Oleh: Muhlis Suhaeri
Ketika diminta menuangkan pengalaman menulis buku, awalnya aku agak keberatan. Khawatir dibilang narsis, atau membanggakan diri sendiri. Namun, setelah dipikir lagi, apa salahnya berbagi pengalaman. Siapa tahu, dari apa yang ditulis, ada makna dan berguna bagi orang lain.
Menulis identik dengan profesi jurnalis, cerpenis, novelis, penulis skenario dan lainnya. Tak apa, karena profesi-profesi itulah yang mewajibkan orang untuk selalu menulis.
Ada dua arus besar dalam dunia penulisan. Menulis fiksi dan non fiksi. Fiksi adalah cerita berdasarkan rekaan atau khayalan dan pikiran. Non fiksi adalah cerita berdasarkan kenyataan. Nah, cerpenis, novelis, penulis skenario termasuk dalam arus penulisan fiksi. Jurnalis sebagai penulis non fiksi.
Bagi aku, menjadi jurnalis adalah pilihan hidup. Pilihan dengan berbagai konsekwensi logis yang harus disadari dari awal. Harus berani memikul berbagai rangkaian kejadian, dan menyuarakannya. Ini ibarat memikul nasib banyak orang. Profesi sebagai jurnalis, juga bakal bersinggungan dengan kepentingan politik, sosial, ekonomi, budaya, Hankam, dan lainnya.
Ketika sudah memutuskan hidup sebagai jurnalis, tentunya harus mempersiapkan diri dengan berbagai bekal. Seperti, kemampuan dasar menulis harus ada. Harus selalu memperbaharui diri dengan membaca. Membaca tidak hanya dari bacaan formal dan literer seperti buku. Namun, juga harus selalu membuka mata dan mendengarkan berbagai kejadian di masyarakat. Kegiatan itu merupakan bagian dari membaca yang harus dilakukan seorang jurnalis.
Nah, dalam menekuni suatu profesi, seseorang tentu saja ingin mencapai puncak profesi yang digeluti. Puncak itu bisa berupa jabatan strategis dalam perusahaan atau kekaryaan. Bagiku, puncak profesi seorang jurnalis adalah, ketika bisa membuat liputan dahsyat dan menggemparkan. Liputan yang bisa membongkar suatu kasus dan merubah kebijakan pemerintah. Dan tentu saja, puncak profesi menjadi jurnalis adalah menulis sebuah buku.
Sebelum membuat buku, tentunya ada tahapan yang harus dilakukan. Aku pernah membantu riset, menjadi reporter, investigasi untuk penulisan buku beberapa buku.
Selepas memiliki pengalaman itu, aku mencari peluang dan memanfaatkan waktu, untuk membuat buku. Ketika masanya tiba, aku meninggalkan profesi dan rutinitasku di satu media. Menulis buku perlu konsentrasi khusus. Butuh kesabaran dan ketekunan. Harus fokus dengan apa yang dilakukan.
Ketika itu, buku yang kutulis berjudul, “Biografi Benyamin: Muka Kampung Rejeki Kota.” Ini buku biografi tentang Benyamin S, seorang aktor, penyanyi dan pelawak. Bagi orang yang hidup di era 70-90an, rasanya tidak mungkin kalau tak mengenalnya.
Aku dan Ludhy Cahyana menulis buku ini. Penerbitnya, Yayasan Benyamin S. Buku itu mempunyai 550 halaman. Buku Benyamin S diedit oleh Agus Sopian. Sekarang ia menjadi Redaktur Pelaksana di Harian Jurnal Nasional, Jakarta.
Ketika pertama kali menulis buku Benyamin, ada satu kendala segera menghadang. Bagaimana tidak, Benyamin S sudah meninggal 10 tahun silam. Benyamin meninggal pada 5 September 1995.
Pekerjaan ini cukup sulit, tapi juga menantang. Aku suka dengan berbagai tantangan dan hal baru. Bagiku, bila pekerjaan sudah tidak memberikan tantangan dan hal baru, lebih baik meninggalkan tempat itu, sebelum layu dan membusuk.
Hal pertama yang harus kami lakukan adalah, melakukan riset sebanyak mungkin tentang Benyamin S. Riset dilakukan melalui koran, majalah, buku, buletin, film, dan lainnya. Berbagai perpustakaan di Jakarta, dan perpustakaan media massa aku kunjungi.
Setelah mendapatkan bahan sebagai riset, kami mulai membuat draf buku. Draf menjadi acuan bagi kita untuk menulis, bab per bab dari buku. Dari sana, kami mulai menyusun daftar narasumber yang harus diwawancara. Karena sumber utama sudah meninggal, maka kami membuat daftar dan menyusun sumber yang berada di sekelilingnya.
Sumber itu bisa dari istri, kakak, adik, anak, teman seprofesi, tetangga dan lainnya. Pokoknya, narasumber yang bisa menjadi bahan untuk menulis sang tokoh. Narasumber itu dikelompokkan dalam beberapa bagian. Tugasnya, memudahkan dalam penulisan.
Setelah semua riset terkumpul, bahan itu dikelompokkan dan dibagi per bab, sesuai dengan draf buku yang kita buat. Dari hasil riset inilah, dibuat daftar pertanyaan untuk narasumber. Dengan segudang riset dan daftar pertanyaan, kita pun menjadi percaya diri sebelum ketemu narasumber.
Namun, apakah bekal itu cukup untuk ketemu narasumber?
Tentu saja tidak. Narasumber memiliki karakteristik berbeda. Ada orang yang punya sikap pendiam. Terbuka. Juga ada yang tertutup. Menghadapi berbagai karakteristik narasumber seperti ini, perlu teknik tersendiri. Intinya adalah, empati. Bahwa, apa yang kita lakukan adalah, untuk mendokumentasikan sejarah.
Saat melakukan wawancara untuk buku Benyamin S, sebagian besar narasumber sudah berusia senja. Mereka adalah para selebriti tempo dulu. Seperti, Ida Royani, Elya Kadam, Ida Kusuma, Aminah Cenderakasih, Rima Melati, Conny Sutedja, dan lainnya.
Ada kelebihan dan kekurangan, ketika wawancara dengan para selebriti kawakan ini. Kelebihannya, mereka sangat menghargai dan tahu, bagaimana cara membina hubungan baik dengan pers. Orang yang sudah makan garam dengan berbagai pengalaman, biasanya lebih rendah hati dan menghargai orang. (Bukan berarti selebritis muda dan remaja, tidak menghargai pers). Sikap mereka juga bersahabat. Meski begitu, ada juga kekurangannya. Mereka banyak yang lupa dengan kejadian dan detail dari satu peristiwa.
Sehingga, ketika semua wawancara dari tape recorder ditranskrip, ada berbagai data dan peristiwa saling bersilangan, satu dengan lainnya. Terutama mengenai tahun, bulan, dan tanggal. Dan ini, tentu butuh kerja keras, untuk mencari dan menentukan, mana yang benar.
Ketika semua bahan tulisan sudah selesai, bukan berarti pekerjaan sudah rampung. Bagaimana pun, buku itu harus dicetak. Kita juga harus mengerti seluk beluk percetakan. Mana penerbit bagus, dan mana yang kacangan. Ketika tidak ada uang untuk mencetaknya, buku harus ditawarkan pada penerbit. Tidak mudah untuk itu. Penerbit punya kwalifikasi tersendiri, terhadap naskah yang bakal diterbitkan.
Ketika Beni Pandawa (anaknya Benyamin) mengirimkan SMS, tertanggal 24 Oktober 2004, minta buku itu dicarikan penerbit, aku mendatangi penerbit Kompas di Pal Merah, samping gedung Kompas. Ketika itu, yang menerima naskah bernama Darmawan. Dia bagian divisi penerbitan Kompas.
Tak mudah suatu naskah buku masuk penerbit Kompas. Setahu saya, penerbit Kompas biasanya menerbitkan kumpulan tulisan dari wartawan Kompas sendiri.
“Tak apalah, namanya juga usaha,” pikirku ketika itu.
Setelah tiga bulan dibaca dan dikritisi oleh beberapa orang di penerbit Kompas, mereka menyatakan diri, untuk menerbitkan buku biografi Benyamin S. Namun, pihak keluarga dari Benyamin S, malah tidak mau. Mereka ingin menerbitkan buku itu sendiri. Aku malu sekali dengan pihak Kompas. Dan minta maaf berkali-kali dengan bung Darmawan.
Dalam perkembangannya, buku tersebut juga disebarkan sendiri di lingkungan mereka. Susah menemukannya di toko buku. Begitu pun dengan royalti dan bayaran yang kita terima. Semuanya tak jelas. Padahal, aku dan Ludhy Cahyana, sudah menghabiskan waktu setahun untuk menyelesaikan buku ini.
Dua buku biografi yang kutulis dengan seorang teman lainnya. Nasibnya juga sama. Tak jelas.
Jadi, yang ingin saya tekankan dalam cerita dan pengalaman ini adalah, kita harus punya perjanjian yang jelas, sebelum menulis suatu buku. Harus ada kontrak tertulis. Sehingga, ketika ada masalah, semua bisa dikembalikan ke perjanjian yang dibuat.
Buku yang agak menghibur dan membuat aku tetap semangat untuk selalu menulis adalah, “Di Balik Novel Tanpa Huruf R.” Buku ini tentang pembuatan film independen yang disutradarai Aria Kusumadewa. Sebagai bintang utama, Lola Amaria dan Agastya Kandauw.
Aria adalah teman yang enak diajak bergaul. Menghargai orang dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Makanya, begitu dia menawarkan untuk membuat liputan tentang film ini, aku segera menyanggupinya.
Membuat buku ini tak kalah menyerap energi. Selama tiga bulan penuh berada di lapangan. Melihat dan mendengarkan setiap peristiwa. Merekam dan mencatat setiap detail kejadian. Bahkan, dalam setiap dialog sekali pun. Malamnya, merangkai berbagai catatan tersebut.
Aku sangat antusias ketika membuat buku ini. Berada di lingkungn kreatif. Setiap saat harus berpikir dan berkreasi, merupakan tantangan yang mengasyikkan.
Ketika menulis buku ini, aku membuat catatan harian. Setiap hari mencatat berbagai peristiwa di lapangan. Merekamnya dan menuliskannya kembali menjadi satu rangkaian kejadian yang ditulis ulang.
Aku juga mempelajari berbagai karakter tokoh yang berada di lapangan. Melihat berbagai ekspresi sang tokoh. Melihat permasalahan yang muncul dan mendiskripsikannya dalam tulisan. Semua mesti dicatat dengan baik.
Awalnya, liputan ini untuk majalah Pantau. Pantau adalah majalah kajian media dan jurnalisme. Yang mengusung isu-isu media massa dan orang yang bekerja di dalamnya. Ketika naskah awal akan diterbitkan, majalah Pantau keburu tutup.
Pada akhirnya, semua uang tabungan harus dikerahkan untuk membiayai liputan ini. Lamanya liputan tentu saja berpengaruh pada uang yang harus dikeluarkan. Apalagi, ini liputan dengan area luas dan di beberapa tempat. Jakarta, Sukabumi, Bogor dan Tangerang.
Ketika film harus diedit, aku selalu menyertai prosesnya. Setiap detail gambar, suara, ekspresi dari artis dan pemain yang muncul, kami diskusikan. Semua diskusi itu juga harus kucatat. Selalu. Mencatat dan mencatatnya.
Dari ribuan dialog yang terjadi, aku harus merangkainya menjadi satu cerita yang utuh.
Menjahit kalimat demi kalimat. Dan melakukan konfirmasi ke semua orang yang terlibat di dalam pembuatan film itu. Tulisan itu juga mesti enak dibaca. Sehingga orang tidak bosan membacanya. Yang lebih penting lagi adalah, buku ini bisa menjadi acuan bagi para sineas muda yang ingin membuat film.
Ketika naskah buku sudah jadi, tahapan selanjutnya adalah mencari editor yang mengerti ruh, dari apa yang kita tulis. Fungsi editor penting dan menjadi pengarah dari apa yang kita tulis.
Aku memilih Linda Christanty sebagai editor. Linda seorang cerpenis. Dia memenangkan penghargaan penulisan Khatulistiwa Award. Sekarang ini, Linda menjadi editor untuk Sindikasi Pantau.
Ketika naskah sudah jadi, langkah selanjutnya mencari penerbit. Aku menawarkannya pada LKiS, Yogyakarta. Mereka tertarik dengan naskah ini. Penulis mendapatkan royalti 10 persen dari harga buku. Ini sepertinya, ketentuan umum dari penerbit yang ada di Indonesia.
Coba Anda bayangkan. Dengan uang yang telah dikeluarkan sekian banyak. Energi dan waktu sekitar satu tahun, rasanya uang kita sendiri yang bakal kembali melalui perolehan royalti, butuh berapa lama untuk impas? Apalagi dengan perputaran buku di Indonesia yang masih seret, seperti sekarang.
Jadi, dari cerita ini, saya ingin memaparkan. Seharusnya ada suatu kebijakan dari para penerbit, memberikan penghargaan lebih kepada penulis. Namun, penerbit sendiri juga tunduk pada distributor buku atau toko buku.
Bila kita hitung seratus persen, maka 40-50 persen untuk toko buku, 40-50 persen untuk penerbit. Sisanya, 10 persen untuk penulis.
Kalau buku itu berupa cerita fiksi yang tidak membutuhkan dana liputan dan wawancara di lapangan, mungkin saja 10 persen dianggap cukup. Namun, bagi buku yang butuh dana besar untuk liputan, dan wawancara di lapangan, angka 10 persen tentu susah baliknya. Ini, kalau kita bicara mengenai hitung-hitungan angka.
Tak heran, buku-buku non fiksi, kebanyakan dibuat oleh para peneliti, atau orang yang sedang menyelesaikan pendidikan S2, S3, atau sejenisnya. Hasilnya, dari penelitian itu kemudian dibukukan.
Ini merupakan satu cara murah bagi penerbit untuk mendapatkan naskah. Karena tak perlu mendanai suatu penelitian, untuk menghasilkan buku yang bakal mereka terbitkan.
Kalau kondisinya tetap seperti ini terus, kapan ilmu pengetahuan di Indonesia bakal maju. Karena tidak ada kepedulian dari pemerintah, masyarakat, pengusaha atau siapapun, untuk mengembangkan suatu penelitian bagi keberlangsungan suatu kapal bernama, Indonesia.
Bisa Anda bayangkan tidak. Bagaimana suatu bangsa berjalan tanpa penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Hasilnya, adalah suatu bangsa yang carut marut. Tidak percaya diri dengan kemampuannya. Bangsa yang kehilangan identitas dan jati diri.
Aku jadi memimpikan suatu kondisi, ketika para bangsawan Eropa mengirimkan para pemusik dan seniman ke berbagai negara di Eropa, untuk mendalami musik dan berbagai pengetahuan.
Kalau ada kondisi seperti itu di Indonesia, pasti menulis buku menjadi asyik dan menyenangkan. Bagaimana menurut Anda?□
Foto Muhlis Suhaeri, cover buku NTHR dan Benyamin S.
Edisi Cetak ada di Borneo Tribune, edisi 16 September 2007
Sunday, September 16, 2007
Menulis Buku itu, Asyik Tak Asyik
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment