Banjir Sintang, Bukti Carut Marut
Pengelolaan Lingkungan, Mitigasi dan Adaptasi Bencana (Bagian II)
Oleh: Muhlis Suhaeri
Banjir Sintang memberi pukulan telak,
betapa pemerintah tidak memiliki konsep pembangunan berwawasan lingkungan. Tak
ada mitigasi dan adaptasi bencana.
Ada bukti carut marut pengelolaan
lingkungan, terlihat pada peristiwa itu. Banjir Sintang dan sebagian besar
wilayah di perhuluan Kalbar.
Banjir Sintang menegaskan, tidak ada
upaya mitigasi dan adaptasi bencana dalam pemerintahan Gubernur Kalbar
Sutarmidji. Sebab, dua bulan sebelum bencana, BMKG telah memberikan peringatan
terhadap hal itu. Tapi pemprov Kalbar terlihat abai.
Dampak Alih Fungsi Lahan
Dampak ikutan adanya perkebunan kelapas
sawit yang dirasakan masyarakat secara langsung adalah, sistem ketahanan pangan
masyarakat mengalami perubahan ke arah makin rentan, kehilangan sumber air,
rusaknya sumber daya air, semakin seringnya bencana banjir dan kebakaran, serta
kesehatan masyarakat menjadi rentan.
Pada 1969-1978, mata pencaharian
masyarakat sepenuhnya diperoleh dari kawasan hutan, sungai dan rawa. Pada tahun
1980, masyarakat mulai membudidayakan tanaman karet. Pada 1984, warga mulai
bercocok tanam padi.
Perubahan dimulai sejak 2006, banyak masyarakat
menanam kelapa sawit, ketika perusahaan perkebunan kelapa sawit masuk. Sejak
2006, sistem pangan dan livelihood masyarakat berganti drastis.
Pola pertanian tradisional telah
berganti menjadi pengelolaan perkebunan kelapa sawit. Masyarakat jadi buruh
perkebunan. Secara keseluruhan, masyarakat sejak 2007-2015, sering menghadapi
situasi dampak perubahan.
Hal tersebut mulai terasa dengan suhu
yang semakin meningkat dan semakin kering. Musim kemarau yang semakin panjang
(mulai Mei hingga Oktober), berdampak pada menyusutnya air sungai, sulit dapat
air bersih, gagal panen, transportasi sungai jadi sulit, dan harga kebutuhan
pokok meningkat.
Data perubahan di atas dapat diekstrak
dari data BPS, sebagai contoh komposisi penggunaan lahan oleh perusahaan sawit
sebesar 8-9.9 persen, sedangkan penggunaan lahan oleh masyarakat untuk berbagai
penggunakan berbasis lahan sebesar 40-48 persen.
Banjir Menghadang
|
Banjir Sintang by Captain Amardio |
Sejarah alih fungsi lahan dan
eksploitasi hutan, berimbas pada daya dukung kawasan dan merusak sistem hidrologi.
Pembukaan lahan juga berimbas pada sedimentasi dan pendangkalan di sepanjang
daerah aliran sungai (DAS).
Kondisi itu membuat air yang semula
tertampung dalam penampang aliran sungai meluber, akibat tak mampu lagi
menampung air. Akibatnya, air meluap dan terjadi banjir. Di Kapuas Hulu, 80
persen wilayah merupakan hutan.
Selain itu, terdapat Danau Sentarum
seluas 32.000 hektar. Kawasan danau menjadi penampung dan penyeimbang air.
Fungsi danau layaknya bejana timbangan. Bila air Sungai Kapuas meluap, maka
Danau Sentarum menampung air tersebut, sehingga potensi banjir secara alami
bisa teratasi.
Demikian juga sebaliknya. Bila Danau
Sentarum sudah terlalu penuh air, Sungai Kapuas mengalirkan air dari Danau
Sentarum, sehingga kawasan sekitar danau tidak kebanjiran. Danau Sentarum
menjadi buffer zone.
“Di Kapuas Hulu, ada Danau Sentarum yang
berfungsi menyerap air. Kalau air sudah tak terserap, mengalir ke hilir. Dan,
Sintang pasti banjir,” kata kata Anas Nasrullah, pemerhati lingkungan,
sehari-hari tinggal di Sintang kepada Insidepontianak.com di
Pontianak, Jum’at (12/11/2021).
Wilayah Kabupaten Melawi sebagian besar
juga hutan. Sungai Melawi, Sungai Pinoh, Mentatai dan sungai besar lainnya
mengalirkan air menuju Nanga Pinoh kemudian Kabupaten Sintang. Aliran airnya,
bertemu dengan Sungai Kapuas di Kota Sintang.
Pertemuan dari beberapa sungai itu,
membuat Kota Sintang, rentan terjadinya banjir. Apalagi alih fungsi lahan di
sebagian besar Kabupaten Sintang, telah mengambil sebagian besar wilayah yang menjadi
resapan air dan hutan rawa.
”Hanya wilayah Banning saja yang tersisa
sebagai wilayah hijau. Semua sudah ditanami sawit. Apalagi di wilayah sekitar
Kelam,” kata Sesep, aktivis lingkungan di Kalbar.
Tak hanya alih fungsi lahan menjadi
sawit atau warisan HPH, penyebab banjir, salah satunya karena sedimentasi di
pertemuan-pertemuan anak sungai dan sungai besar. Contoh di Nangah Pinoh dan di
Sintang. Sedimentasi terjadi karena adanya aktivitas memindahkan material dari
satu titik ke titik lain atau dari darat ke badan sungai dari praktek
penambangan sepanjang aliran sungai.
“Penambangan sepanjang sungai,
memindahkan material dari titik satu ke titik lain, mengubah aliran sungai,
mengubah arus sungai sehingga dibeberapa titik sempadan sungai longsor tergerus
air yang senantiasa berubah, hingga ada yang terbawa arus ke hilir dan bertemu
di muara sungai,” kata Anas, menimpali.
Tak heran bila, pertemuan dua sungai
tersebut, tumpukan pasir semakin banyak. Dapat dilihat ketika musim kemarau.
“Sungai tak bisa menampung volume air,
akibat sedimentasi,” kata Anas.
Banjir tahun ini, juga menyisakan satu
peristiwa langka. Tak pernah terjadi sebelumnya. Yaitu, banjir yang terjadi
pada 23-25 Oktober 2021, di Desa Kayu Bunga, Kecamatan Belimbing Hulu,
Kabupaten Melawi. Desa itu merupakan area perbukitan.
Banjir dan longsor menyebabkan sebagian
besar rumah warga terdampak. Hanya bangunan gereja dan kantor desa, tak
terdampak banjir karena letaknya tinggi. Setelah wilayah Melawi banjir, air
segera mengalir ke Kota Sintang dan sekitarnya.
Akibat Degradasi Hutan
Peningkatan curah hujan akan
meningkatkan kejadian banjir dan tanah longsor, diperparah tingginya laju
deforestasi dan degradasi hutan. Kejadian ini sering ditemukan antara bulan
November - Maret setiap tahunnya.
Menurut laporan ADB tahun 2015,
peringkat kerentanan untuk sebagian besar Kalimantan Barat adalah Sedang
(laporan penilaian Kerentanan Perubahan Iklim BIMP-EAGA, ADB pada April 2015).
Berdasarkan Perpres Nomor 61 Tahun 2011,
tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas (RAN-GRK) telah menetapkan
Provinsi Kalimantan Barat, sebagai salah satu provinsi yang rawan/medium
(mempertimbangkan Indeks Pajanan dan Sensitivitas-IKS dan Indeks Kemampuan
Adaptasi- IKA).
Status kerentanan ini diperkuat oleh Sistem
Informasi Data Indeks Kerentanan (SIDIK) yang dikeluarkan Direktorat Jenderal
Perubahan Iklim - KLHK (2015), menyebutkan 1.967 desa di Kalimantan Barat (94,7
persen), rentan terhadap perubahan iklim. Lebih dari 264 desa, memiliki tingkat
kerentanan sangat tinggi, termasuk desa di Melawi, Sintang dan Ketapang.
Warga Terjebak Banjir
Hampir sebulan ini, Kota Sintang masih
tergenang banjir. Banjir pertama menggenangi Kota Sintang, 18 Oktober 2021.
Banjir awalnya terjadi di sekitar wilayah pinggiran sungai. Seperti, Sungai
Yana, Banning Kota, Mengkurai, Mesuka, Sungai Durian, Sungai Melawi, Kelurahan
Ladang, Kelurahan Nalai, Keraton, Menyumbung Tengah, Pulak Jaya, dan lainnya.
Tanggal 28 Oktober, air mulai surut.
Tapi, tidak sampai kering. Pada 29 Oktober, pukul 2 dini hari, air mulai naik.
Kondisi itu berlangsung hingga empat jam. Hingga 1 November 2021, kondisi air
semakin menggenangi wilayah Kota Sintang. Mulai 5 November, pekarangan rumahnya
di Jalan Raya Sintang menuju Kapuas Hulu, mulai tergenang air.
“Seumur hidup di Sintang, baru lihat
belakang rumah tergenang air,” kata Agung.
Agung menenggarai, meski tahun 1963,
pernah terjadi banjir besar, tapi tahun 2021, merupakan banjir tertinggi di
Sintang.
Kalau melihat dari proses banjir, agak
membingungkan. Kenapa? Karena debit air di hulu (red, Kapuas Hulu) sudah surut.
Cuma, Kota Sintang terdapat muara sungai besar. Yaitu, Sungai Kapuas dan
Melawi.
Saka Tiga, depan rumah Dinas Bupati
Sintang, menjadi pertemuan dua sungai tersebut. Di Kapuas Hulu tidak banjir. Di
Melawi banjir, tapi tidak tinggi. Banjir terbesar di Sintang.
Kalau dilihat dari masyarakat terdampak
banjir, mereka yang terkena banjir langsung atau tidak kena banjir, tetap
terdampak. Sebab, akses jalan utama, seperti Jalan Melawi dan PKP Mujahidin
terputus.
Jalan PKP Mujahidin untuk wilayah perkantoran juga terendam. Di jalan
ini ada kantor Bupati Sintang. Kantor DPRD Sintang, dan lainnya. Sementara
Jalan Lintas Melawi, adalah jalur bisnis di Kabupaten Sintang.
Selama banjir, ada kunjungan dari Wakil
Gubernur Kalbar, Ria Norsan, Kamis (28/10/2021). Ia membawa 17 ton beras.
Gubernur Kalbar, Sutarmidji, turut melihat banjir, Selasa (2/11/2021). Ia bawa
80 ton beras. Informasinya sudah disebarkan.
Ada kunjungan dari Menteri Sosial,
Risma, Rabu (3/11/2021). Mensos menyerahkan bantuan Rp 653 juta untuk
penanganan banjir. Kepala BNPB, Ganip Warsito mengunjungi Sintang, Selasa
(9/11/2021).
Ganip menyerahkan bantuan Dana Siap Pakai (DSP) senilai Rp 1,5
miliar, guna percepatan penanganan banjir yang melanda empat kabupaten di
Kalbar. Sebanyak Rp 500 juta, mendukung penanganan banjir di Kabupaten Sintang.
Rp 500 juta diberikan kepada Kabupaten Melawi. Rp 250 juta untuk Kabupaten
Sekadau. Rp 250 juta untuk Kabupaten Sanggau.
Di Kota Sintang, warga kurang merasakan
kunjungan itu. Ganip tak melihat banjir yang sesungguhnya. Ia hanya naik
tronton, dan melihat banjir di sekitar Jalan Lintas Melawi. Padahal, dampak
terbesar banjir, ada di Kelurahan Ladang, Kelurahan Alay, Keraton Menyumbung
Tengah, dan Tulak Jaya. Daerah itu paling parah banjirnya.
Di Kecamatan Tempunak, dampak banjir
lebih terasa. Tempunak lebih rendah dari Kota Sintang.
“Makanya, syok sekali banjir di pusat
kota, sampai setinggi itu,” kata Sri Galuh, mahasiswi S2 Untan.
Kegiatan di kampung lumpuh. Tanaman
karet terendam. Banjir sekitar 4 meteran. Ada yang lebih. Galuh pertama kali
merasakan banjir besar seperti sekarang ini. Ada tiga pos pengungsian di
desanya.
Warga membuat panggung dari kayu dan
papan. Harta benda diletakkan di panggung tersebut. Sedangkan orang rumah
mengungsi ke pos pengungsian.
“Untuk bantuan, alhamdulillah sudah.
Tapi, rata-rata dari para donatur mandiri. Dari pemerintah belum ada. Tapi,
dari instansi seperti TNI/Polri, sudah ada,” kata Galuh.
Banjir membuat listrik mati total.
Jaringan komunikasi pun tersendat. Untuk mendapatkan sinyal, warga harus
menumpang ke Puskesmas.
Bencana banjir membuat sebagian warga
yang terdampak mulai putus asa. Bagaimana tidak? Harta benda sudah habis
terendam. Semangat pun perlahan berkurang. Sementara genangan banjir terus
naik.
"Semangat dah habes. Sisa
bersyukur diberi sehat saja kami di sini (Sintang),” ucap Wati, warga Kelurahan
Alay, Kecamatan Sintang.
Perempuan 34 tahun itu, sudah hampir
sebulan merasakan banjir. Terparah sejak dua pekan terakhir. Rumahnya tenggelam
habis.
Akibatnya, dia sekeluarga terpaksa
mengungsi ke tempat yang telah disediakan pemerintah. Hari-hari makan nasi
boks. Bantuan dari berbagai lembaga yang terus berdatangan.
Banjir itu membuatnya betul-betul lelah.
Sebab tak ada tanda, banjir segera surut. Doa hanya bisa dipanjatkan. Agar
bencana ini berlalu segera.
“Sudah sebulan kami di sini merasakan
banjir. Saya dan keluarga sekarang mengungsi,” ujarnya.
Kini, Kota Sintang berubah seperti
lautan. Air menggenang di sepanjang jalan, hampir sebulan lamanya. Kendaraan
darat, seperti sepeda motor dan mobil, tak terlihat lagi melintas di jalan
protokol kota.
Di Kabupaten Melawi, banjir juga
terjadi. Restu Purnadi, warga di Kecamatan Tanah Pinoh, biasa disebut Kotabaru,
menceritakan bencana banjir yang dialami.
“Kalau untuk di Kotabaru sendiri, jarang
banjir berlangsung lama. Paling lama tiga hari. Itu pun airnya tak terlalu
besar,” kata Restu, mahasiswa S2 Untan.
Biasanya, banjir terjadi karena hujan di
hulu sungai. Pada hari pertama, banjir bisa setinggi satu hingga satu setengah
meter. Kondisi itu untuk rumah di daerah dekat sungai. Warga bergotong royong
menyelamatkan harta benda.
“Di kampung-kampung, pasti rasa
solidaritasnya masih tinggi,” kata Restu.
Banjir seperti ini, jarang sekali bantuan
dari pemerintah. Kalau banjir besar susah mau dilewati dari rute sungai bagi
pemerintah. Terakhir, banjir besar pada tahun 2018, membuat tiga jembatan
gantung terputus karena banjir.
“Akses jalan warga berubah menjadi
sampan kecil. Sampan itulah yang digunakan warga untuk beraktivitas, urus
segala keperluan,” kata Restu.
Di Kabupaten Kapuas Hulu, Berdasarkan
data sementara BPBD Kapuas Hulu, ada 8.714 jiwa (2.603 KK) terdampak bencana
banjir. Kepala Pelaksana BPBD Kapuas Hulu, Gunawan menyatakan, warga terdampak
banjir berada di tujuh kecamatan. Yaitu, Silat Hilir, Suhaid, Selimbau,
Jongkong, Batang Lupar, Badau, dan Semitau.
“Sedangkan desa yang terdampak banjir,
sebanyak 41 desa. Ketinggian debet air kurang lebih satu sampai tiga meter
setiap desa,” ujarnya, Kamis (11/11/21).
Ada 42 fasilitas umum terdampak banjir
di Kabupaten Kapuas Hulu.
“Sekali lagi, ini adalah data sementara.
Bisa bertambah karena kondisi banjir kita di Kapuas Hulu masih berlangsung,
ditambah lagi curah hujan yang cukup tinggi, beberapa hari terakhir ini,”
ucapnya.
Berdasarkan prakiraan BMKG, kerentanan
banjir masih akan terjadi hingga Februari 2022. Curah hujan masih akan tinggi,
siiring perubahan iklim La Nina. Berdasarkan laman id.wikipedia.org, La
Nina merupakan fenomena alam, yang dikendalikan oleh perbedaan suhu muka air
laut.
Selama fenomena La Nina berlangsung,
suhu permukaan laut di sepanjang timur dan tengah Samudera Pasifik yang dekat
atau berada di garis khatulistiwa mengalami penurunan sebanyak 3 derajat hingga
5 derajat celsius dari suhu normal. Kemunculan fenomena La Nina ini, biasanya
berlangsung paling tidak lima bulan
Karena itu, ancaman banjir masih
panjang. Pemerintah harus membuat skema mitigasi yang tepat. Terutama skema
penyaluran bantuan logistik untuk warga terdampak. Agar ketersediaan kebutuhan
sembako tidak tersendat. Penanganan dampak banjir mesti dilakukan bersama.(Muhlis Suhaeri)
Baca Selengkapnya...