Muhlis Suhaeri
Seperti juga suatu zat, ia pun melebur dan luruh dengan alam. Menjadi satu satu kesatuan dalam interaksi. Padu. Itulah makna filosofi dari acara Tumpang Negeri. Yang diselenggarakan Keraton Ismahayana, Landak, Kalimantan Barat.
Empat puluh tumpang dilarung ke segala penjuru negeri. Satu diantaranya diberi nama Tumpang Agung. Semua tumpang diantar serentak. Menuju pertemuan muara sungai, persimpangan jalan, rumah tua bersejarah, dan ke 10 kecamatan di Kabupaten Landak. Prosesi mengantar tumpang dilakukan antara pukul 15.00-17.00. Khusus untuk Tumpang Agung, dilarung dari muara keraton, menuju hilir sungai Landak.
Setiap tumpang terdiri dari seekor ayam kampung jantan yang telah dipanggang, anyaman daun kelapa muda berbentuk keranjang, seperangkat jajanan pasar, nasi pulut aneka warna, pulut rasul, setanggi wangi dan dupa menyan.
Upacara Tumpang Negeri dipenuhi berbagai persyaratan dan spiritualitas. Bila syarat tidak dilaksanakan, dipercaya dapat menimbulkan akibat tak diinginkan. Salah satu contoh, ayam yang digunakan untuk upacara, harus ayam kampung. Yang merupakan perlambang dan mempunyai sifat, selalu berusaha mencari makan sepanjang hari. Dan itu dilakukan semenjak subuh hari.
Begitupun manusia dalam menjalani hidupnya. Harus berusaha mandiri. Tidak perlu menunggu disantuni, atau mengharap bantuan orang lain. Pulut rasul merupakan simbol kerekatan sosial. Bahwa dalam masyarakat, harusnya bersatu seperti pulut. Kenyal dan tidak kaku. Tapi, ia terekat dalam satu kerekatan. Kue tradisional, merupakan wujud dari kesejahteraan.
”Tumpang Negeri merupakan kegiatan, yang berawal dari kearifan lokal orang Melayu, atau orang laut di Kabupaten Landak,” kata Drs. Gusti Suryansyah, MSi, Pangeran Ratu Keraton Ismahayana, Landak.
Kearifan lokal merefleksikan, manusia bukanlah mahluk berkuasa. Ketika terjadi bencana alam, manusia tidak bisa menghindar. Menyadari manusia mahluk lemah, supaya manusia menjadi kuat, ia harus berinteraksi dengan alam. Bekerja sama dengan alam, jauh lebih baik daripada menaklukan alam.
Alam ada dua. Alam gaib dan nyata. Kearifan lokal masyarakat setempat, manusia harus bisa berinteraksi dengan alam gaib. Melalui upacara Tumpang Negeri, masyarakat seolah ingin memberi tahu, bahwa mereka akan melaksanakan perhelatan besar selama setahun.
Tujuannya, supaya semua diberi kemudahan dalam melakukan sesuatu. Yang bertani mengharapkan kemudahan dalam bercocok tanam. Bagi yang bekerja di sektor usaha, dimudahkan dalam berusaha. Dan berbagai kemudahan dalam menjalankan aspek hidup lainnya.
Masyarakat menginginkan ”mereka” yang berada di alam gaib ikut menjaga, ketika manusia menggunakan sungai dan menggunakan jalan, tidak diganggu. Bagi sebagian besar masyarakat Kalimantan, sungai merupakan urat nadi kehidupan. Jalur perekonomian dan transportasi.
”Kita meminta kepada Tuhan, yang berkuasa atas mahluk-mahluk, supaya urat nadi kehidupan ini tidak diganggu,” kata Suryansyah.
Jadi, bukan meminta kepada alam gaib. Bila meminta pada alam gaib, sifatnya menjadi sirik dan menyekutukan Tuhan. Itulah, makna filosofinya.Acara Tumpang Negeri, mempunyai dua dimensi. Pertama, merupakan suatu doa, supaya terhindar dari segala balak, bencana alam dan penyakit. Kedua, permohonan keselamatan dan kesejahteraan. Supaya tahun mendatang, segala kehidupan akan lebih baik dan sejahtera.
Pelaksanaan Tumpang Negeri, biasanya dilaksanakan pada akhir atau awal tahun, berdasarkan situasi alam. Biasanya melihat tanda hujan. Itu menjadi syarat untuk penentuan acara. Kalau hujannya banyak atau sedikit, ada penentuannya. Hal itu merupakan upaya menyiasati tanda-tanda alam. Sifat acara ini tolak balak. Bila hujan terlalu banyak, maka dengan pelaksanaan Tumpang Negeri, tidak akan terjadi banjir. Tapi, kalau tidak turun hujan, diharapkan bisa turun.
Dalam 3 tahun terakhir, ada kesepakatan, acara dilaksanakan berdasarkan tanggal pengukuhan Pangeran Ratu, 24 Januari. Momentum ini memanfaatkan dua dimensi. Selain tolak bala, juga bagi keselamatan. ”Kita tidak mengedepankan ulang tahun pengukuhan kepangeranan. Tetapi mengedepankan acara proses adat, yang menjadi milik masyarakat,” kata Suryansyah.
Upacara Tumpang Negeri, harus didahului sedekah kampung. Selama 3 hari inilah, masyarakat diberi kegembiran dengan berbagai festifal seni, olah raga dan hiburan lainnya. Ada lomba sampan, pencak silat, pertunjukkan hadrah dan jepin, festival makanan tradisional, dan lainnya.Hari itu, 24 Januari 2006, upacara Tumpang Negeri merupakan puncak berlangsungnya acara.
Sebelum mengantar tumpang, masyarakat melakukan ziarah ke makam ke Raja Abdul Kahar atau Ismahayana, biasa disebut juga Iswara Mahayana. Yang merupakan pendiri kerajaan Landak. Makam itu terletak di desa Munggu. Acara diikuti kerabat kerajaan, pemuka agama dan masyarakat.
Menurut M. Natsir, Staff Pembantu Pimpinan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak, nama kerajaan Landak muncul dalam kitab Negara Kertagama pada 1365. Kitab itu ditulis Empu Prapanca semasa raja Hayam Wuruk memerintah di Majapahit. Kerajaan Landak muncul setelah salah seorang bangsawan Singasari menuju Kalimantan. Dan membuka pusat pemerintahan awal di sana. Bangsawan itu dikenal dengan nama Ningrat Batur atau Angrat Batur. Dari sinilah, muncul Ratu Sang Nata Pali I, hingga Ratu Sang Nata Pulang Pali VII.
Dari Ratu Sang Nata Pali VII dengan permaisuri Dara Hitam, lahirlah Raden Iswara Mahayana. Setelah orang tuanya mangkat, ia diangkat menjadi raja pada 1472, dengan gelar Raja Adipati Karang Tanjung Tua. Setelah memerintah, ia memindahkan ibukota kerajaan ke kaki bukit, dan berhadapan dengan sungai Menyuke. Yang merupakan percabangan sungai Tenganap atau sungai Landak.
Lokasi baru itu berkembang menjadi ibukota kerajaan dan diberi nama Kota Ayu atau Munggu. Nah, pada masa pemerintahan Raja Adipati Karang Tanjung Tua (1472-1542) inilah, agama Islam masuk dan berkembang dengan pesat di kerajaan Landak.
Dari kerajaan Landak, muncul beberapa pejuang kemerdekaan. Salah satunya, Pangeran Natakusuma. Ia mendapat Satya Lencana dari pemerintah pusat, karena memimpin pemberontakan blusting (bahasa Belanda yang berarti pajak/upeti). Ia mengorganisir pertemuan dengan berbagai suku lainnya, untuk melawan penerapan pajak yang dilakukan Belanda. Pangeran Natakusuma kalah dalam persenjataan. Akhirnya, ia dibuang ke Bengkulu.
Sejak tahun 1946, muncul UU tentang penghapusan status Swapraja. Dengan sendirinya seluruh pemerintahan kerajaan, tidak memiliki eksistensi pemerintahan, kecuali keraton Yogyakarta. Tak heran bila pengukuhan Gusti Suryansyah pada 24 Januari 2000, ada yang menganggap sebagai munculnya feodalisme baru, dan mengembalikan romantisme kerajaan. Memang ada yang menanggapi dengan sinis, tetapi ada juga harapan.
Lalu, apa pendapatnya terhadap tudingan ini?
”Saya ingin mengkritisi itu. Feodalisme merupakan terminologi yang digunakan oleh raja-raja di Eropa. Dengan penguasaan tanah luas,” kata Suryansyah.
Menurutnya, sejarah kerajaan Landak, bukan sejarah feodalisme. Kerajaan Landak sama dengan kerajaan Yogyakarata. Yang berjuang demi kemerdekaan.Bedanya, sekarang ini keraton Yogyakarta masih memiliki berbagai pusaka dan tanah luas, sementara keraton Landak, sebaliknya. Tanah tinggal tersisa beberapa ratus meter di sekitar keraton saja.
Pusaka keraton tinggal satu keris dan dua tombak. Keris itu bernama Si Kanyit. Ada dimensi dongeng melingkupi keberadaannya. Keris itu didapat, ketika hanyut, bukan menghiliri sungai landak, tetapi menuju ke hulu sungai Landak. Namanya juga mitos.
Boleh percaya, boleh juga tidak. Dulunya, keris itu bertahtakan intan berlian. Maklum, Landak merupakan penghasil intan dari dulu hingga sekarang. Namun, karena keris telah berpindah tangan beberapa generasi, intan itu tak melekat lagi pada keris pusaka. Dua pedang pusaka pembuatannya seperti keris. Ada pamornya. Pedang pertama mempunyai pamor Satria Piningit, dan pedang kedua Pancur Emas.
Menurut Syarif Ibrahim Alqadri, seorang profesor dan guru besar ilmu sosiologi di Universitas Tanjung Pura (Untan), Pontianak, tampilnya kembali Pangeran, Sultan, atau pimpinan ikatan keluarga kesultanan hampir di semua wilayah Nusantara, merupakan revitalisasi dalam dinamika politik Melayu secara kongkret.
Revitalisasi adalah proses, atau kondisi bangkitnya kembali suatu kelompok agama, etnis atau sosial lainnya. Dan menampilkan kekuatan, energi, jiwa atau semangat baru dalam berhadapan dengan kelompok lain.
Revitalisasi pada dasarnya dapat dikategorikan sebagai kesadaran etnik yang bersumber dari luar. Ia merupakan jawaban atau reaksi logis dari realitas sosial yang terjadi di sekeliling kelompok bersangkutan. Yang diciptakan kelompok lain, pemerintah atau bangsa lain.
Dalam jaman yang kian menglobal seperti sekarang ini, makna dan identitas juga menjadi ciri tersendiri dalam menghadapi perubahan itu. Nah, seandainya mengantar Tumpang Negeri, dianggap sebagai kembali ke feodalisme, Gusti Suryansyah tidak keberatan dalam hal ini. Sebagai bagian dari bangsa, rasanya tidak ada larangan untuk ikut serta dalam proses pembangunan, katanya.
Ini merupakan wujud kongkret, mereka bereaksi terhadap kosmopolitan dan globalisasi Caranya, ”Dengan tetap konsisten terhadap nilai tradisional yang pernah hidup dan dipertahankan saat ini,” kata Suryansyah.*
Foto Lukas B. Wijanarko
Saturday, July 23, 2005
Tumpang Negeri Interaksi Manusia dengan Alam
Posted by Muhlis Suhaeri at 2:45 AM 0 comments
Labels: Budaya
Tuesday, July 12, 2005
Menabur Citra Membangun Usaha
Oleh: Muhlis Suhaeri
Membangun suatu bisnis, butuh keseriusan. Tak itu saja. Semua upaya, mesti dikerahkan bagi kelangsungan usaha tersebut. Karenanya, segala daya dan kemampuan, mesti dilakukan dengan maksimal. Begitu pun, dengan kemampuan managerial dan organisasi. Wajib dimiliki dan mutlak hukumnya. Nah, bagaimana membangun usaha dan organisasi usaha yang baik?
Inilah jawabannya.....
Dilihat dari caranya berbicara, nampak sekali dia seorang organisatoris. Cara mengungkapkan ide dan menjawab berbagai pertanyaan, baik dan lugas. Logika berpikirnya terstruktur, dengan kerangka sebab akibat. Itulah gambaran dasar sosok seorang, Heriyadi, Wakil Ketua Asosiasi Travel Indonesia (Asita). Berikut ini, petikan wawancara wartawan Matra Bisnis.
Untuk mengembangkan suatu perusahaan travel yang baik, modal utama adalah sumber daya manusia (SDM). Dan tentu saja, modal uang. Alasan orang membangun travel tentu beragam. Ada alasan baik dan kurang baik. Alasan baik misalnya, ingin membuka usaha mandiri. Salah satu alasan kurang baik misalnya, kesal dengan bosnya, dan lainya.
Terkadang ada orang membangun travel dengan “emosi”. Maksudnya, ketika melihat ada suatu acara ramai, semisalnya Imlek atau Cap Go Meh. Maka, orang beramai-ramai membuat travel. Karena saat itulah dianggap paling tepat mencari uang dan keuntungan. Padahal, keramaian acara itu hanya berapa hari saja. Nah, selanjutnya, mempertahankan travel itu bagaimana. Padahal, untuk biaya operasional, gaji karyawan, dan lainnya perlu dana. Mampu atau tidak, orang melanjutkannya?
Motifasi itulah yang membedakan berdirinya suatu travel. Namun, tak perlulah memperdebatkan alasan berdirinya suatu travel. Yang ingin dilihat, bagaimana membangun travel kedepannya.
Modal awal mendirikan perusahaan travel, sama saja dengan perusahaan lain. Pada dasarnya, harus memperhatikan berbagai unsur. Misalnya, bagaimana letak dan fasilitasnya. Hubungan ke pelanggan atau diluar pelanggan, ada atau tidak. Ketika persyaratan itu tidak terpenuhi, pengusaha travel akan susah mendapatkan akses.
Kenapa letak suatu travel begitu penting?
Ketika seseorang membangun travel atau mengajukan menjadi anggota Asita, masalah letak menjadi persyaratan dasar. Asita tidak memperkenankan anggotanya membangun kantor di gang. Yang namanya travel, apabila letaknya di dalam gang, akan susah. Karena fungsi travel itu sendiri, adalah untuk melayani masyarakat. Dan bukan hanya bagi suatu komunitas sendiri.
“Kita inginnya, travel itu berkembang lebih maju,” kata lelaki, yang biasa dipanggil Heri, ini.
Maksud dikenal dalam artian, tidak hanya di lingkungan mereka sendiri. Tapi, juga dikenal secara luas. Baik oleh teman sendiri, atau di luar negara. Sehingga bukan hanya pandai bermain pada bidang lokal, tapi diharapkan juga diluar.
Travel yang baik, harus mempunyai akses ke pelanggan, pemerintah, penerbangan atau travel lainnya. Ketika membuka travel, perusahaan harus tahu, siapa pelanggan dan menjadi target pangsa pasarnya. Akses ke pemerintah menyangkut ijin pendirian suatu travel. Akses ke penerbangan, bagaimana menjalin kerja sama dengan pihak penerbangan.
Kerja sama dengan travel lain mutlak dilakukan. Misalnya, ketika membuka travel di Pontianak, travel mana bisa diajak kerja sama di Jakarta. Ibaratnya, pusat ada di sana. Sehingga kalau ada informasi atau apa pun dari Jakarta, bisa memanfaatkannya. Lalu, travel punya akses ke mana. Apakah hanya untuk jualan tiket saja, atau penjualan paket tur dan tiket.
Perusahaan travel harus mempunyai SDM dari tamatan pariwisata. Persyaratan itu mesti diberikan pemerintah, ketika ada perusahaan mengajukan ijin mendirikan travel. Persyaratan lain, fasilitas travel musti dilihat. Jangan sampai, orang mendirikan travel dengan modal ruangan sempit, semisal 2x1, atau 4x4.
Nah, sampai saat ini, pemerintah kurang tegas memberikan berbagai aturan, ketika orang mendirikan travel. Asita berharap banyak pada pemerintah dalam hal ini. Sikap ini, bukan berusaha menutup kemungkinan orang membuat usaha. Cuma, untuk berusaha perlu kode etik tersendiri. Pemerintah belum melakukan itu, dan baru sekedar memberikan fasilitas ijin.
Asita pernah mengadakan himbauan dan audiensi pada pemerintah Kota Pontianak. Tidak menutup kemungkinan, akan melebar ke kabupaten lain. Supaya pemerintah menertibkan ijin travel. Jadi, sebelum pemerintah memberikan ijin, harus ada rekomendasi dari Asita. Tujuannya, memberikan informasi pada pengusaha, tentang apa yang bakal mereka buat.
Syarat mutlak ketika orang membuka travel adalah relasi. Itulah intinya. Biasanya kesulitan itu pada tahap penyesuaian keadaan. Penyesuaian pada tahap kerja. Terkadang teman, baik dari manager atau karyawannya, agak kikuk menyesuaikan dengan managemen dan relasi.
Biasanya, setelah itu mereka akan terbiasa bekerja dan mengetahui keadaan. Sehingga pada waktunya, mereka harus siap. Karena itulah, Asita mengharapkan SDM dari travel, orang dari sekolah pariwisata. Karena mereka sudah terlatih dan tahu bagaimana menangani suatu masalah. Sehingga tidak harus mulai dari awal lagi.
Asita bahkan bisa merekomendasikan, karyawan mana yang pengusaha mau. Sekolah pariwisata ada di Pontianak. Setiap tahun dipantau terus kemana para lulusannya. Biasanya siswa pariwisata magang di perusahaan travel. Lamanya bisa 3 bulan. Selepas magang, anggota Asita akan memberikan rekomendasi, bagaimana kualifikasi siswa itu ketika magang di travelnya. Data itu menjadi catatan tersendiri bagi Asita dalam memberikan rekomendasi.
Kadang orang membuka travel dengan merekrut kerabat atau saudaranya. Ketika ada kendala di lapangan, seperti pesawat terlambat datang, melobi tamu, atau masalah apa, mereka tidak tahu harus berbuat apa. Dan itu memang susah, karena harus penyesuaian. Biasanya penyesuaian bisa berlangsung selama 3 bulan. Nah, selama 3 bulan membuka travel itu, biasanya sudah rugi duluan. Karena pelanggan sering mengeluh.
Asita berusaha mengayomi semua anggotanya. Makanya, setiap bulan Asita selalu berkunjung dan memantau anggotanya. Bila ada anggotanya tutup, akan dicari tahu penyebabnya. Asita akan bertanya pada managernya. Apa penyebab, kendala, dan sehingga travel itu tutup. Laporan itu akan diberikan pada DPP (Dewan Pimpinan Pusat) Asita di Jakarta.
Asita berusaha melindungi setiap angotanya. Salah satu caranya dengan meningkatkan SDM. Baik dalam bidang ticketing, guiding, maupun dalam membuat paket perjalanan atau wisata. “Kita sedang dalam pembenahan dan membina lagi. Ada pelatihannya. Mereka yang dulunya melempem dan tidak ada kegiatan, akan kita angkat,” kata Heri.
Susahnya mengelola travel, terkadang diluar dari masalah travel itu sendiri. Semisal dengan perusahaan penerbangan. Karenanya, Asita menyarankan beberapa perusahaan penerbangan menjadi anggota Asita. Tanpa sertifikat dari anggota, suatu travel tidak bisa mengambil tiket di suatu penerbangan. Mereka hanya bisa menjadi agen dan sub agen dari penerbangan itu.
Lalu, diluar dari masalah itu adalah terbatasnya modal. Untuk mengembangkan diri, kebanyakan travel modalnya kecil, sehingga melorot lagi. Misalnya, dengan modal Rp 30 juta, orang bisa mendirikan travel dengan fasilitas seadanya saja.
Peluang membuka travel sebenarnya masih sangat besar sekali. Bahkan, ada banyak travel bisa hidup dari hanya menjual voucher hotel saja. Tapi, tidak menutup kemungkinan, travel juga menjual tiket. Tapi, menjual tiket bukanlah pendapatan utama. Travel juga bisa hidup dari penjualan tiket saja.
Karenanya, Asita akan mengelompokkan, mana travel bergerak di adventure, dan yang bergerak diluar kapasitas itu. Dari sana akan terlihat kekuatan suatu travel. Dengan mengetahui kekuatan, Asita akan sanggup meningkatkan SDM suatu travel. Sehingga kalau ada suatu pertemuan atau apa, bisa direkomendasikan travel mana yang akan menanganinya.
Dengan cara itu, kedepannya peran Asita hanya mengkordinirnya saja. Selain itu, Asita bisa merekomendasikan atau menilai, suatu hotel layak atau tidak sebagai tempat penginapan. Banyak hal yang nantinya bisa direkomendasikan untuk itu.
Peran pemerintah sekarang ini sudah mulai terbuka, dalam menfasilitasi peraturan dan memperlancar kegiatan itu. Selama ini, kendala pemerintah selalu terbentur masalah kekurangan dana. Ada ide-ide dari Asita dan diajukan pada pemerintah, selalu terbentur dan tidak bisa jalan, karena tidak ada dana.
Asita akan berkordinasi dengan pemerintah dan bekerja sama dalam membuat berbagai program. Yang berhubungan dengan pariwisata. Sehingga ketika pemerintah membuat kegiatan, akan mengikut sertakan Asita. Karena Asita tahu kekuatan organisasi dan anggotanya. Ketika pemerintah membuat suatu kegiatan seperti pelatihan, menjadi menjadi tepat sasaran. Jangan sampai anggota yang tidak bergerak dalam bidang tur, tapi diikutsertakan dalam pelatihan.
Kedepannya, Asita akan membuat spesifikasi suatu travel. Mana travel bergerak di bidang adventure (petualangan), umroh, paket wisata, dan lainnya. Sekarang ini masih masih acak. Semua bisa diambil.
Paket wisata yang paling punya peluang dikembangkan di Kalbar adalah paket adventure (petualangan). Peluang itu besar sekali. Ada beberapa tujuan wisata bisa dicapai seperti, Taman Nasional Betung Karihun, Danau Sentarum, dan potensi wisata hutan yang belum terjamah.
Selain itu, paket ini sanggup menawarkan keuntungan hingga 60 persen. Namun, tingkat resikonya juga tinggi. Hasil yang didapat sebanding dengan resikonya. Bahkan, kalau kena apes, bisa merugi dan kena marah tamu. Adventure berhubungan dengan faktor alam, yang kadang tak bisa terduga. Misalnya, target 4-5 hari sampai tujuan, tiba-tiba tidak bisa dicapai, karena faktor alam. Karena mobil terjebak lumpur atau apa, sehingga tamu harus diinapkan lagi. Dan itu tentu saja membuat biaya jadi membengkak. Tentu resikonya harus ditanggung.
Nah, sebenarnya, membuka bisnis travel masih memberikan harapan dan peluang bisnis. Prospeknya masih baik sekali. Sangat disayangkan, bila membangun travel, tidak dilandasi SDM. Jangan sampai umur travel hanya sebentar saja, karena tidak didukung SDM yang baik.
“Kuncinya di SDM itu,” kata Heri.***
Edisi Cetak, minggu pertama Desember 2005, Matra Bisnis
Foto Lukas B. Wijanarko
Posted by Muhlis Suhaeri at 9:51 AM 0 comments
Labels: Ekonomi
Monday, July 11, 2005
Dari Riak dan Gelombang Danau, Lahirlah Bisnis Angkutan
Oleh: Muhlis Suhaeri
Dalam sejarah peradaban manusia, tak bisa dipisahkan dengan usaha melawan waktu. Karena itulah muncul teknologi dan peradaban. Teknologi lahir, supaya manusia sanggup memperpendek waktu. Jauhnya jarak, dapat dipersingkat dengan penemuan dan munculnya teknologi baru. Mau tahu buktinya? Inilah jalinan cerita yang bisa Anda ikuti.
Awalnya, orang menggunakan perahu motor bandung untuk menempuh perjalanan dari Lanjak ke Semitau. Waktu yang diperlukan sekitar 8 jam. Lamanya waktu tempuh membuat orang berpikir, bagaimana mempersingkat jarak. Maka, lahirlah ide mengganti angkutan perahu motor bandung dengan perahu cepat (speed boat).
Adalah Agus Hariyanto. Seorang lelaki bertubuh gempal dari Lanjak, Kapuas Hulu. Semenjak tahun 1996-1998, lelaki ini melayari danau Sentarum dengan perahu bandung untuk mengantar para penumpang. Melihat lamanya waktu tempuh mencapai Lanjak dan Semitau, dia mulai melirik sebuah angkutan alternatif. Pilihannya jatuh pada perahu berbahan fiber. Ketika itu, usaha angkutan ini belum banyak dilihat orang. Lalu, dia mulai menggarap potensi itu, menjadi lahan bisnis.
Dia menggunakan mesin 115 pk. Perahu itu sanggup membawa 10 penumpang. Karena bisnis ini mendatangkan uang cukup lumayan, orang langsung mengikutinya. Satu persatu perahu mulai menambah jumlah armada penyeberangan danau Sentarum. Untuk mengatur angkutan, masyarakat membentuk Koperasi Unit Desa (KUD). Namanya, KUD Saum Jaya. Saum dalam bahasa Dayak Iban berarti kerabat. KUD ini mempunyai 25O anggota dan tiga bidang usaha. Yaitu, angkutan, waserda (warung serba ada) dan penginapan. Namun, diantara tiga bidang usaha itu, angkutan dan waserda terlihat lebih maju.
Supaya seluruh anggota mendapatkan penumpang, ukuran perahu dialihkan menjadi 40 pk. Tujuannya, supaya bisa menggunakan banyak tenaga, dan membagi rejeki pada lainnya. Perahu ini sanggup menampung 5 penumpang dan satu supir.
Tak tanggung-tanggung, ketika pertama kali beralih teknologi, Agus membeli 6 perahu cepat 40 pk. Perahu itu dibelinya dengan harga sekitar Rp 28 juta per-perahu.
Melalui KUD ini juga, segala perijinan dan berbagai kebutuhan anggota terpenuhi. Begitu pun kalau ada anggota yang ingin memperbaiki perahu. KUD bisa mengusahakannya ke Pontianak. Untuk mengganti badan perahu, anggota harus mengeluarkan uang sekitar Rp 8 juta. Badan perahu berukuran 1,5 x 4 meter.
Badan perahu ada dua macam. Badan perahu kodian dan pesanan. Badang perahu kodian dibeli secara langsung. Biasanya lapisan fibernya agak tipis, dan terdiri dari 3 rangkap lapisan serat fiber glas. Badan perahu pesanan biasa disebut badan cetak. Artinya, pesan khusus. Lapisan badang perahu lebih tebal, hingga mencapai 4 lapis fiber. Lapisan bawah perahu biasanya dibuat agak lebih tebal. Tujuannya, agar perahu lebih awet, karena bagian bawahlah, yang biasa terkena air dan penahan beban. Tebal badang perahu kurang dari 1 cm.
Perahu dipasang terpal pada bagian atasnya. Orang menyebut terpal dengan nama kap. Terpal membungkus bilah-bilah pipa besi. Dan berfungsi melindungi penumpang perahu dari hujan atau terik matahari. Terpal warna hijau ini bisa ditutup atau dibuka, sesuai dengan keinginan penumpang.
KUD selalu mengontrol kelayakan armada. Bila badan perahu sudah tak layak, pengurus akan minta pemilik untuk memperbaiki atau mengantinya. Badan perahu layak pakai tergantung dari keadaan. Kalau musim pasang, kadang ada bonggol kayu bertebaran sepanjang jalur sungai dan danau. Bila mengemudikan perahu tidak hati-hati, perahu akan melanggar batangan kayu tersebut. Hal itu tentu saja membuat badan perahu menjadi rusak. Dalam kondisi biasa, artinya tidak ada benturan atau tabrakan, badan perahu bisa bertahan hingga 5-6 tahun.
Begitu juga bila ingin mengganti mesin. KUD bisa memfasilitasi dengan mencarinya ke Pontianak atau ke Lubuk Antu, Malaysia. Harga mesin tergantung dari kondisinya. Tapi, anggota jarang mengganti mesin seluruhnya. Jika ada mesin rusak, paling memperbaiki sendiri. Kalau pun tidak bisa diperbaiki sendiri, biasanya mesin akan dibawa ke bengkel di Semitau atau Nanga Suhaid. Kerusakan onderdil mesin biasanya pada piston ring, bearing, dan lainnya. Biaya reparasi mahal sekali. Bisa mencapai jutaan rupiah.
Pengguna angkutan penyeberangan ini beragam. Yang pasti, semua orang bisa menggunakannya. Pada tahun 2000-2004, jumlah penumpang dapat mencapai sekitar 80-100 orang perhari. Sekarang ini susah sekali. Penamupang ramai kalau ada anak sekolah sedang liburan sekolah, atau hari besar keagamaan. Penumpang turun hingga 50 persen.
“Semenjak tak ada kerja kayu, sudah jarang sekali penumpang. Dulu, pekerja kayu banyak yang pakai speed. Tidak ada kayu, semua aspek kehidupan jadi berkurang,” kata Agus. Karyawan kayu banyak yang berasal dari Sambas, Jawa dan Bugis.
Penumpang perahu diasuransikan. Ada jasa raharja. Melintas danau dan sungai tentu berbahaya. Tapi, belum pernah ada kecelakaan hingga menyebabkan perahu tenggelam. Paling insiden kecil seperti senggolan antararmada. Tahun 1998, penumpang membayar tiket Rp 35 ribu. Sekarang ini, orang harus membayar Rp 120 ribu perorang. Jadi, sewa satu perahu Rp 600 ribu.
Biasanya penumpang adalah masyarakat yang ingin ke Pontianak. Mereka berangkat siang hari, karena harus mengejar bis Semitau-Pontianak. Bis berangkat dari Semitau pada pukul 13.30-14.00. Oleh sebab itu, penumpang perahu biasanya naik dari Lanjak sebelum pukul 12.00. Kalau musim penghujan, terkadang bis tidak bisa jalan, karena jalan darat tak bisa dilalui. Karenanya, penumpang perahu langsung menuju Sintang.
Dari Sintang, mereka melanjutkan perjalanan darat dengan bis ke Pontianak. Dari Lanjak ke Sintang, butuh waktu sekitar 5 jam dengan perahu. Biaya transportasinya Rp 1,5 juta. Perorang dikenakan biaya Rp 300 ribu. Kalau pun tidak ada penumpang lain, orang itu harus sanggup menutup ongkosnya. Bila tidak, ya tidak berangkat.
Perahu sanggup menampung 90 liter bensin. Tangki bahan bakar ada di bawah badan perahu. Tangki bahan bakar tidak boleh bocor, agar tidak berbahaya bagi keselamatan. Untuk menempuh jarak Lanjak-Semitau, pulang-pergi, perahu membutuhkan bensin sekitar 40 liter. Jarak Lanjak-Sintang, perahu butuh 180 liter. Perahu biasanya mengisi bensin di Semitau. Di Lanjak, Semitau, Nanga Suhaid dan sekitarnya, harga bensin mencapai Rp 7 ribu perliternya. Kebanyakan bensin beli di kios. Tak ada SPBU di sana.
Bagaimana suka duka mengelola bisnis ini?
“Waktu penumpang banyak, tentu kita senang. Kalau penumpang sedikit, kita pun berpikir, bagaimana cara menanganinya,” tutur Agus.
Sekarang ini, Agus hanya punya satu armada. Bukannya tidak boleh punya lebih dari satu, tapi yang lain juga ingin punya armada. Tidak bolah ada monopoli.
Angkutan danau ini menggunakan satu rute. Tujuannya, bila ada armada rusak atau nyasar dari jalur, akan dengan mudah ditolong. Tidak ada alat komunikasi radio. Ketika musim banjir seperti sekarang ini, semua jalur sepertinya sama. Karenanya, pengemudi harus pandai melihat berbagai penanda bagi jalurnya. Sebuah LSM pernah membuat berbagai penanda bagi jalur perahu dengan bahan seng. Namun, penanda itu banyak hilang, jatuh, rusak karena kena angin dan cuaca.
Bila tak ada tanda, biasanya supir perahu menggunakan tanda bukit dan pohon. Misalnya dari arah Semitau. Kalau melihat suatu bukit, maka bukit itu dijadikan arah dan penanda. Dengan berpedoman pada lengkungan-lengkungan bukit, biasanya tidak akan meleset. Tumbuhnya pohon juga dijadikan arah dan petunjuk bagi jalur pelayaran perahu. Dengan menguasai jalur, penumpang tidak akan merugi dan kehilangan banyak waktu.
Jadwal keberangkatan 32 armada diatur sedemikian rupa. Ada petugas mengaturnya. Armada dibagi menjadi 4 kelompok. Jadi, 32 armada dibagi 15 hari kerja. Kalau orang punya satu armada, berarti 2 hari sekali saja bisa berangkat. Dalam sehari, biasanya berangkat 8 armada dari Semitau, dan 8 dari Lanjak. Besoknya, giliran satu grupnya lainnya.
“Kalau tidak kita atur, bisa kacau jadwalnya. Kita tidak tetap jadwalnya. Pokoknya, ada lima orang jalan. Tidak terlalu sulit mengaturnya,” kata Salam Setiadi, petugas pengatur keberangkatan dan pemesanan tiket dari KUD Saum Jaya.
Antara Lanjak dan Semitau, biasanya berkordinasi lewat telepon. Misalnya, ada penumpang membludak di Lanjak. Maka, armada di Semitau bisa ditarik sebagian ke Lanjak.
Tak diragukan lagi, dengan hancurnya jalan darat, angkutan lewat sungai dan danau merupakan satu-satunya alternatif. Namun, masih ada satu kekurangan. Belum ada dermaga keberangkatan, bagi armada angkutan danau dan sungai ini.
Bagaimana dengan sikap pemerintah?
“Pemerintah kabupaten Kapuas Hulu, pernah menyanggupi membuat dermaga pemberangkatan. Katanya dalam waktu dekat ini,” kata Salam Setiadi..***
Edisi Cetak, minggu pertama, 7 Desember 2005, Matra Bisnis
Foto Muhlis Suhaeri
Posted by Muhlis Suhaeri at 9:15 AM 0 comments
Labels: Ekonomi
Monday, July 4, 2005
Potret Benyamin Apa Adanya
Oleh: Nurdin Kalim
Sebuah biografi seniman Betawi serba bisa, Benyamin Suaeb, diluncurkan. Buku yang menjejalkan segudang data sang tokoh.
-----
Pada suatu siang yang terburu-buru. Sebuah sepeda motor DKW Hummel meluncur membelah lalu-lintas Jakarta. Dengan hati berdebar, Benyamin Suaeb--pengendara motor itu--bergegas menuju studio Dimita Records, menyerahkan lagu Nonton Bioskop kepada idolanya: Bing Slamet. “Ini, Bang, lagunya,” kata Benyamin seraya menyerahkan secarik kertas kepada artis top era 1960-an itu.
Pertemuan dengan Bing Slamet pada 1968 itu titik sejarah penting bagi perjalanan karier Benyamin. Sebab, kejadian itu menjadi sumbu ledak bagi Ben--demikian sapaan akrab pria kelahiran Jakarta, 5 Maret 1939, ini--sebagai penyanyi lagu khas Betawi. Setelah menyerahkan lagu ciptaannya untuk direkam Bing Slamet, Benyamin malah disarankan membawakan sendiri lagunya itu. "Gua tahu lu bisa nyanyi, coba aja nyanyi,” ujar Bing kala itu.
Peristiwa 37 tahun silam itu tercatat dalam biografi Benyamin, Muka Kampung Rezeki Kota, yang diluncurkan awal Juni lalu. Buku setebal 511 halaman terbitan Yayasan Benyamin Suaeb, Jakarta, itu menyuguhkan perjalanan Benyamin dari lahir hingga ajal menjemputnya. Menurut Benny Pandawa Benyamin, putra bungsu Benyamin sekaligus penggagas terbitnya buku itu, biografi tersebut menyuguhkan sosok utuh almarhum ayahnya. “Idenya muncul pada April 2003,” katanya. “Buku itu terbit karena dorongan hubungan emosional dengan Babe,” Benny menjelaskan.
Biografi itu dibuka dengan suasana tempat kelahiran Benyamin: Kampung Utan Panjang, Kemayoran, Jakarta. Sebuah perkampungan Betawi yang serba lugas, penuh canda, keceriaan. Lingkungan itulah yang banyak membentuk karakter Benyamin, humoris dan suka berceloteh riang. Benyamin merupakan bungsu dari delapan bersaudara pasangan Sukirman alias Suaeb dan Siti Aisyah. Kakeknya, Haji Ung, adalah tokoh Betawi terkenal, yang namanya kini terukir pada sebuah jalan di kawasan Kemayoran: Jalan Haji Ung. Kebanyakan orang melafalkannya “Jiung”.
Lahir atas pertolongan dukun Saodah, Benyamin bercita-cita menjadi pilot, tapi ditentang sang ibu. “Takut nanti pesawatnya jatuh,” kata ibunya. Sebelum menjadi penyanyi dan aktor film, lulusan SMA Taman Madya, Jakarta, itu pernah terdampar di beberapa tempat pekerjaan, dari kondektur bus kota, bagian amunisi peralatan TNI-AD, hingga pegawai PN Asbes Semen.
Sejak kecil Benyamin suka bermain musik. Bersama para abangnya, ia sempat membentuk grup musik dengan alat seadanya: drum minyak, kaleng biskuit, kotak obat. Sebelum dikenal sebagai penyanyi khas lagu Betawi, ia adalah penyanyi pop. Sempat bergabung dengan grup musik Melodi Ria yang berdiri pada 1957. Ia juga pernah bermain dengan dedengkot jazz Indonesia, Jack Lesmana dan Bill Saragih.
Kiprahnya dalam musik pop membawa Benyamin ke berbagai klub malam. Saat itu dia menyanyikan lagu-lagu Barat seperti Unchained Melody, Blue Moon, My Way. Tapi, apesnya, sebagaimana Koes Bersaudara yang dijebloskan ke penjara karena membawakan lagu-lagu The Beatles, Benyamin juga diganyang dan dilarang manggung di klub malam. Larangan membawakan lagu “ngak-ngik-ngok” atau lagu Barat itu dikeluarkan Presiden Soekarno pada 1965.
Ada peristiwa yang terus melekat di benak Benyamin berkenaan dengan larangan menyanyikan lagu-lagu Barat itu. Selagi asyik menyanyikan lagu Blue Moon di sebuah klub malam di Kemayoran, ia ditegur seorang wartawati harian sore pertama yang berhaluan kiri, Warta Bakti. “Kenapa nyanyiin lagu Barat, lu? Orang apa lu? Orang Indonesia? Kalau orang Indonesia, nyanyi musik Indonesia, dong!” pekik sang wartawati. Ketimbang menuai masalah, saat itu Benyamin banting setir menyanyi lagu-lagu keroncong. Hanya, pengunjung klub itu malah perlahan menyusut. Dan akhirnya sepi.
Benyamin tak patah arang. Sejak peristiwa itu, ia memutar otak. Sebagai jalan keluarnya, ia menyanyikan lagu-lagu khas Betawi dengan iringan musik gambang kromong. "Kalau tidak ada larangan Bung Karno, saya barangkali tidak akan pernah menjadi penyanyi lagu-lagu Betawi," katanya. Perlahan tapi pasti, namanya meroket sebagai penyanyi khas gaya Betawian.
Lagu-lagunya jenaka. Caranya menulis lagu, yang bisa lahir di mana saja, mungkin dapat jadi gambaran bahwa orang ini telah berusaha tampil apa adanya. Kekasaran dalam lirik-liriknya, irama yang ditemukannya, dan kadang kala kesentimentilan yang mencuat keluar dari lagu-lagunya, di samping merupakan ekspresi yang jujur juga merupakan satu cara supaya bisa komunikatif.
Dengan mengandalkan segi-segi wajar dalam lagu-lagu itu, kemudian Benyamin mencoba menitipkan sedikit pesan moral. Dengan gaya spontannya, ia berusaha menyentil kenyataan yang timpang sehari-hari. Dalam sekapur sirih Muka Kampung Rezeki Kota, Remy Sylado menulis, nyanyian-nyanyian Bang Ben merupakan ikhtisar sosial tentang Jakarta: jago kampung, ondel-ondel, kompor meleduk, copet, selebor, dan lin-lain.
Tapi, sejak 1980, Benyamin seolah tenggelam dari dunia musik. Banyak versi yang beredar seputar ketidakmunculannya itu. Mulai soal rumah tangganya bersama Noni Marhaeni hingga kesibukannya dengan pengajian Islam Jamaah-nya. Baru pada 1992, ia mengutarakan keinginannya bermain musik lagi kepada Harry Sabar. "Gue mau, dong, rekaman kayak penyanyi beneran," katanya. Maka, bersama Harry Sabar, Keenan Nasution, Odink Nasution, dan Aditya, jadilah band Al-Haj dengan album Biang Kerok. Lagu seperti Biang Kerok serta Dingin-dingin menjadi andalan album tersebut. Di album ini, Benyamin menyanyi dengan "serius". Inilah band dan album terakhir Benyamin.
Selain merekam sekitar 300 lagu (berduet dan menyanyi sendiri dalam periode 1964-1992), Benyamin juga membintangi sekitar 54 film. Dan ia sukses. Lewat film Intan Berduri (1973) dan Si Doel Anak Modern (1976), ia meraih Piala Citra sebagai Aktor Terbaik. Pada 1994, ia bermain dalam sinetron Si Doel Anak Sekolahan dengan celetukan khasnya, “tukang insinyur”. Setahun kemudian, ia membintangi dua sinetron, Mat Beken dan Begaya FM.
Seniman serba bisa itu meninggal pada 5 September 1995. Detik-detik menjelang ajal menjemputnya digambarkan cukup rinci dalam Muka Kampung Rezeki Kota. Saat itu Benyamin tengah bermain sepak bola di sebuah lapangan di kawasan Lebakbulus, Jakarta Selatan. Tiba-tiba, di tengah pertandingan, ia mengeluh capek. Ia minta dipijitin. Ternyata, ia terkena serangan jantung. Ya, penggemar sepak bola itu meninggal ketika bermain olahraga kesenangannya tersebut.
Begitulah. Buku itu berupaya menyajikan Benyamin apa adanya. Juga sedetail-detailnya. “Sampai urusan tetes keringat Babe dicoba untuk diungkapkan,” kata Benny Pandawa. Hanya, biografi bergaya tulisan reportase itu--kebetulan kedua penulis (Ludhy Cahyana dan Muhlis Suhaeri) memang pernah menjadi reporter--terkesan ingin menjejalkan segudang data sang tokoh seniman Betawi itu. Termasuk daftar lagu dan film, serta bagan silsilah keluarga Benyamin. Alhasil, kepada kita seperti dihidangkan laporan panjang hasil reportase seorang wartawan.
Apa pun, sebagai debutan kedua penulis itu, Muka Kampung Rezeki Kota bisa dikatakan menarik dibaca. Setidaknya, bagi pencinta Benyamin yang sebelumnya mengenal sosok sang idola hanya sepotong-sepotong, dalam biografi itu sosok tersebut terajut dalam sebuah bingkai lumayan utuh.***
LAYAR – 2 Halaman
Majalah TEMPO, 04 Juli 2005
Foto Jadul.blogspot.com
Posted by Muhlis Suhaeri at 10:17 AM 0 comments
Labels: Resensi