Memasuki masa sidang September ini, ada tradisi baru yang harus dilakukan anggota DPR-RI. Kegiatan yang lumayan bikin pusing itu adalah membuat laporan yang di luar kebiasaan. Para anggota dewan wajib mempertanggungjawabkan dana penyerapan aspirasi yang sudah mereka pakai pada masa reses, 22 Juli sampai 16 Agustus silam.
Jumlah yang harus mereka pertanggungjawabkan Rp 40,5 juta per orang. Terdiri dari biaya pertemuan Rp 31,5 juta (selama reses, anggota melakukan tujuh kali pertemuan dengan anggaran Rp 4,5 juta tiap pertemuan), ditambah Rp 9 juta biaya kunjungan (masing-masing melakukan 10 hari kunjungan dengan biaya Rp 900.000).
Sebelumnya, setiap anggota mendapat jatah Rp 11 juta tiap kali reses. Nominal ini dikeluhkan tak mencukupi biaya yang dikeluarkan untuk menengok konstituen. Lantas muncullah istilah dana penyerapan aspirasi.
Sekretariat Jenderal DPR mencatat, jumlah anggota dewan yang mengambil dana ini lebih dari 400 orang. Yang membuat para wakil rakyat itu ketar-ketir, belum jelasnya model pertanggungjawaban fulus tersebut. Saat menyerahkan duit itu, Sekretariat Jenderal DPR meminta anggota DPR menandatangani surat pernyataan akan menggunakan uang itu benar-benar untuk kepentingan rakyat. "Surat ini agar sekaligus menjadi beban moral," kata Sekretaris Jenderal DPR, Faisal Djamal.
Khawatir akan ada masalah, sejumlah anggota dewan hati-hati menyikapi masalah itu. Salah satunya adalah Arifin Junaidi. Anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini tidak mau diperkarakan Badan Kehormatan DPR gara-gara tak bisa mempertanggungjawabkan dana reses yang telanjur digunakan. "Saya kembalikan saja uang itu jika nantinya tidak ada kejelasan model pertanggungjawabannya," katanya.
Arifin mengaku kesulitan kalau harus mempertanggungjawabkan dana itu seperti uang-uang APBN. Misalnya harus ada kuitansi rangkap enam. Soalnya, di masa reses, biasanya dia bertemu tokoh-tokoh partai di daerah dan para kiai. Dia kerap memberikan sejumlah uang buat mereka. "Nah, untuk ini kan nggak pernah kami minta kuitansi kepada mereka. Bisa jadi perkara ini nanti," ujarnya.
Kepada Gatra, Faisal mengatakan, bentuk pertanggungjawaban itu tak serumit yang dikhawatirkan Arifin. Dia mengatakan, tidak perlu menyertakan kuitansi segala, cukup proses kegiatannya saja. Agar tidak simpang siur, format laporan pun sedang digodok Sekretariat DPR dengan BURT (Badan Urusan Rumah Tangga) DPR.
Muara pembuatan laporan itu sebenarnya untuk mengetahui penggunaan dana penyerapan aspirasi ini. Banyak pihak mensinyalir, duit itu terserap ke kantong para wakil rakyat. Soalnya, aktivitas mereka di kala reses memang banyak yang tak ketahuan juntrungannya.
Koordinator Pemantau Legislatif Makassar, Sulawesi Selatan, Syamsuddin Alimsyah menilai, dari 25 anggota DPR di wilayah ini, 75% di antaranya jarang sekali berkunjung ke daerah. Kalau toh ada yang datang, kegiatan mereka tak jelas apa dan untuk siapa.
Selama ini, kontrol terhadap anggota DPR masih lemah. Sulit diketahui, benarkah mereka menyapa konstituen dan menyerap aspirasi di daerah atau sekadar konsolidasi partai. "Jangan-jangan sekadar hiburan kalau ke daerah. Kedatangan mereka reses ke daerah harus jelas dan perlu pertanggungjawaban," katanya kepada Gatra.
Apalagi, kedatangan mereka kesannya tak terjadwal. Bisa saja mereka mengaku sudah mendatangi konsituen dan bertemu, tetapi kenyataannya hanya duduk-duduk mengobrol di warung kopi atau bertemu dengan kader partai masing-masing, dengan alasan menggelar reses. Sah-sah saja alasan mereka bertemu konsituen, tetapi apakah itu benar-benar berjalan maksimal. "Ini perlu dipertegas dan dijelaskan secara transparan," ujarnya.
Pemantauan Syamsuddin itu bersambut dengan pengalaman Sarifuddin Suddin. Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Partai Bintang Reformasi (PBR) ini jengah melihat polah Diah Defawatie Ande. Soalnya, wakil rakyat yang diantarkannya ke Senayan itu jarang sekali berkomunikasi dengannya. Apalagi berkunjung hingga tingkat pengurus cabang. "Hingga jabatan saya yang kedua, tidak pernah terjadi komunikasi yang baik antara pengurus dengan dia," tuturnya.
Dikonfirmasi mengenai hal itu, Diah enggan menjawab. Masalah ini rupanya masih terkait perseteruan politik yang sebelumnya terjadi di PBR. Dia mengatakan, mustahil dirinya tak bertandang ke konstituen. "Saya punya kepentingan membina daerah untuk pemilu mendatang," katanya.
Wakil Bendahara DPP PBR itu lalu mencontohkan salah satu kegiatan mengisi masa reses kala berkunjung ke Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan. Dari dulu, daerah ini dikenal sebagai lumbung padi. Tapi kini, wabah busung lapar juga melanda Sidrap. "Saya mencoba mencaritahu penyebab dan solusinya," ujarnya.
Kunjungan ke daerah itu tak segampang mendatangi daerah-daerah di Pulau Jawa. Diah mencontohkan daerah pemilihan Sulawesi Selatan II yang terdiri dari 18 kabupaten, yang telah membawanya ke Senayan. Masing-masing kabupaten jaraknya sangat jauh. Energi yang dikeluarkan tak hanya untuk mengumpulkan massa dan menyerap aspirasi. Masalah transportasi juga menjadi kendala. "Kami bukan superhero," ucap Diah.
Kondisi yang dialami Diah itu juga dirasakan anggota DPR dari Partai Bulan Bintang, Ali Mochtar Ngabalin. Tak mengherankan, Ali menilai tudingan Syamsuddin itu kurang beralasan. Kalau hanya mengikuti jadwal reses dari DPR, menurut Ali, tidak mungkin mendatangi semua kabupaten itu dalam satu tahun. "Selain waktu reses, saya ke daerah pada hari Jumat, Sabtu, dan Minggu," katanya.
Minimnya anggota DPR yang turun ke daerah ini tak hanya terjadi di Makassar. Pemantauan wartawan Gatra di beberapa daerah menunjukkan hasil yang tak terlalu berbeda. Di Kalimantan Barat, anggota DPR yang turun ke daerah kebanyakan diisi figur yang sudah dikenal publik. Misalnya Akil Mochtar dari Partai Golkar dan Ishaq Saleh dari Partai Amanat Nasional.
Berbagai kegiatan dilakukan dua wakil rakyat itu di daerah asal pemilihannya. "Saya tak keberatan membuat laporan. Soalnya, aktivitas yang saya lakukan faktual dan tak bisa dibantah," kata Akil kepada Muhlis Suhaeri dari Gatra.
Meski begitu, Ali tetap menolak membuat laporan penggunaan dana penyerapan aspirasi. Ini bukan berarti dia takut ketahuan borok kalau-kalau menyelewengkan dana tersebut. Dia menilai laporan itu mengerdilkan status anggota DPR sekaligus menjatuhkan kredibilitasnya. Kalau sekadar membuat laporan dan resmi, dia yakin semua anggota DPR bisa melakukannya. "Apa sih yang tidak bisa disulap di negeri ini?" ujarnya.
Keberatan serupa tersirat dalam pernyataan anggota DPR Partai Golkar dari Sulawesi Tengah, Muhidin M. Said. Yang namanya biaya politik itu selalu saja kurang dan tidak pernah lebih. "Jika pemanfaatan dana reses ini harus terukur, lantas kalau ada kekurangan, siapa yang harus bertanggung jawab? Ini juga harus dijawab," katanya kepada Aslan Laeho dari Gatra.
Toh, Faisal menyatakan, laporan itu tetap harus dibuat. Untuk itu, dia meminta agar laporan itu bisa segera diserahkan.
Menurut Diah, yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua BURT, Kamis pekan lalu pihaknya sudah mengadakan pertemuan dengan sekjen. Waktu itu, belum ada kesepakatan ihwal format laporan yang dipakai.
Walhasil, laporan yang masuk bentuknya beragam. Mulai sekadar menjelaskan jenis kegiatan dan alokasi biaya hingga laporan reses yang detail, lengkap dengan kuitansi dan tanda tangan konstituen. "Format ini harus segera distandarkan. Sebelum reses yang bertepatan dengan Ramadan, laporan itu harus sudah ada," katanya.
Memang ujung pertanggungjawaban itu adalah pemeriksaan yang dilakukan BPK. Kesiapan BPK memeriksa dana reses ini didukung banyak anggota DPR. Antara lain Zunatul Mafruchah, anggota Fraksi PKB yang berasal dari daerah pemilihan Yogyakarta. "Dengan diperiksa BPK, akan terlihat mana orang yang punya sense of crisis dan pintar mengalokasikan dana untuk masyarakat serta mana orang yang memang benar-benar pintar dalam menyelewengkannya," kata Zunatul.
Sekretaris DPD Partai Demokrat, Jalaludin, mengamini. Kepada Rach Alida Bahaweres dari Gatra, Jalaludin mengatakan bahwa reses merupakan wadah untuk menyerap aspirasi masyarakat. Di forum ini, terjadi pertemuan antara anggota dewan dan konstituen. "Biar kacang tidak lupa sama kulitnya," katanya.
Arief Ardiansyah, Sawariyanto (Yogyakarta), dan Anthony (Makassar)
[Nasional, Gatra Edisi 43 Beredar Kamis, 7 September 2006]
Foto Lukas B. Wijanarko
No comments :
Post a Comment