Monday, July 11, 2005

Dari Riak dan Gelombang Danau, Lahirlah Bisnis Angkutan

Oleh: Muhlis Suhaeri

Dalam sejarah peradaban manusia, tak bisa dipisahkan dengan usaha melawan waktu. Karena itulah muncul teknologi dan peradaban. Teknologi lahir, supaya manusia sanggup memperpendek waktu. Jauhnya jarak, dapat dipersingkat dengan penemuan dan munculnya teknologi baru. Mau tahu buktinya? Inilah jalinan cerita yang bisa Anda ikuti.

Awalnya, orang menggunakan perahu motor bandung untuk menempuh perjalanan dari Lanjak ke Semitau. Waktu yang diperlukan sekitar 8 jam. Lamanya waktu tempuh membuat orang berpikir, bagaimana mempersingkat jarak. Maka, lahirlah ide mengganti angkutan perahu motor bandung dengan perahu cepat (speed boat).



Adalah Agus Hariyanto. Seorang lelaki bertubuh gempal dari Lanjak, Kapuas Hulu. Semenjak tahun 1996-1998, lelaki ini melayari danau Sentarum dengan perahu bandung untuk mengantar para penumpang. Melihat lamanya waktu tempuh mencapai Lanjak dan Semitau, dia mulai melirik sebuah angkutan alternatif. Pilihannya jatuh pada perahu berbahan fiber. Ketika itu, usaha angkutan ini belum banyak dilihat orang. Lalu, dia mulai menggarap potensi itu, menjadi lahan bisnis.

Dia menggunakan mesin 115 pk. Perahu itu sanggup membawa 10 penumpang. Karena bisnis ini mendatangkan uang cukup lumayan, orang langsung mengikutinya. Satu persatu perahu mulai menambah jumlah armada penyeberangan danau Sentarum. Untuk mengatur angkutan, masyarakat membentuk Koperasi Unit Desa (KUD). Namanya, KUD Saum Jaya. Saum dalam bahasa Dayak Iban berarti kerabat. KUD ini mempunyai 25O anggota dan tiga bidang usaha. Yaitu, angkutan, waserda (warung serba ada) dan penginapan. Namun, diantara tiga bidang usaha itu, angkutan dan waserda terlihat lebih maju.

Supaya seluruh anggota mendapatkan penumpang, ukuran perahu dialihkan menjadi 40 pk. Tujuannya, supaya bisa menggunakan banyak tenaga, dan membagi rejeki pada lainnya. Perahu ini sanggup menampung 5 penumpang dan satu supir.

Tak tanggung-tanggung, ketika pertama kali beralih teknologi, Agus membeli 6 perahu cepat 40 pk. Perahu itu dibelinya dengan harga sekitar Rp 28 juta per-perahu.

Melalui KUD ini juga, segala perijinan dan berbagai kebutuhan anggota terpenuhi. Begitu pun kalau ada anggota yang ingin memperbaiki perahu. KUD bisa mengusahakannya ke Pontianak. Untuk mengganti badan perahu, anggota harus mengeluarkan uang sekitar Rp 8 juta. Badan perahu berukuran 1,5 x 4 meter.

Badan perahu ada dua macam. Badan perahu kodian dan pesanan. Badang perahu kodian dibeli secara langsung. Biasanya lapisan fibernya agak tipis, dan terdiri dari 3 rangkap lapisan serat fiber glas. Badan perahu pesanan biasa disebut badan cetak. Artinya, pesan khusus. Lapisan badang perahu lebih tebal, hingga mencapai 4 lapis fiber. Lapisan bawah perahu biasanya dibuat agak lebih tebal. Tujuannya, agar perahu lebih awet, karena bagian bawahlah, yang biasa terkena air dan penahan beban. Tebal badang perahu kurang dari 1 cm.

Perahu dipasang terpal pada bagian atasnya. Orang menyebut terpal dengan nama kap. Terpal membungkus bilah-bilah pipa besi. Dan berfungsi melindungi penumpang perahu dari hujan atau terik matahari. Terpal warna hijau ini bisa ditutup atau dibuka, sesuai dengan keinginan penumpang.

KUD selalu mengontrol kelayakan armada. Bila badan perahu sudah tak layak, pengurus akan minta pemilik untuk memperbaiki atau mengantinya. Badan perahu layak pakai tergantung dari keadaan. Kalau musim pasang, kadang ada bonggol kayu bertebaran sepanjang jalur sungai dan danau. Bila mengemudikan perahu tidak hati-hati, perahu akan melanggar batangan kayu tersebut. Hal itu tentu saja membuat badan perahu menjadi rusak. Dalam kondisi biasa, artinya tidak ada benturan atau tabrakan, badan perahu bisa bertahan hingga 5-6 tahun.

Begitu juga bila ingin mengganti mesin. KUD bisa memfasilitasi dengan mencarinya ke Pontianak atau ke Lubuk Antu, Malaysia. Harga mesin tergantung dari kondisinya. Tapi, anggota jarang mengganti mesin seluruhnya. Jika ada mesin rusak, paling memperbaiki sendiri. Kalau pun tidak bisa diperbaiki sendiri, biasanya mesin akan dibawa ke bengkel di Semitau atau Nanga Suhaid. Kerusakan onderdil mesin biasanya pada piston ring, bearing, dan lainnya. Biaya reparasi mahal sekali. Bisa mencapai jutaan rupiah.

Pengguna angkutan penyeberangan ini beragam. Yang pasti, semua orang bisa menggunakannya. Pada tahun 2000-2004, jumlah penumpang dapat mencapai sekitar 80-100 orang perhari. Sekarang ini susah sekali. Penamupang ramai kalau ada anak sekolah sedang liburan sekolah, atau hari besar keagamaan. Penumpang turun hingga 50 persen.

“Semenjak tak ada kerja kayu, sudah jarang sekali penumpang. Dulu, pekerja kayu banyak yang pakai speed. Tidak ada kayu, semua aspek kehidupan jadi berkurang,” kata Agus. Karyawan kayu banyak yang berasal dari Sambas, Jawa dan Bugis.

Penumpang perahu diasuransikan. Ada jasa raharja. Melintas danau dan sungai tentu berbahaya. Tapi, belum pernah ada kecelakaan hingga menyebabkan perahu tenggelam. Paling insiden kecil seperti senggolan antararmada. Tahun 1998, penumpang membayar tiket Rp 35 ribu. Sekarang ini, orang harus membayar Rp 120 ribu perorang. Jadi, sewa satu perahu Rp 600 ribu.

Biasanya penumpang adalah masyarakat yang ingin ke Pontianak. Mereka berangkat siang hari, karena harus mengejar bis Semitau-Pontianak. Bis berangkat dari Semitau pada pukul 13.30-14.00. Oleh sebab itu, penumpang perahu biasanya naik dari Lanjak sebelum pukul 12.00. Kalau musim penghujan, terkadang bis tidak bisa jalan, karena jalan darat tak bisa dilalui. Karenanya, penumpang perahu langsung menuju Sintang.

Dari Sintang, mereka melanjutkan perjalanan darat dengan bis ke Pontianak. Dari Lanjak ke Sintang, butuh waktu sekitar 5 jam dengan perahu. Biaya transportasinya Rp 1,5 juta. Perorang dikenakan biaya Rp 300 ribu. Kalau pun tidak ada penumpang lain, orang itu harus sanggup menutup ongkosnya. Bila tidak, ya tidak berangkat.

Perahu sanggup menampung 90 liter bensin. Tangki bahan bakar ada di bawah badan perahu. Tangki bahan bakar tidak boleh bocor, agar tidak berbahaya bagi keselamatan. Untuk menempuh jarak Lanjak-Semitau, pulang-pergi, perahu membutuhkan bensin sekitar 40 liter. Jarak Lanjak-Sintang, perahu butuh 180 liter. Perahu biasanya mengisi bensin di Semitau. Di Lanjak, Semitau, Nanga Suhaid dan sekitarnya, harga bensin mencapai Rp 7 ribu perliternya. Kebanyakan bensin beli di kios. Tak ada SPBU di sana.

Bagaimana suka duka mengelola bisnis ini?

“Waktu penumpang banyak, tentu kita senang. Kalau penumpang sedikit, kita pun berpikir, bagaimana cara menanganinya,” tutur Agus.

Sekarang ini, Agus hanya punya satu armada. Bukannya tidak boleh punya lebih dari satu, tapi yang lain juga ingin punya armada. Tidak bolah ada monopoli.

Angkutan danau ini menggunakan satu rute. Tujuannya, bila ada armada rusak atau nyasar dari jalur, akan dengan mudah ditolong. Tidak ada alat komunikasi radio. Ketika musim banjir seperti sekarang ini, semua jalur sepertinya sama. Karenanya, pengemudi harus pandai melihat berbagai penanda bagi jalurnya. Sebuah LSM pernah membuat berbagai penanda bagi jalur perahu dengan bahan seng. Namun, penanda itu banyak hilang, jatuh, rusak karena kena angin dan cuaca.

Bila tak ada tanda, biasanya supir perahu menggunakan tanda bukit dan pohon. Misalnya dari arah Semitau. Kalau melihat suatu bukit, maka bukit itu dijadikan arah dan penanda. Dengan berpedoman pada lengkungan-lengkungan bukit, biasanya tidak akan meleset. Tumbuhnya pohon juga dijadikan arah dan petunjuk bagi jalur pelayaran perahu. Dengan menguasai jalur, penumpang tidak akan merugi dan kehilangan banyak waktu.

Jadwal keberangkatan 32 armada diatur sedemikian rupa. Ada petugas mengaturnya. Armada dibagi menjadi 4 kelompok. Jadi, 32 armada dibagi 15 hari kerja. Kalau orang punya satu armada, berarti 2 hari sekali saja bisa berangkat. Dalam sehari, biasanya berangkat 8 armada dari Semitau, dan 8 dari Lanjak. Besoknya, giliran satu grupnya lainnya.

“Kalau tidak kita atur, bisa kacau jadwalnya. Kita tidak tetap jadwalnya. Pokoknya, ada lima orang jalan. Tidak terlalu sulit mengaturnya,” kata Salam Setiadi, petugas pengatur keberangkatan dan pemesanan tiket dari KUD Saum Jaya.

Antara Lanjak dan Semitau, biasanya berkordinasi lewat telepon. Misalnya, ada penumpang membludak di Lanjak. Maka, armada di Semitau bisa ditarik sebagian ke Lanjak.

Tak diragukan lagi, dengan hancurnya jalan darat, angkutan lewat sungai dan danau merupakan satu-satunya alternatif. Namun, masih ada satu kekurangan. Belum ada dermaga keberangkatan, bagi armada angkutan danau dan sungai ini.

Bagaimana dengan sikap pemerintah?

“Pemerintah kabupaten Kapuas Hulu, pernah menyanggupi membuat dermaga pemberangkatan. Katanya dalam waktu dekat ini,” kata Salam Setiadi..***

Edisi Cetak, minggu pertama, 7 Desember 2005, Matra Bisnis
Foto Muhlis Suhaeri


No comments :