Batam, (ANTARA News)
Jantung Kenji Nagai ditembus anak peluru dari arah bawah dada kanan dan keluar lewat punggung, kata dokter Kedubes Jepang seperti dikutip jubir Pemerintah Jepang Nobutaka Machimura, Jumat.
Nagai, Kamis, tewas diterjang anak peluru yang ditembakkan militer Myanmar dari jarak dekat di Yangon. Nagai, 50, adalah wartawan televisi untuk Asian Press Front yang berbasis di Tokyo
Ia menjadi wartawan media asing pertama yang tewas di medan peliputan sembilan hari aksi para biksu dan kelompok prodemokrasi Myanmar menghadapi junta militer yang berkuasa di negara itu.
AFP yang dikutip Chanel News Asia memberitakan, Pemerintah Jepang akan melancarkan protes dan menyelidik apakah Nagai dibunuh secara sengaja.
Sementara itu Televisi Fuji mengatakan Nagai dibunuh secara sengaja, bukan akibat peluru nyasar.
Nagai, 50, adalah wartawan televisi untuk Asian Press Front yang berbasis di Tokyo dan telah berpengalaman meliput di beberapa daerah panas dan berbahaya.(*)
Edisi cetak ada di Borneo Tribune 28 September 2007.
Friday, September 28, 2007
Dokter: Peluru Tembus Jantung Nagai
Posted by Muhlis Suhaeri at 10:58 AM 0 comments
Labels: Pers
Sunday, September 16, 2007
Menulis Buku itu, Asyik Tak Asyik
Oleh: Muhlis Suhaeri
Ketika diminta menuangkan pengalaman menulis buku, awalnya aku agak keberatan. Khawatir dibilang narsis, atau membanggakan diri sendiri. Namun, setelah dipikir lagi, apa salahnya berbagi pengalaman. Siapa tahu, dari apa yang ditulis, ada makna dan berguna bagi orang lain.
Menulis identik dengan profesi jurnalis, cerpenis, novelis, penulis skenario dan lainnya. Tak apa, karena profesi-profesi itulah yang mewajibkan orang untuk selalu menulis.
Ada dua arus besar dalam dunia penulisan. Menulis fiksi dan non fiksi. Fiksi adalah cerita berdasarkan rekaan atau khayalan dan pikiran. Non fiksi adalah cerita berdasarkan kenyataan. Nah, cerpenis, novelis, penulis skenario termasuk dalam arus penulisan fiksi. Jurnalis sebagai penulis non fiksi.
Bagi aku, menjadi jurnalis adalah pilihan hidup. Pilihan dengan berbagai konsekwensi logis yang harus disadari dari awal. Harus berani memikul berbagai rangkaian kejadian, dan menyuarakannya. Ini ibarat memikul nasib banyak orang. Profesi sebagai jurnalis, juga bakal bersinggungan dengan kepentingan politik, sosial, ekonomi, budaya, Hankam, dan lainnya.
Ketika sudah memutuskan hidup sebagai jurnalis, tentunya harus mempersiapkan diri dengan berbagai bekal. Seperti, kemampuan dasar menulis harus ada. Harus selalu memperbaharui diri dengan membaca. Membaca tidak hanya dari bacaan formal dan literer seperti buku. Namun, juga harus selalu membuka mata dan mendengarkan berbagai kejadian di masyarakat. Kegiatan itu merupakan bagian dari membaca yang harus dilakukan seorang jurnalis.
Nah, dalam menekuni suatu profesi, seseorang tentu saja ingin mencapai puncak profesi yang digeluti. Puncak itu bisa berupa jabatan strategis dalam perusahaan atau kekaryaan. Bagiku, puncak profesi seorang jurnalis adalah, ketika bisa membuat liputan dahsyat dan menggemparkan. Liputan yang bisa membongkar suatu kasus dan merubah kebijakan pemerintah. Dan tentu saja, puncak profesi menjadi jurnalis adalah menulis sebuah buku.
Sebelum membuat buku, tentunya ada tahapan yang harus dilakukan. Aku pernah membantu riset, menjadi reporter, investigasi untuk penulisan buku beberapa buku.
Selepas memiliki pengalaman itu, aku mencari peluang dan memanfaatkan waktu, untuk membuat buku. Ketika masanya tiba, aku meninggalkan profesi dan rutinitasku di satu media. Menulis buku perlu konsentrasi khusus. Butuh kesabaran dan ketekunan. Harus fokus dengan apa yang dilakukan.
Ketika itu, buku yang kutulis berjudul, “Biografi Benyamin: Muka Kampung Rejeki Kota.” Ini buku biografi tentang Benyamin S, seorang aktor, penyanyi dan pelawak. Bagi orang yang hidup di era 70-90an, rasanya tidak mungkin kalau tak mengenalnya.
Aku dan Ludhy Cahyana menulis buku ini. Penerbitnya, Yayasan Benyamin S. Buku itu mempunyai 550 halaman. Buku Benyamin S diedit oleh Agus Sopian. Sekarang ia menjadi Redaktur Pelaksana di Harian Jurnal Nasional, Jakarta.
Ketika pertama kali menulis buku Benyamin, ada satu kendala segera menghadang. Bagaimana tidak, Benyamin S sudah meninggal 10 tahun silam. Benyamin meninggal pada 5 September 1995.
Pekerjaan ini cukup sulit, tapi juga menantang. Aku suka dengan berbagai tantangan dan hal baru. Bagiku, bila pekerjaan sudah tidak memberikan tantangan dan hal baru, lebih baik meninggalkan tempat itu, sebelum layu dan membusuk.
Hal pertama yang harus kami lakukan adalah, melakukan riset sebanyak mungkin tentang Benyamin S. Riset dilakukan melalui koran, majalah, buku, buletin, film, dan lainnya. Berbagai perpustakaan di Jakarta, dan perpustakaan media massa aku kunjungi.
Setelah mendapatkan bahan sebagai riset, kami mulai membuat draf buku. Draf menjadi acuan bagi kita untuk menulis, bab per bab dari buku. Dari sana, kami mulai menyusun daftar narasumber yang harus diwawancara. Karena sumber utama sudah meninggal, maka kami membuat daftar dan menyusun sumber yang berada di sekelilingnya.
Sumber itu bisa dari istri, kakak, adik, anak, teman seprofesi, tetangga dan lainnya. Pokoknya, narasumber yang bisa menjadi bahan untuk menulis sang tokoh. Narasumber itu dikelompokkan dalam beberapa bagian. Tugasnya, memudahkan dalam penulisan.
Setelah semua riset terkumpul, bahan itu dikelompokkan dan dibagi per bab, sesuai dengan draf buku yang kita buat. Dari hasil riset inilah, dibuat daftar pertanyaan untuk narasumber. Dengan segudang riset dan daftar pertanyaan, kita pun menjadi percaya diri sebelum ketemu narasumber.
Namun, apakah bekal itu cukup untuk ketemu narasumber?
Tentu saja tidak. Narasumber memiliki karakteristik berbeda. Ada orang yang punya sikap pendiam. Terbuka. Juga ada yang tertutup. Menghadapi berbagai karakteristik narasumber seperti ini, perlu teknik tersendiri. Intinya adalah, empati. Bahwa, apa yang kita lakukan adalah, untuk mendokumentasikan sejarah.
Saat melakukan wawancara untuk buku Benyamin S, sebagian besar narasumber sudah berusia senja. Mereka adalah para selebriti tempo dulu. Seperti, Ida Royani, Elya Kadam, Ida Kusuma, Aminah Cenderakasih, Rima Melati, Conny Sutedja, dan lainnya.
Ada kelebihan dan kekurangan, ketika wawancara dengan para selebriti kawakan ini. Kelebihannya, mereka sangat menghargai dan tahu, bagaimana cara membina hubungan baik dengan pers. Orang yang sudah makan garam dengan berbagai pengalaman, biasanya lebih rendah hati dan menghargai orang. (Bukan berarti selebritis muda dan remaja, tidak menghargai pers). Sikap mereka juga bersahabat. Meski begitu, ada juga kekurangannya. Mereka banyak yang lupa dengan kejadian dan detail dari satu peristiwa.
Sehingga, ketika semua wawancara dari tape recorder ditranskrip, ada berbagai data dan peristiwa saling bersilangan, satu dengan lainnya. Terutama mengenai tahun, bulan, dan tanggal. Dan ini, tentu butuh kerja keras, untuk mencari dan menentukan, mana yang benar.
Ketika semua bahan tulisan sudah selesai, bukan berarti pekerjaan sudah rampung. Bagaimana pun, buku itu harus dicetak. Kita juga harus mengerti seluk beluk percetakan. Mana penerbit bagus, dan mana yang kacangan. Ketika tidak ada uang untuk mencetaknya, buku harus ditawarkan pada penerbit. Tidak mudah untuk itu. Penerbit punya kwalifikasi tersendiri, terhadap naskah yang bakal diterbitkan.
Ketika Beni Pandawa (anaknya Benyamin) mengirimkan SMS, tertanggal 24 Oktober 2004, minta buku itu dicarikan penerbit, aku mendatangi penerbit Kompas di Pal Merah, samping gedung Kompas. Ketika itu, yang menerima naskah bernama Darmawan. Dia bagian divisi penerbitan Kompas.
Tak mudah suatu naskah buku masuk penerbit Kompas. Setahu saya, penerbit Kompas biasanya menerbitkan kumpulan tulisan dari wartawan Kompas sendiri.
“Tak apalah, namanya juga usaha,” pikirku ketika itu.
Setelah tiga bulan dibaca dan dikritisi oleh beberapa orang di penerbit Kompas, mereka menyatakan diri, untuk menerbitkan buku biografi Benyamin S. Namun, pihak keluarga dari Benyamin S, malah tidak mau. Mereka ingin menerbitkan buku itu sendiri. Aku malu sekali dengan pihak Kompas. Dan minta maaf berkali-kali dengan bung Darmawan.
Dalam perkembangannya, buku tersebut juga disebarkan sendiri di lingkungan mereka. Susah menemukannya di toko buku. Begitu pun dengan royalti dan bayaran yang kita terima. Semuanya tak jelas. Padahal, aku dan Ludhy Cahyana, sudah menghabiskan waktu setahun untuk menyelesaikan buku ini.
Dua buku biografi yang kutulis dengan seorang teman lainnya. Nasibnya juga sama. Tak jelas.
Jadi, yang ingin saya tekankan dalam cerita dan pengalaman ini adalah, kita harus punya perjanjian yang jelas, sebelum menulis suatu buku. Harus ada kontrak tertulis. Sehingga, ketika ada masalah, semua bisa dikembalikan ke perjanjian yang dibuat.
Buku yang agak menghibur dan membuat aku tetap semangat untuk selalu menulis adalah, “Di Balik Novel Tanpa Huruf R.” Buku ini tentang pembuatan film independen yang disutradarai Aria Kusumadewa. Sebagai bintang utama, Lola Amaria dan Agastya Kandauw.
Aria adalah teman yang enak diajak bergaul. Menghargai orang dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Makanya, begitu dia menawarkan untuk membuat liputan tentang film ini, aku segera menyanggupinya.
Membuat buku ini tak kalah menyerap energi. Selama tiga bulan penuh berada di lapangan. Melihat dan mendengarkan setiap peristiwa. Merekam dan mencatat setiap detail kejadian. Bahkan, dalam setiap dialog sekali pun. Malamnya, merangkai berbagai catatan tersebut.
Aku sangat antusias ketika membuat buku ini. Berada di lingkungn kreatif. Setiap saat harus berpikir dan berkreasi, merupakan tantangan yang mengasyikkan.
Ketika menulis buku ini, aku membuat catatan harian. Setiap hari mencatat berbagai peristiwa di lapangan. Merekamnya dan menuliskannya kembali menjadi satu rangkaian kejadian yang ditulis ulang.
Aku juga mempelajari berbagai karakter tokoh yang berada di lapangan. Melihat berbagai ekspresi sang tokoh. Melihat permasalahan yang muncul dan mendiskripsikannya dalam tulisan. Semua mesti dicatat dengan baik.
Awalnya, liputan ini untuk majalah Pantau. Pantau adalah majalah kajian media dan jurnalisme. Yang mengusung isu-isu media massa dan orang yang bekerja di dalamnya. Ketika naskah awal akan diterbitkan, majalah Pantau keburu tutup.
Pada akhirnya, semua uang tabungan harus dikerahkan untuk membiayai liputan ini. Lamanya liputan tentu saja berpengaruh pada uang yang harus dikeluarkan. Apalagi, ini liputan dengan area luas dan di beberapa tempat. Jakarta, Sukabumi, Bogor dan Tangerang.
Ketika film harus diedit, aku selalu menyertai prosesnya. Setiap detail gambar, suara, ekspresi dari artis dan pemain yang muncul, kami diskusikan. Semua diskusi itu juga harus kucatat. Selalu. Mencatat dan mencatatnya.
Dari ribuan dialog yang terjadi, aku harus merangkainya menjadi satu cerita yang utuh.
Menjahit kalimat demi kalimat. Dan melakukan konfirmasi ke semua orang yang terlibat di dalam pembuatan film itu. Tulisan itu juga mesti enak dibaca. Sehingga orang tidak bosan membacanya. Yang lebih penting lagi adalah, buku ini bisa menjadi acuan bagi para sineas muda yang ingin membuat film.
Ketika naskah buku sudah jadi, tahapan selanjutnya adalah mencari editor yang mengerti ruh, dari apa yang kita tulis. Fungsi editor penting dan menjadi pengarah dari apa yang kita tulis.
Aku memilih Linda Christanty sebagai editor. Linda seorang cerpenis. Dia memenangkan penghargaan penulisan Khatulistiwa Award. Sekarang ini, Linda menjadi editor untuk Sindikasi Pantau.
Ketika naskah sudah jadi, langkah selanjutnya mencari penerbit. Aku menawarkannya pada LKiS, Yogyakarta. Mereka tertarik dengan naskah ini. Penulis mendapatkan royalti 10 persen dari harga buku. Ini sepertinya, ketentuan umum dari penerbit yang ada di Indonesia.
Coba Anda bayangkan. Dengan uang yang telah dikeluarkan sekian banyak. Energi dan waktu sekitar satu tahun, rasanya uang kita sendiri yang bakal kembali melalui perolehan royalti, butuh berapa lama untuk impas? Apalagi dengan perputaran buku di Indonesia yang masih seret, seperti sekarang.
Jadi, dari cerita ini, saya ingin memaparkan. Seharusnya ada suatu kebijakan dari para penerbit, memberikan penghargaan lebih kepada penulis. Namun, penerbit sendiri juga tunduk pada distributor buku atau toko buku.
Bila kita hitung seratus persen, maka 40-50 persen untuk toko buku, 40-50 persen untuk penerbit. Sisanya, 10 persen untuk penulis.
Kalau buku itu berupa cerita fiksi yang tidak membutuhkan dana liputan dan wawancara di lapangan, mungkin saja 10 persen dianggap cukup. Namun, bagi buku yang butuh dana besar untuk liputan, dan wawancara di lapangan, angka 10 persen tentu susah baliknya. Ini, kalau kita bicara mengenai hitung-hitungan angka.
Tak heran, buku-buku non fiksi, kebanyakan dibuat oleh para peneliti, atau orang yang sedang menyelesaikan pendidikan S2, S3, atau sejenisnya. Hasilnya, dari penelitian itu kemudian dibukukan.
Ini merupakan satu cara murah bagi penerbit untuk mendapatkan naskah. Karena tak perlu mendanai suatu penelitian, untuk menghasilkan buku yang bakal mereka terbitkan.
Kalau kondisinya tetap seperti ini terus, kapan ilmu pengetahuan di Indonesia bakal maju. Karena tidak ada kepedulian dari pemerintah, masyarakat, pengusaha atau siapapun, untuk mengembangkan suatu penelitian bagi keberlangsungan suatu kapal bernama, Indonesia.
Bisa Anda bayangkan tidak. Bagaimana suatu bangsa berjalan tanpa penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Hasilnya, adalah suatu bangsa yang carut marut. Tidak percaya diri dengan kemampuannya. Bangsa yang kehilangan identitas dan jati diri.
Aku jadi memimpikan suatu kondisi, ketika para bangsawan Eropa mengirimkan para pemusik dan seniman ke berbagai negara di Eropa, untuk mendalami musik dan berbagai pengetahuan.
Kalau ada kondisi seperti itu di Indonesia, pasti menulis buku menjadi asyik dan menyenangkan. Bagaimana menurut Anda?□
Foto Muhlis Suhaeri, cover buku NTHR dan Benyamin S.
Edisi Cetak ada di Borneo Tribune, edisi 16 September 2007
Posted by Muhlis Suhaeri at 10:49 AM 0 comments
Labels: Resensi
Friday, September 14, 2007
Training Investigasi PPMN
Muhlis SuhaeriBorneo Tribune, Pontianak
Keberangkatan
Sebuah sore yang terik dan menyengat. Khas Kota Khatulistiwa. Sebuah pesawat lepas landas dari Bandara Supadio, Pontianak. Ketika hendak lepas landas, suara bising dan deru mesin pesawat, berpadu dengan goncangan. Kondisi itu seolah membekap penumpang di dalamnya. Setiap yang berjiwa, merapalkan doa. Memohon keselamatan dalam penerbangan yang dijalani.
Kekuatan cipta dan rekayasa teknologi manusia tersebut, melepaskan diri dari gaya gravitasi bumi. Pesawat lepas landas. Terbang dengan mulus membelah angkasa.
Dari atas terlihat, deretan hutan mulai menggundul terlihat pada jendela pesawat. Warna kehijauan itu terlihat bolong di banyak tempat. Seperti sarang tawon. Pemandangan khas lain muncul. Aliran Sungai Kapuas berwarna keruh dan kecoklatan. Bagai sang penari, aliran itu membuat liukan. Meninggalkan jejak dan membelah daratan. Pada setiap alirannya, deretan rumah dan pemukiman mengisi setiap pinggirnya.
Inilah pemandangan khas. Sungai Kapuas menjadi urat nadi bagi setiap kehidupan warga di Pontianak, khususnya dan Kalimantan Barat, umumnya.
Aku mulai membuka beberapa catatan yang sudah dikumpulkan. Catatan itu berisi, berbagai informasi, dan apa saja yang harus dilakukan, ketika tiba di Jakarta.
Perjalanan kali ini, untuk peningkatan kapasitas diri. Pelatihan jurnalisme investigasi. Informasi tentang pelatihan itu, awalnya dari satu mailing list (milis) yang kuikuti. Milis Pantau-Kontributor dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Isi milis, mengundang para jurnalis mengikuti pelatihan jurnalisme investigasi. Penyelenggaranya Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN).
Ada beberapa syarat harus dilakukan untuk mengikuti pelatihan ini. Sang jurnalis harus mengirimkan beberapa contoh karya liputannya, curriculum vitae (CV), dan rekomendasi dari orang yang dianggap berkompeten dalam bidang jurnalistik. Seorang rekan wartawan dari Inggris, Barry Lowe, melalui Nur Iskandar-Pemred Borneo Tribune, memberikan rekomendasinya.
Aku juga mengajukan dua nama untuk syarat rekomendasi. Andreas Harsono dan Agus Sopian. Dua orang itu, kawan, senior, dan guru semasa aktif menulis di majalah Pantau. Dua orang itu mempunyai kemampuan menulis dan kredibilitas di bidangnya, jurnalistik. Aku menghormati keduanya. So, jadilah, aku mengikuti pelatihan ini.
Selepas satu jam perjalanan, pesawat mendarat dengan mulus di Bandara Cengkareng, Jakarta. Aku menghela nafas lega. Lega, karena telah menyelesaikan perjalanan Pontianak-Jakarta dengan selamat. Lega, karena baru saja menunggu satu jam lamanya di Bandara Supadio. Penerbangan ditunda satu jam, lamanya.
Ada banyak kelegaan. Namun, kelegaan itu juga tak berumur lama. Karena, satu tahapan lagi mesti diselesaikan. Perjalanan menuju penginapan dan tempat dilaksanakannya pelatihan.
Aura dan kesemerawutan ibukota langsung hadir, begitu kaki meninggalkan bandara tersebut. Aku sudah lupa, entah sudah berapa kali perjalanan ini harus dilakukan. Namun, perubahan suasana tetap saja membuat psikologi, dan perasaan ikut larut. Suara klakson dan hilir mudik mobil, menciptakan dunianya sendiri. Semua saling sodok dan tak memberikan celah bagi yang ingin melaju. Ini pemandangan khas juga.
Dalam hitungan jam, dua pemandangan khas hadir. Dua pemandangan yang sifatnya kontradiktif atau berlawanan. Semua menciptakan karakternya sendiri. Begitu pun manusianya.
Dalam sekejap, kemacetan telah menghadang. Semua berjalan dan merambat pelan. Tak terasa, perjalanan itu telah menghabiskan dua setengah jam waktuku. Sekitar jam delapan malam, aku tiba di Hotel Harris.
Hotel itu terletak di Jalan Sahardjo, Tebet. Bangunan hotel penuh dengan warna orange. Segar dan energik. Hotel Harris termasuk hotel berbintang empat. Untuk menginap di sini, orang harus merogoh kocek sebesar US$ 60 dollar. Kalau mau dirupiahkan, kalikan saja dengan nilai tukar uang dolar yang berlaku.
Aku memperkenalkan diri pada petugas front office sebagai peserta PPMN. Begitu sampai di kamar hotel, seseorang telah berada di dalamnya. Aku mengenalkan diri. Pria itu bernama Erwinsyah. Dia redaktur di harian Medan Bisnis, Sumatera Utara. Erwinsyah menjadi wartawan sejak 1990.
Kami melewati malam itu dengan berbagai perbincangan. Mulai dari topik jurnalistik, pengalaman liputan, permasalahan aktual di daerah, politik, dan lainnya.
Malam telah larut, dan kami mulai terserang kantuk.
Perkenalan Peserta
PUKUL 6.00 WIB. Sepagi ini aku telah bangun. Bangun pagi merupakan bagian terlangka dalam hidup yang mesti kujalani. Aku biasa bangun jam sembilan pagi. Kalaupun lebih, ya, sedikitlah.
Segera saja, kran air panas kubuka. Semburan air panas mulai menelusuri badan. Membangkitkan rasa nyaman dan menghilangkan rasa kantuk yang masih menyergap. Selepas mandi aku langsung bergegas. Memakai pakaian dan memasukkan semua peralatan, buku dan lainnya.
Erwinsyah segera saja mandi. Selepas itu, kami turun ke Harris Cafe untuk makan pagi. Ada beragam menu. Namun, semua dalam bentuk prasmanan. Menu terbagi dalam Indonesian Food dan American Food.
Sembari makan, aku melepas pandangan ke segala ruangan. Mencari peserta lain dalam pelatihan yang sama. Selepas makan, aku langsung mendatangi beberapa orang yang menggantungkan tas putih bertulis PPMN. Aku langsung menyapa dan memperkenalkan diri. Selepas berbicara sebentar, aku merasa ada sesuatu yang kurang. Tak heran bila badang juga merasa gelisah.
Aha, ini suatu ritual yang mesti dilakukan selepas makan. Aku harus merokok. Ternyata, beberapa orang yang sedang berada di hadapanku, juga mengalami hal sama. Kami langsung mencari tempat merokok. Di dalam cafe tidak diperkenankan merokok. Kami ke samping kolam renang. Beberapa bangku nangkring di sana. Jadilah, bangku itu tempat nongkrong, bareng teman yang baru dikenal.
Perbincangan mengalir begitu saja. Pindah dari satu topik ke topik lainnya. Mulai dari isu-isu nasional, dan internasional. Sesekali, aku melempar isu lokal dan khas Kalbar. Meski begitu, aku juga tidak ingin menguasai perbincangan, saat membicarakan isu tentang Kalbar. Hanya ingin memancing, supaya isu dan permasalahan itu, jadi rencana pelaksanaan liputan media mereka, kelak.
Menjelang jam sembilan, kami bergegas menuju ruang pelatihan. Kegiatan dimulai dengan perkenalan. Setiap peserta memperkenalkan diri. Peserta terdiri dari jurnalis media cetak, TV dan radio. Dari media cetak, Erwinsyah dari harian Medan Bisnis, Medan. Palupi Annisa Auliani, harian Republika, Jakarta. Jamadi Darman, harian Ekspresi, Ambon. Wolter F.J. Pangalila, SKH Swara Kita, Manado, Sulawesi Utara. Munawardi Ismail, koresponden harian Waspada, di Aceh. Karel A. Polakitan, Yayasan Lestari, Manado. Dia dimasukkan dalam media cetak, dan satu-satunya dari LSM.
Para jurnalis TV, ada Bhayu Raharja Sugarda, ASTRO TV, Jakarta. ApriyantoCatur Irawan, Jawa Post TV (JTV), Surabaya. Thomas Herda Mepilian, Trans 7, Jakarta. Amrullah Andi Faisal dan Yusnandar, TV Kendari, Sulawesi Tenggara.
Dari radio ada Dimas Fuady, KBR68H, Jakarta. Tatik Yuniarti, KBR68H, Surakarta. Slamet Riyadi, KB68H, Semarang. F.X. Liliek Setyowibowo dan Bartolomeus Tatag Goenarto, Radio Sonora, Jakarta. Alex Tethool, radio HMS FM, Fak-Fak, Papua Barat.
Semua ada 18 orang. Ketika pendaftaran dibuka, ada sekitar 60 jurnalis yang melamar. Pada perkembangannya, tersaring oleh berbagai persyaratan, tinggal dua puluh orang. Dua orang mengundurkan diri.
Selain memperkenalkan diri, peserta juga memaparkan berbagai pengalamannya selama menjadi wartawan, dan mengapa mereka tertarik mengikuti pelatihan ini. Setiap peserta juga sudah menyiapkan bahan liputan investigasi yang bakal mereka kerjakan. Ada banyak tema yang bakal diangkat peserta, untuk liputan investigasinya.
Ada tema tentang kinerja pengadilan, illegal logging, perdagangan satwa langka, limbah rumah sakit, penyelewengan dana pengungsi, perambahan hutan untuk proyek energi, penyimpangan distribusi pupuk, korupsi di DPRD dan pemerintahan, perdagangan anak dan adopsi, prostitusi, kebakaran pasar, penggunaan bom ikan, dan lainnya.
Para peserta pelatihan merupakan jurnalis yang punya pengalaman minimal dua tahun lamanya.
Mereka juga mengisi berbagai bidang liputan yang spesifik di medianya.
Para Trainer
SELEPAS PARA peserta maju ke depan dan memperkenalkan diri, tiba gilirannya para pelatih melakukan hal sama. Para pengampu pelatihan ini terdiri dari empat orang. Wendi Bacon mentor bagi jurnalis cetak. David O’Shea, bagi jurnalis televisi. Kelly Mc Evers, bagi jurnalis radio dan Hasudungan Sirait, koordinator pelatihan.
Wendy Bacon jurnalis kawakan dari Australia. Perempuan ini lembut tatapan matanya. Dia pernah mendapat penghargaan bergengsi Walkley, untuk pengungkapan korupsi pejabat di New South Wales, Australia. Wendi pernah bekerja sebagai wartawati investigator untuk The National Times, The Sun Herald, program Minggu, Channel Nine: 60 Minute, dan siaran khusus luar negeri Dateline.
Wendy adalah asosiat profesor dan mengajar sejak 1991. Sekarang ini, dia mengajar di University of Technology, dan menjadi pelopor untuk pengajaran jurnalisme investigasi.Wendy melatih wartawan di Fiji, Papua dan Papua New Guinea. Dia anggota dewan The Australian Center for Independent Journalism. Wendy menjadi editor tamu the Pacific Journalism Reviev dan jurnal Sage: Journalism, Theory, Practice and Critism.
David O’She adalah murid Wendi. Dia menjadi jurnalis televisi video di TV SBS Australia, sejak 1998. David meliput berbagai gejolak di Indonesia, seperti, Timur Timor, kerusuhan Mei 1998. Laporannya berjudul Inside Indonesia’s War on Teror, mendapat penghargaan dan sebagai finalis penghargaan bergengsi, Warlkley Award for Investigative Journalism. Tahun 2003, dia dianugerahi Best Coverage of The Asia Pacific Region, untuk karya berjudul Big Mango in Litle Aceh. Tahun 2005, laporannya berjudul Aceh in Bed with TNI, sebagai finalis Walkley Award fot Investigative. Karya The Spanish Inquisition memenangi the Best Television Documentary dari United Nations Media Peace Prize, pada 2006.
David juga membuat investigasi tentang pembunuhan aktivis HAM, Munir. David sudah keliling dunia untuk berbagai liputan. Sekarang meliput berbagai berita internasional bagi program jurnalisme investigasi, Dateline, SBS. Pada pelatihan ini, David menjadi mentor para jurnalis televisi.
Kelly Mc Evers wartawati dari Amerika. Dia keliling dunia untuk berbagai liputan dan profesi jurnalistiknya. Kelly pernah bekerja di koran Sun, Fair fax, Waterloo, dan Chicago Tribune. Pindah ke Asia Tenggara bekerja di Pnom Penh, sebagai redaktur pelaksana di Surat Kabar Harian Kamboja. Menjadi koresponden BBC, Far Estern Economic Reviev, Ne York Times on the web. Menjadi produser radio indepeden di USA dan bekas negara Uni Soviet, dan Timur Tengah.
Kelly juga menjadi penulis lepas untuk Marketplace, Esquire, The New Republic, Slate, The New York Times Magazine, The San Fransisco Chronicle, dan lainnya. Dia juga menjadi pengajar pada sekolah jurnalisme di Armenia, Tbilisi, Georgia, California, Chicago, dan Pnom Penh.
Hasudungan Sirait bertugas sebagai koordinator program training. Hasudungan orang lama di Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Karena aktivitasnya sebagai aktifis dan mendirikan AJI, dia tidak diperkenankan bekerja di koran Bisnis Indonesia. Padahal, dia sudah tujuh lamanya di sana. Saat itu, kekuasaan orde baru masih galak-galaknya.
Selepas dari Bisnis Indonesia, dia bergabung di harian Neraca. Ketika majalah D&R buka, dia langsung dipercaya sebagai redaktur pelaksana. Sekarang ini, dia bergiat di Yayasan Jurnalis Independen (YJI) dan menjadi pengajar bagi para penulis. Dia menjadi trainer pada berbagai pelatihan jurnalis, terutama di berbagai daerah konflik di Indonesia. Seperti, Timor Timur, Aceh dan Papua.
Sebagai pembicara tamu adalah Toriq Hadad, Pemimpin Redaksi Majalah Tempo. Metta Dharmasaputra, Redaktur Utama Majalah Tempo. Dadi Sumaatmadja, Produser Senior Metro TV. Parulian Manullang, Redaktur Media Indonesia. Chalid Muhammad, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Adnan Topan Husodo, Koordinator Departemen Informasi dan Publikasi Indonesia Corruption Watch (ICW).
Para trainer dan pembicara tamu merupakan orang yang berpengalaman di bidangnya. Rasanya, sayang sekali melewatkan menit demi menit apa yang bakal mereka paparkan.
Pemaparan Materi Pelatihan
PEMBERI MATERI pertama adalah Chalid Muhammad. Chalid, Direktur Eksekutif WALHI Nasional. Dia orang yang energik. Banyak senyum dan bersahabat. Chalid memberikan berbagai cerita, teori, dan pengalaman praktek, ketika melakukan investigasi ke lapangan.
Menurutnya, investigasi merupakan serangkaian tindakan untuk mendapatkan data, informasi dan petunjuk, serta fakta dan keterkaitan satu peristiwa dengan peristiwa lainya. Investigasi juga bermakna, keterkaitan antara satu aktor dengan aktor lainnya, dan suatu atau serangkaian peristiwa tertentu.
Ia memberikan contoh. Dalam suatu peristiwa, biasanya ada orang terlibat di peristiwa tersebut. Orang ini mesti ditelusuri lagi, siapa nama-nama yang berada di balik keberadaannya.
Dalam melakukan suatu investigasi, hasilnya akan digunakan bagi kepentingan advokasi lingkungan hidup. Dengan cara itu, akurasi dan ketepatan data menjadi kunci penting yang harus dijaga.
Karenanya, ada tahapan yang harus dilakukan, sebelum melakukan investigasi. Harus dibentuk tim inti. Tim ini mesti memiliki sikap dan tujuan sama. Setelah tim terbentuk, harus menetapkan tujuan bersama. Dengan tujuan bersama itulah, tim harus melakukan koordinasi, bagi seluruh aktivitas advokasi. Dari sini, mulai dibuat dan merancang rencana strategis.
Ketika membuat rencana tersebut, harus ada identifikasi, siapa saja yang bisa diajak kerja sama. Dalam artian, bagaimana menggalang sekutu potensial. Sehingga bisa menjadi pusat informasi dan analisis kontekstual.
Tak hanya itu, dalam melakukan investigasi, harus membuat sinergi antara kegiatan dalam advokasi. Begitupun ketika semuanya sudah berjalan, harus melakukan monitoring dan evaluasi.
Fungsi tim juga memikirkan, bagaimana melakukan suatu pengorganisasian rakyat. Dari sana, muncullah identifikasi persoalan. Bagaimana merumuskan permasalahan bersama, dan mencari jalan keluar bersama. Justifikasi advokasi. Melakukan penguatan kembali pada rakyat. Dalam melakukan itu semua, harus ada sikap kritis dan berdaya. Kuat dan mandiri. Dan, pengurusan diri sendiri yang lebih demokratis.
Ketika menggalang sekutu, bisa bersifat taktis atau strategis. Dengan cara itu, bisa mendukung tujuan yang bakal dicapai. Galang sekutu juga memperbesar ruang dukungan. Mendapatkan suatu legitimasi, sehingga bisa meringankan beban di semua tingkatan.
Dalam melakukan investigasi harus ada rencana strategis. Sehingga ada suatu sesuatu untuk memperjelas mandat suatu tim inti. Dari sanalah, ada sesuatu bisa bisa dilakukan. Seperti, merumuskan visi, misi dan nilai-nilai dalam tim advokasi. Atau, ada analisis situasi eksternal dan internal. Identifikasi isu-isu strategis. Dari identifikasi yang dilakukan, selanjutnya merumuskan strategi untuk mengelola isu strategis. Harus merumuskan tujuan strategis dan menetapkan tindakan strategis.
Ketika semua data dan hasil investigasi mulai didapat, harus ada suatu upaya untuk menyebarkan informasi tersebut. Caranya dengan melakukan kampanye. Kampanye dilakukan dengan merumuskan berbagai strategi. Misalnya, dengan penggunaan media massa. Karenanya, harus membuka hubungan dan kontak dengan jurnalis. Tak hanya itu, harus ada suatu upaya untuk meyakinkan redaksi media tersebut, dengan kekuatan data dan analisis.
Dari data yang ada dibuat suatu rumusan isu fakta dan analisis dalam statemen pers. Setelah terbentuk statemen, mesti ada distribusi dalam bentuk siaran pers, atau melakukan konperensi pers. Bisa juga dilakukan dengan cara iklan layanan masyarakat. Bisa juga melalui iklan, advetorial.
Selain menggunakan media main stream, harus merumuskan strategi dan penggunaan media alternatif, dan menggunakan media yang tersedia. Atau, buat media sendiri yang dapat menarik minat publik dan mudah diakses. Sodorkan keragaman informasi, data, dan analisis yang dapat menjaga intensitas perhatian publik.
Tujuan dari investigasi, salah satunya mempengaruhi pembuat kebijakan dengan menyodorkan analisis yang kuat. Menunjukan bukti dukungan. Melakukan lobby secara intensif. Membuat draft alternatif atau memberi masukan atas draft yang ada. Melakukan suatu usaha dengan memperbesar opini di publik. Selain itu, ada suatu usaha dengan melakukan tekanan dengan massa.
Semua hasil yang telah dicapai, tentu saja harus ada suatu pengawasan atau monitoring dan evaluasi proses advokasi. Tentu saja harus melakukan perbaikan taktik dan strategi terhadap setiap tahapan, jika ditemukan urgensinya. Meski begitu, harus tetap konsistens dengan tujuan. Dan, yang tak kalah penting adalah, tujuan dari investigasi itu sendiri.
“Harus berorientasi pada perubahan sosial,” kata Chalid.
Menjaring Para Koruptor Ala ICW
Pembicara lain dalam pelatihan ini adalah, Adnan Topan Husodo. Dia anggota badan pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW). Adnan pernah melakukan investigasi dan membongkar korupsi di jajaran Departemen Sosial, dan Radio Republik Indonesia (RRI).
rMenurutnya, investigasi bertujuan bagi adanya suatu proses hukum. Dengan adanya proses hukum, fungsi dari investigasi mesti dilakukan. Investigasi juga menghendaki adanya suatu proses politik, dan kampanye penyadaran politik kepada publik.
Ada perbedaan melakukan kerja investigasi dengan kegiatan lainnya.
Beberapa gambaran umum mengenai investigasi, bisa digambarkan sebagai berikut. Kegiatan investigasi mengungkap kasus korupsi, berbeda dengan mengungkap tindak pelanggaran HAM. Atau, pelanggaran hukum lainnya.
Mengungkap korupsi, laksana menyusun permainan puzzle, atau merangkai suatu anatomi. Jejak suatu korupsi, lebih dapat dikenali dari dokumennya. Ini berbeda bila dibandingkan pada hasilnya. ”Belum adanya hukum pembuktian terbalik, membuat penanganan korupsi menjadi sulit,” kata Adnan.
Apa itu sistem pembuktian terbalik? Akil Mochtar dalam bukunya berjudul, ”Memberantas korupsi, efektifitas sistem pembalikan beban pembuktian dalam gratifikasi” menyebutkan, sistem pembalikan beban terbalik atau Reserval Burden of Proof (Omkering van het Bewijlast) merupakan suatu pola baru yang diadopsi dari sistem hukum Anglo Saxon.
Mengingat suap sebagai perbuatan korupsi, memiliki tingkat indikasi tertinggi, tetapi sangat terbatas keberhasilannya. Karena kondisi di Indonesia sudah luar parah terjadinya, maka pemberantasannya juga butuh cara luar biasa dan khusus. Yaitu dengan sistem pembalikan beban pembuktian. Dalam sistem ini, pembuktian dibebankan kepada terdakwa. Terdakwa sudah dianggap terbukti korupsi, kecuali jika ia mampu membuktikan dirinya tidak melakukan korupsi. Sistem ini sudah berhasil dilakukan di Inggris, Malaysia dan Singapura, tulis Akil Mochtar dalam bukunya.
Ada yang membedakan kejahatan korupsi dengan pidana lain. Hal ini bisa dilihat dari ada atau tidaknya kriteria yang berlaku. Dalam UU No 31/1999 Jo UU 20/2001, yang dimaksud dengan tindakan korupsi adalah, siapapun penyelenggara negara, PNS atau swasta yang memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi. Tindakan itu yang pasti dilakukan dengan melawan hukum dan merugikan keuangan, atau ekonomi negara.Ada beberapa jenis korupsi. Seperti, penyuapan, penggelapan, perbuatan curang, gratifikasi, memperdagangkan pengaruh, penyalahgunaan fungsi, dan pemerasan.
Setelah mengetahui, apa itu korupsi. Hal selanjutnya yang dilakukan adalah melakukan invetigasi. Menurut Adnan, ada beberapa tahapan yang harus dilakukan, sebelum melakukan investigasi. Pertama, melakukan pengumpulan data dan dokumen. Ada metoda mendapatkan dokumen atau informasi. Caranya, menggunakan perangkat teknologi internet, menggunakan langkah formal. Seperti, berkirim surat resmi, klarifikasi, dan konfirmasi. Bisa juga menggunakan informasi dari dalam. Mendapatkan dokumen juga bisa dilakukan dengan merekayasa kebutuhan dengan surat penawaran. Dari sini, disusunlah pemahaman dasar atas suatu kasus.
Kedua, melakukan pendataan terhadap kebutuhan suatu data. Ketiga, mendeteksi berbagai narasumber yang bisa menyediakan informasi. Keempat, membuat kategorisasi. Mana data yang relevan dan tidak. Juga, membuat suatu analisa komprehensif terhadap kasus tersebut.
Data dan dokumen ini merupakan informasi, bukti utama, pembanding dan pemberi keterangan tambahan. Atau, malah data yang tidak relevan sama sekali.
Pengumpulan data awal bisa dilakukan melalui internet, atau institusi pemerintah. Orang ini harus relevan dan mengetahui kasus yang bakal diinvestigasi. Data bisa berupa laporan resmi yang sudah dipublikasi.Sedari awal, harus membangun pemahaman awal dan mencari tahu, bahwa salah satu dari kriteria korupsi telah terpenuhi. Setelah itu, membuat suatu analiasa dan memperkirakan modus kasus, siapa saja yang terlibat, atau siapa aktor di balik peristiwa tersebut. Selain itu, harus mendiskusikan masalah dengan pihak yang memahami secara akademis maupun teknis.
Dalam melakukan investigasi, seseorang mesti menguasai ketentuan umum, pada kasus korupsi yang sedang ditangani. Misalnya, UU, Keppres, Peraturan Pemerintah (PP), Perda, dan lainnya. Mesti juga melibatkan voluntary expert. Yang memahami masalah-masalah lain, dan berkaitan langsung dengan isu korupsi. Misalnya, modus atau jenis korupsi yang kerap muncul. Untuk memudahkan pemahaman dan logika kasus, mesti menyusun skema dan bahan. Mendeteksi sumber, atau siapa pun yang memiliki potensi untuk memberikan informasi atau data.
Membangun kontak dengan narasumber dan menyimpan informasi, dengan menjaga hubungan baik terhadap siapa pun narasumber. Membuat suatu analisis dan memetakan konflik. Dalam hal ini, kita mesti tahu, apa motifasi seseorang ketika memberikan informasi. Apakah dia adalah orang yang kalah bersaing, konflik jabatan, konflik personal, atau lainnya.
Setelah semua diselesaikan, hal lain yang harus dilakukan adalah dengan melakukan analisa komprehensif dan pelaporan.Setelah investigasi menemukan berbagai fakta dan data, tentu saja harus ada pelaporan. Dalam menyusun pelaporan, harus dilakukan melalui beberapa cara. Salah satunya, menguji relevansi dari data dan fakta yang didapat. Ketika menemukan banyak dokumen, mesti disadari dari awal, bahwa banyaknya dokumen dan data yang diperoleh, tidak selalu membantu. Cara yang dilakukan untuk mempermudah kerja, dengan mengambil data dan dokumen yang masuk kategori data primer dan sekunder.
”Hasil investigasi pada akhirnya, terjadi perubahan struktur. Entah, itu struktur di pemerintahan atau di lingkungan jajaran hukum, pejabat dan lainnya,” kata Adnan Husodo.
Mengapa Liputan Investigasi?
ADA BANYAK alasan, mengapa wartawan ingin melakukan suatu liputan investigasi.Lucinda S. Fleeson menuliskan dengan apik tentang liputan investigasi dalam dua bukunya, Sepuluh Langkah Peliputan Investigastif dan Mengungkap Cerita di Balik Berita.
Lucinda adalah wartawan di Amerika yang mendapat kesempatan untuk mengikuti Knight International Press Felowship dan ditugaskan ke Centers for Independent Journalist di Budapest (Hungaria), Bucharest (Rumania), Bratislava (Slovakia) dan Praha (Republik Ceko).
Dalam bukunya Lucinda menulis, liputan investigasi lebih dari sekedar berita yang mengungkap korupsi dan tindak kriminal. Topik yang penting dan cocok untuk liputan investigasi, mencakup berita-berita yang menjelaskan bagaimana sebuah sistem bekerja atau justru gagal, atau merekonstruksi sebuah peristiwa yang kompleks.
Suatu liputan investigasi yang berhasil, didorong oleh berbagai hal. Salah satunya adalahorganisasi berita investigatif. Sulitnya melakukan liputan investigasi, mendorong berbagai media untuk membuat organisasi khusus di media tersebut. Organisasi ini terpisah tugasnya dengan tugas rutin keseharian wartawan lain. Mereka khusus mengerjakan liputan-liputan investigasi. Tim ini harus berada di lingkungan dan pola kerja yang kondusif. Dengan lingkungan yang kondusif, bakal menghasilkan berbagai cerita-cerita yang ambisius.
Menurut Lucinda, ciri organisasi berita investigatif yang berhasil, punya beberapa kriteria. Pertama, organisasi itu harus memiliki kehendak untuk memperluas ketersediaan sumber daya, membebaskan reporter dari tanggung jawab lain apabila diperlukan. Menanggung biaya perjalanan. Menempatkan redaktur investigastif secara khusus. Adanya dukungan informasi dari perpustakaan serta riset. Kedua, sistem mentoring dengan sejumlah figur berpengalaman. Ketiga, redaktur yang bersedia memberikan ruang untuk memuat cerita-cerita penting.
Toriq Hadad, Pemimpin Redaksi Majalah Tempo berpendapat, jurnalisme investigasi berhubungan erat dengan hak masyarakat untuk memperoleh informasi. Baginya, hasil dari liputan investigasi yang sifatnya pro dan kontra, dipakai untuk melayani kepentingan kelompok dan pemerintah.
Alasan Toriq untuk berada di dunia jurnalistik adalah, ”Kita tidak boleh jauh dari peristiwa-peristiwa yang terjadi. Karena suatu saat, itu yang akan menimpa keluarga dan kita.”Dalam hidupnya, ia selalu mengukur sesuatu secara praktis. Hal itu terjadi, karena dalam menjalankan hidup, dia merasa terus berjalan. Ketemu dengan berbagai tipe orang. Sehingga, segala sesuatu yang dilihat, akan disikapi dengan hal-hal praktis. ”Karenanya, saya tidak boleh jauh-jauh dari hal itu.”
Menurutnya, ketika melakukan liputan investigasi, tidak ada batas dalam melakukannya. Batasnya adalah ketika melakukan penulisan. Karena itu, hipotesa tidak boleh dibangun diawal tulisan. ”Jangan membuat prasangka diawal liputan,” kata Toriq.
Ketika melakukan liputan investigasi, terkadang banyak tarik menarik kepentingan. Terkadang, lawan politik, perusahaan pesaing, orang dalam, menggunakan wartawan untuk memukul pesaingnya. Karenanya, untuk mendapatkan berbagai narasumber, seorang wartawan harus bisa memanfaatkan celah dalam suatu perseteruan. Lawan politik, perusahaan pesaing, orang dalam, dan lainnya, merupakan narasumber potensial dalam suatu liputan investigasi.
Terkadang, ketika memberikan data dan informasi, mereka tidak mau disebutkan namanya. Kondisi ini biasa disebut sumber anonim. Nah, bagaimana dalam menyikapi sumber anonim? Dalam menyikapi sumber anonim, kredibilitas diukur dari bidang yang dibicarakan. Dari sanalah bisa menentukan, sumber anonim bisa digunakan atau tidak.
Toriq lebih banyak membicarakan berbagai etika jurnalistik yang harus dilakukan, ketika melakukan liputan investigasi. Dia memberikan berbagai studi kasus dan pengalaman lapangan, selama mendalami liputan investigasi. Dari berbagai pengalaman itulah, disimulasikan dalam bentuk diskusi dengan peserta pelatihan. ”Etika universal sifatnya. Tapi, lingkungan juga mempengaruhi hal etika,” kata Toriq.
Hingga sekarang, Toriq merasa tidak bisa jauh dari dunia investigasi. Di malajah Tempo, dia selalu memberi ruang bagi jurnalis, untuk melakukan liputan investigasi. ”Saya ingin membuat kenang-kenangan dalam perjalanan hidup saya, melalui karya jurnalistik investigasi,” kata Toriq.
Resiko Liputan Investigasi
METTA DHARMASAPUTRA, Redaktur di Majalah Tempo, punya cerita tersendiri mengenai liputan investigasi. Metta pernah melakukan liputan investigasi tentang penggelapan pajak yang dilakukan sebuah perusahaan sawit terbesar Indoensia di Medan.
Orang dalam di perusahaan tersebut, memberikan berbagai data kepadanya. Namun, orang ini juga mengalirkan uang perusahaan ke perusahaan fiktifnya. Pada perkembangannya, Metta malah dipanggil ke kepolisian, karena dianggap menyembunyikan tersangka. Telepon genggam Metta juga disadap. Segala perbincangan dan pesan singkat yang pernah dilakukan selama investigasi, beredar secara luas di masyarakat dan di print out.
Menurutnya, modal awal yang harus dilakukan untuk liputan investigasi adalah, meraih kepercayaan dari narasuber. ”Buat narasumber menjadi nyaman. Kuncinya adalah memberi empati (keberpihakan),” kata Metta.
Seorang jurnalis harus bisa meyakinkan sang narasumber, bahan hasil wawancara yang dilakukan, bakal berguna bagi masyarakat banyak. Dan, masyarakat berhak mengetahui kebenaran dari suatu peristiwa yang terjadi.
Investigasi ada dua sisi. Selain selalu fokus pada liputan investrigasi, perlu juga menguak tabir. Caranya dengan teori bubur panas. Menyisir data dan informasi dari berbagai sumber, dimulai dari tepi menuju inti persoalan.
Dalam melakukan liputan, wartawan harus selalu skeptis. Mempertanyakan terus data dan fakta yang ada. Seorang wartawan bakal berhubungan dengan berbagai data. Dari sinilah, wartawan investigasi harus bersahabat dengan data. ”Namun, jangan terjebak dengan data. Dan, harus dilihat, aliran uangnya ke mana,” kata Metta.
Melakukan liputan investigasi memerlukan dukungan media, tempat kita bekerja. Media harus mendukung melalui berbagai pendanaan liputan dan akses.
Terkadang, hasil dari investigasi menjadi sesuatu yang dianggap eksklusif bagi satu media. Sehingga, media yang lain tidak mengawal atau meliput kasus tersebut. Padahal, makna dari liputan investigasi, salah satunya adalah terjadinya perubahan suatu kebijakan atau struktur. Bila hal tersebut dilakukan secara bersama, tentu daya dobraknya lebih kuat dan keras, terhadap suatu kasus.
Meski begitu, suatu liputan investigasi, punya titik lemah. Titik lemah itu bisa berasal dari dalam dan luar media.
Titik lemah dari internal media, pertama, keterbatasan waktu dan liputan. Kedua, permasalahan di media dengan iklan. Dari eksternal media, pertama, perlindungan saksi dan keluarganya. Kedua, aparat korup dan ketidakseriusan pemerintah. Ketiga, kasus white colar crime kurang menjadi perhatian publik, ketimbang kasus politik. Keempat, ketersediaan dana dan akses data yang minim.
Selain itu, jurnalis investigasi, punya pekerjaan ekstra. Ini menyangkut etika, dan tanggung jawab seorang jurnalis pada orang yang telah memberikannya berbagai akses berita, dan data. Pekerjaan itu adalah, pertama, jurnalis mesti mengupayakan perlindungan sumber semaksimal mungkin, untuk keselamatan saksi dan keluarga. Memberikan bantuan hukum dan pendanaan. Kedua, melobi tokoh-tokoh kunci LSM, dan lainnya. Ketiga, keberpihakan pada media tersebut.
Dalam melakukan investigasi, satu hal mesti diingat. ”Jangan meremehkan bahaya yang sudah ada di depan mata,” kata Metta.
Jurnalis harus punya kesadaran sejak awal, bahwa media bukanlah pemegang monopoli suatu kebenaran. Kebenaran bisa jadi ada di tempat yang tidak pernah disangka.
Lalu, apa yang diharapkannya dari jaringan media yang ada di Indonesia, bagi perkembangan jurnalisme Investigasi? Metta berpendapat, media di Indonesia, harus mengembangkan suatu jaringan investigasi di Indonesia.
Di negeri yang carut marut ini, masih banyak pekerjaan yang mesti dirampungkan secara bersama oleh para jurnalis.
Membuat Pola Liputan
WENDY BACON perempuan paruh baya. Rambutnya mulai memutih. Sikapnya lembut dan penuh pengertian. Ia dari Australia, dan belum bisa bahasa Indonesia. Dalam berbagai diskusi yang dilakukan dengan para peserta latihan, ia selalu mendorong peserta, untuk mencari hal-hal baru dalam berbagai liputan yang bakal dilakukan.
Menurut Wendy, ada beberapa syarat liputan investigasi bisa berhasil. Sebuah cerita yang kuat, merupakan langkah pertama menuju keberhasilan liputan investigasi. Cerita yang kuat akan mengikat seseorang, untuk membaca tulisan yang dibuat. Apa yang membuat cerita menjadi kuat?
Pertama, ide cerita itu baru atau tidak. Hal itu akan membuat pembaca, pendengar atau penonton tertarik dengan liputan kita atau tidak. Sesuatu yang baru selalu membuat orang ingin mengetahuinya. Dalam melakukan liputan investigasi, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Yang juga penting adalah, apa yang sudah diketahui sekarang, dan apa yang belum diketahui nantinya.
Dengan mengetahui hal tersebut, ada prioritas dan targetan yang harus dilakukan ketika melakukan liputan. Selain itu, harus disadari pula, apakah sesuatu itu, sudah kita ketahui? Apa yang harus kita ketahui?
Kedua, seberapa penting cerita tersebut bagi para pembaca. Cerita yang penting akan memberikan bobot tersendiri pada liputan yang dikerjakan. Kalau tidak dijelaskan dengan panjang lebar, tentu tidak bakal jelas, mengapa suatu liputan menjadi penting atau tidak. Ketiga, apakah liputan investigasi yang direncanakan, punya peluang untuk dikerjakan.
Sebagus atau sepenting apapun suatu cerita dan liputan, bila tidak memungkinkan untuk dikerjakan, tentu saja tidak akan ada gunanya. Harus bisa mengukur diri dan kekuatan. Ini demi keberhasilan liputan. Kendala dan rintangannya harus sudah tergambar. Begitu juga dengan tingkat kesulitannya.
Apabila tiga pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan baik dan positif, berarti ada peluang untuk melakukan liputan.
Dalam melakukan suatu liputan investigasi, harus memulai dari sesuatu yang kecil. Misalnya, mendengar suatu rumor. Sebagai wartawan, maka harus melakukan cek dan cek ulang, terhadap suatu permasalahan. Kebenaran dari suatu rumor harus ditelusuri lagi. Benar atau tidak rumor tersebut. Rumor adalah berita yang belum jelas kebenarannya.
Untuk mencari suatu kebernaran, perlu disisir satu demi satu dari para narasumber. Dalam melakukan suatu wawancara, juga harus dipilih, mana sumber utama, sumber kedua, pembanding dan lainnya. Dengan pemilihan narasumber yang dilakukan, akan mempermudah pekerjaan yang dilakukan.
Ketika mengontak narasumber, harus dicatat terus. Dengan mencatat setiap hasil wawancara, data dan info terbaru bisa digunakan untuk melakukan konfirmasi dengan narasumber lainnya. Setiap info terbaru, merupakan langkah dan tahapan bagi peliputan dan penggalian fakta terbaru selanjutnya.
Yang harus dilakukan, apakah informasi yang disampaikan benar atau tidak. Liputan yang tidak bisa dipercaya, tidak akan menemukan tempatnya di pembaca. Untuk mendapat kepercayaan dari pembaca, butuh waktu. Tidak sekali jadi, sehingga orang percaya. ”Ketika orang sudah percaya kepada wartawan, mereka akan datang sendiri ke kita dan akan memberikan berbagai data yang diperlukan dalam liputan investigasi,” kata Wendy.
Dalam melakukan investigasi, harus menggunakan daftar nama, siapa saja yang harus dihubungi, dan membuat cabang-cabang nama dari daftar tersebut. Selain itu, mengambil daftar-daftar, keputusan apa saja yang bisa dibuat, dan keputusan itu harus dilihat.
Ketika melakukan liputan investigasi, harus ada keyakinan, bahwa ada energi yang cukup bagi liputan yang dilakukan. ”Pastikan, kita punya energi yang baik dalam melakukan liputan, karena hal itu akan dilihat,” kata Wendy.
Begitupun ketika mencari dan menulis suatu cerita, harus dicari satu karakter tokoh cerita yang kuat. Karakter yang kuat akan menghidupkan cerita. Dan cerita yang kuat, menjadi mesin bagi suatu liputan. Dalam menulis suatu cerita, lebih baik mengambil sudut pandang korban. Dengan cara seperti itu, jurnalis membuat orang lebih peduli.
Akhir dari suatu liputan investigasi adalah, siapa saja yang terlibat.□
Edisi Cetak ada di Borneo Tribune, 14 September 2007
Foto Lukas B. Wijanarko dan panitia
Posted by Muhlis Suhaeri at 11:09 AM 1 comments
Labels: Pers
Sunday, September 2, 2007
Bung Ayo Bung…..
Sikap mengalah berbatas tepi. Seiring waktu, toleransi berujung sikap. Ketika semua kesabaran telah mampat, satu jawaban harus terucap. Bung Ayo Bung……
Begitupun dengan kesabaran berbangsa. Ketika semua noda, petaka dan pelanggaran semakin menumpuk, semua harus bersikap.
Bergerak bersama melakukan tuntutan. Semua harus diakhiri.
Pun, ketika permintaan maaf atas pelanggaran tak pernah terucap. Jawabnya, Bung Ayo Bung…..
Siang itu, Kamis (30/8), dengan satu semboyan dan kebersamaan, semua bergerak menuju Konsulat Malaysia di Pontianak.
Mencari sumbu dan pemantik api, bagi jiwa yang terampas. Kesombongan dan sikap arogan, mesti disikapi. Dengan satu semangat.
Bung Ayo Bung….
Kini, ketika semua terkoyak dan harga diri sebuah bangsa mulai tersulut, semboyan dan gelora 62 tahun lalu itu, harus kembali disuarakan.
BUNG AYO BUNG…….
Fotografer : Lukas B. Wijanarko
Teks : Muhlis Suhaeri
Edisi Cetak ada di Borneo Tribune, 2 September 2007
Posted by Muhlis Suhaeri at 10:07 AM 0 comments
Labels: Essai Foto