Buku yang Anda baca ini, pada awalnya merupakan sebuah liputan untuk majalah Kajian Media dan Jurnalisme Pantau. Karenanya, gaya penulisannya pun, memilki karakter narrative journalism. Atau, kawan-kawan di majalah Pantau, biasa menyebutnya dengan jurnalisme sastrawi.
Sebuah genre penulisan berita yang mengandalkan langsung pada reportase lapangan, riset data yang kuat, keakuratan fakta, gaya penulisan dan bahasa bertutur, tulisan panjang dan mendalam dengan multi plot - multi sumber – multi konflik, bahasa yang menarik, lugas dan lentur.
Namun, di negeri “dongeng” yang sedang kita kita pijak ini, dimana batas realitas dan garis imajiner sudah terlihat buram dan kabur, membuat sesuatu yang baik, bermutu dan mempunyai nilai, ibarat menegakkan benang basah. Ia akan selalu jatuh dan tersungkur. Begitu pun dengan majalah ini, ketika naskah peliputan sudah siap dan akan dimuat, majalah Pantau keburu tutup. Lenyap ditelan bumi. Meski, pada akhirnya sempat terbit lagi, untuk tiga edisi. Tapi, tutup lagi.
Apa hubungan majalah Pantau dengan film ini? Tentu saja ada. Di majalah inilah, aku lebih mengenal sosok sutradara pembuat film ini, Aria Kusumadewa.
Pertama kali mengenal sosok Aria, ketika aku bekerja di Pusat Data dan Analisa Tempo (PDAT). Pada suatu kesempatan, aku mewawancarainya untuk rubrik “Apa dan Siapa Tempo”. Dari sanalah, segala yang berkisar tentang sutradara film ini, mulai terkuak. Pengalaman hidupnya, pikiran-pikirannya, romantika hidupnya dan obsesinya. Segala yang terjadi pada dirinya, tentu saja menjadi picu dan melatarbelakangi karya-karya.
Data riset dan hasil wawancara yang sangat berlipah, tentu saja sangat sayang bila dilewatkan begitu saja. Karenanya, aku mengajukan diri untuk menulis sosok sutradara ini ke majalah Pantau. Liputan tentang sosok Aria, termuat pada edisi Agustus 2002. Begitu pun, saat Aria akan membuat film terbarunya, “Novel Tanpa Huruf R”. Serta merta, aku pun mengajukan diri untuk meliput pembuatan film ini. Hasilnya? Buku yang sedang berada di tangan saudara.
Melihat film Aria Kusumadewa, ibarat melihat dunia realitas yang biasa kita hadapi. Dunia keseharian yang sedang bergerak dan terus berputar. Dunia jalanan. Tema yang ia angkat, adalah dunia yang berada di sekitarnya. Pencarian ruang hidup. Karakter tokoh di filmnya, unik dan kuat. Karakter tokohnya berjalan sendirian, dan tiap tokoh tidak saling berhubungan. Uniknya, tiap tokoh yang ada terdapat di filmnya, merupakan terjemahan dari teman-teman dekatnya. Karenanya, pemain yang ada dalam filmnya, biasanya orang yang berada di sekitar kehidupannya. Bergaul dan dekat dengannya. Artinya, bila Aria mengetahui karakter dan watak pemainnya, ia akan lebih mudah untuk mengarahkan pemain itu, sesuai dengan karakter yang ia mau dalam filmnya.
Aria lebih suka membuat film yang dekat dengan kehidupannya. Dengan cara itu, ia akan lebih mudah untuk membuat filmnya. Realitas yang ia lihat, ia rasakan, kemudian ia endapkan dalam pikiran dan jiwanya. Hasil pengendapan itulah, yang menjadi ide dan dasar dari filmnya. Lalu, ia menuangkannya dalam bahasa gambar, film.
Maka, lahirlah karyanya; Pelacur di Malam Lebaran (film pendek, sebagai syarat kelulusan di Institut Kesenian Jakarta, 1990), Senyum Yang Terampas (film cerita, 1990), Laskar Putri Indonesia (film dokumenter, 1993), Si Luet (film cerita, !996), Aku Perempuan dan Lelaki Itu (film cerita, 1996), Dewi Selebriti (serial TV, 26 episode, 1997), PDI Perjuangan (film dokumenter, 1998), Medi Pencopet Kota Palembang (film dokumenter, 1998), Bingkisan Untuk President (film cerita, 1998), Beth (film cerita, 2000), dan Novel Tanpa Huruf R (film cerita, 2002). Beberapa iklan dan video klip pernah juga ia garap.
Ketika akan membuat film Novel Tanpa Huruf R, Aria mengalami berbagai kendala. Saat naskah skenario film ini, coba ditawarkan ke beberapa produser film, si sutradara ibarat menembus tembok batu. Naskah skenario itu selalu ditolak. Dianggap tidak komersil dan tidak sesuai pasar. Film yang dianggap laku dan diminati pasar saat itu, adalah film yang mengisahkan percintaan remaja, dunia hantu, dan dongeng negeri di awan.
Meski, skenario ditolak disana-sini, sutradara dan anggota yang ada di Tit’s Film Workshop, tak menyerah begitu saja. Dana terus dicari, sampai pada suatu titik, film harus segera diproduksi. Tit’s Film Workshop memang lahir dengan konsep untuk menciptkan ruang kebebasan dengan dengan caranya sendiri. Mereka mendesain, memproduksi, dan mendistribusikan filmnya sendiri.
Keterbatasan biaya, malah membuat sutradara menemukan sesuatu. Lampu “kotak telor” yang dibuat sendiri (untuk menekan biaya sewa lampu yang mahal), malah melahirkan cara penyutradaraan baru. Di film yang menggunakan lampu secara lengkap, ada adegan yang pemainnya diam saja, karena lampu sudah bisa meneranginya. Di film ini, pemain harus datang dan mendekati lampu (mendekati cahaya), supaya sosoknya terlihat di kamera. Cara ini, membuat penyutradaraan menjadi dinamis.
Yang paling khas dari cara penyutradaraan Aria, ia selalu berinteraksi dengan ruang, waktu dan peristiwa. Tak heran, muncul scene (adegan) baru yang tidak ada dalam skenario. Di satu sisi, cara ini tentu saja menambah besar biaya produksi, tapi itulah bagian dari proses kreatif yang ia miliki. Di film ini, banyak sekali scene tambahan.
Begitu pun saat melakukan penyuntingan (editing), Aria tidak lagi berpegang pada skenario yang ada. Ia punya konsep editing untuk filmnya sendiri. Struktur cerita bisa dibolak-balik, sesuai dengan apa yang ada dalam pikirannya (Makanya, saat membuat scene tambahan, ia sangat tahu, scene itu untuk kebutuhan editing filmnya). Atau, gambar yang secara artistik bagus dan menarik, malah ia buang, karena dianggap tidak sesuai dengan karakter yang ada di film ini. Padahal, perlu waktu dan kerja ekstra, ketika melakukan pengambilan gambar itu.
Aria cukup berani untuk membuat terobosan di bagian editing. Lihat saja, ketika ada sebuah adegan, seorang penjual ayat (Aria yang memerankan tokoh ini). Pada pengambilan gambar pertama, pemain utama (Agastya) tertawa. Ia tidak tahan melihat penampilan Aria, melafalkan ayat Alqur’an (fasih dan lancar di luar kepala), dan memerankan tokoh ini. Adegan kemudian diulang. Pada pengambilan adegan yang kedua, secara gambar dan dialog berjalan dengan baik, sesuai yang diinginkan. Tapi, pada tahap editing, Aria malah memasang gambar pertama. Alasannya, di antara ratusan shut gambar yang ada dan baik, satu gambar yang rusak, tidaklah apa-apa.
Setelah film ini jadi, ada pertentangan kuat antara Aria dan seluruh tim yang ada di Tit’s Film Workshop. Apakah film ini akan diputar di jaringan Bioskop 21 (twenty one), atau diputar secara keliling (road show) dari kampus–ke kampus dan kantung budaya. Cara road show pernah dilakukan sebelumnya untuk film Beth. Dalam tiap pemutaran film, biasanya akan diikuti dengan diskusi, antara penonton dan orang yang tergabung dalam pembuatan film ini (sutradara, aktris, aktor, cameramen, atau bagian yang lain).
Aria bersikeras, film ini diputar melalui road show. Dengan cara itu, film akan langsung bisa diapresiasi penontonnya. Pembuat film berhadapan langsung dengan orang yang menonton filmnya. Film itu dicerca atau dipuji, mereka harus siap menerima konsekwensi, dari apa yang telah mereka buat.
Ya, pada akhirnya, film ini memang menuai badai. Di Universitas Negeri Bandung (dulu namanya, IKIP), pihak rektorat melarang pemutaran film. Padahal, pihak rektorat belum menyaksikan film ini. Di Universitas Maranatha, Bandung (kampus milik sebuah Yayasan Kristen), film ini ditolak. Pasalnya, ada adegan anjing mencium patung Yesus, dan patung Yesus jatuh terpukul. Pecah dan berderai. Di Universitas Islam Bandung (Unisba), film ini diprotes dan didemo Lembaga Dakwah Kampus, karena dianggap melecehkan agama Islam.
Alasannya? Sahid, sebuah nama yang identik dengan semangat jihad dan perjuangan Islam, dipergunakan untuk nama seekor anjing. Menurut orang yang memprotes film ini, anjing merupakan salah satu binatang yang dianggap najis. Menanggapi protes itu, pembuat film menyodorkan sebuah fakta yang ada di Alqur’an, surat Al-Kahfi. Di salah satu ayat termaktub, anjing merupakan salah satu binatang, yang namanya tersebut dalam Al-qur’an. Bahkan, anjing termasuk binatang paling setia dan dijanjikan masuk surga.
Sekarang ini, atas nama mati sahid, orang melakukan sesuatu, misalnya bom bunuh diri. Meluluhlantakkan semua yang dianggap sesat dan bakal membawa bencana. Para pelaku mencari surganya sendiri dengan menyengsarakan orang lain.
Di film ini, justru simbol-simbol agama itulah yang coba dihancurkan. Akibat menyembah simbol, tatanan kehidupan menjadi tidak harmonis. Masyarakat dikotak-kotakkan ke dalam agama, suku, ras, dan antargolongan. Orang menjadi saling curiga, dan tidak bisa bersatu. Semangat agama yang membawa ideologi, rahmatan lil alamin, kedamaian bagi semua mahluk, menjadi hilang. Semangat cinta kasih menjadi saling benci dan menghancurkan.
Protes yang terjadi, kiranya dapat dimaklumi. Orang mempunyai persepsi dan sudut pandang berbeda, dalam menerjemahkan sebuah gambar. Ya, apa yang menjadi istilah, sebuah gambar nilainya sama dengan seribu kata-kata. Sebuah gambar, juga mempunyai seribu tafsir, terjadi di film ini.
Apapun yang terjadi atas film ini, si pembuat tentu saja mempunyai tafsir sendiri, atas apa yang sedang terjadi di negeri ini. Tafsir itulah, yang ia tuangkan dalam film yang dibuatnya.
Film ini, Aria memang tidak berusaha untuk membuat “pernyataan-pernyataan, ia hanya membuat pertanyaan-pertanyaan.”
Bila di salah satu novelnya, Omerta, pengarang berkebangsaan Italia, Mario Puzzo, membuat sebuah dialog, “Jangan kau ucapkan terima kasih untuk orang-orang yang berada di masa lalumu. Terima kasih hanya berlaku bagi orang-orang yang berguna untuk masa depanmu.” Namun, aku akan tetap mengucapkan terima kasih, untuk orang yang berada di masa laluku, dan orang yang akan berada di masa depanku. Karena, merekalah yang telah dan akan memberi warna, bagi kehidupanku.
Pada akhirnya, aku harus mengucapkan terima kasih, untuk semua orang yang telah membantu proses dan penerbitan buku ini. Terima kasih sebesar-besarnya untuk, Aria Kusumadewa. Yang telah memberi peluang dan kesempatan bagiku, untuk ikut berproses dalam pembuatan film ini. Semoga semangat independen, yang sama-sama kita miliki, tetap terjaga. Lola Amaria, terima kasih untuk kerja samanya. BE Raisuli, terima kasih untuk pembelajaran dan diskusinya. Rik A. Sakri, terima kasih untuk pengertiannya. Otig Pakis, untuk kehangatan sikap dan candanya. Saut Situmorang (almarhum) untuk diskusi dan puisi-puisinya, yang menggugah dan menantang. Aku menaruh hormat padamu.
Untuk seluruh pemain dan kru yang terlibat dalam pembutan film ini, Agastya, Norman R. Akyuwen, Fahrani Empel, Faizal Kamarullah, Pedro Tomasouw, Bob Stilo, Ine Febrianti, Aisyah, Arturo G.P, Zairin Zein, Nanduto, Subur, Budi “Roy” Irawan, Agus “Dodot” Taqwa, Hastagus “Black” Eka Yana, Chita, Yatsky, Trisno, John Payung, Edi Prasindo, Zamroni, Wim Salim, Fahmi Alatas, Insan Akbar, Turino Priyoatmojo, Herdoso Prisadono, Anik, Agus Sularto, Wahyudi Dono, dan Aman Sugandhi. Terima kasih untuk kerja sama dan pengalaman yang menantang. Terima kasih juga, untuk semua orang yang membantu proses pembuatan buku ini, yang tak bisa aku sebutkan satu persatu di sini, atas segala kebaikan yang dimiliki.
Khusus untuk seluruh punggawa SLANK, Bim-bim, Kaka, Ridho, Abdee, dan Ivan. Make the world crazy with your music, PEACE. Terima kasih untuk kerja sama dan apresiasinya. Tak lupa untuk Rulionzzo dan Rika, terima kasih, semua.
Untuk seluruh rekan yang ada di Pusat Data dan Analisa Tempo (PDAT), radio Voice of Human Right (VHR), dan majalah Pantau. Terima kasih untuk pembelajaran dan ilmu yang telah tertular, padaku.
Terima kasih untuk Lindha Christanty yang telah mengedit naskah ini, dan untuk LKiS yang telah menerbitkan buku ini.
Untuk mentor yang ada di jurnalisme sastra enam, Janet E. Steele, Andreas Harsono. Terima kasih untuk diskusi dan pencerahannya. Teman yang ada di jurnalisme sastra enam, Lisa Noor Humaidah, Nugie, Wiwid, Basil, Ana, Yus, Wahyu Dramastuti, Alfitra, Rizanul, Afifah, Damai, dan Hendra. Terima kasih untuk tukar pengalaman dan diskusi yang menggairahkan. Semoga, kelak di kemudian hari, kita bisa saling terus bekerja sama dan saling mendukung.
Untuk orang yang berada dan dekat dengan kehidupanku, Nurul Hayat, Ngarto Februana, Ramona Gandhi, Zaenal A. Budiyono, JP Indra, Ludhy Cahyana, Roy Sidharta, Ocid, Abdul Aziz, Bagus Armanusa, Hanum, Laely Nihayati, dan Lutfi Setiawan. Terima kasih untuk pengertian dan lingkungan pergaulan yang sehat.
Pada kedua kakak perempuan dan iparku, Siti Panjang Asih dan Muhlisin, Nur Hayati dan Mamak. Terima kasih untuk kebebasan dan penghargaan padaku, dalam menentukan pilihan hidup. Untuk keponakanku, Tutik Hidayati, Agus Supriyadi, Lia, Vera Lisiana Silvia, Meilinda Setiawati, Sherly Reinita Indah Adorada.
Untuk kedua orang tuaku, Suhaeri dan Mukarromah, inilah wajud baktiku.
Tabik,
Muhlis Suhaeri
Suatu malam di bulan Ramadhan,
Jakarta, 20 Oktober 2004.
Sebuah genre penulisan berita yang mengandalkan langsung pada reportase lapangan, riset data yang kuat, keakuratan fakta, gaya penulisan dan bahasa bertutur, tulisan panjang dan mendalam dengan multi plot - multi sumber – multi konflik, bahasa yang menarik, lugas dan lentur.
Namun, di negeri “dongeng” yang sedang kita kita pijak ini, dimana batas realitas dan garis imajiner sudah terlihat buram dan kabur, membuat sesuatu yang baik, bermutu dan mempunyai nilai, ibarat menegakkan benang basah. Ia akan selalu jatuh dan tersungkur. Begitu pun dengan majalah ini, ketika naskah peliputan sudah siap dan akan dimuat, majalah Pantau keburu tutup. Lenyap ditelan bumi. Meski, pada akhirnya sempat terbit lagi, untuk tiga edisi. Tapi, tutup lagi.
Apa hubungan majalah Pantau dengan film ini? Tentu saja ada. Di majalah inilah, aku lebih mengenal sosok sutradara pembuat film ini, Aria Kusumadewa.
Pertama kali mengenal sosok Aria, ketika aku bekerja di Pusat Data dan Analisa Tempo (PDAT). Pada suatu kesempatan, aku mewawancarainya untuk rubrik “Apa dan Siapa Tempo”. Dari sanalah, segala yang berkisar tentang sutradara film ini, mulai terkuak. Pengalaman hidupnya, pikiran-pikirannya, romantika hidupnya dan obsesinya. Segala yang terjadi pada dirinya, tentu saja menjadi picu dan melatarbelakangi karya-karya.
Data riset dan hasil wawancara yang sangat berlipah, tentu saja sangat sayang bila dilewatkan begitu saja. Karenanya, aku mengajukan diri untuk menulis sosok sutradara ini ke majalah Pantau. Liputan tentang sosok Aria, termuat pada edisi Agustus 2002. Begitu pun, saat Aria akan membuat film terbarunya, “Novel Tanpa Huruf R”. Serta merta, aku pun mengajukan diri untuk meliput pembuatan film ini. Hasilnya? Buku yang sedang berada di tangan saudara.
Melihat film Aria Kusumadewa, ibarat melihat dunia realitas yang biasa kita hadapi. Dunia keseharian yang sedang bergerak dan terus berputar. Dunia jalanan. Tema yang ia angkat, adalah dunia yang berada di sekitarnya. Pencarian ruang hidup. Karakter tokoh di filmnya, unik dan kuat. Karakter tokohnya berjalan sendirian, dan tiap tokoh tidak saling berhubungan. Uniknya, tiap tokoh yang ada terdapat di filmnya, merupakan terjemahan dari teman-teman dekatnya. Karenanya, pemain yang ada dalam filmnya, biasanya orang yang berada di sekitar kehidupannya. Bergaul dan dekat dengannya. Artinya, bila Aria mengetahui karakter dan watak pemainnya, ia akan lebih mudah untuk mengarahkan pemain itu, sesuai dengan karakter yang ia mau dalam filmnya.
Aria lebih suka membuat film yang dekat dengan kehidupannya. Dengan cara itu, ia akan lebih mudah untuk membuat filmnya. Realitas yang ia lihat, ia rasakan, kemudian ia endapkan dalam pikiran dan jiwanya. Hasil pengendapan itulah, yang menjadi ide dan dasar dari filmnya. Lalu, ia menuangkannya dalam bahasa gambar, film.
Maka, lahirlah karyanya; Pelacur di Malam Lebaran (film pendek, sebagai syarat kelulusan di Institut Kesenian Jakarta, 1990), Senyum Yang Terampas (film cerita, 1990), Laskar Putri Indonesia (film dokumenter, 1993), Si Luet (film cerita, !996), Aku Perempuan dan Lelaki Itu (film cerita, 1996), Dewi Selebriti (serial TV, 26 episode, 1997), PDI Perjuangan (film dokumenter, 1998), Medi Pencopet Kota Palembang (film dokumenter, 1998), Bingkisan Untuk President (film cerita, 1998), Beth (film cerita, 2000), dan Novel Tanpa Huruf R (film cerita, 2002). Beberapa iklan dan video klip pernah juga ia garap.
Ketika akan membuat film Novel Tanpa Huruf R, Aria mengalami berbagai kendala. Saat naskah skenario film ini, coba ditawarkan ke beberapa produser film, si sutradara ibarat menembus tembok batu. Naskah skenario itu selalu ditolak. Dianggap tidak komersil dan tidak sesuai pasar. Film yang dianggap laku dan diminati pasar saat itu, adalah film yang mengisahkan percintaan remaja, dunia hantu, dan dongeng negeri di awan.
Meski, skenario ditolak disana-sini, sutradara dan anggota yang ada di Tit’s Film Workshop, tak menyerah begitu saja. Dana terus dicari, sampai pada suatu titik, film harus segera diproduksi. Tit’s Film Workshop memang lahir dengan konsep untuk menciptkan ruang kebebasan dengan dengan caranya sendiri. Mereka mendesain, memproduksi, dan mendistribusikan filmnya sendiri.
Keterbatasan biaya, malah membuat sutradara menemukan sesuatu. Lampu “kotak telor” yang dibuat sendiri (untuk menekan biaya sewa lampu yang mahal), malah melahirkan cara penyutradaraan baru. Di film yang menggunakan lampu secara lengkap, ada adegan yang pemainnya diam saja, karena lampu sudah bisa meneranginya. Di film ini, pemain harus datang dan mendekati lampu (mendekati cahaya), supaya sosoknya terlihat di kamera. Cara ini, membuat penyutradaraan menjadi dinamis.
Yang paling khas dari cara penyutradaraan Aria, ia selalu berinteraksi dengan ruang, waktu dan peristiwa. Tak heran, muncul scene (adegan) baru yang tidak ada dalam skenario. Di satu sisi, cara ini tentu saja menambah besar biaya produksi, tapi itulah bagian dari proses kreatif yang ia miliki. Di film ini, banyak sekali scene tambahan.
Begitu pun saat melakukan penyuntingan (editing), Aria tidak lagi berpegang pada skenario yang ada. Ia punya konsep editing untuk filmnya sendiri. Struktur cerita bisa dibolak-balik, sesuai dengan apa yang ada dalam pikirannya (Makanya, saat membuat scene tambahan, ia sangat tahu, scene itu untuk kebutuhan editing filmnya). Atau, gambar yang secara artistik bagus dan menarik, malah ia buang, karena dianggap tidak sesuai dengan karakter yang ada di film ini. Padahal, perlu waktu dan kerja ekstra, ketika melakukan pengambilan gambar itu.
Aria cukup berani untuk membuat terobosan di bagian editing. Lihat saja, ketika ada sebuah adegan, seorang penjual ayat (Aria yang memerankan tokoh ini). Pada pengambilan gambar pertama, pemain utama (Agastya) tertawa. Ia tidak tahan melihat penampilan Aria, melafalkan ayat Alqur’an (fasih dan lancar di luar kepala), dan memerankan tokoh ini. Adegan kemudian diulang. Pada pengambilan adegan yang kedua, secara gambar dan dialog berjalan dengan baik, sesuai yang diinginkan. Tapi, pada tahap editing, Aria malah memasang gambar pertama. Alasannya, di antara ratusan shut gambar yang ada dan baik, satu gambar yang rusak, tidaklah apa-apa.
Setelah film ini jadi, ada pertentangan kuat antara Aria dan seluruh tim yang ada di Tit’s Film Workshop. Apakah film ini akan diputar di jaringan Bioskop 21 (twenty one), atau diputar secara keliling (road show) dari kampus–ke kampus dan kantung budaya. Cara road show pernah dilakukan sebelumnya untuk film Beth. Dalam tiap pemutaran film, biasanya akan diikuti dengan diskusi, antara penonton dan orang yang tergabung dalam pembuatan film ini (sutradara, aktris, aktor, cameramen, atau bagian yang lain).
Aria bersikeras, film ini diputar melalui road show. Dengan cara itu, film akan langsung bisa diapresiasi penontonnya. Pembuat film berhadapan langsung dengan orang yang menonton filmnya. Film itu dicerca atau dipuji, mereka harus siap menerima konsekwensi, dari apa yang telah mereka buat.
Ya, pada akhirnya, film ini memang menuai badai. Di Universitas Negeri Bandung (dulu namanya, IKIP), pihak rektorat melarang pemutaran film. Padahal, pihak rektorat belum menyaksikan film ini. Di Universitas Maranatha, Bandung (kampus milik sebuah Yayasan Kristen), film ini ditolak. Pasalnya, ada adegan anjing mencium patung Yesus, dan patung Yesus jatuh terpukul. Pecah dan berderai. Di Universitas Islam Bandung (Unisba), film ini diprotes dan didemo Lembaga Dakwah Kampus, karena dianggap melecehkan agama Islam.
Alasannya? Sahid, sebuah nama yang identik dengan semangat jihad dan perjuangan Islam, dipergunakan untuk nama seekor anjing. Menurut orang yang memprotes film ini, anjing merupakan salah satu binatang yang dianggap najis. Menanggapi protes itu, pembuat film menyodorkan sebuah fakta yang ada di Alqur’an, surat Al-Kahfi. Di salah satu ayat termaktub, anjing merupakan salah satu binatang, yang namanya tersebut dalam Al-qur’an. Bahkan, anjing termasuk binatang paling setia dan dijanjikan masuk surga.
Sekarang ini, atas nama mati sahid, orang melakukan sesuatu, misalnya bom bunuh diri. Meluluhlantakkan semua yang dianggap sesat dan bakal membawa bencana. Para pelaku mencari surganya sendiri dengan menyengsarakan orang lain.
Di film ini, justru simbol-simbol agama itulah yang coba dihancurkan. Akibat menyembah simbol, tatanan kehidupan menjadi tidak harmonis. Masyarakat dikotak-kotakkan ke dalam agama, suku, ras, dan antargolongan. Orang menjadi saling curiga, dan tidak bisa bersatu. Semangat agama yang membawa ideologi, rahmatan lil alamin, kedamaian bagi semua mahluk, menjadi hilang. Semangat cinta kasih menjadi saling benci dan menghancurkan.
Protes yang terjadi, kiranya dapat dimaklumi. Orang mempunyai persepsi dan sudut pandang berbeda, dalam menerjemahkan sebuah gambar. Ya, apa yang menjadi istilah, sebuah gambar nilainya sama dengan seribu kata-kata. Sebuah gambar, juga mempunyai seribu tafsir, terjadi di film ini.
Apapun yang terjadi atas film ini, si pembuat tentu saja mempunyai tafsir sendiri, atas apa yang sedang terjadi di negeri ini. Tafsir itulah, yang ia tuangkan dalam film yang dibuatnya.
Film ini, Aria memang tidak berusaha untuk membuat “pernyataan-pernyataan, ia hanya membuat pertanyaan-pertanyaan.”
Bila di salah satu novelnya, Omerta, pengarang berkebangsaan Italia, Mario Puzzo, membuat sebuah dialog, “Jangan kau ucapkan terima kasih untuk orang-orang yang berada di masa lalumu. Terima kasih hanya berlaku bagi orang-orang yang berguna untuk masa depanmu.” Namun, aku akan tetap mengucapkan terima kasih, untuk orang yang berada di masa laluku, dan orang yang akan berada di masa depanku. Karena, merekalah yang telah dan akan memberi warna, bagi kehidupanku.
Pada akhirnya, aku harus mengucapkan terima kasih, untuk semua orang yang telah membantu proses dan penerbitan buku ini. Terima kasih sebesar-besarnya untuk, Aria Kusumadewa. Yang telah memberi peluang dan kesempatan bagiku, untuk ikut berproses dalam pembuatan film ini. Semoga semangat independen, yang sama-sama kita miliki, tetap terjaga. Lola Amaria, terima kasih untuk kerja samanya. BE Raisuli, terima kasih untuk pembelajaran dan diskusinya. Rik A. Sakri, terima kasih untuk pengertiannya. Otig Pakis, untuk kehangatan sikap dan candanya. Saut Situmorang (almarhum) untuk diskusi dan puisi-puisinya, yang menggugah dan menantang. Aku menaruh hormat padamu.
Untuk seluruh pemain dan kru yang terlibat dalam pembutan film ini, Agastya, Norman R. Akyuwen, Fahrani Empel, Faizal Kamarullah, Pedro Tomasouw, Bob Stilo, Ine Febrianti, Aisyah, Arturo G.P, Zairin Zein, Nanduto, Subur, Budi “Roy” Irawan, Agus “Dodot” Taqwa, Hastagus “Black” Eka Yana, Chita, Yatsky, Trisno, John Payung, Edi Prasindo, Zamroni, Wim Salim, Fahmi Alatas, Insan Akbar, Turino Priyoatmojo, Herdoso Prisadono, Anik, Agus Sularto, Wahyudi Dono, dan Aman Sugandhi. Terima kasih untuk kerja sama dan pengalaman yang menantang. Terima kasih juga, untuk semua orang yang membantu proses pembuatan buku ini, yang tak bisa aku sebutkan satu persatu di sini, atas segala kebaikan yang dimiliki.
Khusus untuk seluruh punggawa SLANK, Bim-bim, Kaka, Ridho, Abdee, dan Ivan. Make the world crazy with your music, PEACE. Terima kasih untuk kerja sama dan apresiasinya. Tak lupa untuk Rulionzzo dan Rika, terima kasih, semua.
Untuk seluruh rekan yang ada di Pusat Data dan Analisa Tempo (PDAT), radio Voice of Human Right (VHR), dan majalah Pantau. Terima kasih untuk pembelajaran dan ilmu yang telah tertular, padaku.
Terima kasih untuk Lindha Christanty yang telah mengedit naskah ini, dan untuk LKiS yang telah menerbitkan buku ini.
Untuk mentor yang ada di jurnalisme sastra enam, Janet E. Steele, Andreas Harsono. Terima kasih untuk diskusi dan pencerahannya. Teman yang ada di jurnalisme sastra enam, Lisa Noor Humaidah, Nugie, Wiwid, Basil, Ana, Yus, Wahyu Dramastuti, Alfitra, Rizanul, Afifah, Damai, dan Hendra. Terima kasih untuk tukar pengalaman dan diskusi yang menggairahkan. Semoga, kelak di kemudian hari, kita bisa saling terus bekerja sama dan saling mendukung.
Untuk orang yang berada dan dekat dengan kehidupanku, Nurul Hayat, Ngarto Februana, Ramona Gandhi, Zaenal A. Budiyono, JP Indra, Ludhy Cahyana, Roy Sidharta, Ocid, Abdul Aziz, Bagus Armanusa, Hanum, Laely Nihayati, dan Lutfi Setiawan. Terima kasih untuk pengertian dan lingkungan pergaulan yang sehat.
Pada kedua kakak perempuan dan iparku, Siti Panjang Asih dan Muhlisin, Nur Hayati dan Mamak. Terima kasih untuk kebebasan dan penghargaan padaku, dalam menentukan pilihan hidup. Untuk keponakanku, Tutik Hidayati, Agus Supriyadi, Lia, Vera Lisiana Silvia, Meilinda Setiawati, Sherly Reinita Indah Adorada.
Untuk kedua orang tuaku, Suhaeri dan Mukarromah, inilah wajud baktiku.
Tabik,
Muhlis Suhaeri
Suatu malam di bulan Ramadhan,
Jakarta, 20 Oktober 2004.
Baca Selengkapnya...