Saturday, January 1, 2011

Illegal Logging di Kalimantan Barat

Oleh Muhlis Suhaeri


Pembalakan liar di Kalimantan Barat, tidak hanya merusak hutan hujan tropis yang menjadi paru-paru dunia. Tapi juga merusak dan memporak-porandakan mental dan struktur sosial masyarakat. Ketika pohon mulai habis dan pembalakan dilarang, masyarakat mulai merasakan dampak dalam segala sendi kehidupan warga. 
 
Ketika Hutan Kalimantan Dibabat
Karim (31), baru saja memarkirkan truk malam itu. Hari mulai gelap. Lampu penerang tak menyisakan cahaya barang sedikit pun. Semua terlihat pekat. Hitam dan gelap. Listrik hidup bisa dihitung dengan jari setiap minggunya. Selebihnya, warga menggunakan pelita. Lampu kecil dengan bahan bakar minyak tanah.

Saya bertemu Karim di Tematu, Lanjak, Kapuas Hulu yang berbatasan dengan Malaysia. Ia punya truk sendiri. Saban harinya, Karim mengangkut pekerja sawit. “Sebulan paling dapat Rp 1,5 juta,” kata Karim. Ada nada mengeluh dalam ucapannya.

Karim mantan pekerja kayu. Ketika illegal logging (IL) masih marak, Karim bekerja sebagai teli atau pengukur kayu di Lanjak. Lanjak pelabuhan nomor dua. Nomor satu Tangit. Sebelumnya, pelabuhan di Lanjak khusus menurunkan kayu dari sekitar Danau Sentarum. Sementara Pelabuhan di Tangit, merupakan area pengumpulan kayu yang berasal dari seluruh hulu Sungai Kapuas, sampai hilir Muara Kerang. Bahkan, dari Nanga Silat di Sintang. Dari Tangit, kayu dibawa langsung dengan truk menuju Lubuk Antu, Malaysia.

Karim tak hanya mengukur. Ia juga tangani penerimaan, pembelian dan pengiriman kayu. Dalam sehari dapat Rp 2 juta. Ia bekerja kayu dari tahun 2000-2004. Kini, ia sanggup membeli rumah, mobil dan menyekolahkan keluarga.

Seperti juga pekerja kayu lainnya, Karim bekerja menggunakan modal cukong kayu dari Malaysia. Cukong adalah sebutan bagi bos dalam bahasa China. Ia bekerja untuk Wong Hing King, biasa dipanggil Hengking. Ia terkenal sebagai cukong pekerja kayu manual, pakai chain saw dan sepeda.

Hengking bekerja di hutan yang dekat dengan jalan lintas utara. Jarak hutan sekitar 5-10 km dari jalan. Wilayah operasinya mulai dari Badau, Lanjak, Embalau Hulu atau Benua Martinus. Kayu yang sudah dikeluarkan dari hutan, ditaruh di pinggir jalan lintas utara. Setelah itu dibawa dengan truk menuju Badau.

Menurutnya, sistem manual tak terlalu besar dampaknya. Ketika pohon besar ditebang, pohon kecil jadi tumbuh. Hengking hanya menampung kayu dari warga. Ia tak buka sawmill di Kapuas Hulu.

Ada dua metode dalam pengerjaan IL. Kerja mekanis dan manual. Kerja mekanis menggunakan berbagai alat berat. Seperti, buldoser, eksafator dan lainnya. Kerja mekanis biasanya di dataran rendah, sedang atau tinggi. Lokasi lahannya kering. Modalnya besar. Kerja manual hanya menggunakan chain saw, sepeda dan rel. Lokasi kerjanya di daerah basah atau rawa. Modalnya tidak sebesar kerja mekanis. Namun, kerja di sekitar rawa, keuntungannya lebih tinggi. Sebab, biasanya terdapat kayu ramin yang harganya tinggi. Kedua metode kerja tersebut, cukongnya lain.

Sistem mekanis harus membuat jalan sendiri atau jalur logging. Jalur logging terpanjang, terdapat di hulu labian. Warga menyebutnya jalur Apeng. Panjangnya sekitar 40 km. Jalur itu dari hulu Labian masuk sampai ke Sungai Tamam Baloh, yang terdiri dari dua batang sungai. Jalur loggingnya langsung masuk ke sawmill di Guntul. Jalur logging juga terdapat di Sungai Luar, panjang sekitar 10 km. Jalur logging di Kerangkang dan Jalur logging di Sumpak.

Logging sekali jalan ada delapan log kayu. Kayu diangkut dengan truk beroda 12. Kadang, bagian belakang juga diberi gandengan. Panjang kayu sekitar 15 meter. Kalau diameter kayu 1,5 meter, kayu dipotong delapan hingga sepuluh meter. Sebab, bila terlalu panjang, mesin penjepit atau loader, tak akan sanggup mengangkat kayu.

Pengolahan kayu lapis tak ada di sepanjang perbatasan. Pernah ada yang coba mendirikan di Badau. Namun tak jadi. Sebab, proses membuat kayu lapis terlalu panjang.

“Sistem kerjanya berdasarkan kepercayaan. Ibaratnya, pakai air basin saja sudah dapat duit,” katanya. Air basin adalah air ludah. Maksudnya, hanya dengan modal kepercayaan, para pekerja kayu seperti dirinya, sudah bisa bekerja.

Ketika pertama bekerja dengan Hengking, Karim membawa satu kayu truk. Satu truk kayu setara dengan 2,7 tan. Ia malah diberi uang lebih dari harga satu truk kayunya. Tujuannya, agar bisa bekerja dan mencari kayu lagi.

Menurutnya, cukong kayu dari Malaysia bersikap baik. Mereka berani memberikan uang sebagai modal terlebih dahulu.

Ketika IL belum marak di perbatasan, Karim membawa kayu ke Pontianak. Ia biasa membawa 2-3 rakit ke Pontianak. Pembayarannya, butuh waktu satu hingga dua bulan untuk mencairkan uangnya. Di Malaysia, hari itu setor kayu, langsung dibayar juga.

Pembayaran juga dilakukan dengan sistem borongan. Misalnya, bawa kayu hingga 100 ribu batang. Selesai satu minggu, baru berhitung. Ongkos angkutan, biaya tambahan selama perjalanan ditanggung kontraktor. Pengusaha dari Malaysia, terima bersih kayu sampai di log pond atau lokasi penumpukan kayu di perbatasan.

Ia punya karyawan belasan tukang chain saw dan pekerja sepeda. Kalau ada karyawan kecelakaan atau meninggal, akan ditanggung biaya perawatan atau pemakamannya. “Namanya kerja di hutan, ada saja kecelakaan,” kata Karim.

Saat kayu marak, Lanjak penuh dengan pekerja kayu, supir truk, kernet, dan lainnya. Sedari pagi, suasana ramai sangat terasa. Orang berlalu lalang mengejar setoran angkutan kayu. Banyak truk datang dari Putussibau, Sintang, Pontianak, Singkawang, bahkan dari Jawa.

Dari memberangkatkan satu truk, dia dapat untung Rp 1 juta. Meskipun afkir atau ada cacat, kayu tetap dibeli cukong. Sebab, kalau sudah masuk timber dan diolah, akan menjadi kayu baik semua.

Seperti juga Karim, Antonius Hermanto (39), warga Ukit-Ukit, Lanjak, bekerja sebagai kontraktor kayu untuk Hengking. Saat kayu sedang marak, ia merantau dan bekerja di Malaysia. Para perantau biasanya bekerja di empat sektor. Sebagai pekerja bangunan atau jalan, buruh perkebunan sawit dan kilang kayu atau sawmill. Pada 2003, ia mulai tertarik bekerja di perkayuan. Alasannya, sebagian besar pekerja kayu dari orang luar Lanjak, terutama Sambas.

“Dari pada kita nonton, lebih baik jadi pemain,” kata Anton. Dia hanya kebagian tiga kontrak. Sekali kontrak 3 bulan.

Anton mengenal Hengking dari temannya. Ia berkata pada Hengking, sebagai warga lokal, banyak kenal orang dan punya lokasi garapan. Ia sanggup menyediakan lahan garapan kayu. Kedatangannya tak bawa kayu. Ia hanya bawa badan. Malah, sebelum membawa kayu, ia pinjam uang pada Hengking Rp 50 juta. Uang itu sebagai bekal kerja mencari pekerja chain saw dan pekerja sepeda dari Sambas.

Ia datang ke Hengking dengan membawa daftar hadir rapat di kampung dan rumah betang. Selain itu, ia bawa berita acara penyerahan lokasi, terutama dari kepala dusun. Ada kesepakatan fee, tentang pekerja, pembayaran fee, keterlibatan orang kampung mengontrol kubikasi kayu. “Dengan itu, bisa jadi modal pinjam uang ke Hengking,” kata Anton.

Menurutnya, mendapatkan lokasi tebangan di hutan, perlu pendekatan khusus pada pemimpin di kampung. Orang itu mesti punya pengaruh dan dihormati. Atau, ia keturunan bangsawan. Dari pendekatan itu, ia menyampaikan bahwa ada hutan di kampung yang bisa diusahakan. Juga mengenai cara dan pembagian hasilnya. Ia akan memprioritaskan orang setempat sebagai pekerja. Terutama sebagai pembuat jalan, potong kayu dan chain saw.

Anton punya lokasi garapan kayu di Sungai Tebelian, Embaloh Hulu. Jarak dari jalan lintas utara sekitar 2 km. Bahkan, lokasi garapan itu, jarak 1 km sudah bisa produksi. Kayu yang diambil jenis tertentu dan berkelas. Misalnya, meranti, kapur, jelutung. Kayu yang tak diambil, jenis sempeti, rengas, bintangor dan resak. Kayu itu untuk membuat rumah bagi warga.

Para pekerja chain saw dibayar Rp 30 ribu setiap satu tan. Ia punya 30 pekerja chain saw. Dalam sehari sanggup menghasilkan 30-40 tan. Setelah kayu glondongan dipotong jadi kayu balok sesuai ukuran yang diinginkan, kayu dibawa tukang sepeda. Kayu ditaruh dekat jalur lintas utara. Jalur lintas utara merupakan jalan utama menuju Badau.

Supir dan kernet truk datang dan menawarkan jasa angkutan. Truk bebas membawa kayu siapa saja. Supir truk akan diberi kwitansi. Ada tiga lapis kwitansi sekali pengiriman kayu. Warna putih, kuning dan merah. Kwitansi warna putih diberikan kepada supir. Warna putih untuk cukong kayu Malaysia. Bon warna kuning disimpan kontraktor kayu. Hengking akan bayar truk. Setelah itu, ia potong ongkos dari kayu yang disetor.

Selama perjalanan, Anton bekali truk untuk bayar pungutan dari aparat pemerintah, maupun warga setempat. Setelah melewati pertigaan jalan Malindo atau biasa disebut Simpang Nyamai (dalam bahasa Dayak Iban, artinya, Simpang Nyaman). Setiap truk harus bayar pos bea cukai Rp 50 ribu. Di pos ini, ada polisi, TNI, Pemda. Setelah itu, melewati tanah warga. Di lokasi ini, truk harus bayar Rp 25 ribu. Kayu berakhir di lapangan penumpukan cukong Malaysia. Ia harus bayar parkir penumpukan kayu, 12 ringgit.

Sesampai di sana, kayu dipindah ke truk Malaysia. Namun, ada juga truk yang langsung ke Malaysia. Setiap cukong ada lapangan bongkar kayu. “Kayu hasilnya sedikit, karena banyak yang masuk ke pajak,” kata Anton.

Pada kontrak pertama, Anton dapat Rp 25 juta. Kontrak kedua, Rp 20-30 juta. Hasil kedua lebih besar, karena tak perlu keluarkan uang untuk buat jalan. Kontrak ketiga, Rp 11-15 juta. Hasilnya lebih kecil, karena hutan mulai habis.

Pembabatan Hutan di Danau Sentarum
Pembabatan hutan tak hanya terjadi di dataran lapang. Tapi juga di sekitar Danau Sentarum. Danau air tawar seluas 132 ribu hektar itu, memiliki keanekaragaman hayati terbesar. Danau Sentarum penyumbang perikanan darat terbesar di Kalbar. Juga, jadi penyeimbang aliran air Sungai Kapuas. Sungai terpanjang di Indonesia yang melewati tujuh dari 14 wilayah di Kalbar. Panjang Sungai Kapuas sekitar 1100 km.

Danau Sentarum merupakan muara dari sebagian besar sungai besar di Kapuas Hulu. Sebut saja Sungai Leboyan, Sibau, Mendalam, Batang Lupar, dan lainnya. Danau Sentarum terdiri dari puluhan danau. Namun, keelokan dan ketenangan danau mulai terusik. Seiring maraknya illegal logging (IL) di Kalbar, sekitar 1998-2004. IL berawal di Tekura, Puring Kencana, Badau sekitar 1998. Di Lanjak mulai 2000. Tahun 2004, IL berakhir.

Ribuan orang menebang dan membuka hutan di sekitar danau. Perusahaan kayu membangun sawmill atau pengolahan kayu, dan pelabuhan pengangkutannya di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) yang menuju Danau Sentarum.

DAS Sungai Leboyan sebagian besar buka kayu. Aktivitas kayu terdapat di Leboyan bagian hulu, Kelawik, Nanga Ngaung, Nganti, Kapar Tekalong, Lubuk Bandung, Manggin, Meliau, Tempurau, Semangit dan Semalah. Ada empat pelabuhan besar di DAS Leboyan. Yaitu, di Nanga Semantik, Tapang Teluk, Desa Melembah dan Sungai Bunut.

Danau Kasen menjadi salah satu dari kegiatan IL. Mereka mengambil kayu dari Bukit Peninjau, seluas 300-400 hektar. “Bukit itu milik warga rumah betang Meliau,” kata Sodik, anggota Badan Musyawarah Desa (BPD). Warga di rumah betang Meliau, sehari-hari menjadi nelayan dan petani.

Kayu yang diambil terdiri dari jenis luih, keladan, kelasau bukit dan meranti. Kayu tekam tidak boleh diambil. Warga menggunakannya untuk bangun rumah. Ini jenis kayu kelas satu. Kayu itu tenggelam di air.

Ada 19 kamp di desa itu. Kamp merupakan tempat tinggal pekerja, selama menjalankan aktivitas IL, mulai dari penebangan hingga pengangkutan kayu.

Salah satu kontraktor penebang kayu di Danau Kasen bernama Suwardi. Setiap kontraktor punya dua bagian. Pekerja chain saw dan pekerja sepeda. Chain saw bertugas menebang dan memotong kayu, sesuai ukuran yang diinginkan. Pekerja sepeda bertugas mengangkut kayu yang sudah digergaji dengan sepeda.

Sistem kerjanya secara rombongan. Satu rombongan sekitar 10 orang. Jumlah pekerja sepeda, biasanya dua kali lipat dari pekerja chain saw. Bila jumlah pekerja chain saw satu rombongan, sepeda dua rombongan.

Kontrak kerjanya tiga bulan saja. Cara kerja dibagi tiap wilayah dan blok. Setelah itu membuat jalan untuk jalur pengangkutan kayu. Pekerja sepeda sebagian besar orang Sambas. Mereka sangat ahli dan kuat membawa kayu dengan sepeda. Kemampuan mereka diakui. Mereka memodifikasi sepeda roda dua dengan tambahan besi pada rangkanya.

Pekerja chain saw biasanya warga setempat. Chain saw bawa dua anak buah. Selain memotong kayu, pekerja chain saw harus memotong balok kayu menjadi beberapa ukuran. Kayu digergaji dengan ukuran 12x20 cm atau 20x20 cm dan panjang antara 360-420 cm. Ukuran disesuaikan dengan kebutuhan.

Sebelum mengerjakan suatu hutan, biasanya ada survei ke lokasi tebangan. Bila dianggap memiliki prospek, mereka mendatangi kepala dusun atau desa untuk minta izin. Kepala dusun mengadakan rapat dengan warga. Dalam pertemuan ada beberapa hal jadi kesepakatan. Misalnya, tak boleh menebang kayu di bekas ladang warga. Tak boleh menebang kayu ke atas bukit, sebab bisa membuat longsor. Ada pembagian hasil atau fee kepada warga. Uang diserahkan ke kas desa. Setelah itu, setiap rumah dapat bagian.

Di danau tidak ada sawmill. Warga tak mengizinkan. Sebab, limbah sawmill yang berupa kayu atau serbuk gergajian, akan dibuang ke danau atau sungai. Hal itu membahayakan kehidupan di danau. “Pernah ada yang minta izin hingga dua kali. Namun, warga tidak mengizinkan,” kata Sodik.

Setiap wilayah tak ada standar pembagian fee. Tergantung rapat warga dan kontraktor. Orang buka kayu biasanya tergantung kesepakatan. Di Meliau, setiap satu balok kayu, desa dapat Rp 5 ribu untuk kas desa. Dalam satu hari, kontraktor menebang sekitar 5.000-6.000 balok.

Para pekerja chain saw dibayar per tan. Satu tan setara dengan 1,6 kubik. Tiap satu tan, pekerja chain saw mendapat Rp 50 ribu. Satu tan terdiri dari 8-10 balok kayu. Dalam sehari bisa hasilkan 5-6 tan. Pekerja membawa kayu balok dari Bukit Peninjau ke Danau Kasen. Jaraknya sekitar 6 km. Kayu diikat dengan sepeda. Pekerja sepeda dibayar Rp 50 ribu per tan. Dalam satu hari bisa 5 kali angkut.

Jalur sepeda lebarnya sekitar satu hingga satu setengah meter menyusuri hutan. Agar bisa lewat, pekerja menempatkan papan selebar 10 cm di atas jalur yang sudah dibuka. Nah, di papan itulah, para pekerja sepeda harus mengarahkan sepedanya, supaya tidak terpelosok. Sepeda harus dituntun. Mereka harus punya keseimbangan yang baik. Sebab, sekali sepeda jatuh, bisa berakibat fatal. Pekerja bisa tertimpa sepeda dan kayu. Sekali angkut bisa 2-4 batang kayu. Yang beratnya mencapai 150-200 kg.

Tukang angkut dengan sepeda, pasti dicari dari Sambas. Cara mencari para pekerja ini, ditunjuk kepala rombongan. Orang ini harus punya kapasitas dan jaringan pekerja sepeda di Sambas. Biaya transportasi dari Sambas, makan selama perjalanan hingga orang itu masuk ke lokasi kayu, butuh biaya sekitar Rp 200 ribu. Sebelum pekerja sepeda keluar dari rumah, keluarganya harus diberi uang Rp 500-1 juta. Agar, keluarga bisa mencukupi kebutuhannya.

Kontraktor kayu menyediakan kamp bagi pekerja chain saw dan sepeda. Ia menanggung semua kebutuhan pekerja selama di kamp. Segala keperluan dihitung sebagai bon atau hutang. Bon akan dihitung, setelah hasil chain saw dan sepeda selesai. Setelah itu, sisanya buat pekerja.

Sekali kontrak tukang sepeda dapat Rp 7-8 juta. Pekerja chain saw dapat Rp 5-6 juta, karena ada anak buah. Pembayaran fee dibayar satu kali kontrak. Kontrak dengan karyawan tiga bulan.

Danau Kasen merupakan pelabuhan transit. Setelah itu, pekerja mengangkut kayu dan dihilirkan menuju Lanjak. Lanjak merupakan pelabuhan kayu di wilayah Danau Sentarum dan Kapuas. Dari Danau Kasen kayu dirangkai 6-7 batang. Lalu, dihilirkan ke Sungai Leboyan, melalui Sungai Sematik. Caranya, pekerja mengikat kayu dengan drum. Sehingga kayu bisa mengapung. Butuh waktu satu hari membawa kayu ke hilir.

Setelah tiba di Sungai Leboyan, pekerja merangkai kayu menjadi rakit. Setiap rakit terdiri dari 30 kayu. Setiap rakit terikat satu dengan lainnya. Setelah terkumpul 1.000 batang, rakit didorong menggunakan motor bandong atau motor air, menuju Lanjak lewat Danau Sentarum.

Lanjak merupakan terminal kayu. Upah pekerja angkut kayu ke truk, Rp 100 ribu. Sewa truk Rp 350 ribu. Selanjutnya, pekerja mengangkut kayu menuju Badau. Jarak Lanjak dan Badau sekitar 123 km.

Selain dapat fee dari kayu yang ditebang, warga juga menebang kayu di sekitar kampung mereka. Mereka menebang kayu pada musim kemarau, antara April–September. Saat itu, sebagian besar permukaan danau kering. Ketika musim penghujan tiba, warga membawa kayu yang sudah ditebang dengan rakit, menuju rumah Betang.

“Aparat tak pernah datang ke lokasi. Mereka tutup mata. Padahal mereka tahu,” kata Sodik.

TNI dan polisi biasanya minta upeti langsung pada pengusaha kayu dari Malaysia. Mereka jarang minta ke warga. Terutama warga lokal. Pada hari besar kenegaraan atau keagamaan, aparat terkadang minta jatah juga. Mereka juga jadi perantara bagi yang ingin masuk ke lokasi tebangan baru.

Akibat IL, sekarang ini, kayu terdekat dari perkampungan berjarak tiga km. Dulu, satu km sudah ada kayu. “Ketika Danau Kasen ditutup, masih terdapat sekitar 5.000-6.000 batang kayu di danau,” kata Sodik.

Para Cukong Penyokong Dana
Yosep Unja (43), juga kontraktor kayu yang bekerja pada Hengking. Ia berasal dari Ukit-Ukit, Embaloh Hulu. Unja punya garapan di Limpasuk, sekitar 40 km dari Badau. Untuk bawa kayu menuju Badau, ia bayar sewa truk Rp 175 ribu.

Sama seperti Anton, ia juga tak mau sekedar sebagai penonton di daerahnya sendiri. Apalagi harga kayu cukup lumayan. Ada cukong kayu dari Malaysia sebagai pembeli dan pemberi modal kerja. Dan, ada peraturan memberikan izin pembukaan dan pemanfaatan hasil hutan 100 hektar.

Cukong kayu Malaysia juga berebut kayu. Mereka selalu berusaha memberi pelayanan terbaik, bagi para kontraktor. Menurutnya, cukong paling bagus adalah Hengking. Sebab, kalau warga perlu, dia gampang bantu. Kalau kayu datang, Hengking langsung bayar. “Dia selalu bawa stok uang,” kata Unja. Kontraktor jual kayu senilai Rp 50 juta, langsung pinjam Rp 50 juta, juga akan diberi.

Menurutnya, ada sekitar 20 cukong kayu di perbatasan yang menampung dan mengusahakan langsung kayu dari Indonesia. Antara lain, Ngu Tung Peng alias Apeng, Hengking, Robin, Hendri, Simon, Lily, Aseng, Ling, Simon, dan lainnya.

Menurut Anas dari WWF Kalbar, cukong warga lokal juga banyak. Misalnya, Shaang dari Lanjak. Imelda dari Ukit-Ukit. Yusuf Baja dari Lanjak. Sawang dari Lanjak. Haji Ali dari Jongkong. Sukardi dari Jawa Timur. Dadang dari Semitau. B. Saren dari Benua Martinus. Mathias Eges dari Benua Martinus. Agap dari Bukung. Edmundus dari Ukit-Ukit.

Unja langsung bawa kayu ke Hengking. Harga kayu cukup berfariasi. Kayu meranti, 400-600 ringgit tiap tan. Kayu jelutung, 700 ringgit tiap tan. Kayu kapur, 400-600 ringgit tiap tan. Kayu ramin, 800-1500 ringgit tiap tan. Kayu ramin ada kategori A, B dan C. “Kayu ini diekspor ke Jepang, Singapura, dan Thailand. Ramin digunakan sebagai bahan bangunan dan alat rumah tangga. Harganya mencapai $ 900 tiap satu tan,” kata Anas.

Ketika usaha kayu ditutup, Unja rugi Rp 30 juta. Ia harus bayar karyawan, transportasi kepulangan karyawan dan lainnya. Belum lagi kayu yang tak bisa diangkut dan dijual.

Selain menampung kayu dari para kontraktor, cukong dari Malaysia juga mendirikan sawmill di Indonesia. Awalnya kayu-kayu persegi dibawa langsung ke Malaysia. Karena tak ada gangguan, orang Malaysia mendirikan timber atau pengolahan kayu sendiri.

“Kalau dari awal dicegah masuk, tidak akan ada illegal logging,” Matius (48), Dusun Tematu, Lanjak.

Ia merasa bingung, mengapa orang Malaysia bebas masuk ke Kapuas Hulu. Tak mungkin orang Jakarta tak tahu. Ia anggap pemerintah Indonesia malu-malu untuk ambil cukai. Padahal, kalau pemerintah mau fasilitasi pendirian sawmill yang dikelola pemerintah, uangnya bisa untuk pembangunan di Kalbar. Sebab, sawmill ada SPTH-nya. Ada SPK. Sehingga ada pemasukan bagi masyarakat. Akhirnya, cukai diambil raja-raja kecil di kampung. Namun, uangnya untuk kepentingan sendiri. Padahal, dari hasil kayu jumlahnya miliaran.

Malaysia mendirikan perusahaan yang menampung kayu illegal dari Indonesia. Setiap kayu yang masuk diberikan sertifikasi, sehingga jadi kayu legal. Setiap tan bayar 15 ringgit. “Kayu yang dibawa ke Malaysia, betul-betul grate A. kayu tak ada noda atau pecah,” kata Matius.

Negosiasi pembuatan sawmill maupun pengusahaan kayu, berada di rumah betang. Setelah dapat uang, biasanya rumah betang berganti dengan beton. “Itu salah satu ciri dari adanya sawmill atau aktivitas illegal logging,” kata Matius.

Matius pernah bekerja sebagai manager di sawmill. Sawmill butuh 200-300 balok. Sistem kerja ada tiga shift. Ukuran kayu 15x9 cm dengan panjang 16 feet. Ukuran kayu 12x9 cm dengan panjang 14 feet.

Di Kecamatan Batang Lupar, ada tujuh sawmill. Pertama, di Guntul. Ini lokasi sawmill paling besar milik Apeng. Sawmill itu punya 8 mesin bend saw atau gergaji pita, 2 gergaji pembelah (break down) dan 8 pemotong (cutter). Bend saw merupakan mesin penggergajian statis bagi kayu gelondongan. 

Pekerja di Guntul jumlahnya ribuan. Mereka datang dari seluruh wilayah di Indonesia. Terutama dari Sambas, Jawa, NTT dan Sulawesi Selatan. Kedua, Sumpak, terdapat dua bend saw dan satu mesin pemotong. Ketiga, Tematu, ada dua bend saw, dua pemotong dan satu pembelah. Keempat, Sepan, ada dua bend saw dan satu pembelah. Kelima, Sungai Luar, ada tiga bend saw, tiga pemotong dan satu pembelah. Keenam, Ukit-Ukit, ada satu bend saw, satu pemotong. Ketujuh, Kelawik, ada tiga bend saw, dua pemotong, dan sa tu pembelah.

Kecamatan Embaloh Hulu, ada satu sawmill di Kerangkang, terdapat empat mesin bend saw, empat pemotong dan satu mesin pembelah.

Henri Jali (62), kepala dusun Sungai Luar, menyerahkan wilayah hutannya pada cukong Malaysia bernama Mr. Ling. “Fee untuk rumah betang 25 ribu ringgit,” kata Jali. Saat itu, satu ringgit nilanya Rp 2.200.

Ia sudah lama jadi kepala dusun di rumah betang Sungai Luar. Pekerjaan warga di rumah betang, menoreh karet bekerja di Malaysia. Zaman kayu warga mengerjakan sendiri kayu, dan bekerja sama dengan perusahaan Malaysia.

“Perusahaan tidak sengaja masuk. Ada warga yang mengajak toke masuk,” kata Jali. Toke merupakan sebutan untuk pengusaha dalam bahasa China.

Perjanjian dengan warga, boleh ambil kayu, tapi harus bangun rumah betang yang ditinggali warga. Kayu jenis tertentu, seperti kayu belian tak boleh diambil. Kayu itu untuk membangun rumah. Yang di gunung tidak boleh ditebang lagi, karena warga takut kehilangan sumber air.

Sebagai pimpinan di sawmill, Ling punya wakil dua orang. Namanya, Ayu dan Acien. Ketua Dusun Luar, Hen. Wakil, Awa. Bagian lapangan, Paulus Jimbau. Setelah era kayu berakhir, Jimbau jadi anggota DPRD Kapuas Hulu.

Sawmill di Sungai Luar punya tujuh bend saw dan satu mesin pembelah. Sistem kerja harian, pakai tan. Bagian sawmill sehari dapat bayaran Rp 100 ribu. Bagian bend saw Rp 150-300 ribu.

Warga setiap hari ke Malaysia, belanja kebutuhan sehari-hari. Beli gula, kopi, beras, dan lainnya. “Dulu, bukan main makanan. Sekarang, makan ayam sebulan sekali saja sudah lumayan,” kata Iding.

Rumah betang terdiri dari 30 pintu. Listrik untuk penerangan gunakan generator kecil yang mampu buat 200 lampu menyala. Di kamp ada ratusan lampu. Sawmill ada dua genrator. Satu 5 ribu watt dan 25 ribu watt.

Kayu dari Sungai Luar dibawa ke Pelabuhan Sibu, Sarawak. Selanjutnya ekspor ke Jepang dan Korea. Mereka punya log yard atau lapangan bagi kayu log di Badau. Kalau lapangan bagi kayu log di danau bernama log pond.

Selain menjarah hutan secara manual dan mekanis pembabatan hutan juga dilakukan di Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK) dan Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS).

Seperti yang dilakukan Zulkifli (31) sekitar tahun 2000. Dia bersama kakak dan beberapa orang lainnya, menebang kayu di sekitar hulu Sungai Sibau. “Kayu ditebang dan dibiarkan dulu di sungai,” kata Zulkifli. Agar orang tidak masuk ke wilayah itu, bagian masuk ke sungai ditutup beberapa kayu gelondongan. Kayu dipasang melintang.

Setelah terkumpul, kayu glondongan diikat sebagai rakit. Lalu, dibawa dengan cara menghanyutkan dan mengikuti aliran sungai hingga ke Putussibau. Perjalanan butuh waktu sehari semalam. Setelah sampai di Putussibau, ada pedagang pengumpul. Dari Putussibau, kayu dibawa ke Danau Sentarum.

“Uang sangat berlimpah saat itu,” kata Zulkifli.

Zulkifli selalu menabung. Dari pekerjaannya tersebut, ia bisa membuat rumah, kendaraan dan lainnya. Beda dengan keluarga kakaknya. Begitu kayu habis, habis juga uangnya.

Apeng Cukong Besar IL
Bicara mengenai illegal logging di Kapuas Hulu, tak bisa dipisahkan dengan orang yang satu ini. Namanya, Ngu Tung Peng alias Goh Tian Tek alias Syamsul Bahri alias Apeng. Syamsul Bahri merupakan nama Islamnya. Pria dengan tinggi sekitar 180 cm tersebut, merupakan orang paling dicari pihak keamanan Indonesia. Namun, dia juga dianggap dewa penolong bagi warga di wilayah Kapuas Hulu bagian perbatasan dengan Malaysia.

Apeng orangnya pemberani dan pekerja keras. Ia berasal dari suku Pucau. Di daratan China, suku ini terkenal berani. Apeng selalu bawa senjata di bawah jok mobilnya. Ada mandau, senjata laras pendek, panjang hingga soft gun.

Ia memiliki lahan kayu di berbagai wilayah dunia yang ada hutannya. Seperti, di Indonesia, Kamboja, Thailand, Brasil dan Afrika. Ia pernah babat hutan di Lhoksumawe, Aceh, sekitar 1980-an. Apeng juga membabat hutan di Sorong, Irian Jaya.

Di Thailand, dia harus berperang dengan pasukan pemberontak pemerintah, sebelum membabat hutan di sana. Jadi, ketika dia membabat hutan di Kalimantan, ia anggap biasa saja. Sebab, tak perlu menggunakan senjata. Cukup mendatangi para ketua adat dan dusun. Bernegosiasi dengan pejabat di pemerintahan, aparat kepolisian dan TNI.

Dalam pelantikan Gubernur Kalbar, Usman Dja’far, Apeng hadir di Gedung DPRD Kalbar. Ia mengenakan dasi dan pakaian resmi. Sebagian besar orang tak mengenalnya. Usman Djafar menjabat Gubernur Kalbar pada 2003-2008.

Apeng pernah beristri orang Dayak Iban. Ia pandai bahasa Iban. Setelah itu, nikah dengan Wati, perempuan Jawa yang dia temui, ketika membabat hutan di Aceh. Dia punya dua anak dari Wati.

Apeng operator lapangan. Dia punya perusahaan bernama Green Atlantic di Sibu, Sarawak, Malaysia. Pimpinan perusahaan bernama Robert Ngu, adiknya. Ketika masuk ke Kapuas Hulu, awalnya Apeng sebagai rekanan dari PT Plantana Rasyindo. Rasyindo singkatan dari Roni Aswar Anas. Roni anak Aswar Anas, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra), Kabinet Pembangunan VI, 1993-1998.

Ketika peresmian PT Plantana di wilayah tersebut, 1997, Kolonel (inf) Erwin Sudjono, ipar Presiden Indonesia, SBY, hadir. Erwin menjabat sebagai Danrem Alambhana Wanawai (Korem 121/ABW). Ia datang bersama puluhan petinggi Hankam dari Jakarta. Pengamanan sangat ketat. Bahkan, ada pasukan-pasukan bayangan untuk pengamanan. Sejak 2 Mei 2006, Erwin menjabat sebagai Pangkostrad dengan pangkat Mayor Jenderal. Ia pensiun sebagai Kepala Staf Umum (Kasum) ABRI dengan pangkat Letnan Jenderal.

Sebagai kontraktor land clearing atau pembersihan lahan dari PT Plantana, Apeng menghadiri acara tersebut. Land clearing merupakan salah satu cara atau kedok untuk mendapatkan kayu.

PT Plantana bergerak di bidang perkebunan. Saat itu, perusahaan mengusahakan lahan perkebunan seluas 60 ribu hektar di Badau, Lanjak dan Kantuk. Mereka juga membuat pembibitan sawit.

Plantana sempat memiliki lahan seluas 1.500 hektar. Tak sabar mengikuti proses perkembangan perusahaan, Apeng bergerak sendiri mencari kayu. Apeng menggunakan celah dari peraturan pemerintah. Nur Mahmudi Ismail sebagai Menteri Kehutanan dan Perkebunan (Menhutbun) pada Kabinet Persatuan Nasional, 1999-2000, memberikan izin pada warga, memanfaatkan hutan seluas 100 hektar dan 5.000 kubik kayu.

Dengan peraturan tersebut, Apeng mendirikan koperasi dan mendanai warga membuat IPK (Izin Pemanfaatan Kayu). Untuk dapatkan izin, koperasi harus merogoh uang sekitar Rp 15-20 juta. Izin tersebut selesai dalam waktu sebulan.

“Yang memberikan izin tentu bupati,” kata Hefni.

Bupati Kapuas Hulu saat itu, Yakobus Frans Layang, 1995-2000. Setelah itu, Abang Tambul Husin. Ia jadi bupati dua periode. Tahun 2000-2005 dan 2005-2010. Abang Tambul Husin sangat tertutup dan tak mau berkomentar, bila bicara mengenai IL di Kapuas Hulu.

Ketika 100 hektar habis, warga bisa minta izin lagi. Karena koperasi bayar pajak, hal itu dibolehkan. Ada penyalahgunaan pada peluang yang diberikan. Yang semula satu hektar, akhirnya satu benoa dikuasai. Izin 100 hektar tak dikontrol dalam pelaksanaannya. Izin dekat rumah, tapi kerjanya di hulu sungai.

Saat itulah timbul istilah IL. Adanya perusahaan besar yang masuk, membuat hal itu bisa dilaksanakan. Faktor orang dalam yang mengajak investor masuk, turut memperparah IL. Akhirnya, setiap kampung membuat sendiri. Proses jual belinya juga gampang. Bahkan, asal ada lokasi, akan mudah buka hutan. Karena itu, kearifan lokal jadikan hutan sebagai alam yang harus dipelihara jadi hilang.

Sebuah laporan dari WWF Kalbar mengenai IL 2002-2004 di TNBK menulis, penebangan dan penjualan kayu di kecamatan sepanjang perbatasan sudah berlangsung sejak empat tahun lalu (1999). Menurut Camat Badau Parbubu LT. Thobing, hal ini didukung oleh Pemda Kapuas Hulu. Latar belakang penebangan ini, issue masuknya perusahaan perkebunan antara dua negara yang berlokasi di sepanjang perbatasan dengan Sarawak (Malaysia).

Pertimbangan bupati saat itu, Yakobus Frans Layang, jika kerjasama perkebunan ini benar-benar terlaksana, masyarakat adat diperbolehkan mengerjakan kayu dan dijual ke Malaysia. Mengapa ke Malaysia? Negara ini membeli kayu dengan harga di atas standar, mudah transportasinya, serta urusan birokrasinya tidak berbelit-belit. Cukup dengan uang muka alias tutup mulut, maka kayu mereka pun lolos.

Menurut Humas Polda Kalbar, AKBP Suhadi, seperti dikutip dari ANTARA, Polda telah mencatat ada 15 perusahaan milik Apeng beroperasi di Kalbar. Semua perusahaan menggunakan nama koperasi unit desa (KUD) dan koperasi simpan pinjam. Dengan memiliki koperasi, Apeng leluasa dapatkan izin pembukaan lahan hutan 100 hektar, sesuai izin Hak Pengusahaan Hutan 100 Hektar, yang pernah dikeluarkan pemerintah.

Padahal, sebagai warga negara asing, Malaysia, Apeng tidak berhak membuat koperasi dan dapatkan hak pengelolaan hutan. “Sehingga aktivitas yang dilakukan Apeng merupakan kejahatan,” kata Suhadi.

Laporan dari WWF Kalbar mengenai IL menulis, “Untuk mendapatkan dana dari pemerintah dan menghidupkan koperasi, sebagian koperasi berusaha dengan cara membuat ukiran dan seni, serta pengadaan sembako. Mereka membuat pintu ukiran dari kayu panyau. Pintu ini dijual ke Putussibau dan Pontianak dengan harga Rp 500.000 - Rp.700.000/pintu. Koperasi ini adalah titipan dari Imelda (sepupu Bupati, Yakobus Frans Layang), dengan tujuan membuka hutan untuk mendapatkan kayu. Imelda juga menjadi pembeli dan penampung kayu. Ia menguasai menguasai pembelian kayu di Sungai Labian (Ukit-Ukit) dan sekitarnya sampai ke daerah Mungguk.”

Izin yang diberikan Menteri Kehutanan, pada akhirya dievaluasi dan dicabut pada 2005. Sebab, izin banyak yang bermasalah dan menunggak pajak. Karenanya, ketika dinyatakan sebagai DPO (daftar pencarian orang), Apeng tak terima. Sebab, dalam mengerjakan berbagai proyek kayu, dia mendapat izin resmi dari pemerintah. Dalam hal ini adalah bupati, sebagai kepada daerah.

Hingga sekarang Apeng masih berstatus sebagai DPO. “Kalau ada yang melihat dan mengetahui keberadaannya, harap beritahu polisi,” kata Suhadi.

Apeng selalu melibatkan masyarakat setempat. Orang ditempatkan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Ada yang jadi supir traktor, eksafator, pengupas kayu dan lainnya. Pekerja harian dibayar Rp 30 setiap jam. Rata-rata orang bekerja 7-8 jam. Pekerjanya ratusan orang dari seluruh Indonesia. Orang dari Malaysia dan Banglades, juga ada.

Daerah yang pertama dikerjakan di Seriang, awal 2000. Kedua, Guntul, sekitar 2001. Ketiga, Mungguk, sekitar 2003. Keempat, Merakai, sekitar 2004. Setelah itu, kayu diangkut ke Badau menggunakan truk. Lalu, diekspor melalui pelabuhan besar di Kuching, Sarawak. Atau, menggunakan pelabuhan kecil di Serikai.

Metode yang dilakukan Apeng sebelum masuk, dia akan mendekati para ketua kampung.
“Nanti hutan kita dibuka. Buka peluang masyarakat. Kalau sudah marak, akan dibuka sekolah,” kata Antonius Leo (52), Temenggung di daerah aliran sungai (DAS) Labian, menirukan ucapan Apeng. Temenggung adalah ketua adat bagi warga Dayak.

Tugasnya, menangani ketika ada tanah hak adat terlanggar IL. Tanah sudah diadatkan. Kalau ada alat berat IL lewat tanah merah, harus bayar adat. Ada kepercayaan di warga, tanah merah bila terongkar, harus dikembalikan lagi. Dendanya berupa potong babi, bayar parang, sirih dan pinang, dan lainnya.

“Biasanya perusahaan tak mau tahu, alatnya apa saja. Pokoknya dibayar langsung sekalian,” kata Leo. Upacara adat dan sanksi Rp 5 juta. Uang itu untuk beli perlengkapan upacara dan kebutuhan menyelenggarakan upacara adat. Setelah itu tanah tersebut didoakan.

Pada setiap aksinya, Apeng selalu berkata pada warga, sudah dapat izin dari pemerintah Kalbar. Untuk memuluskan usahanya mendapatkan kayu, Apeng memberikan fee pada rumah betang. Besarnya, 10 ringgit tiap satu tan. Ada orang kampung yang mencatat. Premi dibayar setiap bulan. Setiap kampung dibagi sama besar. Setiap pintu sekitar Rp 300-400 ribu.

Ia membayar honor ketua dan wakil ketua kampung. Pada tahun pertama, uang untuk ketua kampung besarnya Rp 1,5 juta. Wakil ketua kampung Rp 500 ribu. Tahun ketiga, ketua Rp 500 ribu. Wakil ketua Rp 300 ribu. Apeng juga membayar orang yang dianggap vokal dan kritis. Sebab, orang itu dianggap dapat mempengaruhi warga di kampung atau rumah betang. Untuk menaklukkan orang ini, Apeng menggelontorkan uang Rp 300 ribu.

Apeng menyatakan pernah membantu membiayai pembangunan rumah dinas Kepolisian Resort Kapuas Hulu, kantor Polisi Sektor Embaloh Hulu di Desa Mataso, Kecamatan Embaloh Hulu, serta beberapa ruang di Polres Kapuas Hulu.

Humas Polda Kalbar, Suhadi menyatakan, uang yang diperoleh Apeng merupakan hasil mencuri di Indonesia. Sehingga tidak jadi masalah, jika uang itu digunakan bagi pembangunan di wilayah Indonesia. Karena uang yang ia berikan merupakan uang masyarakat Indonesia. Namun, membangun harus memiliki ketentuan dan mesti sesuai dengan daftar isian perencanaan anggaran (DIPA). “Jadi untuk membangun itu tidak asal saja,” katanya.

Suhadi menyatakan, jika Apeng mengungkap kepada siapa memberikan uang selama berinvestasi illegal di Kalbar, tidak perlu dikhawatirkan. “Apeng pencuri. Mengapa kita takut dengan pencuri?” katanya.

Yuyun Kurniawan dari Yayasan Titian menyatakan, “Illegal logging merupakan salah satu extra ordinary crime, karena sifat kejahatannya yang terorganisir.”

Sebagai kejahatan terorganisasi, dalam prakteknya IL memiliki jaringan dengan berbagai lapisan kelas mulai dari masyarakat biasa, pengusaha, birokrat bahkan sampai politisi atau elit politik. Keberadaan aktor yang cukup lengkap terlibat dalam praktek kejahatan ini, membuat praktek IL memiliki tingkat adaptasi cukup tinggi, terhadap perubahan sistem atau penegakan hukum.

Sejak akhir 1990-an hingga sekarang, setidaknya telah terjadi lima bentuk modus operandi yang digunakan dalam praktek IL. Pertama, anarchic logging. Kedua, HPHH 100 hektar. Ketiga, memanfaatkan proyek pembangunan. Seperti, proyek pembukaan jalan, transmigrasi dan lainnya. Keempat, terintegrasi dalam skema bisnis legal yang ada. Misalnya, perkebunan dan tambang. Kelima, memanfaatkan celah penegakan hukum, seperti modus lelang kayu.

Dalam operasinya, Apeng merangkul masyarakat biasa, pejabat pemerintah, elit politik dan aparat keamanan. Ia juga membangun berbagai tempat pertemuan, fasilitas pemerintah, dan aparat keamanan. Sebagian besar dapat jatah. Lengkap sudah. Hal itu dilakukan untuk satu tujuan: melancarkan usahanya.

Semangat yang Kebablasan
UU Otonomi Daerah mulai berlaku pertengahan 1999, dan diperbaharui pada 2003. Namun, semangat otonomi sudah mulai berlaku sejak era reformasi. Kondisi itu didukung beberapa kebijakan yang bersifat oportunis. Seperti, kebijakan HPHH 100 hektar. Misalnya, SK Menhut No. 310/Kpts-II/1999. Dalam konteks Kalbar, hal itu bisa dilihat di Kabupaten Sintang. Hingga 2003, jumlah izin HPHH 100 hektar lebih dari 600 izin. Ada sekitar 1.300 kelompok ajukan izin. Pada periode yang sama, di Kabupaten Kapuas Hulu terdapat lebih dari 400 izin dikeluarkan.

Selain SK mengenai HPHH, Dephut memberi keleluasaan kepada provinsi dan kabupaten, menerbitkan IUPHHK melalui SK Menhut No. 05.1/Kpts-II/2000. Kebijakan Dephut ditindaklanjuti lima kabupaten di Kalbar. Kapuas Hulu melalui SK Bupati No. 2/2000. Sintang melalui SK Bupati No. 19/1999. Sanggau dengan SK Bupati No. 15/2000. Bengkayang melalui Perda No. 1/2000. Ketapang dengan Perda No. 29/2001.

“Sehingga praktis pada era transisi dari sentralisasi ke otonomi, praktek illegal logging berada pada puncak kejayaannya,” kata Yuyun Kurniawan dari Yayasan Titian.

Meski praktek IL lebih populer sejak era reformasi sampai saat ini, namun praktek itu diyakini sudah terjadi. Indikasinya? Adanya penurunan kualitas dan kuantitas hutan, serta tutupan di Indonesia.

Tapi, ada beberapa faktor penyebab praktek IL tidak muncul ke permukaan pada era sentralisasi. Kebebasan menyampaikan pendapat, termasuk membongkar praktek IL tidak mungkin dilakukan. Alasannya, Indonesia dalam cengkraman rejim yang kuat dan dipengaruhi para pengusaha. Yang sebagian besar melakukan praktek illegal.

Para pelaku IL adalah kegiatan usaha kehutanan. Seperti, HPH atau HTI yang dekat dengan penguasa. Sehingga praktek-praktek IL tidak sempat muncul ke permukaan. Namun, bukti adanya praktek ini, dapat dilihat dari besarnya angka degradasi dan deforestasi hutan di Indonesia, sejak 1970-an hingga akhir 1990-an.

Pada era otonomi, praktek IL jadi isu penting di sektor kehutanan. Meski, setelah masa transisi dari sentralisasi ke otonomi, sejak 2005 praktek IL mulai alami penurunan. Seiring dengan munculnya tekanan dari berbagai pihak, baik nasional dan internasional, terkait praktek IL di Indonesia. Akibat dari tekanan tersebut, pemerintah mulai serius lakukan terobosan kebijakan. Antara lain, Inpres No. 4 Tahun 2005, tentang Penertiban Praktek Illegal Logging dan Peredaran Hasil Hutan Illegal di Seluruh Indonesia.

Selain itu, adanya UU Pencucian Uang dan UU Tindak Pidana Korupsi, juga memberi peran turut ciptakan ketakukan bagi aktor intelektual. Seperti, cukong dan pejabat terkait di daerah, yang terlibat dalam praktek IL.

Di Kalbar, terdapat beberapa pejabat publik, mulai dari bupati sampai kepala dinas yang harus berhadapan dengan proses hukum, terkait praktek IL. “Meskipun secara keseluruhan, prosentase pejabat publik yang diproses secara hukum, jauh lebih kecil dibandingkan pelaku IL lainnya,” kata Yuyun.

Menurutnya, ada beberapa faktor penyebab praktek IL di Kalbar. Pertama, lemahnya penegakan hukum, serta tidak adanya ketegasan aturan terkait dengan pemenuhan kebutuhan kayu lokal (domestic timber procurement). Bahkan, berada pada kondisi governless atau tidak ada tata kelola. Kedua, lemahnya manajemen pengelolaan sumber daya hutan. Terutama terkait data dan informasi mengenai persediaan dan permintaan kayu, terutama untuk kebutuhan lokal. Ketiga, kepedulian para pihak terhadap penggunaan kayu legal, masih sangat rendah. Hal ini berlaku juga di tingkat pemerintah. Keempat, ada banyak kawasan hutan tidak terkelola dengan baik. Atau, tidak dikonsesikan kepada unit usaha yang bisa dibebankan tanggung jawab, dalam hal pengelolaannya. 

“Sehingga kawasan ini menjadi open access bagi para pelaku illegal logging,” kata Yuyun.

Disisi lain, pemerintah tidak ada sumber daya cukup, mengelola kawasan-kawsan yang cenderung terbuka tersebut. Dari lebih 4 juta hektar kawasan hutan produksi di Kalbar, hanya sekitar 1,7 hektar yang merupakan konsesi HPH. Yang tanggung jawab pengamanannya berada di pemegang izin. Selebihnya, ada sekitar 2,3 juta hektar kawasan terbuka untuk dimasuki. Sehingga rentan terjadinya praktek IL. Kelima, masih ada perbedaan di tingkat pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten, terkait tanggung jawab dan wewenang pengelolaan hutan. Terutama yang berpotensi terhadap pendapatan asli daerah (PAD).

Dibandingkan jumlah HPH dan industri kehutanan pada era 1970-1980-an, jumlah usaha sektor kehutanan di Kalbar, saat ini menyusut lebih dari 75 persen. Pada 2004, Dephut mencabut sekitar 60 izin HPH di Kalbar, terkait kebijakan soft-landing policy.

Mengenai penyebab IL, akademisi dari Universitas Tanjungpura (UNTAN), Adi Suryadi, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) menuturkan, ”Illegal logging merupakan dampak ikutan dari HPH.”

Menurutnya, kontrol pemerintah terhadap HPH sangat lemah. Tahun 1970-an, pemerintah bangun sistem eksploitasi hutan. Paradigmanya berorientasi pada produksi. Ketika HPH digalakkan, banyak perusahaan tak patuhi aturan pengelolaan hutan. Kontrol terhadap HPH lemah. Kalau ada pelanggaran sanksinya lemah. Sehingga IL berkembang dengan pesat. Alasannya, orientasi pembangunan pada produksi dan ekonomi, ciptakan ekonomi yang kondusif. Sehingga eksploitasi terhadap hutan bisa dilakukan.

“Tingginya permintaan Eropa terhadap kayu, turut memperparah illegal logging,” kata Suryadi.

Menurut Yuyun dari Yayasan Titian, praktek IL dan perdagangan kayu illegal mengalami pasang surut, tergantung beberapa faktor. Hal yang paling kuat adalah, pengaruh faktor keamanan. Terutama berkaitan dengan tindakan penegakan hukum atau operasi penertiban. Namun, operasi penegakan hukum terkait pemberantasan IL dan perdagangan kayu illegal, sejatinya tidak bekerja atau digerakkan berdasarkan sistem tata kelola yang baik, sebagaimana mestinya.

Operasi penegakan hukum cenderung terjadi, sebagai akibat atau ada beberapa alasan. Pertama, tekanan kelompok dari dalam maupun luar negeri. Kedua, hadirnya kepemimpinan baru. Sehingga operasi pemberantasan cenderung bersifat show of power. Ketiga, upaya posisi tawar kelompok tertentu, dengan menggunakan alat kekuasaan atau penegak hukum.

Upaya pemberantasan IL pada masa reformasi belum mendapatkan respon serius secara politik di tingkat nasional. Namun, wacana praktek IL yang berdampak secara sosial, budaya, ekonomi dan lingkungan, sudah mulai jadi pembicaraan. Tetapi, kembali lagi, upaya pemberantasan praktek kejahatan lingkungan pada masa reformasi ini, disikapi secara kompromis untuk meredam semangat otonomi.

“Sehingga kebijakan yang muncul cenderung bersifat oportunis. Yang pada akhirnya, justru meningkatkan eskalasi praktek illegal logging di lapangan,” kata Yuyun.

Pada awal tahun 2000, pemerintah melakukan upaya lebih serius dengan menggelar beberapa operasi pemberantasan IL. Seperti, Operasi Wana Bahari, Wanalaga dan Hutan Lestari. Operasi melibatkan instansi penegak hukum lintas sektoral. Dari Dephut, TNI dan Polri.

Tapi, pemberantasan IL di tingkat perdagangan kayu, kebijakan pemerintah masih sama. Dari dulu hingga kini, pemerintah dan sebagian besar pihak, masih terpaku pada tingkat perdagangan kayu yang mengarah pasar internasional atau ekspor. Kondisi ini tidak lepas dari adanya aturan berbagai pihak di tingkat internasional, yang menuntut perdagangan kayu legal. Seperti, Voluntary Partnership Agreement (VPA) yang berlaku untuk pasar Eropa. Lacey Act yang berlaku bagi pasar Amerika. Green Konyuho untuk pasar Jepang.

Ketiga wilayah pasar internasional tersebut, merupakan sasaran perdagangan kayu Indonesia. Karenanya, pemerintah lebih menaruh perhatian pemberantasan IL yang berhubungan dengan pasar tujuan tersebut. Padahal, perdagangan kayu di tingkat domestik, sampai saat ini, masih di dominasi kayu illegal hasil tebangan masyarakat. Sehingga, praktek IL masih dan akan terus berlangsung.

“Terutama, bila pemerintah tidak menaruh perhatian pada sisi perdagangan kayu, dan pemenuhan kayu bagi kebutuhan lokal,” kata Yuyun.

Yosep Unja berpendapat, penanganan IL tak akan bisa dilakukan, kalau cukong masih ada. Sebab, kerja kayu muncul karena ada pembeli. Kalau aparat keamanan hanya menangkap yang kecil-kecil, tak bakal ada manfaatnya. “Illegal logging masih tetap berjalan. Tapi kalau yang diambil bosnya, illegal logging tak ada lagi,” kata Unja.

Alasan lain munculnya IL, karena masyarakat tidak merasakan sistem legal HPH, memberikan manfaat bagi mereka. Karenanya, ketika ada sistem illegal, namun memberikan keuntungan bagi warga, mereka ramai-ramai melakukannya.

Ia berpendapat, hampir semua tahapan eksploitasi hutan, warga selalu terlibat. Mulai dari hilir hingga hulu. Mulai dari penebangan, pengukuran, pengangkutan, dan lainnya. “Peran serta warga sangat besar,” Suryadi.

Dunia usaha kehutanan di Indonesia, secara nasional mengalami penurunan tajam sekitar satu dekade terakhir. Situasi itu juga terjadi di Kalbar. Kondisi kawasan hutan di Indonesia, termasuk di Kalimantan Barat, mengalami penurunan. Baik dari sisi kualitas maupun kuantitas. Hal itu terjadi, akibat salah urus sektor kehutanan sekitar tiga dekade, sejak bisnis kehutanan digalakkan pemerintah.

Kondisi itu memunculkan kritik dan tekanan dari dari dalam dan luar negeri. Terutama terhadap pemerintah dan pelaku usaha sektor kehutanan. Menanggapi kritikan tersebut, pemerintah dalam hal ini pihak Departemen Kehutanan, sejak awal 2000 menjalankan soft-landing policy dengan memangkas usaha sektor kehutanan, baik HPH maupun industri yang disesuaikan dengan carrying capacity hutan di Indonesia.

“Sasaran utama dari kebijakan itu, melakukan inventarisasi dan pencabutan izin,” kata Yuyun. Terutama terhadap unit-unit manajemen yang memiliki performa usaha kurang baik. Akibatnya, terjadi penyusutan jumlah usaha sektor kehutanan, baik HPH maupun industri.

Berdasarkan data dari Departemen Kehutanan, hingga 2007, jumlah HPH di Kalbar tinggal 22 unit manajemen HPH. Setengah dari jumlah tersebut, tidak menunjukkan aktifitas produksi di lapangan. Pertengahan 2010, Dephut juga mencabut enam izin konsesi dari 22 konsesi di Kalbar. Saat ini, jumlah konsesi yang tersisa hanya 16 konsesi. Atau, menyusut 25 persen dari jumlah konsesi sebelumnya.

Menurutnya, secara umum, praktek IL di Kalbar, alami penurunan dibanding 10 tahun lalu. Namun, praktek itu bisa saja masih terus berlangsung di lapangan, karena adanya kebutuhan kayu di tingkat lokal. Meskipun, dalam skala lebih kecil.

Karenanya, praktek IL yang terjadi sekarang, alasannya kebutuhan kayu lokal. Praktek IL niscaya dihentikan. Mengapa demikian? Sebab, pemerintah daerah tidak memiliki data dan informasi yang cukup, mengenai ketersediaan dan kebutuhan kayu. “Data dasar itu penting, pengelolaan sumber daya hutan,” kata Yuyun.

Selain itu, negara-negara konsumen harus punya kebijakan mengurangi impor kayu dari sumber illegal. Dan, beberapa negara konsumen sudah ambil langkah-langkah, terkait dengan tanggung jawab menghentikan IL di negara produsen. Sudah ada upaya perbaikan. Seperti, adanya kebijakan VPA, Lacey Act dan kebijakan sejenis lainnya. “Namun, berbagai inisiatif dari negara konsumen tersebut, harus diimbangi dengan upaya kita, meningkatkan upaya diplomasi dan menaikkan posisi tawar,” kata Yuyun.

Sebab, setiap instrumen kebijakan di negara yang berbeda, memiliki persyaratan khusus yang harus dipenuhi negara konsumen. Tujuannya, agar produknya bisa diterima pasar negara yang bersangkutan. Dalam proses meningkatkan posisi tawar dan diplomasi, tahapan ini sudah bukan lagi menjadi domain sektoral atau kehutanan. Tapi berbagai sektor yang saling terkait, harus memiliki sinergisitas yang tinggi. “Agar, diplomasi perdagangan di level internasional, dapat diperjuangkan secara maksimal,” kata Yuyun.

Operasi Penutupan Illegal Logging
KETIKA SUSILO Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi presiden, kegiatan IL mulai dipantau dan ditertibkan. Pada 2004, genderang perang terhadap IL dilaksanakan. “Tidak ada yang mau main-main dengan illegal logging,” kata Lutfi Achmad (56), Kepala TNBK. Resikonya terlalu berat. Sebab, IL menjadi program prioritas yang dilakukan SBY.

Pemerintah pusat mencabut kewenangan pemerintah daerah memberikan izin pembukaan lahan 100 hektar. Izin diatas 5.000 hektar dievalausi. Evaluasi mencakup, siapa yang memberikan izin. Ada rancangan dan kegiatan atau tidak. Izin memperhatikan kelestarian hutan atau tidak.

“Penyetopan kayu membuat warga menderita dan tak ada yang dikerjakan selama satu tahun,” kata Karim. Warga banyak yang bangkrut karena tak kerja. Apalagi bagi pemiliki kayu yang belum sempat masuk ke Malaysia. Padahal, mereka sudah menggunakan uang sendiri.

Laporan WWF Kalbar menulis, sulitnya pemberantasan IL, karena didukung aparat keamanan. “Hampir semua aparat keamanan terlibat dalam penyelundupan kayu ini,” kata Edmundus, seorang cukong.

Pernyataan itu diperkuat Yusuf Baja, salah satu penampung dari Lanjak. “Kami dicukai Rp. 55.000 per tan-nya. Ini merupakan kewajiban yang harus disetor kepada Kapolsek. Katanya sih untuk uang keamanan,” kata Baja, “Di sini nyaris tanpa hukum. Yang terjadi adalah hukum rimba. Kelompok siapa yang dianggap paling kuat, dialah yang berkuasa. Sehingga sebagian masyarakat tidak berdaya menghadapi mereka.”

“Pembalakan itu begitu demontratif. Tak ada upaya penegakan hukum. Seolah tak ada Negara,” kata Anas Nasrullah dari WWF.

Atas dasar itulah, dibuat kesepakatan dengan warga. Intinya, warga diminta membantu dalam upaya penanganan IL. Kemudian dimulailah pengumpulan berbagai bukti lapangan mengenai IL. Ada pembuatan foto dan film sebagai bukti adanya keberadaan IL. Upaya dilakukan dengan menyamar dan menyusup langsung ke pusat-pusat kegiatan IL. Hal itu tak mudah. Sebab, para logger selalu mencurigai orang asing yang masuk ke wilayah tersebut.

Pengumpulan bukti juga sebagai respon terhadap keluhan yang disampaikan Suhartono, kepala TNBK waktu itu. Tak ada laporan mengenai IL di TNBK. Sehingga ada langkah-langkah dengan PHKA, mengumpulkan bukti-bukti di lapangan.

Selain itu, ada kerja media massa secara lokal, nasional dan internasional. Juga ada testimoni dari warga. Setiap minggu dibuat sebuah upaya, agar selalu muncul berita mengenai IL di media, cetak maupun televisi.

“Kegiatan juga dilakukan dengan memberikan tekanan pada RI,” kata Syahir Syah, dari WWF. Misalnya, membuat para pembeli kayu di Eropa, memboikot hasil kayu IL. Sehingga ada keseriusan mengenai penertiban IL tersebut. Kegiatan juga dilakukan dengan memberikan berbagai data mengenai IL, pada pemerintah. Setelah semua bukti lengkap dan ada, pemerintah mulai melakukan operasi penangkapan yang dilakukan secara gabungan.

Aparat keamanan melakukan operasi gabungan untuk menangkap cukong kayu. Ada TNI, polisi, dan TNBK. Tapi, operasi cenderung bocor. Misalnya, Tim Wanalaga 1 dan 2. Tim tak menemukan pekerja sawmill di lapangan.

Pada 23 November-7 Desember 2004, berlangsung operasi gabungan antara pasukan TNI dari 621 Libas (Lintas Batas) Banjarmasin, Kalimantan Selatan, TNBK, dan kepolisian. Operasi berlangsung di kawasan barat TNBK, Desa Sebabai, Kecamatan Batang Lupar, Kapuas Hulu. Lokasi sekitar 845 km arah timur dari kota Pontianak. Berjarak 40 km dari jalur lintas utara, dan satu km dari perbatasan RI-Malaysia.

Operasi berhasil menangkap tiga cukong kayu dari Malaysia. Chien Lok Ung alias Alok. Ling Lik Ung alias Ling. Ngu Sie Kiong alias Kiong. Ketiganya anak buah Apeng. Ketika tertangkap, mereka langsung dibawa ke tahanan Direktorat Reserse Kriminal (Direskrim) Polda Kalbar.

Ada beberapa barang bukti ikut disita. Lima bulldozer. Satu loader (kepiting). Satu unit mobil tangki minyak berplat Malaysia. Satu unit injection pump eksafator. Dua buah dinamo starter bulldozer. Enam unit mobil Toyota Land Cruiser bernomor Malaysia. Saat kejadian, kepala TNBK adalah, Agus Sutito.

Ketika berlangsung olah TKP di lokasi kejadian pada 17 Januari 2005, sekitar 25 warga bersenjata merebut dan membawa tiga Land Cruiser tersebut. Padahal, tim olah TKP terdiri dari 27 orang. Anggota Polhut TNBK, sembilan orang. Anggota Polhut Dishutbun Kapuas Hulu, dua orang. Staf Kejaksaan Negeri Kapuas Hulu, tiga orang. Anggota Kodim 1206 Putussibau, empat orang. Anggota Penyidik Polres Kapuas Hulu, empat orang. Anggota Perintis Polres Kapuas Hulu, empat orang. Dan, seorang jurnalis dari TV 7, Yan Andrea.

“Mereka disandera warga bersenjata pimpinan Stefanus Kuya,” kata Yan Andrea.

Polisi tidak melakukan pengejaran terhadap pelaku. Malah, saat polisi diminta mengawal perjalanan lima alat berat sitaan ke Putussibau, pihak Polres minta imbalan sebesar Rp 24 juta kepada pihak TNBK. “Tapi, hanya Rp 10 juta saja yang disanggupi oleh TNBK,” kata Yan Andrea.

Bahkan, ketika Kapolres Kapuas Hulu, AKBP Didi Haryono diminta konfirmasi mengenai permasalahan tersebut, dia tak mau memberikan keterangan. Dia malah menjadikan dirinya juru bicara dari aparat penegak hukum lainnya, menyangkut kasus tersebut. ”Sebab, hal itu sudah menyangkut tim,” katanya kepada Yan Andrea. Jadi, informasinya harus keluar dari satu pintu.

Sebelum wawancara berlangsung, Didi melakukan pertemuan dengan Letkol Media Purnama (Dandim 1206), Benny Santoso (Kepala Kejari) dan Nelson Samosir (Ketua PN), di kantornya. Kemudian, ia menunjuk dirinya sendiri mewakili para aparat tersebut. Didi akhirnya diganti dan “masuk kotak” di Propam Mabes Kepolisian di Jakarta.

Kepala TNBK, Lutfi Achmad menyatakan, kayu-kayu gelondongan sitaan di TNBK berjumlah sekitar 7.000-8.000 atau setara 35 ribu meter kubik. Diameter kayu besar-besar. Bahkan ada yang 60-80 cm. Mengenai penjarahan kayu di TNBK, ia menyatakan, “Kesulitan utama menjaga TNBK dari segi luas wilayah,” kata Achmad. TNBK luasnya 800 ribu hektar. Sama dengan wilayah DKI Jakarta. Tapi, TNBK hanya dijaga 120 petugas dan personil lokal.

Akses TNBK melalui empat jalur sungai. Yaitu, Sungai Embaloh, Mendalam, Kapuas dan Sibau. Setiap akses didirikan pos pengamanan. Di Sungai Embaloh, pos berdiri di Sadap. Nanga Opat di Sungai Mendalam. Di Sungai Kapuas, berdiri di Tanjung Lokang, Bungan. Sungai Sibau, pos berdiri di Nanga Potan. Pos merupakan desa terdekat ke TNBK. Jaraknya, satu hari berjalan kaki.

“Ketika ada kayu yang masuk, kita punya pos di dalam. Sehingga hal itu bisa termonitor,” kata Achmad. Tapi, cukong menggunakan jalur logging, hutan lindung di TNBK.

Kesulitan TNBK pada akses. Terutama yang berbatasan langsung dengan Malaysia. TNBK sebelah utara berbatasan dengan Malaysia, sepanjang 148 km. Mulai dari Batang Aik dan Lanjak Entimo. Sisanya berbatasan langsung dengan konsesi kebun dan HPH Malaysia. Tahun 2007, ditemukan helipad di pos perbatasan. Tahun 2009, ditemukan jalan syarat atau jalan traktor, masuk ke wilayah TNBK hingga 1,5 km.

Selain mengadakan operasi pemberantasan IL, aparat keamanan juga menutup sawmill. Salah satunya di Sungai Luar. Pasukan Brimob datang dan menutup lokasi tersebut. Warga pernah melakukan demo. Dalam demo tersebut, warga membawa senjata tajam dan senapan lantak. Setelah itu, sawmill dibuka satu bulan, terus ditutup lagi.

“Wah, nanti kalau demo terus, akan melawan pemerintah. Sebab, bila ada Dayak mati satu, kita akan perang,” kata Henri Iding, kadus Sungai Luar.

Ketika sawmill ditutup, berbagai peralatan dijual orang kampung. Warga memotong mesin sawmill dan menjadikannya besi bekas. Besi dijual kiloan. Setiap kilonya Rp 1000. Satu mesin beratnya sekitar 30 kg. Traktor beratnya mencapai 4-5 tan. Yang beli tukang loak. “Polisi datang untuk potong peralatan bersama orang kampung setiap hari,” kata Iding.

Menurutnya, warga Dayak ibarat babi dan ayam yang ditaruh di kandang. Tak bisa ke mana-mana. Kalau pemiliknya ingat, mereka akan memberi makan. “Tapi, kalau tidak ingat, binatang itu akan kelaparan,” kata Iding.

Setelah terbitnya Inpres (Instruksi Presiden) Nomor 4 Tahun 2005, tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Ilegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah RI, ada 18 instansi diberi kewenangan menindak dan menertibkan praktek IL. Seperti, TNI, Polri dan beberapa instansi teknis terkait di tingkat nasional sampai kabupaten. Dalam prakteknya, Inpres No. 4/2005, tidak dapat diterapkan secara maksimal. Alasannya, konflik kepentingan antar sektor cukup tinggi. Terutama di tingkat penegak hukum.

“Hal ini terbukti dengan munculnya beberapa insiden, yang mengarah pada perseteruan antar instansi,” kata Yuyun. Seperti yang terjadi di Kalbar, baru-baru ini. Antara SPORC Kalbar dengan Dishut Kabupaten Kubu Raya.

Dampak Sosial Illegal Logging
NANGA BADAU merupakan wilayah paling timur di Kapuas Hulu yang berbatasan langsung dengan Lubuk Antu, Malaysia. Pada 1970-an, ada beberapa HPH berlokasi di Badau. Ada PT. Rimba Ramin, Tawang Maju, Benoa Indah, dan lainnya.

Warga tak tahu ada pengusahaan HPH di wilayah mereka. Perusahaan tak libatkan warga. “HPH menebang hutan seenaknya. Sekalian saja kami ambil kayunya. Tapi kalau warga yang ambil kayu dibilang illegal logging,” kata Luther Iding, Dewan Adat Dayak (DAD) Badau.

Iding keturunan Dayak Iban. Sebuah sub suku Dayak, yang sebagian besar hidup di perbatasan Indonesia dan Malaysia di Kapuas Hulu.

Ketika warga berusaha sendiri, ekonomi mulai terasa bergerak. Masyarakat bisa menjual kayu secara langsung. Warga bisa membangun rumah dan beli kendaraan. Dulu, rumah dan kantor tak ada yang terbuat dari semen. Setelah IL , sebagian besar rumah dibangun dari semen. Wilayah itu juga mulai terbuka. Banyak pendatang dari daerah lain. Mereka berdagang dengan membuka toko atau warung. “Kalau tak ada illegal logging, tak akan ada orang Padang dan Jawa jualan nasi di sini,” kata Iding.

Hal itu berimbas pada sektor ekonomi lainnya. Iding jualan onderdil kendaraan. Era IL berlangsung, penjualan di tokonya bisa mencapai Rp 2-3 juta sehari. Sekarang, dapat Rp 500 ribu, sulit sekali.

Iding punya empat truk. Sewa truk Rp 350 ribu, tiap rit atau sekali jalan. Satu truk bisa membawa kayu tiga hingga empat kali. “Dulu, ban bocor sedikit akan dibuang dan ganti baru. Sebab, kerja rit. Kalau nunggu tambal ban, akan ketinggalan rit,” kata Iding. Sekarang ini, meski sudah bocor dua kali, akan tetap digunakan.

Sebagai pengurus DAD, ia kerap menangani permasalahan kehidupan warga Dayak. Adat mengajar yang tak baik menjadi baik. Ketika IL masih ramai, hal yang kerap terjadi pada warga adalah, konflik batas desa. Warga sama-sama mengklaim lokasi itu wilayahnya. Bila ada perkara, penyelesaian secara adat. Misalnya, antara Desa Empiam dan Empaik. “Soal batas, sampai sekarang yang paling mengetahui adalah orang adat,” kata Iding.

Di Badau, perubahan kehidupan ekonomi dan sosial sangat terasa. Sebab, Badau menjadi muara dan siklus akhir dari kegiatan IL. Bertemunya para pekerja IL, kontraktor, cukong Malaysia, membuat peredaran uang sangat besar di Badau. “Orang kita tak bisa kelola duit. Uang IL macam uang judi. Senang dapat, senang juga keluar,” kata Iding.

Ada yang sabung ayam, judi, mabuk-mabukan, prostitusi, hingga punya istri lagi.

Kegiatan prostitusi berlangsung secara terbuka. Losmen dan penginapan penuh dengan perempuan. Mereka siap melayani tamu yang datang. “Biasanya ada germo yang koordinir,” kata Andre (32). Andre bekerja sebagai supir. Ia mengantar setiap tamu yang menyewa mobilnya.

Setiap tiga bulan sekali, germo mengganti pekerja seks perempuan dari daerah lain. Ada rotasi silang. Pekerja seks juga berasal dari perempuan pekerja yang diusir dari Malaysia. Pemerintah Malaysia mengusir pekerja perempuan yang dianggap bermasalah. Mereka yang datang dari Badau, akan dipulangkan melalui jalur di Entikong, Sanggau. Yang masuk dari Entikong, akan dipulangkan lewat Badau.

Para pekerja perempuan ini, karena tak ada uang sama sekali, pada akhirnya bekerja sebagai pelayan rumah makan atau pekerja seks. “Uang tak ada. Apalagi yang mau dikerjakan?” kata Andre.

Pusat kegiatan ekonomi lainnya yang bergerak sangat cepat adalah Lanjak. Ketika IL masih berlangsung, pasar Lanjak sangat ramai. Kegiatan ekonomi sangat terasa. Lanjak jadi kekuatan ekonomi yang tiba-tiba bergerak cepat. Masalah sosial segera muncul.

“Orang di sini punya budaya minum. Apalagi zaman illegal logging,” kata Matius.

Tak heran bila di sekitar pasar Lanjak, mudah menemukan orang minum alkohol. Kegiatan mabuk-mabukan itu, berlangsung dari pagi sampai malam. “Tak hanya per botol, tapi sudah pakai krat,” kata Lorens dari WWF.

Hampir setiap hari ada orang minum. Setelah minum, biasanya main perempuan. Perempuan ini mangkal di losmen-losmen yang bertebaran di sekitar Lanjak. Prostitusi berlangsung secara tersembunyi. Beda dengan di Badau yang berlangsung secara terbuka.

Hermansyah (45), motoris speed boat di Lanjak, pernah merasakan nikmatnya era IL. Ketika IL masih marak, ada 32 speed boat bermesin 40 PK tergabung di koperasi. “Setiap hari, mereka antar penumpang ke Semitau,” kata Hermansyah. Setelah itu balik lagi ke Lanjak.

Perjalanan Lanjak-Semitau butuh waktu sekitar satu setengah jam. Ongkosnya sekitar Rp 950 ribu. Dalam sehari, mereka bisa dapatkan uang Rp 1,8 juta. Jumlah itu belum termasuk ongkos bensin. Sekarang ini, tersisa lima speed boat. Karenanya, speed boat harus antri dan bergilir. Dalam satu bulan, satu motoris hanya antar penumpang sekali saja.

Hal sama dialami Pujiwati (40), pemilik warung di Lanjak. Dia punya lima anak. Semasa IL marak, ia bisa dapatkan uang Rp 2 juta sehari. “Sekarang mendapatkan uang lima ratus ribu saja susah,” kata Pujiwati, mantan transmigran di Nanga Silat, Sintang.

Pelanggan warungnya supir dan kernet truk. Juga, para pekerja kayu. Dari jam 5 pagi, orang sudah datang untuk sarapan. Warung buka dari pagi hingga malam hari. Malam hari truk masih berderet angkut kayu.

“Banyak orang berjudi, minum dan main perempuan,” kata Pujiwati. Termasuk suaminya yang bekerja di kantor kecamatan. Setiap dapat uang, selalu berjudi. Mereka biasanya main judi di samping kantor Koramil. Mereka leluasa berjudi di sana.

Dari jualan di warung, ia bisa buat rumah dan beli motor. “Sekarang, orang yang tak bisa simpang uang, ya, tak punya apa-apa,” kata Pujiwati.

Dampak sosial IL, banyak konflik wilayah dan kecemburuan sosial. Konflik identitas juga muncul terkait penguasaan sumber daya alam. Seperti terjadi di DAS Labian. Ada sekitar 22 kampung di DAS Labian. Jumlahnya penduduknya sekitar Rp 6 ribu. IL sebagian besar terjadi di bagian hulu sungai. Misalnya, terjadi di Ukit-Ukit, Tebelu, Kelawir, Jejawe dan Bakul 1, 2, dan 3. Ukit-Ukit dan Jejawe daerah paling parah terkena IL. Erosinya sampai ke Danau Sentarum di Nanga Leboyan.

DAS Labian awalnya ditempati orang Dayak Tamam Baloh. Dalam perkembangannya, orang Dayak Iban mulai menempati daerah itu. Terutama di bagian hulu DAS Labian. “Yang punya lokasi orang Labian. Tapi, malah tidak diperhatikan. Orang Guntul saja yang sebagian besar dapat,” kata Anton. Guntul sebagian besar ditempati orang Dayak Iban.

Apeng dianggap tidak menepati janji dalam pembagian hasil. Hal itu menimbulkan kecemburuan sosial. “Kalau illegal logging tak dihentikan, akan terjadi konflik etnis. Karena banyak konflik batas wilayah,” kata Unja.

Warga di Embaloh Hulu merasa rugi dengan adanya IL. Sebab, mereka tak bisa menggunakan air, untuk kebutuhan keperluan hidup sehari-hari. Cara berladang warga juga terganggu. Sebab, saat ladang dipakai menjadi longsor.

Sungai Labian tak bisa digunakan. Bagian hulu sungai dibabat habis untuk sawmill milik Apeng di Guntul. Pada 2002, warga mulai menyuarakan ketidaksetujuannya. Apeng pernah memberikan bantuan air minum, dalam bentuk pemberian pipa-pipa pralon dan semen. Namun, tak ada realisasi pembangunan.

Akhirnya, warga menyegel dan menahan alat berat, serta mobil milik Apeng. Warga berdemontrasi sambil bawa senjata tajam dan senapan lantak. Warga bergeming dan tak melepaskan alat berat. Negosiasi berjalan alot. Tuntutan warga hanya satu, air untuk minum.

Apeng minta kepada aparat keamanan, Kodim dan pemerintah, mengambil alat berat tersebut. Saat itu, aparat keamanan datang ke tempat warga. “Kalau alat berat tak dikembalikan, saya tinggal hitung mayat kalian,” kata Unja, menirukan ucapan pimpinan aparat kepolisian.

Unja dan beberapa warga sempat dipanggil ke Lanjak, dan ditanya Mayjen dari Mabes TNI, yang sedang mengamati IL di wilayah itu. Dia juga sempat ketemu Kapolda Kalbar, Nanan Sukarna, mengadukan permasalahan tersebut.

IL tak hanya berakibat pada rusaknya alam dan tata kelola SDA. Juga berimbas pada satwa di dalamnya. “Orang yang kerja di hutan, tidak peduli dengan binatang apa. Ketemu akan dimakan,” kata Anton. IL yang berada di hutan, bakal banyak binatang. Namun, bila wilayah kerjanya dekat dengan jalan raya, jarang ada binatang.

Berdasarkan studi yang dilaksanakan Yayasan Titian pada 2004, ada hubungan sangat kuat antara IL dan praktek perburuan dan perdagangan satwa. Contohnya, untuk menghemat pengeluaran logistik, para penebang biasanya mendapatkan sumber makanan dari hasil buruan. Binatang yang eksotis dan punya nilai ekonomi tinggi, seperti burung dan beberapa satwa lainnya, bisa jadi pendapatan lain bagi pekerja kayu.

Karenanya, tak heran bila dalam area penebangan, para pekerja kayu memiliki kandang sementara selama di hutan. Kandang berfungi memelihara binatang hasil buruan. “Sebelum mereka membawa keluar hutan dan menjualnya,” kata Yuyun.

IL juga berdampak pada bangunan fisik rumah betang. Sepanjang jalur lintas utara, perubahan mencolok terlihat dari struktur bangunan rumah betang. Meski masih berbentuk rumah panjang, bangunan rumah tak lagi didominasi bahan dari kayu. Sebagian besar rumah menggunakan semen. Bangunan rumah tak lagi berbentuk panggung dan tinggi. Namun, rata dengan tanah. Identitas rumah betang dengan segala nilai filosofinya hilang. Seiring dengan hilangnya cara penghuni memaknai hutan dan segala yang ada di dalamnya.

“Orang yang tinggal di rumah betang mulai meninggalkan pertanian,” kata Henri Jali, kepala dusun di Sungai Luar.

Warga meninggalkan pekerjaan menoreh. Orang mulai berfoya-foya. Mulai timbul kesenjangan. Banyak yang beli motor, mobil dan barang elektronik lainnya. Untuk membeli mobil Malaysia, warga mengeluarkan uang sekitar 15 ribu ringgit, bagi Toyota Hilux double gardan. Dan, 30 ribu ringgit, untuk membeli truk Delta. Mobil dapat diperoleh dengan cara kredit juga.

Kendaraan itu hanya bisa dipakai dari Badau hingga Mungguk, Embalau Hulu. Tak boleh lewat dari Kecamatan Sibau utara. Tapi, bila ada surat izin darurat, diperbolehkan hingga ke Putussibau. Misalnya, bawa orang sakit dan butuh berobat. Ada juga yang beli mobil atau motor, namun tak bisa pakai kendaraan tersebut. Sehingga kendaraan jadi rusak. “Sekarang ini, banyak dari alat elektonik tersebut yang dijual, karena tak ada listrik lagi,” kata Jali.

Meski IL membawa dampak meningkatnya perekonomian keluarga, namun banyak kerusakan dan masalah sosial muncul. “Illegal logging ibarat nikmat membawa sengsara,” kata Matius (48).

Salah satu keuntungan IL, banyak jalan dibuat. Meski jalan untuk kegiatan IL, warga bisa menggunakan jalan tersebut. Namun, ada juga pembuatan jalan bagi IL yang malah pakai dana APBD. Namun, pembangunan jalan tak sepadan dengan keuntungan dan hasil IL. Ketika IL marak, aparat Pemda Kapuas Hulu pernah berkata, jalan tidak dibangun supaya IL tidak semakin marak. “Sekarang illegal logging tidak ada, jalan tetap saja hancur,” kata Matius.

Uang hasil IL tak sepadan dengan kerusakan lingkungan yang terjadi. Namun, pemikiran konseptual tersebut, tentu tak bisa muncul begitu saja pada warga. “Mana kita tahu, itu sepadan atau tidak. Yang penting ada datang uang,” kata Antonius Leo (52).

Dampak nyata akibat IL, juga terjadi pada wilayah tersebut. Pada 10-12 Oktober 2010, banjir melanda 20 kecamatan di Kabupaten Kapuas Hulu. Banjir mengakibatkan kerusakan cukup parah. Bahkan, ada tujuh kecamatan terendam banjir. Yaitu, Kecamatan Nanga Bunut Hilir, Jongkong, Selimbau, Nanga Suhaid, Semitau, Silat Hilir dan Embaloh Hilir.

Kepala Badan Penanggulan Bencana Daerah (BPPD) Kalbar, Tri Budiarto mengatakan, penyebab banjir adalah, curah hujan tinggi. Sehingga DAS di sekitar 20 kecamatan mengalami peningkatan volume air. “Saat volume air meningkat, kondisi hutan sudah hancur. Sehingga daya serap terhadap air rendah,” kata Budiarto.

Dari data yang terhimpun hingga akhir Oktober, akibat banjir, sebanyak 18.061 rumah terendam. Empat rumah hanyut. 10 jembatan putus. 2.562 hektar sawah/ladang terendam. 95 ton karet hanyut. 4.763 batang anakan karet rusak. Sekitar 9 hektar kebun palawija, 10,8 hektar kebun sayur terendam. Sekitar 30 ton ikan tambak masyarakat hilang. Begitu juga dengan hewan ternah. Sebanyak 40 ekor sapi, 5 kambing,103 ekor babi, 208 ekor bebek dan 1.548 ekor ayam, turut terbawa banjir.

“Kita belum bisa pastikan angka kerugian akibat banjir. Tapi, diperkirakan mencapai miliaran rupiah,” katanya.

Pihaknya bersama NGO di Kalbar, sudah menyiapkan program rehabilitasi kehidupan sosial, ekonomi dan budaya, di daerah yang terkena bencana banjir. Rehabilitasi dilakukan agar, kehidupan masyarakat setelah bencana kembali normal.

Untuk menghadapi bencana yang sewaktu-waktu terjadi, BPPD Kalbar sedang membangun kelembagaan masyarakat peduli bencana di setiap desa. Kelompok-kelompok masyarakat siaga bencana tersebut, akan menjadi ujung tombok Pemerintah Kalbar, untuk mendorong kesadaran masyarakat terhadap bencana. Selain itu, agar warga tidak merusak lingkungan yang sudah ada.

“Kelompok-kelompok masyarakat siaga bencana tersebut, akan dibina oleh NGO peduli lingkungan hidup,” katanya.

Selain bencana secara langsung, hampir di semua tempat terjadinya IL, ada perubahan kehidupan pada masyarakat sekitar. Dalam kondisi itu, biasanya terjadi perubahan prilaku dari masyarakat subsistem, jadi masyarakat konsumtif. Aturan sosial jadi sangat longgar, bahkan cenderung hilang. Dalam jangka pendek terlihat ada peningkatan kesejahteraan. Terlebih lagi jika hal itu dilihat dari sisi materi. Namun, jika IL berakhir, kondisi kesejahteraan jauh lebih rendah sebelum IL muncul.

Gaya hidup konsumtif tidak lagi didukung tingkat pendapatan. Dalam kondisi tersebut, tingkat kriminalitas cenderung meningkat.

“Terlebih lagi aturan sosial sudah mulai hilang pada masa IL berlangsung,” kata Yuyun.

Sekarang ini, ketika ajakan menjaga hutan terus disuarakan, ada juga rasa tak nyaman pada warga. Sebab, negara-negara yang melarang, tak memberikan pengaruh langsung pada kehidupan warga. Contohnya Matius. Ia mengkritisi negara-negara di Eropa. “Kalau atas alasan paru-paru dunia, mengapa menjaga hutan hanya diwajibkan bagi bangsa Indonesia,” katanya seolah bertanya.

Padahal, dulunya orang Eropa menebang kayu habis-habisan. “Sekarang setelah hutan mereka habis, datang ke kita untuk melarang orang tebang kayu,” kata Matius.

Adi Suryadi, dosen Untan menyatakan, pembangunan paradigma ekonomi tidak memberdayakan warga. Akibatnya, ketika IL terjadi dengan massif, dampak secara sosial sangat terasa. “Terjadi perubahan persepsi dan pola pikir di masyarakat,” kata Suryadi.

Wawasan warga yang prakmatis lebih besar dari konsepsional. Hal ini berimbas pada perubahan sikap dan prilaku warga terhadap hutan. Harusnya, kampanye terhadap pentingnya hutan, menjadi hal yang harus dan terus dilakukan.

Perubahan pola prilaku konsumtif sangat terasa. Warga sudah sangat mengenal nilai uang. Perubahan itu menggeser nilai-nilai prilaku. Nilai dan norma di warga semakin terpinggirkan. Orang lebih berorientasi pada uang dan materi. Sehingga hal itu mengabaikan moral. Orang mencari jalan pintas. “Di pusat perkembangan IL yang marak, kita bisa melihat norma agama dan sosial ditabrak secara terang-terangan,” kata Suryadi.

Secara umum, sistem moral terpinggirkan. Nilai moral tidak berlaku. Sebagai gantinya, nilai konsumtif yang berlaku. Dampak IL yang sangat terasa, terjadi migrasi masyarakat dan ruralisasi. Juga, terbentuknya komunitas baru pada saat HPH dan IL marak. Perubahan prilaku muncul, karena pendapatan warga meningkat dan tak terkontrol. Tingkat kriminalitas juga naik tajam.

“Saat IL marak, peran pemerintah tidak berfungsi dan berdaya,” kata Suryadi.

Peran hukum adat malah terjadi penyalahgunaan. Instrumen hukum negara maupun adat menjadi terpinggirkan. Secara konsepsional, pelaku usaha dan pemilik modal menguasai stratifikasi. Arti stratifikasi adalah, pembedaan penduduk atau masyarakat kedalam kelas-kelas secara bertingkat atas dasar kekuasaan, hak-hak istimewa dan prestise.

“Stratifikasinya sangat timpang. Berlakunya hukum negara atau adat, ditentukan para pemilik modal. Penguasa adalah pemilik modal,” kata Suryadi.

Fenomena menjadi lebih rumit, ketika aparat yang seharusnya menegakkan hukum, malah berkolaborasi dengan pemilik usaha, dalam hal penguasaan hutan tersebut. Bisa dibayangkan bila, pemerintah dan pemodal akan membuat warga terpinggirkan dan termarjinalisasi. Hal itu yang muncul saat IL berlangsung.

Bicara mengenai IL, aparatnya harus dibereskan dulu. Menurutnya, warga sekarang tak akomodatif. Sebab, praktek IL untungkan warga. Karenanya, warga harus diberikan alternatif mata pencaharian. “Yang dipikirkan warga bukan legal atau ilegal. Tapi, apa yang membuat manfaat bagi warga,” kata Suryadi.

Setelah Pohon Hilang Akibat Illegal Logging
“Sekarang mau membuat rumah susah. Kalaupun ada, kayu jaraknya jauh. Manalah kita mampu mikulnya,” kata Antonius Leo (52), Temenggung di DAS Labian. Kayu yang jaraknya 5-10 km sudah habis. Bahkan, sekarang kalaupun kerja kayu diperbolehkan, orang tak akan mau kerja kayu. Sebab, kayu mereka tak ada lagi.

Warga harus manfaatkan lahan untuk berkebun, supaya ada pendapatan. “Warga inginkan karet. Kalau ada gaharu lebih baik. Namun, warga harus dibina,” kata Leo.

Sejak IL berakhir, warga dan Pemda jadi lebih dekat. Aparat Pemda bekerja sama dengan berbagai LSM, mulai mendekati dan mengadakan pembinaan kepada warga. Kesadaran warga jadi lebih baik.

Matius (48) menyatakan, dengan tutupnya IL, warga harus punya alternatif pekerjaan. “Kalau sawit dijadikan alternatif, tentu harus yang berkeadilan. Masyarakat jangan hanya jadi kuli,” kata Matius.

Ia masih ragu dengan sawit. Sebab, sawit belum menunjukkan hasil. Selain itu, pembagian 80 bagi perusahaan dan 20 bagi pemilik lahan, dianggap tidak adil.

Alternatif lainnya, warga ingin tanam karet. Warga menoreh sehari 5-10 kg. Dulu, harga sekilonya Rp 2.500-5.000. Sekarang harga karet Rp 10 ribu. “Karena itulah, warga ingin tanam getah,” kata Iding. Warga di pedalaman sering menyebut karet dengan nama getah. Namun, mesti ada pendampingan dari pemerintah dan LSM terkait.

Yuyun Kurniawan menyatakan, sejauh ini upaya pemberantasan IL masih tahap pendekatan penegakan hukum. “Pendekatan melalui penyediaan alternatif pendapatan lain untuk menggantikan IL, tidak dibangun secara bersamaan dengan upaya penegakan hukum,” kata Yuyun.

Akibatnya, ketika terjadi pemberantasan IL, terjadi kejutan ekonomi. Tidak hanya bagi pelaku IL, tapi juga berdampak terhadap masyarakat secara luas. Hal itu terjadi, karena praktek IL telah menciptakan dampak ikutan secara ekonomi, terhadap berbagai sektor usaha. Seperti, transportasi, perdagangan dan lainnya.

Karenanya, perlu kerja sama yang kuat di tingkat pemerintah, untuk merencanakan penghentian IL secara komprehensif atau luas dan lengkap. “Tugas itu tidak hanya jadi tanggung jawab penegak hukum, tetapi juga pemerintah daerah,” kata Yuyun.

Lutfi Achmad (56), Kepala TNBK menyatakan, enam tahun pasca kayu, masyarakat terbelah dua. Kelompok pertama, berharap kayu dibolehkan lagi. “Mereka beralih ke pengusahaan IPK perkebunan,” kata Achmad. Kayunya kecil dan tak bisa dibawa ke Malaysia. Kayu diameternya 40-50 cm. Kayu itu digunakan untuk keperluan lokal saja. IPK biasanya di Lanjak. Luas IPK setahun 3.000 hektar.

TNBK mengorganisir warga yang mau menanam karet. Saat ini, terbentuk 40 KK. Warga diberikan karet unggul. Hasilnya empat kali lipat dari karet biasa. Sambil menunggu empat tahun panen, warga menanam pohon gaharu.

Achmad berkata, sekarang ini, orang bisa produksi kayu, tapi tak bisa menjualnya. Industri plywood tak mampu produksi lagi. “Biayanya tak sebanding,” kata Achmad.

Kelompok kedua, sudah sadar dan beralih ke usaha tani. Warga yang sudah sadar, karena pernah bekerja di Malaysia. Di sana, mereka hanya jadi buruh. Kalau di Indonesia, mereka jadi pemilik. Masyarakat seperti ini yang sedang digandeng, untuk membuat stimulan bagi warga sekitarnya.

Antonius Hermanto (39) dan Yosep Unja (43), merupakan orang yang pernah bekerja di Malaysia, dan jadi pelaku IL. Setelah IL, WWF Kalbar berhasil mengajaknya beralih ke pertanian. Mereka punya lembaga bernama, Belekam. Bele dalam bahasa Dayak Embalau berarti Melihat. “Lihatlah kami! Dari segi kekurangan maupun kelebihannya,” kata Unja.

Belekam lahir pada 2005, pasca IL. Belekam merupakan Pusat Pembelajaran Pertanian Terpadu (P3T). Tujuan dari kegiatan tersebut, meningkatkan alternatif peningkatan pendapatan masyarakat.

Ada program jangka pendek, sedang dan panjang. Jangka pendek melalui beras. Jangka menengah dengan karet. Jangka panjang dengan hasil hutan bukan kayu (HPK). Seperti gaharu, dan buah-buahan. Tujuannya, menggali berbagai macam pendapatan. “Kalau hanya mengandalkan satu pendapatan alternatif saja, gampang digoncang,” kata Anas dari WWF.

Selain kelompok LSM, pemerintah juga mulai merangkul warga. Begitu juga dengan pihak perusahaan. Namun, upaya yang dilakukan belum signifikan. Begitu juga dengan janji perusahaan kepada warga.

Sampai saat ini, UU Nomor 40 Tahun 2007, Pasal 67, tentang Perseroan Terbatas, bicara mengenai CSR (Corporate Social Responsibility), belum menampakkan hasil. Harusnya, CSR tak sekedar bantuan kepada warga. Tapi memberdayakan warga. Warga harus dipersiapkan jadi pengelola atau pemangku kepentingan di sekitar hutan. Dan, warga harus disiapkan sebagai pengusaha hutan. Dalam kontek ini, warga masih lemah.

Program pemerintah dan perusahaan masih jalan sendiri-sendiri. Hal itu membuat program tidak terintegrasi. Harusnya pemerintah menjadi leading sector. Substansinya, warga tidak boleh dibiarkan sendiri. Ini terkait dengan perspektif dan paralel dengan perspektif pembangunan hutan berkelanjutan dan lingkungan.

“Kadang mereka bicara tentang itu. Tapi, tidak singkron dengan pembangunan warga,” kata Suryadi.

Menurutnya, sistem HPH terbaru dan munculnya sawit, jadi semacam jalan masuk atau kantung pengaman. Sebab, kalau alternatifnya tak diberikan, akan muncul konflik baru. Namun, ia juga mengkritisi sawit yang dianggap belum sejahterakan warga di Kalbar. Parameternya bisa dilihat dari sisi pendapatan yang tak signifikan. Banyak warga kehilangan lahan dan kebun, karena dialihkan untuk sawit.

“Janji kemitraan sampai saat ini belum terbukti,” kata Suryadi. Tapi, pendapatan tidak satu-satunya indikator. Yang lebih penting, bagaimana menjadi pengelola dan mandiri. Sebab, falsafah pemberdayaan adalah keberpihakan. Repotnya, keberpihakan ke warga tidak ada.

Warga di sepanjang perbatasan, terus mengeliat memandang perkebunan sebagai salah satu solusi, menangani kehidupan mereka. Bagi Matius, ia tak punya alternatif lain, selain sektor perkebunan sawit. Namun, pembagian 80 bagian untuk perusahaan dan 20 untuk warga, sangat tak sesuai, dan tak bisa membuat warga hidup layak. “Ini tentu merugikan warga,” katanya.

Di Malaysia, warga punya deviden di perusahaan sawit. Sehingga mereka mendukung sawit. Pemerintah yang kerja, warga dapat deviden dari tanah yang mereka serahkan.

Luther Iding menyatakan, sekarang ini pengeluaran tak seimbang dengan pendapatan. Kerja di perkebunan sawit Rp 30 ribu sehari. Ironisnya, karet yang sudah tumbuh malah dibakar, karena dianggap tak ada harganya.

Ia berkata, kedepannya sektor perkebunan jadi dominan. Dengan berkebun karet, sebenarnya warga sudah bisa mandiri. Sebab, mereka bisa bekerja kapan pun, tanpa terikat waktu. Kerja menderas karet dari pukul 8-11 Wib. Kerja tiga jam, warga bisa dapatkan rata-rata 10 kg. Bila harga karet Rp 8.000 ribu per kg, berarti warga bisa dapatkan Rp 80 ribu.

“Jumlah itu jauh lebih besar, bila mereka bekerja di kebun sawit selama delapan jam penuh,” kata Iding.

Karet pemasarannya sangat fleksibel. Kalau harga karet di Malaysia mahal, warga akan menjual karet ke Malaysia. Kalau di Indonesia lebih mahal, akan dijual di Indonesia. Warga jarang berkebun lada. Prosesnya lama dan banyak kerja yang harus dilakukan. “Sawit belum kita katakan 100 persen, karena belum tahu hasilnya,” kata Iding.

Sekarang ini, hutan di Kalimantan tak lagi rimbun. Sebagai gantinya, sawit menghampar di berbagai tempat. Lokasi-lokasi bekas sawmill berdiri, tinggal rongsokan besi dan kayu berserakan. Ilalang dan semak menutupi. Membuat lokasi itu semakin terbengkalai dan tak terawat. Kondisinya sepi.

Kejayaan kayu tak meninggakan bekas pada kehidupan warga. Yang tersisa hanya kerusakan alam dan kemiskinan struktural. Warga jadi pekerja saja. Ketika era kayu habis, mereka tidak bisa bekerja apapun.***

Dimuat di Voice of Human Right (VHR), Edisi Desember 2010 - Januari 2011

No comments :