Tuesday, July 25, 2006

LBH Pers Gelar Seminar Kebebasan Berekspresi

Pontianak-Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers) Jakarta, hari ini akan mengadakan seminar mengenai jaminan kebebasan pers berekspresi. Kegiatan ini akan dilaksanakan di Hotel Santika Pontianak, menampilkan pembicara misbahuddin Gasma, SH.

Demikian dikatakan Panitia Pelaksana, Muhlis Suhaeri di Pontianak belum lama ini. Menurutnya, dalam seminar ini akan dibahas paradigma dibalik penyusunan rancangan KUHP, serta ancaman rancangan KUHP tersebut terhadap kebebasan pers dan berekspresi di Indonesia.


Seminar ini digelar keprihatianan terhadap kebebasan pers selam ini. Katanya UUD 1945 mengatur bahwa negara menjamin serta mengakui hak setiap warga negara. Termasuk hak mendapatkan dan menyampaikan pendapat. Pada tingkat operasional dapat diartikan mendapatkan dan menyampaikan informasi dalam dilakukan melalui media massa.

“Ini menunjukkan betapa sistem pemerintahan di Indonesia menempatkan fungsi pers sebagai satu fungsi kontrol sosial dan kekuasaan. Tatapi faktanya, selama Orde Baru pers dibungkam,” kata Muhlis.

Menurutnya, pemerintah tidak segan memberangus media, bila dianggap membahayakan penguasa. Ketika era reformasi, pers mendapat angin segar mengembangkan eksistensinya, tetapi tidak diikuti peningkatan SDM para pekerja pers. Hingga tak jarang banyak perusahaan pers bermunculan, tetapi tidak lama runtuh. Hingga hanya media yang dikelola profesional yang mampu bertahan.

“Tetapi itu belum cukup. Perusahaan media dan pekerja pers, masih mengalami hambatan di lapangan ketika melakukan tugas-tugas,” katanya.

Perlakuan buruk dan kekerasan terhadap jurnalis maupun aset perusahaan media kerap terjadi. Dicontohkannya, seperti serombongan massa mendatangi kantor salah satu media cetak karena tidak puas terhadap pemberitaan. Kaca dan berbagai peralatan dirusak. Bahkan baru-baru ini di Kota Singkawang, sekelompok massa tidak dikenal melempar kantor biro media cetak hingga menteror sang jurnalis.

Menurutnya, reaksi negatif terhadap insan pers, tentu ada pemicunya. Yaitu cenderung disebabkan pemberitaan yang dinilai tidak berimbang. Atau masyarakat yang bersangkutan tidak tahu mekanisme pengaduan dan penyelesaian konflik, ketika berhadapan dengan pers.

“Masyarakat harus diberi pengertian ketika merasa dirugikan pemberitaan. Dan untuk itu masyarakat dapat melakukan hak jawab. Dan media harus mampu bersikap adil dalam memuat hak jawab dari masyarakat," kata Muhlis.

Dengan demikian hak jawab tidak sekedar slogan dalam mengatasi masalah akibat pemberitaan pers. Juga memberikan ruang bagi masyarakat dalam mengungkap hak jawab, kebenaran dalam versinya.

“Ketika hal itu dipahami semua pihak, munculnya kekerasan terhadap pekerja pers dapat diminimalisir,” harap Muhlis. (aga)

Edisi Cetak, Harian Equator, 25 Juli 2006.

No comments :