Oleh: Muhlis Suhaeri
Bertaruh Nyawa di Garis Batas
Hidup di garis batas negara, ibarat ayam yang kehilangan induk. Mereka harus berjuang sendiri untuk bertahan hidup. Buruknya infrastruktur jalan, pendidikan, kesehatan dan berbagai fasilitas publik, membuat hidup semakin mahal dan sulit terjangkau.
Pendeta Darius Yermin (34) datang ke puskesmas Senaning dengan tergopoh. Ia memapah istrinya yang akan melahirkan. Ketuban bayi telah pecah. Petugas puskesmas langsung merujuk istrinya ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sintang, Ade M Djoen untuk bedah cesar.
“Padahal belum diperiksa. Langsung dirujuk ke rumah sakit,” kata Darius.
Pilihan sulit yang mau tak mau harus dijalani. Senaning ibukota kecamatan Ketungau Hulu, Sintang, Kalimantan Barat, berbatasan langsung dengan Malaysia. Jarak Senaning ke Sintang sekitar 178 km. Kondisi jalan aspal mengelupas dan tanah.
Darius menyewa Mitsubshi Strada double cabin dan gardan. Sekali jalan Rp 1,5 juta sewanya. Dia berangkat pukul 10.30 WIB, tiba di Sintang pukul 16.45 WIB. “Sopir yang bawa kendaraan deg-degan setengah mati,” kata Darius.
Setiba di rumah sakit, setengah jam kemudian istrinya melahirkan dengan normal. Sebuah perjuangan hidup dan mati baru saja usai. Pendeta Darius Yermin masih ingat betul peristiwa tersebut. Penanggalan menunjuk angka, 24 Oktober 2010.
Darius tinggal di Desa Empunak, Ketungau, Sintang. Dia pernah tinggal di Bandung, Jakarta dan Batam selama sekolah dan tugas. “Fasilitas yang paling terasa. Di sini, pelayanan kesehatan sangat minim. Alat, obat dan tenaga medis terbatas,” kata Darius.
Di Bandung, Jakarta atau Batam, semua ada dan mudah diperoleh. Di Empunak, kalau mau sesuatu harus ke Sintang atau ke Balai Karangan di Kabupaten Sanggau yang berjarak sekitar 100 km.
Jalan berdebu dan berlubang merupakan rutinitas yang harus dihadapi warga di perbatasan. Bila musim kemarau, jalur bisa dilewati namun berdebu. Lama perjalanan enam hingga tujuh jam. Pada musim penghujan, jalan berupa lumpur tebal. Orang bisa saja menginap melewati jalur itu.
Karenanya, orang menggunakan kendaraan dobel gardan untuk keperluan sehari-hari. Ongkosnya Rp 250 ribu sekali angkut. Bawa barang banyak atau sepeda motor, kena ongkos tambahan. Tak heran bila mobil jenis Strada keluaran Mitsubishi atau Hilux keluaran Toyota, jadi pilihan favorit di sana.
Bagi pengendara sepeda motor, jarak tersebut bisa ditempuh sekitar lima hingga enam jam. Kalau tak biasa, apalagi kalau belum hapal jalur, bisa delapan hingga sepuluh jam. Dan, jangan coba-coba melewati jalur perkebunan kelapa sawit. Kalau tak paham, Anda bisa tersesat dan memutar-mutar tak tentu arah.
Mobil pengangkut hanya berjalan sekali saja dalam sehari. Malamnya menginap di Sintang atau Senaning. Sebelum jalan menembus Sintang dan Senaning, orang menggunakan speed boat selama delapan jam. Ongkosnya Rp 350 ribu.
Dari Senaning, orang melanjutkan perjalanan ke Desa Jasa yang rencananya dibuat pos lintas batas (PLB). Dari Senaning ke Desa Jasa jaraknya sekitar 22 km. Lewat jalan rabat beton selebar 2 meter sepanjang 5 km. Setelah itu lewat jalan tanah yang sudah dikeraskan.
Jalan Senaning ke Sintang baru ada sekitar lima tahunan. “Padahal pembuatannya sekitar 2002,” kata Widianto, Sekretaris Desa Nanga Bayan. Ia tinggal di Dusun Lubuk Ara, Desa Nanga Bayan.
Sepanjang perbatasan Sintang, terdapat dua kecamatan dan delapan desa. Kecamatan Ketungau Hulu dan Ketungau Tengah. Ketungau Hulu ada lima desa. Yaitu, Desa Nanga Bayan, Jasa, Rasau, Muakan Petingi dan Sungai Seria. Kecamatan Ketungau Tengah ada tiga desa. Yaitu, Nanga Kelapan, Mungguk Gelombang dan Wana Bhakti.
Desa Nanga Bayan berbatasan langsung dengan Malaysia. Jalan kaki dua jam melewati hutan langsung menembus Malaysia. Jarak Nanga Bayan ke Senaning sekitar 60 km. Butuh waktu minimal enam jam. Jalan memutar lewat Rentung ke Sedadit, Sedangu, Sejawa, Lubuk Pantak, Idai, Blubu dan Nanga Bayan. Ada juga jalur Runtung Apud, Lubuk Pantak, Idai, Blubu dan Nanga Bayan.
“Jalur itu sudah hancur sekali,” kata Widianto.
Uniknya, proyek perbaikan jalan ditender setiap Oktober. Pas musim penghujan. Ia tak tahu, kenapa pemerintah selalu membuat tender setiap musim hujan. “Kenapa perbaikan jalan tak pada musim kemarau seperti sekarang?” kata Widianto, seolah bertanya pada diri sendiri.
Buruknya jalan membuat segala kegiatan ekonomi, sosial, tak bisa berkembang. Komoditas terbengkalai dan tak bisa dijual.
Ada lima kabupaten berbatasan langsung dengan Malaysia. Kondisinya tak jauh berbeda. Di Desa Temajo, Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas, warga menggunakan garis pantai bagi jalur transportasi sehari-hari. Mereka melewati pantai yang menghubungkan Desa Ceremai dan Desa Temajo di Kecamatan Paloh. Hanya kendaraan roda yang bisa lewat. Butuh keahlian tersendiri. Bila tidak, kendaraan roda dua akan tenggelam di pasir, rantai putus, atau mesin motor jebol karena masuknya air laut.
Akibat tak adanya jalan, angkutan jasa dan barang jadi mahal. “Yang jelas pengaruhnya ke masyarakat. Harga barang sangat beda jauh dan sulit. Ada kenaikan sekitar 10-15 persen dari biasa,” kata Holdi, warga Jawai, Sambas.
Holdi selalu melintasi jalan pantai setiap ke Temajo. Warga harus tahu kapan pasang naik atau surut, agar tidak terjebak di jalan. Apalagi harus melewati sekitar lima sungai di sepanjang jalan pantai. Jarak jalur pantai itu sekitar 68 km. Butuh waktu dua jam dalam kondisi normal.
Pasang terjadi setiap sore hingga malam hari. Bila air pasang, warga harus menunggu hingga air surut. Biasanya warga melintas pada pagi hingga tengah hari, atau jelang tengah malam. Bila warga terlambat mengantisipasi pasang naik, mereka harus rela bermalam di tengah jalan. Akibatnya, berbagai hasil kebun seperti lada, karet, cengkeh, ikan dan lainnya sulit dipasarkan.
Warga berharap pada pemerintah, untuk membuat jalan. Sehingga bisa dijadikan lalu lintas warga. Kalau menggunakan transportasi laut, biaya besar dan rawan ombak besar. Apalagi kalau sedang musim hujan, terkadang seminggu baru bisa jalan.
Tak adanya jalan juga berimbas pada pendidikan, kesehatan dan sektor lainnya. Dari segi pendidikan, banyak guru-guru tak bisa datang karena terlambat dan ombak besar. Begitu juga dari segi kesehatan. Bila ada warga sakit atau mau melahirkan, bisa meninggal di tengah jalan. Mereka harus keluar uang lebih besar untuk membawa keluarga yang ke rumah sakit di Sambas. Bila musim penghujan, jalur jalan tidak bisa dilalui selama tiga bulan. Akibatnya, warga dilanda paceklik.
“Jalan merupakan kebutuhan yang sangat dibutuhkan warga,” kata Holdi.
Penggunaan garis pantai sebagai jalan, turut berpengaruh terhadap kelestarian satwa langka dan dilindungi seperti penyu. Daerah itu wilayah pendaratan bagi penyu yang sedang bertelur. Terutama pada bulan Mei hingga Juni.
Garis pantai yang digunakan bagi lalu lintas warga memang jadi wilayah pendaratan penyu bertelur. Kondisi pantai pasirnya tidak terlalu kering dan basah. “Penyu memilih peneluran sesuai dengan kondisi alam yang cocok baginya,” kata Dwi Suprapti, Koordinator Penyu WWF Indonesia Program Kalimantan Barat.
Ledi Mat Rani, warga di pantai Sebamban mengatakan, kalau pemerintah tidak membuat jalan di wilayah itu, bisa merusak habitat penyu. “Kita tidak ingin ada kejadian-kejadian di pantai yang tidak diinginkan,” kata Ledi.
Buruknya penanganan perbatasan juga terlihat dari sektor pendidikan. Banyak sekolah di perbatasan kekurangan guru dan ruang belajar. “Sarana belajar kurang, ruang belajar kurang dan buku-buku juga sedikit,” kata Tirtayasa (47), Kepala Sekolah SD Negeri Jasa di Sintang. Ia mengajar sejak 1984.
Kalau guru dan buku kurang, maka hasil dan mutu pendidikan juga akan kurang. Sementara pemerintah menuntut mutu. Prestasi dapat dicapai bila ada sarana dan prasarana memadai.
Di sekolahnya, cuma ada empat guru. Seharusnya guru enam orang. Satu kepala kelas. Satu guru SBK, satu guru olah raga. Tata Usaha (TU) harusnya ada, tapi di sekolahnya tak ada. Padahal tugas administrasi banyak. Sehingga harus tugas ekstra.
Setiap guru yang bertugas di perbatasan, diberikan insentif dan tunjangan perbatasan. Satu tahun dapat Rp 13 juta. Pembayaran dua kali. Tunjangan guru dengan masa kerja 20 tahun dan lima tahun, sama jumlahnya. Gaji tunjangan harusnya pakai gaji pokok. Sehingga guru yang sudah lama masa kerjanya, dapat lebih banyak. Sehingga terlihat pengabdiaannya.
Pelaksanaan ujian nasional tak begitu menemui kendala di sekolah perbatasan. Mulai Januari hingga mendekati jadwal ujian negara, sekolah mengadakan les. Guru pengajar diberi insentif, karena diluar jam sekolah. Uang dibayar dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Buruknya infrastruktur membuat anak perbatasan banyak yang putus sekolah. Misalnya saja di Desa Nanga Bayan. Saat lulus dari SD atau SMP, mereka harus melanjutkan SMA di Senaning. Dari belasan anak yang sekolah, saat lulus tinggal separo saja. Sebab, saat libur banyak yang tak kembali lagi ke sekolah. Jarak dan pisah dari orang tua jadi satu penyebab.
DI Nanga Bayan, banyak perumahan guru SD yang roboh. Ada enam rumah rusak berat. Orang tua murid bergotong royong memperbaiki rumah agar bisa ditempati. “Ada beberapa guru menumpang dan tinggal di rumah warga,” kata Widianto.
Guru tidak konsentrasi mengajar. Di sisi lain, pemerintah terus menekan, agar murid berprestasi dan lulus ujian nasional.
Agus Supardan, Sekretaris Badan Perencanaan Daerah (Bapeda) Kabupaten Sambas menyatakan, akibat pembangunan yang timpang antara di Indonesia dan Malaysia di perbatasan, membuat kecemburuan di warga Desa Temajo. Di Malaysia, gedung sekolah dibangun dengan bagus dan megah. Anak SD sudah menggunakan fasilitas komputer. Sementara di Temajo, gedung sekolah jelek, dan jarang ada gurunya.
“Hal itu tentu menimbulkan kecemburuan warga,” kata Agus.
Jalur Gemilang ’Berkibar’ di Sintang
Di perbatasan, nasionalisme dan kebutuhan dasar hidup bagai dua sisi mata uang yang sama-sama mencari jalannya sendiri. Terkadang bertemu, namun lebih sering saling memunggungi.
Ada satu karakteristik khas di perbatasan Kalimantan Barat dengan Malaysia. Meski terpisah batas negara, warga sepanjang batas memiliki hubungan erat. Kekerabatan dan hubungan darah membuat hubungan mereka tak pernah terputus. Meski munculnya negara, memisahkan kekerabatan secara geografi karena adanya garis batas negara.
Kondisi itu membuat warga di perbatasan, saling tergantung dan membutuhkan. Meski disisi lain, kebutuhan dan akumulasi kapital, menisbikan hubungan dasar tersebut.
Ambresius Murjani (40), Koordinator Kelompok Informasi Masyarakat Perbatasan (Kimtas) Sintang mengatakan, pusat pemerintahan desa dari perbatasan paling jauh 10 km. “Dengan jarak itu, harusnya menjadi beranda depan, bukan beranda belakang,” kata Murjani.
Warga di perbatasan terbiasa menggunakan dua mata uang. Rupiah dan ringgit. Apakah kebiasaan itu pengingkaran dari nasionalisme? Tentu saja tidak. Kebutuhan hidup di perbatasan membuat warga harus bersikap realistis dan prakmatis menyikapi keadaan. Ketika mereka ngotot dengan tetap memakai uang rupiah atas nama nasionalisme, bisa dipastikan mereka tak akan akan bisa beradaptasi, dan memenuhi kebutuhan dasar di perbatasan.
Apalagi bagi wilayah yang berhubungan langsung dengan Malaysia. Perbedaan pembangunan ibarat bumi dan langit. Pemerintah Malaysia membangun wilayah perbatasan mereka dengan baik. Pemerintah menyediakan pelayanan publik bagi warganya. Ada pendidikan gratis dan kesehatan bagi warga. Di wilayah Indonesia? Pemerintah kurang memperhatikan pembangunan perbatasan. Sekolah tak ada guru. Bangunan rusak parah. Puskesma tak ada petugas dan sulit dijangkau warga. Kondisi itu menciptakan batas sosial dan kecemburuan.
Hanya dengan sedikit pemantik, kecemburuan ekonomi dan kesejahteraan yang timpang bakal menciptakan protes. Karenanya, tak heran bila ketertinggalan secara infrastruktur, pencapaian ekonomi, berimbas pada sikap warga untuk pindah kewargangeraan atau mengibarkan bendera Malaysia di wilayah Indonesia.
Seperti ungkapan Kepala Desa Mungguk Gelombang, Ketungau Tengah, Yusak. Dia berencana mengibarkan bendera Malaysia, tepat pada peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia ke 66, pada 17 Agustus 2011. Pemerintah tak memperhatikan haknya sebagai warga negara. Pembangunan kurang menyentuh perbatasan. Warga frustasi. Sementara janji-janji politik selalu diberikan pada warga, menjelang hajatan pilkada atau pemilu.
Karena itu, sebagai anak yang lahir di garis batas dan menyaksikan langung permasalahan tersebut, Murjani patut mengapresiasi tuntutan warga. Kimtas mendukung kepala desa perbatasan yang akan mengibarkan bendera Malaysia.
“Hal itu sebagai wujud protes masyarakat di perbatasan yang minim pembangunan sarana fital,” kata Murjani. Menurutnya, masih banyak ketertinggalan pembangunan di semua lini. Sementara di pemerintahan pusat bergelimang pembangunan.
Permasalahan mendasar di perbatasan adalah infrastruktur. Ketika infrastruktur tak layak, peningkatan ekonomi perbatasan tak bisa bergerak. Hasil pertanian lebih banyak dijual ke Malaysia. Harganya lebih tinggi. Bila dijual ke Indonesia, ongkos perjalanan lebih mahal. Warga perbatasan menjual hasil pertanian, khususnya sahang atau lada ke Malaysia.
Ada lima dusun di Nanga Bayan. Sebagian besar warganya Dayak Kumpang. Ada dusun Keburau, Lubuk Asa, Belubu, Idai, Semunjan. Dusun Keburau dan Lubuk Asa terdapat 220 KK. Belubu 56 KK. Idai 80 KK. Semunjan 53 KK. Jumlah semua sekitar 1000 jiwa. Mayoritas bermata pencaharian peladang, kebun karet, lada dan padi. Pendapatan warga rata-rata Rp 2 juta sebulan.
Nanga Bayan sulit dicapai dari Senaning. Orang menggunakan speed boat. Ongkosnya Rp 150 ribu. Sekarang jalannya hancur. Butuh waktu sekitar delapan jam. Padahal jaraknya cuma 59 km. Kalau jalan bagus, dari Nanga Bayan ke Senaning hanya butuh waktu sekitar 1,5 jam.
Perbatasan sebenarnya banyak potensi. Setiap warga punya lahan. Ada tanam karet, lada, sayuran, dan lainnya. Hasil kebun, ada terong, keladi, mentimun, kacang panjang, cabe, pisang, nanas dan ubi. Sayur ditanam dengan cara tumpang sari di ladang. Hasil sayur tak bisa dipasarkan karena tak ada jalan.
Akhirnya, hasil kebun bila sudah panen dijual ke Malaysia. Padahal, di Malaysia cuma ada tiga blok pasar. Karena jalan bagus, hasil kebun dari Indonesia tersebut, bisa dibawa ke mana saja di Malaysia. Uang hasil jual sayur atau lada, langsung dibelikan berbagai kebutuhan sehari-hari. Seperti telur, dan berbagai kebutuhan hidup sehari-hari.
Warga di perbatasan menggunakan pupuk dari Malaysia secara turun temurun. Kalau pakai pupuk dari Indonesia, biasanya pupuk Urea, MPK, SP 36. Setiap karung beratnya 50 gram. Setiap karung harganya Rp 200 ribu. Bisa untuk memupuk 100 batang lada.
Bagi warga di Nanga Bayan, mereka harus jalan kaki dua jam ke kampung Bua, Sarawak, untuk membawa hasil kebun. Di sana ada Pasar Kuari Lachau.
“Toke dari kakek dulu, hidupnya tergantung dari warga di Nanga Bayan,” kata Widianto. Desa Nanga Bayan sudah ada sekitar 80 tahun lalu.
Setelah itu, mereka langsung menyetorkan sahang ke Badan Usaha Milik Negara, Sarawak. Lada hitam harganya RM 13,50 per kilo. 1 RM setara Rp 2800. Lada putih RM 22 pe kilo.
Lada bisa dipanen setelah 1,8 tahun. Delapan bulan kemudian lada bisa dipanen lagi.
Warga rata-rata punya setengah hektare lahan untuk lada. Harga lada di RI dia tak tahu. Yang pasti lebih murah Rp 3000. Selain itu jalan susah sehingga tak jual ke RI.
“Kalau warga punya kebun satu hektar, toke dari Malaysia sudah berani memberikan pupuk dan obat-obatan. Sementara kita tak ada pupuk,” kata Murjani. Kalau pun ada, harganya mahal sekali. Di Malaysia, pemerintah mensubsidi pupuk ke petani. Bahkan, pupuk diantar rumah para petani.
Para pedagang di Malaysia berani memberikan hutang. Setelah lada panen, petani baru membayar. Lada bisa panen setelah 1,8 tahun. “Akhirnya, kebun warga hanya jadi sarana uji coba pestisida Malaysia,” kata Murjani. Setiap tahun Malaysia mengeluarkan berbagai merek pestisida.
Selain lada, komoditas di perbatasan adalah kakao dan gula. Kakao per kilo RM 6. Warga di Nanga Bayan membeli bensin di Malaysia. Saat bensin yang dibawa dari Sintang harganya Rp 13 per liter, warga Nanga Bayan menikmati bensin seharga Rp 9000 per liter. Satu liter RM 1,80. Kualitasnya setara Pertamax.
Di perbatasan orang beli gula pakai karung. Satu karung isinya 50 kg. Harga gula RM 2,10 per kg. Di Sintang harga gula mencapai Rp 8 ribu per kilogram. Gula di Desa Jasa Rp 12-15 kilogram. “Kita wajib beli gula dari Indonesia,” kata Murjani. Sementara harga di Indonesia mahal. “Tapi kalau beli gula Malaysia, mempertaruhkan nasionalisme,” kata Murjani.
Ada kesepakatan antara pemerintah Indonesia dan Malaysia, warga di sepanjang perbatasan boleh melakukan transaksi tak lebih dari RM 600 sebulan. Menurutnya, aturan itu membatasi warga perbatasan dalam aktivitas ekonomi.
Secara sosial tak ada masalah besar di perbatasan. Ada suara-suara dari masyarakat yang ingin bergabung dengan negara tetangga, Malaysia. “Hal itu merupakan ungkapan emosional karena warga tidak diperhatikan,” kata Widianto.
Namun, warga perbatasan tak bisa berbuat banyak. Mereka hanya bisa menatap dan melihat kemakmuran negara tetangga. Membawa dan menjual berbagai hasil kebun ke Malaysia.
Warga perbatasan ibarat meratap tapi bisu.
Jejak Jawa dan Tentara di Bibir Malaysia
Perbatasan menghadirkan beragam permasalahan yang unik. Para pelintas batas, para pekerja informal yang melarikan diri dari Malaysia, perdagangan dan penyeludupan, menampakkan wajah dan sisinya yang khas.
Ada yang unik di Desa Jasa, Ketungau Hulu, Sintang. Desa ini berbatasan langsung dengan Malaysia. Sebagian besar warganya Dayak Kumpang, dan campuran Iban. Namun, lima puluh persen warga memakai nama Jawa. Terutama yang lahir pada pertengahan tahun 60-70-an. Warga memberi nama anak sesuai nama komandan tentara atau orang yang mereka kenal, selama bertugas di sana.
Desa Jasa dulunya basis penyerangan tentara Indonesia menuju Malaysia, ketika terjadi peristiwa Dwikora atau perang antara Indonesia dan Malaysia, 1963. Juga saat terjadi pembersihan terhadap para mantan anggota PGRS-PARAKU, akhir 1967.
“Saat terjadi konfrontasi, warga harus beronda dan antar logistik,” kata Subandi (43), warga Jasa. Subandi nama pemberian dari tentara yang pernah bertugas di Jasa.
Menurutnya, walau pun RI sudah merdeka, warga belum sepenuhnya merdeka. Dalam bidang pendidikan, ada sekolah tapi tak ada gurunya. Dalam bidang kesehatan, warga kalau sakit harus berobat ke Malaysia. Padaha, ketika berobat butuh surat-surat. Sementara di Jasa tak ada kantor imigrasi.
“Itu sudah menyalahi prosedur dan izin,” kata Subandi.
Hari itu, cucunya harus berobat ke Malaysia. Si ibu menggendong anak melintasi hutan selama dua jam setengah dengan berjalan kaki. Selanjutnya, menuju rumah sakit terdekat di Serian, Sarawak, Malaysia.
Di Jasa terdapat sekitar 252 KK. Ada sekitar 2.000 jiwa. “Sebagian besar kebutuhan warga di Jasa dibawa dari Malaysia,” kata Edi Jito (35), Sekretaris Desa Jasa.
Kebutuhan warga yang didatangkan dari Malaysia seperti, telur, ikan teri, sarden, makanan kaleng, gula, bawang merah dan putih. Warga jarang bawa beras dari Malaysia, karena kualitasnya kurang baik.
Cara membawa barang dengan mengupah pemikul. Butuh waktu berjalan dua jam setengah dari Desa Jasa menuju pasar dalam kondisi tak bawa bahan. Kalau sudah bawa barang sekitar tiga jam setengah. Lewat hutan dan jalan setapak. Biasanya berangkat pukul 7 WIB. Balik lagi ke Jasa sekitar pukul 18 WIB.
Pemikul membawa uang kebutuhan belanja barang. Sesampai di pasar, penjual dari Malaysia membuat nota pembelian yang dibutuhkan. Sekarang ini susah cari tukang pikul karena banyak yang menoreh di Malaysia.
Upah pikul tergantung barang. Orang membawa barang sekitar 30-40 kilogram. Kadang ada yang bawa 60 kilogram. Gas mulai dari kosong ongkos pikul RM 40. Untuk mengisi gas RM 20. Ongkos pikul barang Rp 2.500 per kilogram. Ongkos pikul telur Rp 6.000 per sarah. Setiap sarah ada 30 butir. Ongkos pikul telur mahal karena butuh banyak tempat. Kalau barang lain bisa diikat, telur tidak bisa diikat. Sekali bawa telur sekitar 15 sarah.
Kalau belanja lima sarah telur, biaya angkut tak lebih dari RM 10. Kalau biaya angkutnya lebih, akan susah jualnya. Kalau biaya angkut per kilogram lebih dari Rp 2.500, akan merugi. Telur di Malaysia RM 9,5 atau sekitar Rp 29 ribu. Ditambah ongkos Rp 6.000 per sarah. Telur di Desa Jasa biasanya dijual seharga Rp 1.500 per butir.
Harga bensin dari Malaysia sebesar Rp 8.500 per liter di Jasa, sudah termasuk ongkos angkut. Tapi, bensin biasanya dibawa dari Sintang. Sekali bawa tiga drum. Satu drum berisi 210 liter. Ongkos angkutan Rp 250 ribu setiap drum. Harga jualnya Rp 9.000 per liter. Namun, bensin rata-rata dijual seharga Rp 10 ribu.
Warga di Desa Jasa biasa bekerja di Malaysia sebagai penoreh karet. Kerja menoreh sistem bagi hasil. Dua bagian bagi penoreh, satu bagian pemilik kebun. Ada satu banding satu. Ada juga sistem sewa lahan. Misalnya, sebulan sewa RM 500. Satu kavling ada 400 pohon. Sehari bisa dapat 40 kilogram. Harga satu kilo RM 10. Kualitas karet kepingan, satu keping 20-30 kilogram karet kering. Kalau tipis RM 13. Karet kering harga makin bagus. Kalau tebal bagian dalam tak begitu kering, sehingga harga lebih murah. Sistem sewa dalam sebulan bisa mendapat RM 5.000. Angka itu sudah termasuk makan dan minum.
“Kerja itu biasanya pulang balik ke Indonesia, tiga bulan paling lama,” kata Gimin (29). Ia sudah setahun kerja sebagai penoreh karet di Malaysia.
Anak-anak di Jasa kalau libur sekolah ke Malaysia. Mereka ikut menoreh, karena kerja itu menjanjikan. Mereka ikut orang tua, abang dan kerabatnya. “Ibarat cari uang HP,” kata Gimin. Uang hasil menoreh untuk membeli telepon genggam. Karena tak diberikan uang, mereka cari sendiri. Mereka biasanya menoreh di Seriaman.
Ada pedagang yang setiap hari datang dan menampung hasil karet. Sistemnya langsung bayar. Warga Jasa terkadang kerja di kebun milik polisi Malaysia. Kalau ada razia, mereka kerja sama dengan polisi Malaysia. Para pemilik kebun melindungi para pekerja dengan menyembunyikan di kebun, atau minta pekerja pulang dulu ke Indonesia.
Polisi kalau mau razia harus izin dulu ke kepala dusun. Sehingga para pekerja dan kontraktor kebun karet itu, disuruh pulang dulu atau disembunyikan. “Kalau kebun itu tak dikerjakan orang Indonesia, kebun tak ada yang kerjakan. Mereka kan malas,” kata Gimin.
Para pelintas batas tak hanya warga asli Desa Jasa. Para pekerja yang melarikan diri dari Malaysia, kerap muncul di desa sekitar perbatasan. Seperti di Desa Jasa. Pada 2002, ada tujuh orang TKI melarikan diri dari Malaysia. Tahun 2006, ada 13 orang. Tahun 2009, ada dua orang. Tahun 2010, ada 15 orang. Alasan lari karena ditipu, gaji tak dibayarkan, atau jadi korban perdagangan manusia atau human trafficking.
Rata-rata yang “bermsalah” dari luar Kalimantan Barat. Biasanya dari Nusa Tengara Timur (NTT) Nusa Tenggara Barat (NTB), Jawa dan Kabupaten Sambas.
Ketika mereka singgah, warga memberi sekedar makanan dan mie instan. Bahkan, di Dusun Wak Sepan, Desa Jasa, 2010, mereka sempat menginap sehari.
Desa Nanga Bayan juga kerap menjadi tempat pemulangan TKI dari Malaysia. Sebenarnya TKI yang masuk biasanya resmi. Cuma, pasport mereka dipegang oleh bosnya. Mereka hanya diberi foto kopi. Ruang gerak pekerja dibatasi.
Ada yang lari menuju hutan beberapa hari, sampai akhirnya menembus kampung. Ada yang dibawa masyarakat. Tahun 2010, ada sekiatr 100 orang tiba di Nanga Bayan. Setiap bulan selalu ada . Biasanya tidak sekaligus.
Widianto pernah menampung tujuh TKI yang lari dari Malaysia. “Kasihan juga. Makanya kita bantu apa adanya,” kata Widianto.
Masalahnya berfariasi. Ada yang kerja di sawit tapi tak tahan. Yang paling banyak terjadi, sudah beberapa tahun kerja tapi gaji tak dibayarkan. Semenjak 2011, cuma ada dua hingga tiga orang.
Sekarang ini, TKI tak hanya datang melalui Nanga Bayan, juga Desa Semare, Sungai Kelik. Sebagian besar yang melarikan diri secara bergerombol datang dari satu daerah. Yang sering menolong adalah TNI. Kalau sudah begitu, mereka disuruh apa pun mau. Yang penting bisa makan.
Kalau dari desa, pengungsi biasanya dibawa ke kecamatan. Untuk ke Pontianak, minimal butuh uang sekitar Rp 500 ribu. Mereka biasanya mencari sendiri dengan bekerja serabutan. Di Nanga Bayan ada TKI yang pernah diusir, kemudian kawin dan menentap hingga sekarang.
Desain Pembangunan Perbatasan
Karut marut pembangunan perbatasan tak lepas dari buruknya sistem pembangunan dan koordinasi antar instansi pemerintah. Kondisi itu membuat pembangunan perbatasan semakin terabaikan.
Kawasan perbatasan di Kalbar sangat spesifik dibandingkan perbatasan lain. Kalimantan Timur juga spesifik. Sebab, perbatasan di kedua wilayah tersebut, berhadapan dengan negara lebih maju, Malaysia. Sehinga harus ada penanganan secara lebih.
“Kalbar satu-satunya perbatasan paling maju di Indonesia,” kata Manto Saidi, Kabid Kerja Sama Badan Pengelolaan Kawasan Perbatasan dan Kerja Sama (BPKPK) Provinsi Kalbar. Di tingkat pemerintah pusat, pembangunan kawasan perbatasan diurus Badan Nasional Pembangunan Perbatasan (BNPP). Anggotanya dari 17 Kementerian. Ketuanya Menteri Dalam Negeri. BNPP bekerja secara terpadu dan membuat grand design terhadap permasalahan perbatasan di Indonesia.
Berdasarkan grand desain, BNPP menetapkan beberapa metode pendekatan penanganan perbatasan. Mulai dari tahapan penentuan patok batas, hingga managemen perbatasan. Lalu menerjemahkan dan membuat dua strategi penanganan. Pertama, internal Indonesia, termasuk internal di Kalimantan Barat. Kedua, strategi penanganan mulai dari patok batas hingga ke luar wilayah RI. Karenanya, mesti melakukan komunikasi intensif dan perundingan internasional dengan Malaysia. “Untuk menjawab segala permasalahan yang ada,” kata Manto.
Pembenahan internal ke dalam, selama ini sudah dilakukan kementerian dan dinas. Namun, karena tidak ada koordinator yang spesifik dan fokus, hingga masalah perbatasan seolah-olah terlupakan.
Ia mencontohkan Kementerian Pekerjaan Umum (PU). Setiap tahun mengeluarkan dana ke kawasan perbatasan. Tapi PU kucurkan dana ke tempat lain juga. Sehingga seolah perbatasan dianggap ditinggalkan. Padahal, PU sebenarnya memberikan dana yang sama porsinya dengan daerah lain. Bila PU memberikan kucuran dana ke perbatasan sebanyak Rp 100 miliar, itu ibarat mengucurkan satu ember air ke gurun pasir. Padahal, kalau Rp 1 miliar dikucurkan di Kota Pontianak misalnya, akan terlihat dampaknya.
Hal itu bukan karena Pontianak lebih sempit wilayahnya, tapi karena ketertinggalan pembangunan di kawasan perbatasan sedemikian jauh. Sehingga dengan porsi yang sama, kawasan perbatasan tidak sama dengan kucuran dana seperti itu. “Harus ada political will di perbatasan,” kata Manto.
Padahal itikad baik tersebut baru tahun ini terlaksana. Para pejabat di BNPP baru dilantik pada April 2011. Mereka terdiri dari orang-orang cerdas dari berbagai disiplin ilmu dan departemen.
Orang pusat dari berbagai departemen minta masukan dari berbagai pihak, dan diterjemahkan dalam kontek Kalbar. Grand desain baru ada tahun 2011. Konsep itu belum tersosialisasi ke media. Salah satu konsep priority by location atau prioritas berdasarkan lokasi.
Artinya, dengan dana terbatas, pembangunan perbatasan harus fokus pada titik tertentu saja. Tidak bisa sama rata seperti sekarang ini. Ada lima lokasi prioritas mewakili satu kabupaten. Pertimbangan lokasi prioritas, karena itu kawasan lain terpaksa dikorbankan demi satu lokasi prioritas tersebut.
Lokasi prioritas mengacu pada keputusan pemerintah, dan mengacu kepada kebijakan pemerintah Pusat Kebijakan Stategis Nasional (PKSN). Di Kalbar ada lima PKSN. Yaitu, Aruk di Kabupaten Sambas. Jagoy Babang di Kabupaten Bengkayang. Entikong di Kabupaten Sanggau. Jasa di Kabupaten Sintang. Badau di Kabupaten Kapuas Hulu.
Pemprov Kalimantan Barat menetapkan lima BKSN sebagai wilayah Border Development Centre (BDC). Pemerintah pusat menyebutnya PKSN. Dalam menetapkan prioritas lokasi di Kabupaten Sambas, ada perbedaan dengan PKSN dan BDC. PKSN seharusnya menetapkan di Sajingan Besar. Setelah menimbang potensi ekonomi dan konflik antarnegara, BNPP menetapkan Paloh dibuka pada 2011.
Di Paloh ada dua kemungkin konflik internasional yang terjadi di darat dan laut. Di darat, terjadi di Camar Bulan. Ada patok yang sudah ditetapkan dua negara, akan merugikan Indonesia. Kerugiannya ada puluhan ribu hektar. Ada juga pengembangan gas natuna.
Konflik laut terjadi di Gosong Niger.
“Kalau kita tidak bisa mengkomunikasikannya, kuatir terjadi seperti di Ambalat, Kaltim,” kata Manto.
Dari lima PLB yang direncanakan, baru selesai secara fisik dan SDM adalah tiga PLB. Yaitu, di Entikong, Aruk dan Nangan Badau. Dua lainya, Jagoi Babang dan Jasa, masih memerlukan satu tahapan penting, penetapan zero point atau titik nol. Dalam perspektif awam, titik nol adalah titik batas. Titik nol sebenarnya untuk menyepakati pertemuan dua jalan raya antara Indonesia dan Malaysia. Tanpa persetujuan dari dua negara, hal itu belum bisa dilaksanakan.
Gubernur Kalimantan Barat, Cornelis melaksanakan peletakan batu pertama pembangunan PLB di Jagoi Babang. Padahal kedua negara belum menyepakati titik nol. Dia melakukannya berdasarkan aspirasi masyarakat Jagoi Babang sebagai lintasan resmi. Tahapan resmi suatu daerah bisa dijadikan pusat lintas batas, bila sudah ada penempatan petugas, tempat dan keputusan dua negara menjadikan sebagai PLB internasional.
Kalimantan Barat punya 16 PLB tradisional. Orang bisa masuk dalam radius 5 km dari kota yang disebutkan, tanpa menggunakan paspor. Orang menyebut PLB tradisonal sebagai jalan tikus, setapak, pintas atau pendekat. Sebenarnya ada sekitar 52 jalan pendekat. Tapi kedua negara tidak menyepakati semua jalan. Dulu, hanya 10 jalan yang disetujui.
Dari 16 PLB tradisional, lima akan ditingkatkan statusnya menja di PLB Internasional.
Malaysia belum berencana membuat lima PLB Internasional. Yang terlihat baru empat. Tiga sudah diimplementasikan. Yaitu, Aruk, Entikong dan Badau. Sudah ada perjanjian. Jagoi Babang sebatas informal. Jasa belum ada pembicaraan. Malaysia belum berencana. Infrastruktur Jasa belum jauh ketinggalan.
“Malaysia belum merencanakan membuka PLB di Jasa, karena infrastrukturnya belum siap,” kata Manto.
Dari lima PLB, Jasa paling tidak siap dari segi infrastruktur. Jasa ke calon lintas batas di Sungai Kelik belum ada jalan. Hanya bisa jalan kaki. Itu pun melewati kawasan hutan lindung. Ini juga menjustifikasi, kenapa pemerintah belum bisa membangun ruas jalan di sana. Secara teoritis bisa membangun jalan. Namun prosedurnya luar biasa rumit, sehingga sampai saat ini belum bisa dilakukan.
Yang harus dilakukan, pemerintah melalui Kementerian PU harus menetapkan status jalan tersebut. Menteri bisa menetapkan apa pun status jalan tersebut. Tapi karena jalan itu kondisinya masih nol, perlu dana besar. Sementara APBD Kalimantan Barat sulit melakukannya.
Membuat jalan raya perbatasan bertaraf internasional butuh dana Rp 6,5 miliar setiap kilometer. Selama ini, dari berbagai proposal yang pernah diajukan PU, pembangunan jalan hanya Rp 3,5 miliar setiap kilometer. Dengan usulan Rp 3,5 miliar pun pemerintah pusat jarang setuju. Kebijakan pemerintah saat ini, lebih menekankan pada panjang jalan daripada kualitas.
Untuk mensiasati pembangunan jalan, ada beberapa hal bisa dilakukan. Misalnya dengan menggandeng pihak ketiga. Pemerintah memberikan konsesi HPH atau perkebunan. Sebagai imbalannya, perusahaan swasta itu harus membangun jalan.
Cara lain, pemerintah provinsi dan kabupaten mengandeng pihak asing. Pemprov Kalimantan Barat pernah memancing dana asing. Misalnya dengan Japan International Cooperation Agency (JICA) dan Asean Development Bank (ADB). Contoh dana ADB yang masuk ke perbaikan jalan misalnya, jalan Simpang Tayan dan Simpang Sosok. Juga jalan dari Simpang Tanjung ke Entikong. Jalan di Sebangkau ke Aruk di Sambas. Serta jalan dari Putussibau ke Nanga Badau.
Sekarang ini, cara memperoleh dana pembangunan dengan melobi ke pusat atau kementerian di Jakarta. Sehingga dana bisa masuk ke daerah. Ketika pemerintah pusat melalui kementerian tidak mau mengucurkan dana, daerah tidak bisa memaksakan kehendak.
Sistem dan melanisme di pemerintahan, turut membuat rancu pembangunan perbatasan. Selama ini, struktur organisasi pemerintahan dibagi secara regional dan sektoral. Karenanya ada departemen, dinas dan badan di provinsi. Ada fungsi bidang ekonomi, PU, pemberdayaan dan lainnya.
Nah, ketika badan perbatasan dibuat tidak berdasarkan fungsi tersebut. Tapi dibentuk berdasarkan fungsi kawasan. Yang namanya kawasan perbatasan, semua departemen, dinas, badan masuk semua fungsinya ke perbatasan. BNPP menangani kawasan yang fungsinya sektoral. Ketika hendak menangani fungsi sektoral tersebut, orang di dinas provinsi ada yang keberatan.
Hal itu membuat dilematis. Sebab tidak diizinkan terjun langsung. Padahal kalau tidak mengerjakan itu, instansi lain tidak menggarapnya. Akhirnya terlantar lagi. “Ini mengenai mekanisme pemerintahan yang perlu dikoreksi, “ kata Manto.
Menurutnya, BNPP harus diberi kewenangan atau intervensi terhadap pekerjaan sektoral yang terabaikan. Kalau tidak terabaikan, BNPP tidak perlu masuk. Karena itu urusan dinas.
Pemerintah mesti bergerak sesuai dengan grand desain yang dibuat, dan tidak terdistorsi kepentingan politik. Political will harus sesuai perencanaan. Tidak boleh terdistorsi kepentingan politik. “Sesungguhnya kawasan perbatasan masih punya masa depan,” kata Manto.
Minsen, Ketua DPRD Kalimantan Barat mengatakan, kondisi di perbatasan tak beda jauh dengan wilayah pedalaman Kalimantan pada umumnya. Ada skala prioritas dalam pembangunan. Skala prioritas itu yang mesti dibenahi. “Pemerintah provinsi dan dewan sudah berusaha mengalokasikan dana ke sana,” kata Minsen.
Saling tuding dana pembangunan perbatasan terjadi antara Gubernur Cornelis dan Bupati Sintang, Milton Crosby. Saat keduanya kampanye untuk pemilihan bupati Sintang, tahun 2010, Cornelis menjanjikan dana Rp 25 miliar bagi pembangunan jalan di perbatasan.
“Saat kampanye ada janjikan bantuan pembangunan jalan Rp 25 miliar,” kata Widianto.
Pemerintah terlalu banyak berjanji membangun jalan. Tahun 2008, pemerintah berjanji membangun jalan dari Senaning ke Nanga Bayan. Panjang jalan itu 5,900 meter dari dusun Sebujan. Tapi jalan tak dibangun. Tahun 2008, pemerintah juga berjanji membangun jalan dari Dusun Semujan ke Sungai Kelik. “Ketika warga menanyakan kepada bupati, dananya untuk daerah lain,” kata Widianto.
Tahun 2009, Pemda Sintang menjanjikan lagi, tapi tak jadi. Tahun 2010, saat kampanye juga dijanjikan, tapi tak jadi. Tahun 2011, wakil bupati berjanji akan menembuskan jalan dari Sungai Kelik ke Semujan. Panjang jalan itu sekitar 6 km. Pembangunan jalan itu butuh dana sekitar Rp 700 juta. Jalan itu belum ada jalur.
“Kita merasa terisolir dan kita tak pernah dikunjungi. Masyarakat mengancam tidak akan memilih dalam pemilihan apa pun,” kata Widianto.
Tahun 2011, pemerintah pusat kembali memberikan dana bagi pembangunan jalan di perbatasan. Besarnya, Rp 19 miliar. “Sekarang sedang tender,” kata Cornelis, ditemui saat pelantikan Eselon II. Mengenai dana Rp 25 miliar bagi jalan perbatasan pada 2010, Cornelis minta bupati Sintang, Milton Crosby untuk menjelaskannya.
Dalam suatu konferensi pers, Bupati Sintang, Milton Crosby mengatakan bahwa, pembangunan perbatasan tanggung jawab semua pihak. Tidak boleh saling menyalahkan. Ia berkata, pemerintah pusat telah memberikan Dana Alokasi Khusus (DAK) pada pembangunan Kecamatan Ketungau Hulu dan Tengah sebesar Rp 7 miliar. Khusus Ketungau Hulu yang menjadi prioritas berdasarkan lokasi, pemerintah pusat telah memberi bantuan Rp 5 miliar.
Saat ini, APBD Sintang setiap tahun sebesar Rp 700 miliar. Dana itu yang bisa dilakukan untuk pembangunan fisik hanya Rp 250 miliar.
Milton menjelaskan, dana tahun 2010 jumlahnya Rp 15 miliar. Dana itu merupakan dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID). Dana digunakan bagi pembangunan semua kecamatan di Sintang.
“Bukan khusus bagi pembangunan jalan di perbatasan,” kata Milton.
Tak beda jauh dengan Sintang, Kabupetan Sambas juga alami hal sama. Yoelyanto, Kasubid Bina Marga Pengairan, Energi Sumber Daya dan Mineral Kabupaten Sambas mengatakan, Sambas hanya punya Dana Alokasi Umum (DAU) Rp 700 miliar untuk 183 desa.
“Karena itu pembangunan jalan dan infrastruktur di Sambas sangat minim,” kata Yoelyanto. Jalan masih banyak terbuat dari semen dan tanah. Di Selakau dan Galing malah masih terisolasi.
Khusus kawasan Temajo yang merupakan wilayah strategis dari segi pertahanan dan keamanan, pemerintah pusat sebenarnya sudah merencanakan pembangunan jalan paralel perbatasan sepanjang 966 km. Jalan itu membentang sepanjang perbatasan antara Indonesia-Malaysia. Mulai dari Temajo dan Aruk di Kabupaten Sambas. Jagoi Babang di Kabupaten Bengkayang. Entikong dan Balai Karangan di Kabupaten Sanggau. Senaning di Kabupaten Sintang. Putussibau dan Nanga Badau di Kabupaten Kapuas Hulu. Pembangunan jalan itu diperkirakan butuh dana sekitar Rp 5,6 trilyun.
Dalam setiap Musrembang Nasional hal itu selalu diajukan. Tapi daerah hanya mengusulkan. Pemerintah pusat yang punya dana dan merealisasikannya. “Kami inginkan realisasinya 2012,” kata Yoelyanto.
Tujuan pembangunan jalan tak hanya memperlancar berbagai aktivitas ekonomi warga. Pembangunan jalan turut menjaga perbatasan dan keamanan negara. Marwah negara tentu saja menjaga keamanan. Pembangunan jalan juga membuka keterisolasian dan meningkatkan sarana dan prasarana.
“Dengan adanya jalan bisa meningkatkan ekonomi warga,” kata Yoelyanto.
Manto Saidi menjelaskan, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bapeda) di provinsi sudah setuju. Tapi, pemerintah pusat masih ada yang setuju dan tidak.
Jalan paralel sepanjang perbatasan diidentifikasi dari ratusan status jalan. Ada yang berstaus jalan AMD, jalan sawit, jalan kabupaten dan lainnya, sehingga menjadi jalan paralel perbatasan. Kapan mulai dibangun?
“Waallahu alam,” kata Manto.
Pembangunan perbatasan merupakan hal yang harus dilakukan. Selain meningkatkan pembangunan ekonomi warga, tentu menjaga ke-Indonesiaan warga yang mendiami perbatasan.***
Dimuat secara berseri di Voice of Human Right (VHR), dari tanggal 16 Agustus-16 September 2011.
Tuesday, August 16, 2011
Kehidupan Warga di Perbatasan
Posted by Muhlis Suhaeri at 5:59 PM 3 comments
Labels: Perbatasan
Subscribe to:
Posts
(
Atom
)