Tuesday, November 16, 2021

Banjir Sintang, Bukti Carut Marut Pengelolaan Lingkungan, Mitigasi dan Adaptasi Bencana (Bagian III)

Oleh Muhlis Suhaeri 


Foto banjir Sintang by Captain Amardio 
Banjir Sintang dan lima wilayah lain di Kalbar, telah menimbulkan penderitaan terhadap puluhan ribu warga. Banjir merupakan bukti carut marut pengelolaan lingkungan.

Banjir Sintang dan wilayah di perhuluan Kalbar lainnya, mestinya bisa diperkecil dampaknya. Tentunya, bila pemerintah Provinsi Kalbar, memiliki mitigasi dan adaptasi bencana dalam melakukan pembangunan.

Sayangnya, Gubernur Kalbar Sutarmidji mengabaikan peringatan yang sudah dilakukan BMKG, dua bulan sebelum bencana terjadi. Hall itu merupakan bukti carut marut pengelolaan lingkungan.

Manajemen Bencana

Melihat masalah banjir di perhuluan Kalbar, seperti terjadi di Sintang, Melawi, Sekadau, Sanggau bisa dimulai dengan pertanyaan sederhana. Banjir itu bencana atau takdir? Kalau banjir disebut bencana, maka mesti ada mitigasi, perencanaan atau risk manajemen.

“Bila tidak diikuti dengan perencanaan, maka tidak ada penganggaran. Tidak ada tool ke perencanaan pembangunan. Yang bisa masuk dalam pembangunan adalah manajement risk,” kata Haryono dari Natural Kapital.

Ia menegaskan, untuk menangani masalah banjir, harus ada pembangunan berdasarkan keanekaragaman hayati (Kehati). Dan itu sudah ada pengumuman. Tapi, ini tidak dilakukan pengumuman mitigasi. Banjir belum ada early warning. Sistem ini tidak jalan.

“Harusnya Pemkab Sintang merespons info BMKG yang ada di Bandara Tebelian Sintang dua bulan sebelumnya. Kuncinya pada pejabat yang punya diskresi,” kata Yono.

Ada yang tidak terhubung dalam jalur penanganan banjir di tingkat antar institusi. Misalnya, BNPB bentuk mandat yang diberikan. Cuma, kerja BNPB tidak terkoneksi. Selain itu, BNPB tidak dalam rangka mitigasi. Mandat pencegahan bukan di BNPB, tapi ada di KLHK. BNPB tidak terkoneksi ke KLHK.

“Kalau disalahkan, sistem otonomi daerah. Sistemnya tidak menyambung,” kata Yono.

Misalnya, relasi dengan daerah hulu, perubahan penggunaan lahan seberapa parah? Daya dukung lingkungan Bina Pengelolaan Ekosistem Esensial (BPEE) kritikal yang harus ditanggapi.

 "Sejauhmana yang punya kebijakan melaksanakan kapasitasnya,” kata Anas Nasrullah, pemerhati lingkungan, menambahi, “harus ada mitigas, adaptasi dan penanggulangan.“

Kepala daerah sering abai dengan informasi yang diberikan. Setelah terjadi bencana, pejabat baru bergerak. Sementara, mentalitas aparatur tidak bisa melaksanakan tugas itu.

Pada tahap penanganan, soal koordinasi tidak bisa bergerak. Apalagi di level hulu. Setiap bencana selalu kerepotan, karena tidak ada perencanaan.

Lantas, adakah skenario penanggulangan secara holistik? Atau, dari sisi kultural?

Mestinya, harus ada upaya untuk kembali ke budaya sungai. Contoh, saat orang buat rumah. Mereka tidak menghadap ke sungai. Malah dapurnya di sungai. Padahal, dulu, budaya sungai sudah menjadi tradisi. Misalnya, ada jembatan melengkung di atas sungai. Ada rumah panggung.

Penanganan Banjir

Penanganan banjir mesti dilakukan secara terintegrasi. Apalagi terkait dengan tata ruang. Satu daerah dengan lainnya, semestinya harus terhubung. Misalnya, Pinoh awalnya adalah buffer atau zona pengaman Kota Sintang.

Tapi, Pinoh alami banjir dan longsor. Hal itu terjadi, karena setiap wilayah diberi kuasa, mengelola wilayahnya sendiri. Sehingga penerbitan izin perkebunan, tambang dan lainnya, tidak memikirkan kondisi daerah lain.

“Harus ada kebijakan bersama untuk bicarakan mengenai banjir. Masing-masing Pemkab harus saling bicara, karena lintas kabupaten leadership Gubernur diperlukan” kata Anas.

Harus terpola dan saling terkoneksi, kerja bareng atasi banjir. Tidak berbasis keuangan saja. Tapi ada diskresi. Adakah skenario penanggulangan bersama. Dari pemkab dengan provinsi. Karena itu, lintas kabupaten, tidak lagi berbasis keluhan masalah, tidak punya otoritas, tidak mengoptimalkan birokarasi, dan lainnya.

“Yang namanya bencana, harusnya birokrasi putus di tingkat musyawarah para pihak,” kata Anas.

Dicontohkan Anas, harus ada seperti tata kelola SAR Mission Coordinator (SMC). Ada kerelaaan orang untuk dipimpin.

Menangani bencana dengan skenario birokrasi, pembatas masalah itu yang membuat penanganan tak bisa berjalan. Harus ada mekanisme yang disepakati. Kalau ada inisiasi yang terdampak adalah logistik, maka harus ada cara untuk mengamankan logistik. Mendistribusikan logistik.

Semua terkesan tidak siap, belum terlihat ada mekanisme yang dibuat untuk menangani banjir. Seperti, mekanisme untuk penanganan gempa. Misalnya, ada jalur-jalur evakuasi yang dibuat, bila terjadi gempa.

Padahal, mekanisme tidak butuh payung hukum. Cukup menggunakan strategi. Masing-masing sektor harusnya membuat mekanisme bersama.

“Voluntery based yang muncul. Maka bergerak tanpa dana. Bisa dilakukan, tapi tentu tidak semua,” ujar Anas.

Kalau bencana banjir ini dihubungkan dengan sawit, maka pertanyaanya, seberapa besar sedimentasi yang disumbang oleh sawit? Sehingga mengurangi volume sungai, karena sedimentasi. Tak semua ilok dan HGU ditanami. Paling kurang dari setengah saja, karena ada hak yang lain.

Bandingkan dengan individu petani yang menggunakan lahan. Data statistik di Sintang, 40 persen dikelola oleh small holder (sawit, karet dan lainnya), perusahaan 8-9 persen. Walaupun 9 persen, karena pola yang satu bentang lahan dan massif dalam pembukaan lahan, tentu ini harus menjadi titik kesadaran perusahaan, melakukan aksi penanggulangan dampak.

“Ekonomi penyokong Sintang (21 persen) adalah land base. Bisa sawit, karet dan lainnya,” kata Anas.

Trade off adalah salah satu alat dan perhitungan yang bisa menjelaskan alih fungsi lahan. Termasuk keberlanjutannya bagaimana.

Banjir bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja. Banjir ada penyebab. Masalah itu yang mesti ditangani. Satu diantaranya, setiap kepala daerah, harus punya perspektif lingkungan, saat mencanangkan pembangunan. Nyatanya, perspektif peduli lingkungan kurang dimiliki para kepala daerah. Buktinya?

Lihat saja visi-misi para kepala daerah, ketika mereka mencalonkan diri. Masalah terkait lingkungan, banjir, Karhutla dan lainnya, jarang disebut saat pemaparan visi-misi.(Muhlis Suhaeri)








Baca Selengkapnya...

Monday, November 15, 2021

Banjir Sintang, Bukti Carut Marut Pengelolaan Lingkungan, Mitigasi dan Adaptasi Bencana (Bagian II)

Oleh: Muhlis Suhaeri 

Banjir Sintang memberi pukulan telak, betapa pemerintah tidak memiliki konsep pembangunan berwawasan lingkungan. Tak ada mitigasi dan adaptasi bencana.

Ada bukti carut marut pengelolaan lingkungan, terlihat pada peristiwa itu. Banjir Sintang dan sebagian besar wilayah di perhuluan Kalbar.

Banjir Sintang menegaskan, tidak ada upaya mitigasi dan adaptasi bencana dalam pemerintahan Gubernur Kalbar Sutarmidji. Sebab, dua bulan sebelum bencana, BMKG telah memberikan peringatan terhadap hal itu. Tapi pemprov Kalbar terlihat abai.

Dampak Alih Fungsi Lahan

Dampak ikutan adanya perkebunan kelapas sawit yang dirasakan masyarakat secara langsung adalah, sistem ketahanan pangan masyarakat mengalami perubahan ke arah makin rentan, kehilangan sumber air, rusaknya sumber daya air, semakin seringnya bencana banjir dan kebakaran, serta kesehatan masyarakat menjadi rentan.

Pada 1969-1978, mata pencaharian masyarakat sepenuhnya diperoleh dari kawasan hutan, sungai dan rawa. Pada tahun 1980, masyarakat mulai membudidayakan tanaman karet. Pada 1984, warga mulai bercocok tanam padi.

Perubahan dimulai sejak 2006, banyak masyarakat menanam kelapa sawit, ketika perusahaan perkebunan kelapa sawit masuk. Sejak 2006, sistem pangan dan livelihood masyarakat berganti drastis.

Pola pertanian tradisional telah berganti menjadi pengelolaan perkebunan kelapa sawit. Masyarakat jadi buruh perkebunan. Secara keseluruhan, masyarakat sejak 2007-2015, sering menghadapi situasi dampak perubahan.

Hal tersebut mulai terasa dengan suhu yang semakin meningkat dan semakin kering. Musim kemarau yang semakin panjang (mulai Mei hingga Oktober), berdampak pada menyusutnya air sungai, sulit dapat air bersih, gagal panen, transportasi sungai jadi sulit, dan harga kebutuhan pokok meningkat.

Data perubahan di atas dapat diekstrak dari data BPS, sebagai contoh komposisi penggunaan lahan oleh perusahaan sawit sebesar 8-9.9 persen, sedangkan penggunaan lahan oleh masyarakat untuk berbagai penggunakan berbasis lahan sebesar 40-48 persen.

Banjir Menghadang

Banjir Sintang by Captain Amardio
Sejarah alih fungsi lahan dan eksploitasi hutan, berimbas pada daya dukung kawasan dan merusak sistem hidrologi. Pembukaan lahan juga berimbas pada sedimentasi dan pendangkalan di sepanjang daerah aliran sungai (DAS).

Kondisi itu membuat air yang semula tertampung dalam penampang aliran sungai meluber, akibat tak mampu lagi menampung air. Akibatnya, air meluap dan terjadi banjir. Di Kapuas Hulu, 80 persen wilayah merupakan hutan.

Selain itu, terdapat Danau Sentarum seluas 32.000 hektar. Kawasan danau menjadi penampung dan penyeimbang air. Fungsi danau layaknya bejana timbangan. Bila air Sungai Kapuas meluap, maka Danau Sentarum menampung air tersebut, sehingga potensi banjir secara alami bisa teratasi.

Demikian juga sebaliknya. Bila Danau Sentarum sudah terlalu penuh air, Sungai Kapuas mengalirkan air dari Danau Sentarum, sehingga kawasan sekitar danau tidak kebanjiran. Danau Sentarum menjadi buffer zone.

“Di Kapuas Hulu, ada Danau Sentarum yang berfungsi menyerap air. Kalau air sudah tak terserap, mengalir ke hilir. Dan, Sintang pasti banjir,” kata kata Anas Nasrullah, pemerhati lingkungan, sehari-hari tinggal di Sintang kepada Insidepontianak.com di Pontianak, Jum’at (12/11/2021).

Wilayah Kabupaten Melawi sebagian besar juga hutan. Sungai Melawi, Sungai Pinoh, Mentatai dan sungai besar lainnya mengalirkan air menuju Nanga Pinoh kemudian Kabupaten Sintang. Aliran airnya, bertemu dengan Sungai Kapuas di Kota Sintang.

Pertemuan dari beberapa sungai itu, membuat Kota Sintang, rentan terjadinya banjir. Apalagi alih fungsi lahan di sebagian besar Kabupaten Sintang, telah mengambil sebagian besar wilayah yang menjadi resapan air dan hutan rawa.

”Hanya wilayah Banning saja yang tersisa sebagai wilayah hijau. Semua sudah ditanami sawit. Apalagi di wilayah sekitar Kelam,” kata Sesep, aktivis lingkungan di Kalbar.

Tak hanya alih fungsi lahan menjadi sawit atau warisan HPH, penyebab banjir, salah satunya karena sedimentasi di pertemuan-pertemuan anak sungai dan sungai besar. Contoh di Nangah Pinoh dan di Sintang. Sedimentasi terjadi karena adanya aktivitas memindahkan material dari satu titik ke titik lain atau dari darat ke badan sungai dari praktek penambangan sepanjang aliran sungai.

“Penambangan sepanjang sungai, memindahkan material dari titik satu ke titik lain, mengubah aliran sungai, mengubah arus sungai sehingga dibeberapa titik sempadan sungai longsor tergerus air yang senantiasa berubah, hingga ada yang terbawa arus ke hilir dan bertemu di muara sungai,” kata Anas, menimpali.

Tak heran bila, pertemuan dua sungai tersebut, tumpukan pasir semakin banyak. Dapat dilihat ketika musim kemarau.

“Sungai tak bisa menampung volume air, akibat sedimentasi,” kata Anas.

Banjir tahun ini, juga menyisakan satu peristiwa langka. Tak pernah terjadi sebelumnya. Yaitu, banjir yang terjadi pada 23-25 Oktober 2021, di Desa Kayu Bunga, Kecamatan Belimbing Hulu, Kabupaten Melawi. Desa itu merupakan area perbukitan.

Banjir dan longsor menyebabkan sebagian besar rumah warga terdampak. Hanya bangunan gereja dan kantor desa, tak terdampak banjir karena letaknya tinggi. Setelah wilayah Melawi banjir, air segera mengalir ke Kota Sintang dan sekitarnya.

Akibat Degradasi Hutan

Peningkatan curah hujan akan meningkatkan kejadian banjir dan tanah longsor, diperparah tingginya laju deforestasi dan degradasi hutan. Kejadian ini sering ditemukan antara bulan November - Maret setiap tahunnya.

Menurut laporan ADB tahun 2015, peringkat kerentanan untuk sebagian besar Kalimantan Barat adalah Sedang (laporan penilaian Kerentanan Perubahan Iklim BIMP-EAGA, ADB pada April 2015).

Berdasarkan Perpres Nomor 61 Tahun 2011, tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas (RAN-GRK) telah menetapkan Provinsi Kalimantan Barat, sebagai salah satu provinsi yang rawan/medium (mempertimbangkan Indeks Pajanan dan Sensitivitas-IKS dan Indeks Kemampuan Adaptasi- IKA).

Status kerentanan ini diperkuat oleh Sistem Informasi Data Indeks Kerentanan (SIDIK) yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Perubahan Iklim - KLHK (2015), menyebutkan 1.967 desa di Kalimantan Barat (94,7 persen), rentan terhadap perubahan iklim. Lebih dari 264 desa, memiliki tingkat kerentanan sangat tinggi, termasuk desa di Melawi, Sintang dan Ketapang.

Warga Terjebak Banjir

Hampir sebulan ini, Kota Sintang masih tergenang banjir. Banjir pertama menggenangi Kota Sintang, 18 Oktober 2021. Banjir awalnya terjadi di sekitar wilayah pinggiran sungai. Seperti, Sungai Yana, Banning Kota, Mengkurai, Mesuka, Sungai Durian, Sungai Melawi, Kelurahan Ladang, Kelurahan Nalai, Keraton, Menyumbung Tengah, Pulak Jaya, dan lainnya. 

Tanggal 28 Oktober, air mulai surut. Tapi, tidak sampai kering. Pada 29 Oktober, pukul 2 dini hari, air mulai naik. Kondisi itu berlangsung hingga empat jam. Hingga 1 November 2021, kondisi air semakin menggenangi wilayah Kota Sintang. Mulai 5 November, pekarangan rumahnya di Jalan Raya Sintang menuju Kapuas Hulu, mulai tergenang air.

“Seumur hidup di Sintang, baru lihat belakang rumah tergenang air,” kata Agung.

Agung menenggarai, meski tahun 1963, pernah terjadi banjir besar, tapi tahun 2021, merupakan banjir tertinggi di Sintang.

Kalau melihat dari proses banjir, agak membingungkan. Kenapa? Karena debit air di hulu (red, Kapuas Hulu) sudah surut. Cuma, Kota Sintang terdapat muara sungai besar. Yaitu, Sungai Kapuas dan Melawi.

Saka Tiga, depan rumah Dinas Bupati Sintang, menjadi pertemuan dua sungai tersebut. Di Kapuas Hulu tidak banjir. Di Melawi banjir, tapi tidak tinggi. Banjir terbesar di Sintang.

Kalau dilihat dari masyarakat terdampak banjir, mereka yang terkena banjir langsung atau tidak kena banjir, tetap terdampak. Sebab, akses jalan utama, seperti Jalan Melawi dan PKP Mujahidin terputus. 

Jalan PKP Mujahidin untuk wilayah perkantoran juga terendam. Di jalan ini ada kantor Bupati Sintang. Kantor DPRD Sintang, dan lainnya. Sementara Jalan Lintas Melawi, adalah jalur bisnis di Kabupaten Sintang.

Selama banjir, ada kunjungan dari Wakil Gubernur Kalbar, Ria Norsan, Kamis (28/10/2021). Ia membawa 17 ton beras. Gubernur Kalbar, Sutarmidji, turut melihat banjir, Selasa (2/11/2021). Ia bawa 80 ton beras. Informasinya sudah disebarkan.

Ada kunjungan dari Menteri Sosial, Risma, Rabu (3/11/2021). Mensos menyerahkan bantuan Rp 653 juta untuk penanganan banjir. Kepala BNPB, Ganip Warsito mengunjungi Sintang, Selasa (9/11/2021). 

Ganip menyerahkan bantuan Dana Siap Pakai (DSP) senilai Rp 1,5 miliar, guna percepatan penanganan banjir yang melanda empat kabupaten di Kalbar. Sebanyak Rp 500 juta, mendukung penanganan banjir di Kabupaten Sintang. Rp 500 juta diberikan kepada Kabupaten Melawi. Rp 250 juta untuk Kabupaten Sekadau. Rp 250 juta untuk Kabupaten Sanggau.

Di Kota Sintang, warga kurang merasakan kunjungan itu. Ganip tak melihat banjir yang sesungguhnya. Ia hanya naik tronton, dan melihat banjir di sekitar Jalan Lintas Melawi. Padahal, dampak terbesar banjir, ada di Kelurahan Ladang, Kelurahan Alay, Keraton Menyumbung Tengah, dan Tulak Jaya. Daerah itu paling parah banjirnya.

Di Kecamatan Tempunak, dampak banjir lebih terasa. Tempunak lebih rendah dari Kota Sintang.

“Makanya, syok sekali banjir di pusat kota, sampai setinggi itu,” kata Sri Galuh, mahasiswi S2 Untan.

Kegiatan di kampung lumpuh. Tanaman karet terendam. Banjir sekitar 4 meteran. Ada yang lebih. Galuh pertama kali merasakan banjir besar seperti sekarang ini. Ada tiga pos pengungsian di desanya.

Warga membuat panggung dari kayu dan papan. Harta benda diletakkan di panggung tersebut. Sedangkan orang rumah mengungsi ke pos pengungsian.

“Untuk bantuan, alhamdulillah sudah. Tapi, rata-rata dari para donatur mandiri. Dari pemerintah belum ada. Tapi, dari instansi seperti TNI/Polri, sudah ada,” kata Galuh.

Banjir membuat listrik mati total. Jaringan komunikasi pun tersendat. Untuk mendapatkan sinyal, warga harus menumpang ke Puskesmas.

Bencana banjir membuat sebagian warga yang terdampak mulai putus asa. Bagaimana tidak? Harta benda sudah habis terendam. Semangat pun perlahan berkurang. Sementara genangan banjir terus naik.

"Semangat dah habes. Sisa bersyukur diberi sehat saja kami di sini (Sintang),” ucap Wati, warga Kelurahan Alay, Kecamatan Sintang.

Perempuan 34 tahun itu, sudah hampir sebulan merasakan banjir. Terparah sejak dua pekan terakhir. Rumahnya tenggelam habis.

Akibatnya, dia sekeluarga terpaksa mengungsi ke tempat yang telah disediakan pemerintah. Hari-hari makan nasi boks. Bantuan dari berbagai lembaga yang terus berdatangan.

Banjir itu membuatnya betul-betul lelah. Sebab tak ada tanda, banjir segera surut. Doa hanya bisa dipanjatkan. Agar bencana ini berlalu segera.

“Sudah sebulan kami di sini merasakan banjir. Saya dan keluarga sekarang mengungsi,” ujarnya.

Kini, Kota Sintang berubah seperti lautan. Air menggenang di sepanjang jalan, hampir sebulan lamanya. Kendaraan darat, seperti sepeda motor dan mobil, tak terlihat lagi melintas di jalan protokol kota.

Di Kabupaten Melawi, banjir juga terjadi. Restu Purnadi, warga di Kecamatan Tanah Pinoh, biasa disebut Kotabaru, menceritakan bencana banjir yang dialami.

“Kalau untuk di Kotabaru sendiri, jarang banjir berlangsung lama. Paling lama tiga hari. Itu pun airnya tak terlalu besar,” kata Restu, mahasiswa S2 Untan.

Biasanya, banjir terjadi karena hujan di hulu sungai. Pada hari pertama, banjir bisa setinggi satu hingga satu setengah meter. Kondisi itu untuk rumah di daerah dekat sungai. Warga bergotong royong menyelamatkan harta benda.

“Di kampung-kampung, pasti rasa solidaritasnya masih tinggi,” kata Restu.

Banjir seperti ini, jarang sekali bantuan dari pemerintah. Kalau banjir besar susah mau dilewati dari rute sungai bagi pemerintah. Terakhir, banjir besar pada tahun 2018, membuat tiga jembatan gantung terputus karena banjir.

“Akses jalan warga berubah menjadi sampan kecil. Sampan itulah yang digunakan warga untuk beraktivitas, urus segala keperluan,” kata Restu.

Di Kabupaten Kapuas Hulu, Berdasarkan data sementara BPBD Kapuas Hulu, ada 8.714 jiwa (2.603 KK) terdampak bencana banjir. Kepala Pelaksana BPBD Kapuas Hulu, Gunawan menyatakan, warga terdampak banjir berada di tujuh kecamatan. Yaitu, Silat Hilir, Suhaid, Selimbau, Jongkong, Batang Lupar, Badau, dan Semitau.

“Sedangkan desa yang terdampak banjir, sebanyak 41 desa. Ketinggian debet air kurang lebih satu sampai tiga meter setiap desa,” ujarnya, Kamis (11/11/21).

Ada 42 fasilitas umum terdampak banjir di Kabupaten Kapuas Hulu.

“Sekali lagi, ini adalah data sementara. Bisa bertambah karena kondisi banjir kita di Kapuas Hulu masih berlangsung, ditambah lagi curah hujan yang cukup tinggi, beberapa hari terakhir ini,” ucapnya.

Berdasarkan prakiraan BMKG, kerentanan banjir masih akan terjadi hingga Februari 2022. Curah hujan masih akan tinggi, siiring perubahan iklim La Nina. Berdasarkan laman id.wikipedia.org, La Nina merupakan fenomena alam, yang dikendalikan oleh perbedaan suhu muka air laut.

Selama fenomena La Nina berlangsung, suhu permukaan laut di sepanjang timur dan tengah Samudera Pasifik yang dekat atau berada di garis khatulistiwa mengalami penurunan sebanyak 3 derajat hingga 5 derajat celsius dari suhu normal. Kemunculan fenomena La Nina ini, biasanya berlangsung paling tidak lima bulan

Karena itu, ancaman banjir masih panjang. Pemerintah harus membuat skema mitigasi yang tepat. Terutama skema penyaluran bantuan logistik untuk warga terdampak. Agar ketersediaan kebutuhan sembako tidak tersendat. Penanganan dampak banjir mesti dilakukan bersama.(Muhlis Suhaeri)

Baca Selengkapnya...

Sunday, November 14, 2021

Banjir Sintang, Bukti Carut Marut Pengelolaan Lingkungan, Mitigasi dan Adaptasi Bencana (Bagian I)

Oleh Muhlis Suhaeri

Banjir Sintang bukti carut marut pengelolaan lingkungan, mitigasi dan adaptasi bencana. Banjir Sintang dan penanganan bencana yang amburadul, terlihat lagi ketika banjir menerjang lima wilayah perhuluan di Kalimantan Barat. Proses mitigasi dan adaptasi bencana tidak ada.

Padahal, BMKG telah memperingatkan dua bulan sebelum banjir. Gubernur Kalbar Sutarmidji dianggap gagal mengantisipasi dan menangani banjir. Banjir Sintang titik kegagalan pembangunan berwawasan lingkungan, mitigasi dan adaptasi bencana.

Banjir menyebabkan ribuan warga mengungsi. Jalur jalan utama terputus. Aktivitas ekonomi lumpuh. Termasuk jaringan komunikasi seluler dan PLN. Banjir memperlihatkan buruknya koordinasi penanganan, antara pemerintah kabupaten dan provinsi Kalbar.

Banjir peristiwa yang berulang setiap tahun. Namun, mitigasi dan penanganan belum menunjukkan kemajuan. Kesalahan terus berulang menangani banjir. Padahal, banjir merupakan peristiwa yang sudah bisa diprediksi dan diperkirakan, kapan datangnya. Ilmu cuaca bisa menjawabnya. Mestinya, ada persiapan untuk menangani.

“Hingga penghujung tahun 2021, Sintang sudah alami enam kali banjir,” kata Anas Nasrullah, pemerhati lingkungan, sehari-hari tinggal di Sintang kepada Insidepontianak.com di Pontianak, Jum’at (12/11/2021).

Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sintang menyebut, banjir terjadi di 12 kecamatan, dari 14 kecamatan di Sintang. Banjir menyebabkan sekitar 140 ribuan warga terdampak. Banjir merendam 35.117 rumah. Mengenangi rumah mulai 30 cm hingga tiga meter. Bahkan, banjir membuat dua orang terseret banjir.

Sebelum banjir terjadi, dua bulan sebelumnya, Badan Meteorolgi dan Geofisika (BMKG) di Pelabuhan Tebelian Sintang, sudah memberikan peringatan, akan terjadinya La Nina. Dampaknya, banjir yang bakal menggenangi wilayah itu.

“Namun, tidak ada respon dari Pemkab Sintang atau Provinsi Kalbar, untuk melakukan antisipasi atau mitigasi,” kata Anas.

Bicara mengenai banjir di perhuluan Kalbar, tentu saja harus dilihat kondisi wilayah hulu dan hilirnya. Juga sejarah pengelolaan dan alih fungsi lahan yang terjadi.

Banjir tak lepas dari kebijakan masa lalu yang mengobral hutan.

Hak Pengelolaan Hutan 

Hak pengelolaan terhadap hutan, tak lepas dari sistem politik di suatu Negara. Era pemerintahan Orde Baru dengan Soeharto sebagai Presiden, tak lepas dari sistem sentralistik kepemimpinan. 

Tak heran bila hak penguasaan hutan, juga dilakukan secara sentralistik. Siapa yang dekat dengan kekuasaan pemerintah pusat di Jakarta, bisa mendapatkan Hak Pengelolaan Hutan (HPH). Peran pemerintah daerah hampir tak ada. Semua dikuasai pusat.

Hak pengelolaan hutan diatur melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan. Atas nama pembangunan, Presiden Soeharto membuat UU Nomor 1 Tahun 1967, tentang Penanaman Modal Asing (PMA). UU tersebut, membuka secara luas, masuknya investor asing untuk menanamkan modal atau investasi di Indonesia. Tentu saja, juga investasi di sektor kehutanan.

Data dari NGO Lanting Borneo, setidaknya terdapat lima perusahaan besar pemegang HPH di Kapuas Hulu. Yaitu, PT Benua Indah, dengan penguasaan lahan seluas 57.300 hektar. PT Bumi Raya Utama Wood Industries, 110,500 hektar. PT Lanjak Deras Jaya Raya, 45.740 hektar. PT Tawang Meranti, 49.200 hektar. PT Batasan seluas 49.150 hektar. Masa konsesi HPH biasanya 35 tahun.

Di Kabupaten Sintang, terjadi praktik sama dalam pengelolaan hutan. Data penelitian Untan dan Konservasi Borneo, bekerja sama dengan CIFOR menyebut, ada 17 pemegang HPH di Kabupaten Sintang. Bila dijumlahkan, luas lahan 1.591.900 hektar.

Lokasi HPH berada di Nangai Serawai, Sayan, Nanga Pinoh, Nangan Ela, Nanga Ambalau, Nanga Tebidah, Ketungau, Nanga Sepauk, Sokan, Ketungau dan Sintang. Merata di semua wilayah. Dari hulu hingga hilir 3 DAS yang mengalir di Sintang. Sungai Melawi, Tebidah dan Kapuas. Ketika itu, Kabupaten Melawi belum terbentuk. Pemekaran Kabupaten Melawi tahun 2003.

HPH terluas dimiliki PT Jamaker (Perum Perhutani) seluas 220.000 hektar di Ketungau. Terluas kedua, PT Kayu Lapis Indonesia, seluas 177.000 di Nanga Sepauk.

Era keemasan pemegang HPH ditandai dengan industrI plywood. Kayu ditebang dan digelontorkan melalui sungai. Tug boat menarik dan mendorong kayu log yang sudah disatukan melalui rakit, menuju Pontianak dan sekitarnya. Kayu digergaji di sawmill, menghasilkan berbagai jenis olahan triplek, multiplek dan lainnya.

Booming industri kayu menggerakkan ekonomi Kalbar. Sayangnya, penebangan hutan tidak diikuti dengan penanaman kembali, atau reboisasi terhadap hutan. Penebangan hutan yang tak terkontrol, membuat hutan di Kalimantan hancur. Hal itu bisa dilihat dari hasil produksi setiap tahun yang kian turun.

Di Sintang misalnya, data CIFOR menunjukkan hal itu. Tahun 1997, produksi kayu sebesar 358.529,73 meter kubik. Tahun 1998, produksi kayu 279.222,61 meter kubik. Tahun 1999, produksi kayu 47.799,07 meter kubik. Tahun 2000, 33.920,05 meter kubik.

Akhirnya, era keemasan industri kayu selesai. Seketika, ekonomi Kalbar surut, seiring lumpuhnya sawmill, karena kesulitan memperoleh bahan baku kayu.

Perkebunan Sawit

Rumah terendam banjir di Sintang.
Era pemegang HPH dengan model pemerintahan yang sentralistik, berganti seiring dengan era reformasi. Ada otonomi daerah. Atas nama otonomi, pemerintah daerah berpacu mencari sumber-sumber pendanaan, bagi pembangunan di daerah. Kekuasaan tak lagi terpusat di Jakarta. Tapi, terfrakmentasi ke berbagai wilayah di Indonesia. Muncul “Raja-Raja Kecil” yang menjadi penguasa daerah.

Pengusaha berlomba mendekati kepala daerah. Terutama yang memiliki lahan luas, bagi penanaman perkebunan sawit. Di Kalbar, kondisi itu terlihat dengan nyata. Terutama kabupaten yang memiliki wilayah luas dan masih kosong penduduk.

Di Kabupaten Kapuas Hulu misalnya, data Lanting Borneo menyebut, setidaknya terdapat 22 perusahaan sawit, dengan izin lahan seluas 337.100 hektar. Bila dibagi menjadi beberapa grup besar, PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk (PT SMART Tbk) dengan sembilan perusahaan, memiliki luas 140.000 hektar. Grup First Borneo International dengan lima perusahaan, memiliki lahan seluas 75.100 hektar. Grup Metro memiliki 40.000 hektar. Angka dan luasan lahan, bisa saja berubah sewaktu-waktu, karena adanya take over atau diambil alih perusahaan lain.

Menteri Sosial, Tri Rismaharini tinjau korban banjir di RT 26, Desa Liku, Kelurahan Beringin, Kecamatan Kapuas, Kabupaten Sanggau, Rabu (3/11/2021). Di sana ada 139 Kepala Keluarga (KK) yang terdampak banjir dalam beberapa hari terakhir. (Ist).

Di Kabupaten Sintang, dari jumlah luasan hutan sekitar 2.185.195 hektar, terdiri dari taman nasional, taman wisata alam, hutan lindung, hutan produksi terbatas, hutan produksi hutan produksi konversi.

Data CIFOR menyebutkan, Pemkab Sintang mengeluarkan kebijakan daerah untuk mengelola sumberdaya hutan, dengan menerbitkan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK). Kegiatan eksploitasi kayu dengan skala kecil seluas 50.000 hektar, dan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH) seluas 100 hektar.

Selama 2000- 2003, Bupati Sintang telah menerbitkan IUPHHK, sebanyak 8 Unit. Luas areal mencapai lebih dari 200 ribu hektar. Juga menerbitkan izin HPHH sebanyak 602 izin dari 1.338 usulan yang diajukan kepada Bupati.

Di wilayah lain di Kalbar, seperti di Kapuas Hulu, Bengkayang, Sambas, Ketapang, Pontianak, Landak, Bengkayang dan Sintang, selama 2000-2003, terdapat 944 izin IUPHHK.

Dari beberapa contoh kasus di atas, kita bisa melihat bahwa, eksploitasi terhadap sumber daya hutan, berlangsung sangat masif di Kalbar.

Tak heran bila, Forest Watch Indonesia (FWI) mencatat, laju deforestasi hutan Indonesia pada periode tahun 1985-1998, tidak kurang dari 1,6–1,8 juta hektar per tahun. Tahun 2000, laju deforestasi meningkat menjadi 2 juta hektar per tahun. KLHK mencatat, pada 2016-2017, angka deforestasi berada di angka 0,48 juta hektar.

Hasil Analisis FWI menunjukkan, deforestasi pada periode 2013-2017, diperkirakan mencapai angka kurang lebih 5,7 juta hektare. Atau, sekitar 1,46 juta hektar per tahun. Angka ini alami peningkatan dari rerata deforestasi, dibandingkan periode 2009-2013. Yaitu, seluas 1,1 juta hektar per tahun.

Erlangga dari Madani Berkelanjutan menyampaikan penelitiannya, Kalimantan Barat merupakan area terluas perkebunan sawit ketiga terbesar secara nasional, mencapai luasan 1,5 juta hektar. Namun, tingkat produktivitasnya rendah, berada di peringkat kesepuluh dengan hasil 2.35 ton per hektar.

Tingginya luasan wilayah tanam, tapi produktivitasnya masih di bawah target provinsi atau secara komparatif dengan provinsi lain. “Ini menunjukkan ada tantangan produktivitas. Yang perlu menjadi perhatian, bagi pengambil kebijakan di Kalimantan Barat,” ujar Erlangga.

Data dari Direktorat Jenderal Perkebunan, produksi minyak sawit tahun 2017, sebesar 2.784.180. Tahun 2018, 3.086.889. Tahun 2019, 5.235.299. Tahun 2020, 5.471.407. Tahun 2021, 5.635.683 69,60.

Mantan Sekretaris Daerah Kalbar, A Leysandri dalam suatu kesempatan pernah menyatakan bahwa, potensi pajak dari sector sawit selama setahun sekitar Rp1,5 trilun.

Sektor pertambangan, turut menyumbang alih fungsi lahan di Kalbar. Begitu juga dengan aktivitas penambangan emas tanpa izin (PETI). Yang menyasar berbagai wilayah, tanpa pandang bulu. Semua itu turut berperan, menjadi penyebab banjir yang sedang kita alami hari ini.(Muhlis Suhaeri) 

Baca Selengkapnya...