Kelahiran Pancasila dan Perdebatan di Sekitarnya
Pidato Bung Karno Tanpa Teks di Sidang BPUPKI
Hari Lahir Pancasila diperingati dengan gegap gempita pada 1 Juni. Berbagai kegiatan, sosialisasi, seminar hingga hari libur nasional telah dilaksanakan. Hari lahir Pancasila ditetapkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) No 24 Tahun 2016, tentang Hari Lahir Pancasila.
Meski sudah 71 tahun sejak pertama kali diucapkan dalam suatu pidato dan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK, selanjutnya ditambahi kata Indonesia, BPUPKI), namun peringatan hari lahir Pancasila, baru tahun ini diperingati.
Pancasila merupakan pidato Bung Karno yang diucapkan dengan tidak tertulis dalam sidang yang pertama Dokuristsu Zyunbi Tyoosakai, tanggal 1 Juni 1945, ketika sedang membicarakan Dasar Negara Indonesia Merdeka (buku berjudul Filsafah Merdeka, Adi Negoro, 1950).
Sukarno menyatakan, BPUPK telah bersidang tiga hari. Telah mendengar pendapat dari Dr Sukiman, Ki Bagus Hadikusumo, M Yamin, Ki Hadjar Dewantoro, Sanusi, Abikusno, Lim Kun Hian, dan lainnya. Sukarno menyatakan, sidang itu untuk mencari hal yang disetujui bersama, bukan kompromi.
“Pertama-tama saudara-saudara saja bertanja: apakah kita hendak mendirikan Indonesia Merdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan? Mendirikan negara Indonesia Merdeka yang namanya saja Indonesia Merdeka, tetapi sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu golongan yang kaja, untuk memberi kekuasaan pada satu golongan yang kaja, untuk memberi kekuasaan pada satu golongan bangsawan? Apakan maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! Baik saudara-saudara yang dinamakan kaum kebangsaan yang disini, maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan negara yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara ‘semua buat semua. Bukan satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, tetapi semua buat semua.”
Adi Negoro, jurnalis awal Indonesia ini menulis, “Pancasila, selain menjadi dasar falsafah Indonesia Merdeka, adalah dasar kesusilaan warga negara Indonesia, dan menunjukkan watas-watas fikiran.”
Dalam buku berjudul “Pengertian Pancasila” karya Dr Mohammad Hatta, rumusan Pancasila dari Sukarno, pertama, kebangsaan Indonesia. Kedua, Internasionalisme atau peri-kemanusiaan. Ketiga, mufakat atau demokrasi. Keempat, kesejahteraan sosial. Kelima, Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pancasila punya dua lapis fundamen, yaitu; fundamen politik dan fundamen moral (etik agama). Bagi Bung Karno, sendi politik didahulukan, sendi moral menjadi penutup.
Sendi kebangsaan menghendaki satu Nationale Staat, meliputi seluruh kepulauan Indonesia, sebagai satu kepulauan di Khatulistiwa.
Menurut Sukarno, Sumatera, Jawa atau Sunda, Kalimantan, Sulawesi, satu per satu bukan Nationale Staat. Yang dinamakan Nationale Staat, bila kepulauan seluruhnya. Untuk menegaskan ini, dasar kebangsaan menajdi dasar pertama atau sila pertama.
Dalam memaknai nilai kebangsaan, Bung Karno mempergunakan dalil-dalil dari teori geopolitik, khususnya Blut-und-Boden teori dari Karl Haushofer. Teori ini sebenarnya sendi dari Imperialisme Jerman. Tetapi dianggap menarik bagi kaum nasionalis Asia dan Indoensia, khususnya untuk membela cita-cita kemerdekaan, persatuan Bangsa dan Tanah Air.
Teori geopolitik sebagai Nationale Staat cukup menarik, namun kebenarannya sangat terbatas. Kalau diterapkan di Indonesia, maka Filipina harus dimasukkan ke Indonesia, dan Irian Barat dilepaskan. Demikian juga seluruh Kalimantan, harus masuk Indonesia.
Filipina tidak saja serangkai dengan Kepulauan Indonesia. Tapi, bangsa Filipina bangga mengatakan, mereka sebagai bangsa Melayu. Namun, Indonesia dan Filipina memiliki sejarah berbeda. Indonesia dijajah Belanda dan Jepang, Filipina dijajah Portugis, Spanyol, Amerika dan Jepang. Penjajahan itu menghasilkan sikap, prilaku, tradisi dan budaya berbeda.
India, setelah merdeka malah terpecah karena faktor agama.
India pecah menjadi India yang hindu, dan Pakistan yang Islam. Pada akhirnya, Pakistan juga terpecah menjadi Pakistan dan Bangladesh.
Soal bangsa dan kebangsaan memang tidak mudah memecahkannya secara ilmiah. Sukar mendapatkan kriteria yang tepat. Tidak bisa ditentukan dengan persamaan asal, bahasa dan agama.
“Bangsa ditentukan oleh keinsafan sebagai suatu persekutuan yang tersusun jadi satu. Yaitu, keinsafan yang terbit karena percaya atas persamaan nasib dan tujuan,” kata Bung Hatta.
Mohammad Ibnu Sajoeti atau Sajoeti Melik (dalam bukunya berjudul Demokrasi Pantja Sila dan Perjoengan Ideologis Didalamnya, 1953) menulis, Bung Karno pernah menerima surat dari orang-orang di daerah, mereka akan memisahkan diri dari Indonesia, bila dasar negara menggunakan dasar agama Islam. Karenanya, tak heran bila Bung Karno meletakkan dasar kebangsaan sebagai dasar pertama, selain ia adalah seorang nasionalis.
Setelah menempatkan dasar kebangsaan pada sila atau dasar pertama dari Pancasila, Bung Karno menggunakan paham Internasionalisme, pada dasar kedua.
Dasar ini untuk menegaskan bahwa, Indonesia tidak menganut paham nasionalisme yang picik, melainkan harus menuju persaudaraan dunia, kekeluargaan bangsa-bangsa. Internasionalisme bagi Bung Karno, sama dengan humanity atau perikemanusiaan. Pendapat ini berasal dari gerakan sosialisme abad ke 19 dan permulaan abad ke 20.
Dasar ketiga, Permusyawaratan. Oleh karena Indonesia didirikan sebagai negara “semua buat semua, satu buat semua, semua buat satu.” Artinya, demokrasi yang membawa sistem permusyawaratan dalam Dewan Perwakilan Rakyat.
Dasar keempat, Kesejahteraan Sosial. Yaitu, menciptakan prinsip tidak ada kemiskinan dalam Indonesia Merdeka. Kesejahteraan sosial meliputi demokrasi politik dan ekonomi.
Dasar kelima, Ketuhanan yang Berkebudayaan. “Artinya, Ketuhanan yang berbudi pekerti luhur. Ketuhanan yang hormat menghormati satu sama lain, sehingga segenap agama yang ada di Indonesia sekarang ini, akan mendapat tempat yang sebaik-baiknya,” tulis Bung Hatta.
Lalu, dari mana kalimat Bhineka Tunggal Ika, muncul di Pancasila? Dalam buku yang lain, “Bung Hatta Menjawab” karya Dr Z Yasni, Bung Hatta menjelaskan bahwa, Semboyan Bhineka Tunggal Ika bermula sejak kegiatan Perhimpunan Indonesia di Eropa.
Saat itu, para mahasiswa Indonesia di sana bersatu, dan menyadari betapa mereka yang datang dari berbagai daerah dan suku bangsa, serta adat dan pembawaan, harus bersatu padu kalau hendak berhasil melepaskan Indonesia dari penjajahan, dan membangunm bangsa untuk kemajuan dan kemakmuran.
Semboyan “bersatu kita kuat, berpecah kita lemah” sungguh-sungguh dihayati, walaupun masing-masing tahu dasar keanekaragaman tadi ada, tetapi dibawah terhadap prinsip kesatuan, ke-ika-an tadi.
Bung Hatta menegaskan, sejatinya, semboyan Bhineka Tunggal Ika adalah ciptaan Bung Karno, setelah Indonesia merdeka. Semboyan itu kemudian diperkuat dengan lambang yang dibuat oleh Sultan Hamid II, dan diresmikan pemakaiannya oleh Kabinet RIS tanggal 11 Februari 1950.
Pancasila sebagai dasar dari negara, perlu diamalkan dalam setiap perbuatan dengan penuh makna.
“Pancasila itu perlu disakralkan. Bukan berarti dianggap barang suci seperti agama, tidak! Disakralkan berarti dijadikan satu dengan jiwa dan perbuatan kita,” kata Bung Hatta.
Perdebatan Era Orde Baru
Siapa penggali Pancasila pernah menjadi perdebatan, ketika muncul buku berjudul “Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara” karya Nugroho Notosusanto, Juli 1981. Buku setebal 68 halaman itu, antara lain berisi tulisan Prof Dr Mr AG Pringgodigdo, dan diberi kata pengantar oleh Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen P & K, Prof Dr Dardji Darmodihardjo.
Seperti kita ketahui, saat itu, Prof Nugroho Notosusanto merupakan guru besar mata kuliah Metode Sejarah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI). Ia juga mengepalai Pusat Sejarah ABRI, berpangkat Brigadir Jenderal.
Dalam tulisannya, Nugroho Notosusanto menguraikan siapa penggali Pancasila berdasarkan buku Prof Muh Yamin. Isinya, “Naskah Persiapan Undang-undang Dasar 1945 yang terbit tahun 1959. Ia menarik kesimpulan bahwa, penggali Pancasila bukan hanya Bung Karno saja, tetapi juga Muhamad Yamin dan Supomo. Sedangkan hari Lahir Pancasila bukan 1 Juni 1945, tapi hari lahir Pancasila Dasar Negara tanggal 18 Agustus 1945.
Buku itu menjadi heboh, karena dimuat di berbagai koran di Indonesia, khususnya koran yang terbit di Jakarta. Pemuatan di berbagai media itu, atas permintaan Departemen Penerangan (buku, Siapa Penggali Pancasila, Anjar Any, 1981).
Pendapat itu tentu saja mendapat tanggapan dari berbagai pihak. Ada yang pro dan kontra.
Menanggapi hal itu, Nugroho menyatakan, “Ini karya ilmiah. Saya kan Profesor dan Doktor sejarah. Saya pertaruhkan nama saya pada buku itu.”
Meski demikian, Nugroho juga menyatakan bahwa, apabila nanti ada bukti yang kuat, bisa diuji dan mengatasi buktinya, dia pun tidak akan malu untuk mundur.
Dasar tulisan Nugroho berasal dari Prof Muhamad Yamin yang berjudul, “Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945.” Menurut Mr AG Pringgodigdo, buku Yamin dianggap otentik karena bagian dari sidang-sidang Tyoosakai memang percetakan belaka dari laporan stenografis yang pernah dipnjam Yamin dan tidak pernah kembali alias hilang.
Dalam buku Yamin, terdapat pidato Bung Karno “Lahirnya Pancasila” pada 1 Juni 1945, disusul pidato M Yamin pada 29 Mei 1945, dan pidato Supomo pada 31 Mei 1945. Tiga pidato itu, semua mengenai dasar negara yang mirip dengan Pancasila, meskipun tidak diberi nama Pancasila.
Hanya pidato Bung Karno yang memberikan nama Pancasila untuk pidatonya mengenai dasar negara tersebut.
Karenanya, Nugroho berkesimpulan, Hari Lahir Pancasila bukan 1 Juni 1945, ketika Bung Karno pidato di BPUPK. Tapi kelahiran Pancasila pada 18 Agustus 1945, ketika Pancasila disahkan sebagai Dasar Negara.
Lalu, apa komentar orang terhadap tulisan Nugroho itu?
Drs Ruben Naelan, Sekretaris Lembaga Penelitian Sejarah UNTAG menulis, ia menyayangkan hilangnya dokumen yang dipinjam Yamin.
Menurutnya, apa yang ditulis dan dimuat dalam buku Yamin tentang pidato dan lampiran “Rancangan UUD”-nya dianggap tidak asli. Hal itu berdasar pendapat Bung Hatta, sewaktu diwawancara Lembaga Penelitian Sejarah UNTAG. Juga diperkuat dalam buku “Uraian Pancasila” oleh Panitia Lima, dimana Bung Hatta berkata;
”Ya, dalam buku yang disebut Naskah Persiapan UUD 45, Pancasila itu dimasukkan di sana (maksudnya pidato Yamin, 29 Mei 1945). Tahu saya, pidato Pancasila yang pertama kali Bung Karno, bukan Yamin. Kalau dia lebih dulu tentu saya ingat bahwa itu ulangan. Yamin bicara hari pertama, saya hari kedua. Itulah kelicikan Yamin dimasukkan ke sini (buku Uraian Pancasila oleh Panitia Lima, hal 100). Dalam buku ini juga, AG Pringgodigdo menambahi komentar, “Pak Yamin itu pinter nyulap Kok.”
Menurut Naleman, apabila Yamin sudah berpidato tentang rancangan dasar negara pada tanggal 29 Mei 1945, maka pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945, hanya dianggap nyontek saja. Hal itu tidak mungkin. Sebab, pidato Bung Karno mendapat sambutan yang sangat meriah.
Begitu pun dengan Lampiran ’Rancangan UUD” dari Yamin itu persis dengan UUD yang selanjutnya disahkan. Artinya, panitia hanya nyontek dari Yamin.
Hal itu mustahil, karena Yamin tidak duduk di Panitia tersebut. Ketua Panitia Lima adalah Bung Hatta.
Selain itu, UUD yang akhirnya disahkan, prosesnya melalui perdebatan yang sangat panjang. Banyak perubahan kata demi kata. Kalimat demi kalimat. Lalu, diperhalus oleh Panitia Penghalus Bahasa, kata R Nalenan.
BM Diah, jurnalis dan aktivis yang terlibat dalam dunia pergerakan menjelaskan, pidato Supomo tidak bisa dimasukkan sebagai bahan-bahan dasar negara. Supomo hanya bicara soal “keseimbangan lahir dan batin”.
Bahkan, Supomo mengatakan, satu susunan negara totaliter adalah baik, dan sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.
Edisi cetak di Suara Pemred, 6-8 Juni 2017. Foto dokumen negara. (Muhlis Suhaeri)
Thursday, June 8, 2017
Posted by Muhlis Suhaeri at 12:57 AM 1 comments
Subscribe to:
Posts
(
Atom
)