kemerdekaan juga menjadi acara seremoni, yang tak menyentuh, makna kata kemerdekaan itu sendiri.
Menyimak kata kemerdekaan, menarik sekali bila kita melihat saudara-saudara kita sebangsa yang tinggal di daerah perbatasan.
Ardine, anggota Kelompok Informasi Masyarakat Perbatasan (Kimtas) di Paloh, Sambas. Jaraknya sekitar 274 km dari Pontianak ke arah utara. Dia tinggal di Desa Temajok, Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas. Dari daerahnya, jalan kaki sekitar setengah jam ke perbatasan Malaysia. Teluk Melano, Serabang, Malaysia, merupakan daerah perbatasan terdekat dengan Paloh.
Masyarakat di sekitar perbatasan, sebagian besar hidup dari bertani, nelayan dan perkebunan. Sebagian besar hasil produksi pertanian dan nelayan dipasarkan ke dalam negeri atau untuk kebutuhan sendiri. Banyak kesulitan dialami masyarakat di daerah itu.
Penduduk sulit melakukan perluasan lahan, karena terbentur dengan masalah kawasan hutan, sehingga tak bisa digarap. Di sana ada wilayah hutan produksi dan taman wisata alam. Padahal, kawasan itu tanahnya baik untuk tanaman karet.
Dalam hal pertanian, juga terbentur dengan masalah pupuk, karena susah didapat. Kalaupun ada, harganya mahal sekali.
Nelayan susah melaut karena sulitnya memperoleh bahan bakar solar. Selain itu, solar juga mahal harganya, Rp 6.000. Selain itu, masyarakat masih menggunakan peralatan jaring tradisional, sehingga hasilnya tak seberapa.
Lebih parah lagi, kalau terjadi angin utara, sekitar Oktober - Januari. Masyarakat nelayan di Temajo, mengalami kesulitan pangan. Sehingga sebelum datang angin utara, mereka harus menabung sembako dan berbagai kebutuhan pangan, untuk jangka waktu empat bulan. Barang kebutuhan tidak bisa dibawa dari Sambas, karena angin besar dan gelombang tinggi.
Informasi di sepanjang perbatasan kurang sekali. Kalaupun ada informasi diperoleh tentang sesuatu hal, itulah informasi yang dianggap benar. Tak ada informasi pembanding. “Siaran-siaran dari Indonesia sulit tertangkap, sehingga informasi tentang Republik ini, kurang jelas,” kata Ardine.
Meski demikian, sikap masyarakat masih kuat dari segi NKRI. Namun, harus ada perhatian khusus. Daerah perbatasan, di satu sisi sebagai garda terdepan dari Indonesia. Di sisi lain, masyarakat serba kesulitan mendapatkan berbagai kebutuhan, transportasi dan ekonomi.
Sembako sangat sulit diperoleh dari Indonesia. Meski sejak tahun 1978, era Datu Musa Hitam sebagai Wakil Perdana Menteri Malaysia, warga di sepanjang perbatasan boleh melintasi perbatasan, dan membeli berbagai kebutuhan dari Malaysia, dengan nilai 600 ringit perbulannya. Jumlah itu tidak termasuk kayu, bahan tambang dan barang bekas.
Warga di sepanjang perbatasan, bisa masuk ke Malaysia dengan selembar surat dari rukun tetangga (RT). Biasanya untuk bertemu dengan sanak saudara atau belanja. Syaratnya, mereka tidak untuk bekerja atau ke kota besar di Malaysia. Namun, lalu lintas yang secara tradisional sudah terjalin itu, kadang dirusak aparat keamanan yang mau mencari keuntungan, bagi diri sendiri.
“Aparat keamanan menangkap orang Malaysia yang berkunjung ke Indonesia,” kata Ardine. Bila hal itu terjadi, aparat keamanan Malaysia, juga melakukan pembalasan. Mereka menangkap warga Indonesia yang masuk ke Malaysia secara tradisional.
Meski secara infrastruktur mengalami kesenjangan dengan Malaysia, namun kondisi riilnya, masyarakat Indonesia masih memiliki semangat gotong royong yang kuat. Hal itulah yang membedakan dengan Malaysia.
Menurutnya, pemerintah harus memberikan perhatian khusus, dengan meningkatkan ekonomi masyarakat. Juga, membuat infrastruktur jalan yang baik, sehingga hasil pertanian, kebun dan nelayan bisa dipasarkan.
Sebagai gambaran, jalan raya dari Teluk Melano, Malaysia ke tapal batas di Indonesia, selebar 12 meter. Sementara dari Indonesia, lebar jalannya hanya 3 meter. Itupun, baru dibangun dua tahun terakhir. Jalan sebelumnya, hanya bisa dilalui dengan jalan kaki.
Meski demikian, masyarakat di perbatasan masih cinta Indonesia. Meski demikian, harus tetap diberikan motivasi dan penyuluhan hukum. Sehingga masyarakat memahami UU dan aturan Indonesia. “Kalau tidak, masyarakat akan larut dengan aturan negara Malaysia. Dan luntur idealisme dan nasionalisme kebangsaannya,” kata Ardine.
Misalnya, adanya Pos Lintas Batas (PLB), kadang dianggap remeh saja, sehingga batas negara tak ada lagi. Selain itu, pemerintah harus menjaga masalah patok batas yang ada di sepanjang perbatasan. Batas negara harus jelas.
Tenaga pendidik di perbatasan harus diperhatikan. Untuk mengambil gaji, bisa habis di perjalanan, karena sulitnya daerah yang harus dilalui.
Masyarakat di sepanjang perbatasan harus diberikan ketrampilan, sehingga bisa mandiri. Terutama yang berkaitan dengan komoditas ekspor. Begitu juga dengan masalah persediaan bahan bakar, harus tetap ada, sehingga masyarakat bisa melaut.
Sampai saat ini, loyalitas masyarakat terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di sepanjang perbatasan di Sambas, tanpa syarat. Warga tetap cinta Indonesia. Kedepannya, harus dibina terus. Misalnya dengan koran, TV, dan radio masuk perbatasan.
Masyarakat perbatasan tak menikmati listrik. Ketika pemerintah Malaysia akan memberikan aliran listrik, masyarakat tak mau. Alasannya, gengsi dan menjaga martabat bangsa. Mereka memakai solar cell, atau energi berbasis tenaga surya.
Begitu juga dengan pendidikan dan kesehatan. Pemerintah Malaysia membuka seluas-luasnya kesempatan bagi warga Indonesia di perbatasan, untuk datang ke Malaysia. Namun, masyarakat kurang merespon. Ada kekhawatiran, mereka nanti menjadi sangat tergantung dengan Malaysia.
Untuk menumbuhkan sikap cinta pada tanah air, setiap tanggal 17 Agustus, pada upacara bendera dan peringatan hari Kemerdekaan RI, masyarakat mengundang tokoh dari Malaysia, untuk datang dan melihat upacara. Masyarakat juga mengenalkan budaya Indonesia, kepada tokoh masyarakat yang datang. Dengan cara itu, diharapkan warga Malaysia, tahu tentang berbagai budaya Indonesia.
Namun, sikap patriotisme itu, hanya dimiliki generasi orang tua di sana. Sekarang ini, generasi muda, kurang punya sikap itu. Mereka lebih tertarik, bagaimana cara mendapatkan uang dengan mudah. Karenanya, banyak yang pergi ke Malaysia, dan bekerja di sana.
Dalam sebuah seminar perbatasan yang diprakarsai Forum Rektor di Pontianak, 16-17 Mei 2008, sebuah makalah dari Balitbang Dephan, berbicara mengenai pengembangan kawasan perbatasan.
Menurut makalah tersebut, pengelolaan wilayah perbatasan belum dikelola secara terpadu, termasuk di bidang pertahanan. Sehingga bila terus dibiarkan, akan menjadi ancaman bagi integritas dan keutuhan NKRI. Permasalahan yang dihadapi merupakan akumulasi dari terbatasnya sarana dan prasarana dasar dan pendukung, termasuk sarana di bidang pertahanan. Yang akhirnya, berdampak kepada kondisi sosial, ekonomi, pelayanan publik, kriminalitas dan pertahanan.
Kebijakan pengelolaan wilayah perbatasan, mensyaratkan adanya kesamaan dan penyatuan visi dan misi yang dapat dievaluasi. Bersifat holistik. Berkelanjutan dan mampu mengintegrasikan semua instansi terkait. Karenanya, mesti segera disusun payung hukum kebijakan terpadu, pengelolaan wilayah perbatasan. Caranya, dengan mensinergikan berbagai peraturan perundang-undangan terkait
Sebagai penjabaran dari kebijakan terpadu tersebut, perlu disusun rencana aksi terpadu per wilayah dalam jangka panjang dan jangka pendek. Tujuannya, mensinergikan berbagai kegiatan dari instansi di tingkat pusat maupun daerah.
Agar pengelolaan wilayah perbatasan dapat terlaksana secara komprehensif, perlu segera dibentuk suatu badan tersendiri yang menangani. Badan ini dikoordinir oleh seorang Menko.
Begitulah masalah konsepsi dan realitas sebuah perbatasan, yang hingga kini masih menyisakan berbagai permasalahan.
Orang seperti Ardine, dan masyarakat di sepanjang perbatasan lainnya, tak terlalu muluk dalam menuntut haknya sebagai warga negara. Kedepannya, ia berharap, kawasan perbatasan harus dikompromikan dengan masyarakat, sehingga bisa dimanfaatkan demi kesejahteraan.
“Kita harus mampu bersaing dengan negara tetangga. Kalau mampu menyaingi, masyarakat tidak akan pergi ke Malaysia,” kata Ardine.
Meski kondisi hidup di perbatasan masih sulit dan susah, Ardine, masih mencintai Indonesia. Negeri yang telah mendamparkan mereka dalam sebuah keterpurukan dan keterasingan.▪
Edisi cetak ada di Borneo Tribune tanggal 19 Agustus 2008
Foto Muhlis Suhaeri
Tuesday, August 19, 2008
Bertahan dalam Luka di Perbatasan
Posted by Muhlis Suhaeri at 2:45 AM
Labels: Pemerintahan
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment