Thursday, December 26, 2024

Ambil Isinya, Pilih Sesuai Hati Nurani

Penulis : Muhlis Suhaeri


















Ambil isinya, pilih sesuai hati nurani. Begitulah kira-kira ungkapan seorang tokoh agama di Filipina. Ungkapan itu masih populer hingga sekarang. Ungkapan sarkastik dan terkesan “kurang mendidik.”

Namun, ungkapan itu bukan tanpa sebab. Di tengah karut-marut dan massifnya Politik Uang, rakat tidak dapat melawan. Menolak pun sulit.  

Begitulah kondisi di Filipina, negeri tetangga yang menempati urutan ke 13 (22%) dunia, dalam masalah Politik Uang saat penyelenggaran pemilu. Burhanudin Muhtadi dalam bukunya, “Kuasa Uang; Politik Uang Dalam pemilu Pasca-Orde Baru”, terbit 2015.

Ia menulis, Indonesia di posisi tiga dunia, sebesar 33%. Urutan satu hingga sepuluh adalah negara-negara miskin di Afrika. Seperti, Uganda (41%), Benin (37%), Kenya (32%), Liberia (28%), Swaziland (27%), Mali (26%), Nigeria (24%), Sierra Leone (23%), Republik Dominika (22%), dan Burkina Faso (22%). 

Miris sekali. Tapi, demikianlah faktanya.

Jimly Asshiddiqie, Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara pemilu (DKPP) pertama, menggambarkan praktik Politik Uang di pileg 2014, merupakan politik paling massif sepanjang sejarah pemilu di Indonesia, setelah Orde Baru, ”Politik Uang di Indonesia: Patronase dan Klientelisme pada pemilu Legislatif 2014 (Aspinall, dkk, PolGov, 2015). 

Bahkan, seorang pengamat Indonesia Corruption Watch memandang, pileg 2014 sebagai pemilu paling brutal. Politisi dari Partai Golkar tak menyangkal anggapan tersebut. Perilaku Politik Uang lebih terbuka. Tak lagi tertutup, seperti di masa lalu. Seorang tokoh Islam juga menyebut, pileg 2014, sebagai pemilu paling kapitalis, kanibal dan korupsi. 

Pembelian suara (vote buying) merupakan distribusi pembayaran uang tunai atau barang, dari kandidat kepada pemilih secara sistematis. Waktunya, beberapa hari menjelang pemilu atau pilkada. Pemberian uang disertai dengan harapan secara implisit, para penerima akan balas dengan berikan suara bagi si pemberi.

ICW menyebut, hantaman politik transaksional itu bukan hanya merusak sendi-sendi pemilu. Juga menjadi tunas terjadinya korupsi politik dalam pemerintahan (Zaenal Abidin RD, Dinamika Politik Uang Dalam Pemilihan Kepala Daerah, 2022). 

Ongkos Politik Tinggi

Demokrasi lokal di Indonesia, masih berhadapan dengan persoalan serius, terkait biaya politik yang sangat tinggi (hight cost politic). Politik Uang dalam pilkada sangat berdampak sistemik, terhadap kualitas pemilu itu sendiri. 

Pilkada di Indonesia berbiaya tinggi. Penyebabnya, ada proses pendaftaran di partai politik atau pengumpulan dukungan masyarakat (KTP) bagi calon independen, tentu saja butuh biaya. Ada pengorganisasian. Tim kampanye dengan berbagai kebutuhan, hingga biaya saksi dalam pemilihan di tempat pemungutan suara (TPS). Biaya itu biasanya ditanggung para kontraktor atau pengusaha lokal.

Biaya politik bersifat ilegal, misalnya Politik Uang (money politic), nilainya bisa jauh lebih besar, dari biaya legal. Biaya ilegal itu mencakup sejumlah uang yang harus disiapkan pasangan calon, untuk dapatkan rekomendasi sebagai peserta pilkada dari partai politik. 

Para kontestan biasanya menyebut biaya untuk partai politik sebagai “mahar politik.” Demikian juga biaya untuk mempengaruhi masa pemilih, biasa disebut “serangan fajar,” tulis Zaenal Abidin RD.

Biaya proses politik juga “tersedot”, bayar jasa lembaga survei dan konsultan politik. Jumlah biaya tak sedikit. Pasangan calon butuh jasa survei dan konsultan politik, untuk bantu petakan potensi dukungan, maupun menaikkan tingkat popularitas dan elektabilitas calon.

Belum lagi, biaya operasional pasangan calon. Jika, pihaknya atau pihak lain, gugat hasil pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta. Artinya, mereka harus menyiapkan dana, bayar pengacara, serta mobilisasi orang sebagai saksi di MK.

Di Kalimantan, wilayah yang sebagian besar untuk kebun sawit dan tambang, masa pilkada dianggap sebagai masa panen bagi calon kepala daerah. Perusahaan menyodorkan izin kebun sawit atau tambang. Tak hanya izin, pilkada juga jadi alat bagi para pemilik modal di daerah atau pusat, danai para calon. 

Tentu saja ada imbalannya. Masuknya dana ke para calon, bisa segera balik ke pemberi uang, bila calon terpilih. Imbal balik itu, bisa berupa izin usaha, pengerjaan proyek, memasukkan barang dan jasa, dan lainnya. 

Bahkan, pada tingkat lanjut, para pemodal politik ini, tak hanya menuntut pengerjaan proyek barang dan jasa. Tapi, turut atur para pejabat yang duduk di dinas. Tujuannya, tentu saja mempermudah urusan dan bisnis. Bila hal itu terjadi, para kepala daerah pun, pada akhirnya, tersandera pemberi modal. 

Yang paling dirugikan tentu saja rakyat di wilayah itu. Dana pembangunan yang semestinya bisa digunakan membangun berbagai proyek infrastruktur, jadi kurang tepat sasaran. 

Hal itu, tentu saja bagian dari imbas Politik Uang yang terjadi. Uang yang pemilih terima, tak sepadan dengan dampak ikutan yang terjadi, terhadap masa depan pembangunan untuk warga.

Tingginya biaya politik di Indonesia, pada akhirnya, melahirkan berbagai praktik korupsi. Banyak kepala daerah harus mengembalikan modal politik dengan memainkan anggaran pembangunan. 

Berdasarkan data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sejak 2004-2024, sebanyak 167, walikota/wakil dan bupati/wakil terjerat korupsi. Tahun 2004-2024, KPK RI juga menangani sebanyak 618 kasus korupsi di pemerintahan kabupaten dan kota.

Terbaru, operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Rohidin Mersyah, Gubernur Bengkulu periode 2021-2024. Dia memalak para kepala dinas, menyediakan uang bagi pemenangan kontestasi pilkada yang diikuti. KPK menyita uang Rp 7 miliar untuk bakal kampanye.  

Pranata Hukum Lemah

Sering kali keberhasilan suatu pelaksanaan pemilu atau pilkada, dihitung dari keikutsertaan warga yang mencoblos. Semakin tinggi prosentase warga dalam memilih, dianggap sebagai keberhasilan. 

Padahal, tingginya tingkat mencoblos warga, ada satu faktor penentu juga. Yaitu, semakin massif Politik Uang dilakukan. Tingkat partisipasi warga dalam mencoblos semakin tinggi.   

Sering kali kualitas penyelenggaraan pemilu, terkait transparansi dana kampanye, atau praktik Politik Uang, kurang terekspose dalam pelaksanaan pilkada. Lemahnya penegakan hukum terhadap berbagai macam pelanggaran pilkada, turut membuat kualitas demokrasi tidak berjalan dengan baik. 

Suparnyo dan Wahyu Jatmiko Aji dalam “Money Politic Dalam Pemilihan Kepala Daerah Berbasis Pendekatan Hukum Progresif” menulis, lemahnya penegakan hukum di Indonesia, jika dipotret dan dipetakan nampak sebagai berikut:

Pertama, pembuatan peraturan perundang-undangan. Pembuat peraturan perundang-undangan tak beri perhatian cukup, apakah pembuatan aturan bisa dijalankan atau tidak, dan kerapkali isinya tidak realistis.

Kedua, masyarakat pencari kemenangan bukan keadilan. Jika berhadapan dengan proses hukum, masyarakat melakukan berbagai upaya, agar tak dikalahkan atau terhindar dari hukuman. 

Ketiga, uang mewarnai penegakan hukum. Setiap lini penegakan hukum, aparat dan pendukung aparat penegak hukum, sangat rentan dan terbuka praktik korupsi atau suap. 

Keempat, penegakan hukum sebagai komoditas politik. Penegakan hukum bisa diatur, didekte bahkan diintervensi oleh kekuasaan. 

Kelima, penegakan hukum diskriminatif. Perlakuan dan sanksi berbeda, antara orang kaya dan orang miskin. 

Keenam, lemahnya kualitas dan integritas sumber daya manusia, yakni integritas yang tinggi. 

Ketujuh, advokat tahu hukum versus advokat tahu koneks. Advokat kerapkali jadi makelar perkara, dengan janjikan kemenangan pada klien. Asal bersedia bayar sejumlah uang untuk aparat penegak hukum.

Antisipasi Politik Uang

Melihat dampak pilkada yang begitu merusak demokrasi, melahirkan berbagai penyelewengan kekuasaan dan korupsi, perlu ada suatu mekanisme untuk mencegah secara dini, terkait pelaksanaan pilkada.

Harus ada pengawasan pemilu yang efektif, tulis Zaenal Abidin RD. Instrumen itu harus mampu menjamin dan promosikan transparansi, akuntabilitas, kredibilitas, dan integritas dari pelaksanaan pilkada. Pencegahan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pilkada, dipercaya sebagai instrumen penting. Serta, mampu menghadirkan jaminan atas pelaksanaan pemilu yang demokratis. 

Selain itu, mesti ada sistem pengawasan bisa berjalan efektif terhadap praktik politik transaksional. Mesti ada regulasi tentang Politik Uang. Peran Badan Pengawas pemilu (Bawaslu), peran masyarakat sipil, serta audit terhadap dana kampanye.

Lembaga pengawas pemilu atau Bawaslu, perlu diberikan kewenangan lebih besar. Bukan saja mengawasi setelah masa penetapan pasangan calon di KPUD, juga selama proses berburu rekomendasi partai politik. 

Harus ada mekanisme penyelesaian politik hukum lebih sederhana dan tak rumit, seperti saat ini. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, sangat tidak efektif dan mustahil untuk dilakukan. Alasannya, butuh prosedur dan waktu cukup panjang, sebagaimana prosedur berperkara di Indonesia. 

Paling utama juga, adanya penyelenggara pemilu dan pilkada yang berintergritas. Selama ini, penentuan seleksi penyelenggara pemilu, hanya terlihat bagus pada tahap awal. Ada pelibatan masyarakat sipil dan akademisi dalam seleksi. Tapi, pada proses penentuan, semua kembali pada kepentingan dan jalur politik.

Tak heran bila, para penyelenggara pemilu harus memiliki cantolan politik, bila ingin terpilih sebagai anggota komisioner KPU atau Bawaslu. Cantolan politik dengan sederhana bisa dilihat, mereka bakal sulit bersikap tegas, bila berhadapan dengan partai politisi yang memilihnya. Kondisi ini tentu saja melemahkan kualitas demokrasi.

Mencegah Politik Uang tentu saja bukan tugas penyelenggara pemilu saja. Semua punya andil besar, cegah dan meminimalisir praktik merusak tersebut. Masyarakat mesti diajak dapat pendidikan politik yang baik. Bahwa, proses Politik Uang sangat merusak masa depan mereka sendiri. 

Rakyat harus berdaulat. Mereka harus punya kekuatan. Mengoreksi dan mengawasi proses pembangunan, demi kesejahteraan bersama. Ayo, tolak Politik Uang.***

Penulis: 
Muhlis Suhaeri, CEO Insidepontianak.com 
Plt Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Kalimantan Barat.

Baca Selengkapnya...

Thursday, November 21, 2024

Demokrasi dan Politik Uang di Indonesia

Penulis: Muhlis Suhaeri

Grafis oleh Raditya

Ada beberapa hal yang kita dapatkan, ketika Indonesia mengalami transisi dari pemerintah sistem otoriter Orde Baru selama 32 tahun, menjadi er Reformasi dalam bidang politik. Diantaranya, adanya otonomi daerah dan pemilu proporsional terbuka. 

Semua orang bisa mencalonkan diri sebagai presiden atau kepala daerah, dan anggota legislatif. Keputusan tidak lagi dimonopoli partai politik.  

Rakyat Indonesia berharap, transisi demokrasi bakal mengubah sistem otoritarian menjadi lebih demokratis. Ujungnya, tentu saja pembangunan yang lebih merata demi kemakmuran bersama. 

Namun, harapan itu, hanya tinggal harapan. Faktanya, otonomi daerah malah menciptakan raja-raja kecil di daerah. Kepala daerah banyak tersandung korupsi, akibat memainkan anggaran pembangunan. 

Berdasarkan data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sejak 2004-2024, sebanyak 167, walikota/wakil dan bupati/wakil terjerat korupsi. Tahun 2004-2024, KPK RI juga menangani sebanyak 618 kasus korupsi di pemerintahan kabupaten dan kota.

Lalu, bagaimana dengan pemilu di Indonesia? Bukannya semakin baik kualitasnya, pemilu malah melahirkan praktik politik uang, yang begitu merusak tatanan demokrasi, politik dan sosial di Indonesia.

Burhanuddin Muhtadi, menggambarkan politik uang di Indonesia dalam desertasinya berjudul “Kuasa Uang; politik uang Dalam Pemilu Pasca-Orde Baru.”  

Buku yang terbit tahun 2015, memaparkan praktik jual beli suara, pada dasarnya tidak demokratis. Alasannya, melibatkan akuntabilitas terbalik. Alih-alih politisi bertanggung jawab kepada pemilih, di saat politik uang terjadi. Pemilih justru diminta pertanggungjawaban atas pilihan, karena suara mereka telah dibeli. 

Data survei Pilkada di seluruh wilayah di Indonesia sejak 2006 hingga 2015, menemukan setidak 4 dari 10 orang Indonesia, menilai politik uang sebagai praktik yang lumrah dilakukan calon kepala daerah. Efek politik uang sebesar 10,2 persen, diestimasi berdasarkan pemilih yang terpapar pembelian suara, dibandingkan dengan total pemilih.

Pasar jual beli suara sangat besar di Indonesia. politik uang tersebar luas, tak hanya dalam pemilu legislatif tingkat nasional, juga pemilu eksekutif tingkat lokal.

Untuk itu, penting bagi mesin politik dapat mengidentifikasi pemilih. Yang tak hanya paling bisa dipengaruhi oleh politik uang, juga paling dapat diandalkan memberikan suara kepada si pemberi uang.

Pemilih yang tak dapatkan informasi, akan jadi target operasi jual beli suara. Hal yang sama, pemilih yang memiliki banyak informasi, cenderung dukung politisi yang berkampanye programmatik, dan menghindar dari strategi mobilisasi klietelistik.

Di negara yang lembaga politik dan pemerintahannya lemah, serta memiliki hubungan patron klien yang kuat, pemilih cenderung mendukung pemimpin atau partai, dan berharap menerima insentif secara materiel. 

Pemilih dengan tingkat kepercayaan rendah terhadap lembaga politik, diyakini cenderung membangun hubungan yang bersifat transaksional dengan partai, dan menjual suara kepada kandidat yang menawarkan uang atau paket hadiah.

Warga negara yang memiliki minat politik tinggi, cenderung termotivasi untuk partisipasi dalam pemilu, tanpa imbalan materi. Variabel psikologis ini, diyakini memiliki hubungan negatif dengan politik uang. 

Makin kecil populasi pemilih di setiap kabupaten atau kota, makin mahal harga per suara yang harus disiapkan kandidat, untuk membeli suara pemilih. Apalagi di kabupaten/kota yang kaya sumber daya alam, tapi penduduknya jarang. Seperti di Kalimantan atau di bagian timur Indonesia.

Hampir di seluruh tempat di dunia, politik uang merupakan praktik ilegal. Karena itu, para politisi yang beli suara, dipaksa berhati-hati beroperasi. Namun, tentu saja sulit membeli suara dan menjangkau pemilih dalam jumlah besar secara diam-diam. 

Karenanya, mereka menemukan cara untuk menyamarkan upaya pembelian suara. Misalnya, melakukan penetrasi ke organisasi-organisasi, baik informal maupun formal, dan mengemas taktik dengan bantuan sosial, atau sumbangan keagamaan. 

Modus operandi ini menunjukkan klaim bahwa, organisasi-organisasi sosial dan para anggotanya, cenderung jadi sasaran pembelian suara, ketimbang pemilih yang tak memiliki aktivitas organisasi.

Dalam studi tersebut, tinggi rendahnya tingkat pendidikan, tak buat perbedaan signifikan dalam hal ditawari politik uang. Di Indonesia, pembelian suara tak memiliki hubungan signifikan dengan kemiskinan. Demikian pula politik uang, tak miliki pola perbedaan yang signifikan, antara daerah pedesaan dan perkotaan.

Minat politik secara signifikan memprediksi probabilitas seseorang, terlibat praktik klientelistik. Komponen penting sikap politik lainnya, kepercayaan terhadap lembaga politik. Makin dekat ikatan pemilih dengan partai politik, makin besar kemungkinan pemilih terima tawaran pembelian suara.

Partai Politik

Burhanudin menulis, para sarjana tentang Indonesia sampai pada kesimpulan, sebagian besar partai di Indonesia, kurang terorganisasi sebagai mesin politik. Partai pada umumnya tak miliki kapasitas, serta struktur organisasi yang mampu menetrasi ke masyarakat hingga tingkat bawah. 

Mobilisasi partai-partai di Indonesia, umumnya lemah. Partai politik nyaris tidak terlibat layanan konstituensi dalam bentuk apapun. Layanan konstituensi memainkan peran penting, meningkatkan interaksi antara partai dan pemilih.

Distribusi sumber daya publik di Indonesia, sebagai besar tak berada di bawah kendali partai politik. Justru birokrasi yang mengantongi banyak diskresi kekuasaan (discretionary power), sejak masa otoriter Orde Baru.

Di Indonesia, mayoritas partai tak aktif serta lamban dalam kontestasi pileg atau Pilkada. Individu caleg saja yang menjalankan mobilisasi elektoral di tingkat akar rumput, termasuk berkaitan dengan distribusi politik uang.

Para kandidat di Indonesia, lebih mengandalkan jaringan personal ketimbang struktur partai. Sistem proporsional terbuka, memberi insentif kuat kepada seorang caleg, mengejar personal votes, dan membuat partai jadi kurang relevan. Yang pada gilirannya, menyebabkan pemilu lebih berpusat pada kandidat atau caleg. 

Kondisi partai politik di Indonesia, berbeda dengan partai politik di Amerika Latin. Misalnya, partai politik di Argentina. 

Partai politik merupakan organisasi yang mengakar hingga tingkat bawah, dan melekat secara sosial ke masyarakat. Partai mengandalkan pasukan atau kader tingkat akar rumput. Yang terhubung ke struktur partai di tingkat lokal.

Struktur organisasi yang sedemikian mengakar ini, sebagian besar karena partai memiliki kapasitas, sekaligus kewenangan mengendalikan distribusi sumber daya. Hal itu memungkinkan partai politik, terlibat dalam interaksi dengan pemilih, bukan hanya pada masa pemilu saja.

Jika partai politik tak memiliki hubungan personal dengan pemilih, kemungkinan politik uang tak akan efektif mendorong munculnya rasa kewajiban moral, dari pihak pemilih untuk mencoblos yang memberi uang.

Tim Sukses

Pileg atau Pilkada di Indonesia, selalu terkait dengan tim sukses. Mereka merupakan prajurit kandidat, belum tentu anggota partai. Caleg minta tim sukses melakukan banyak tugas. Mulai dari memobilisasi pemilih, terlibat di organisasi kampanye, membagikan dan memasang alat peraga kampanye, hingga menyebar amplop kepada para pemilih.

Jaringan tim sukses merupakan metode melipatgandakan jaringan personal patron client caleg, dalam usaha menjangkau pemilih lebih luas. 

Seberapa besar ukuran dan armada tim sukses yang dimiliki caleg dalam menjalankan operasi pembelian suara, berdasarkan tim sukses yang beraneka ragam. Seberapa besar dan kuat jejaring pialang suara yang dimiliki seorang kandidat, dapat menentukan seberapa besar suara yang diperoleh caleg, ketimbang rival separtainya.

Tapi, banyak penerima uang atau hadiah, dipilih berdasarkan jejaring pribadi yang sangat longgar, dan tak terkait dengan kedekatan ideologis terhadap partai atau caleg. Hal itu menyebabkan “kebocoran” atau salah sasaran makin besar.

Uniknya, banyak caleg yang cukup rileks, jika tim kampanye gagal penuhi target suara. Terutama ketika masih mampu mengumpulkan suara pribadi (personal votes). Yang cukup untuk amankan kemenangan. 

Sikap politis tersebut didorong dua hal. Pertama, mereka sadar, perilaku berburu rente seperti itu, tak dapat dihindari. Kedua, ada banyak kesulitan menegakkan kontrak jual beli suara tersebut.

Hal ini membuat para kandidat mentoleransi kinerja tim sukses yang kurang maksimal. Asalkan masih sanggup menghasilkan kemenangan, dalam konteks landskap elektoral yang sangat kompetitif di Indonesia.

Pemilu poporsional terbuka, merupakan buah Reformasi yang kita dapatkan dengan berdarah-darah dan pengorbanan. 

Namun, kalau hal itu menjadikan demokrasi semakin terpuruk, menghasilkan berbagai penyimpangan dan korupsi, tentu harus ada evaluasi ulang terhadap sistem politik kita.***

Penulis: 
Muhlis Suhaeri, CEO Insidepontianak.com 
Plt. Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Kalimantan Barat 

Baca Selengkapnya...

Monday, December 11, 2023

Gadis Kretek, Kota M dan Gempuran Kapitalisme Global di Industri Rokok (bagian 4)

Oleh: Muhlis Suhaeri


Pontianak, insidepontianak –
Serial Gadis Kretek di platform streaming Netflik, memberikan gambaran, bahwa sejarah adalah produk yang terus berulang.

Tinggal, kita bisa melihat sejarah rokok kretek itu sebagai pembelajaran, atau hanya menganggapnya peristiwa perlintasan saja.  

Begitu pun dalam industri rokok kretek yang menjadi perjalanan sejarah, produk sosial dan budaya masyarakat Indonesia. Rokok kretek turut menjadi saksi sejarah dari bangsa yang terus berjalan ini.

Ketika depresi ekonomi melanda dunia tahun 1930-an, industri rokok kretek terus berjalan dan tetap bertahan. Begitu pun saat Indonesia mengalami krisis ekonomi tahun 1998. Bisnis rokok kretek dapat bertahan dari gempuran krisis, yang melumpuhkan hampir semua sendi perekonomian bangsa.

Kenapa industri rokok kretek sanggup bertahan? Sebab, semua bahan baku rokok kretek, tembakau, saus, cengkeh, kertas bungkus rokok, dan penikmatnya, semua dipasok dari dalam negeri. Konsumen terbesarnya juga orang Indonesia. Bisnis rokok kretek tetap bertahan, meski Indonesia didera krisis begitu hebat.

Ketika era pemerintah Hindia Belanda, memberikan proteksi yang baik dan menguntungkan bagi indusrei rokok kretek. Alasannya, bisnis rokok kretek merupakan penyumbang pajak, bagi pemerintah Hindia Belanda.

Ketika Indonesia merdeka, pemerintah turut memberikan kebijakan yang baik bagi industri rokok kretek. Misalnya, tahun 1970-an, pemerintah mencanangkan swasembada cengkeh, demi kurangi impor cengkeh. Tahun 1968, pemerintah mengizinkan penggunaan mesin atau mekanisasi industri, pembuatan rokok Bentoel. Selanjutnya, Djarum melakukan mekanisasi pada 1976. Gudang Garam, 1978. HM Sampoerna, 1984 (Abhisam, dkk, 2012).

Mekanisasi industri telah membuat perubahan besar pada bisnis rokok kretek, dengan lahirnya rokok kretek menggunakan filter. Kemasan rokok lebih bagus, sehingga bisa lebih bersaing dengan rokok putih. Tampilan rokok kretek berfilter, telah meningkatkan gengsi para penikmatnya.

Sebelumnya, rokok kretek identik dengan kelas menengah ke bawah. Rokok putih identik dengan kelas menengah ke atas. Adanya rokok kretek berfilter, telah membuat rokok kretek mendongkrak citra diri penikmatnya. Terutama, penjualan rokok kretek dalam bersaing dengan rokok putih dari luar negeri.

Kemajuan industri rokok kretek, kian maju dengan program transmigrasi.  Pemerintah secara ‘tidak sengaja’, turut melebarkan pasar rokok kretek dengan penyebaran warga ke luar Jawa.  

Coca Cola pernah memberikan minuman gratis pada pasukan Sekutu, di mana pun mereka berada saat Perang Dunia II. Hal itu sebagai bagian dari promosi gratis Coca Cola. Tak hanya memberikan kemasan Coca Cola dalam bentuk botol, berbagai dispenser berisi minuman khas tersebut, bebas dikonsumsi para serdadu.

Ketika Perang Dunia II usai, jalur distribusi, promosi, bahkan pabrik Coca Cola, sudah terbentuk dengan sendirinya di berbagai negara. Terutama, wilayah yang dekat atau menjadi penyangga perang.

Penghancuran Rokok Kretek


Pertengahan tahun 1999, pascakrisis ekonomi, timbul kegaduhan di dalam negeri. Pemerintah Indonesia membuat Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan. Hal terkait rokok diatur, misalnya; iklan, promosi, dan sponsorship.

Pemerintah memberlakukan larangan merokok di tempat tertentu. Penjualan rokok dibatasi. Peringatan kesehatan harus tercantum dalam produk dan kemasan rokok. Kadar kandungan tar dan nikotin turut dibatasi dengan level maksimum 20 mg (tar) dan 1,5 mg (nikotin).

Bila peraturan itu diberlakukan, perusahaan rokok kretek paling terdampak. Sebab, kandungan tar dan nikotin pada rokok kretek sangat tinggi. RPP itu diberlakukan pada Oktober 1999, dengan lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 1999, tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan.

PP itu menandai, perang global melawan tembakau telah masuk ke Indonesia.

Perang global melawan tembakau awalnya terjadi di Amerika Serikat, antara perusahaan farmasi dan industri tembakau. Bisnis nikotin mendulang ceruk miliaran dollar Amerika. Bisnis itu diperebutkan.

Wanda Hamilton dalam ‘War Nicotine (2010)’, menulis, di balik perang tembakau, tersembunyi kepentingan besar bisnis perdagangan obat-obat Nicotine Replacement Therapy (NRP) atau penghenti kebiasaan merokok. Seperti; permen karet nikotin, koyok obat, semprot hidung, obat hirup, zyban, dan lainnya.   

“Kampanye kesehatan publik terkait bahaya tembakau, hanya kedok bagi kepentingan bisnis memasarkan produk penghenti kebiasaan merokok atau NRP,” tulis Wanda Hamilton.

Nikotin merupakan bahan dasar pembuat NRP. Tapi, dikotin tak bisa dipatenkan. Hanya bahan yang mirip nikotin saja bisa dipatenkan. Berawal dari situlah, persaingan dagang itu bermula. Perusahaan farmasi menggelontorkan dana sangat besar untuk riset, kampanye dan propaganda, menggandeng mitra, dan lainnya.

Bahkan, tiga perusahaan besar farmasi dunia, seperti; Pharmacia Upjohn, Novartis, dan Glaxowelcome, menggandeng dan mendanai Badan Kesehatan Dunia (WHO), untuk membuat WHO Tobacco Free Initiative. Salah satu tujuannya, mempromosikan WHO Frame Convention on Tobacco Control (FCTC). Selanjutnya, produk FCTC menjadi landasan hukum internasional bagi perang melawan tembakau di seluruh dunia.

Michael Bloomberg, Yahudi Amerika Serikat dan Wali Kota New York tiga periode (2001-2012), turut berperan besar dalam perang isu melawan tembakau. Tahun 2006, ia menggelontorkan dana 125 juta dollar Amerika. Tahun 2008, memberikan 250 juta dollar Amerika. Bahkan, bersama Bill Gates, Bloomberg mengumpulkan dana sebesar 500 juta dollar Amerika.

Di Indonesia, Bloomberg menggelontorkan dana ke berbagai LSM yang konsen dengan isu perlindungan anak, kesehatan, konsumen, atau korupsi. Juga masuk ke kampus, pemerintah di tingkat Pusat, Provinsi, Kota/Kabupaten untuk program anti-tembakau di Indonesia.

Tak heran bila lahir Perda Kota Bogor Nomor 12 Tahun 2009, tentang Kawasan Tanpa Rokok. Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 88 Tahun 2010, tentang Kawasan Dilarang Merokok. Perda anti-tembakau lainnya, turut dibuat di Surabaya, Tangerang, Depok, Bandung, Palembang, Pekanbaru, Padang Panjang, Makassar, dan lainnya.

Bahkan, Bloomberg juga masuk ke ormas keagamaan. Hasilnya, keluar fatwa mengharamkan rokok.   

Abhisam menulis, dibalik sikapnya yang selalu memberikan hibah untuk memerangi tembakau, Bloomberg merupakan orang yang mendukung operasi militer Israel ke Palestina. Bahkan, ketika berkunjung ke Israel, Bloomberg dengan terus terang berkata, “Bukti dukungan Amerika terhadap Israel dapat Anda saksikan lewat kedatangan kami ke Israel.”

Ekspansi dan Akuisisi

Tak hanya melalui isu perang dagang tembakau, penghancuran rokok kretek juga dilakukan dengan akuisisi atau mengambil alih perusahaan rokok kretek di Indonesia. Tahun 2004 dan 2005, Philip Morris, produsen rokok terbesar di dunia dan penghasil rokok putih Marlboro, mengakuisisi 97 persen rokok kretek HM Sampoerna dengan nilai US$ 5,2 miliar atau Rp 48,5 triliun. Nilai akuisisi itu jumlah paling besar yang dikeluarkan Philip Morris, untuk membeli perusahaan rokok di seluruh dunia.  

Saat dijual, HM Sampoerna merupakan perusahaan rokok terbesar pertama di Indonesia, yang menguasai 33 persen pangsa pasar rokok. Tahun 2004, HM Sampoerna masih membukukan laba sebesar Rp 1,99 triliun. Ketika dibeli Philip Morris, tahun 2005, HM Sampoerna membukukan keuntungan sebesar Rp 2,38 triliun.

Tahun 2008, British American Tobacco (BAT), perusahaan rokok terbesar nomor dua dunia, mengakuisisi 85 persen saham rokok kretek Bentoel dengan nilai US$ 494 juta atau Rp 5 triliun. Saat diakuisisi, Bentoel merupakan perusahaan rokok nomor empat terbesar di Indonesia. Bentoel pemegang tujuh persen pangsa pasar rokok di Indonesia.

Kini, kejayaan industri rokok kretek Indonesia, sudah ditumbangkan di negerinya sendiri. Keuntungan industri rokok yang sangat potensial, pada akhirnya terus mengalir ke negara yang menjadi pusat perusahaan dan industri rokok tersebut.

Inilah bukti, kapitalisme global selalu bisa mencari bentuk dan masuk ke berbagai lembaga dan institusi. Seperti, lembaga pendidikan, LSM, media massa, pemerintah dan lainnya, untuk memasukkan kepentingannya.

Sebelumnya, produk khas Indonesia, minyak kelapa juga sudah dihancurkan melalui perang dagang dan kampanye, melawan produk minyak bunga matahari atau minyak kedelai. Komoditas garam, gula, garam dan jamu, sudah dijungkirbalikkan.     

Ini bagian dari pengulangan sejarah. Dan, kita sudah terbiasa dengan mengunyah bagian remah-remahnya saja.*** 

Baca Selengkapnya...

Sunday, December 10, 2023

Gadis Kretek, Kota M dan Gempuran Kapitalisme Global di Industri Rokok (bagian 3)

Oleh: Muhlis Suhaeri

Pontianak, insidepontianak Serial Gadis Kretek di platform streaming Netflik, memutar kembali ingatan orang pada industri rokok di tanah air.

Industri rokok mengalami pasang surut dan persaingan sengit. Bahkan, ada kerusuhan sosial terjadi, imbas dari persaingan usaha tersebut.

Tak hanya itu, industri rokok telah mendapat gempuran kuat dari modal besar dan trans-nasional. Ada gempuran kapitalisme global di industri rokok.

Perkembangan industri rokok kretek, tak lepas dari nama kota Kudus di Jawa Tengah. Dari sana, awal mula rokok kretek tercipta. Perusahaan rokok kretek besar, seperti Nojorono, Djambu Bol dan Djarum, lahir dan berkembang di Kudus.

Parada Harahap dalam bukunya, “Indonesia Sekarang (1952)” menulis, generasi awal pengusaha rokok di Kudus, antara lain: M. Sirin, pemilik rokok cap Teboe dan Jagung. M Atmowidjojo pemilik pabrik rokok cap Goenoeng. Ada juga H Nawawi, A Ashadi, H Rusjdi, HA Ma’roe, dan lainnya.

Bicara mengenai Kudus dan perkembangan industri rokok kretek, tak bisa dipisahkan dengan nama Nitisemito, pemilik NV Tjap Bal Tiga.

Nitisemito merupakan pengusaha Bumiputera terbesar, paling awal dan tertua yang berdiri pada zaman Hindia Belanda. Bahkan, tahun 1924, ia telah memiliki 15 ribu karyawan. 

Nitisemito pengusaha kretek visioner. Lahir 1863, Nitisemito tak sempat mengenyam bangku sekolah. Ia tuna aksara. Tak dapat membaca dan menulis. Namun, Nitisemito menerapkan berbagai macam cara menangani perusahaan secara moderen. Ada inovasi dilakukan.

Dalam pemasaran, misalnya, Nitisemito memberikan berbagai hadiah kepada pelanggannya. Pelanggan bisa menukar bungkus rokok dengan berbagai macam hadiah. Mulai dari sepeda, jam dinding, peralatan makan dan lainnya. Malahan, ada bus dengan kaca besar keliling untuk ‘jemput bola’ ke konsumen (Amen Budiman dan Onghokham, 1997).

Dalam beberapa scene dan adegan di serial Gadis Kretek, beberapa inovasi pemasaran dan promosi Raja Kretek Nitisemito, muncul di serial Netflik. Misalnya, Nitisemito menjual produk rokok pada berbagai macam acara keramaian dan pasar malam.

Ketika membuat sandiwara keliling, Nitisemito menyelipkan produk rokoknya. Ia juga mempromosikan produk kreteknya, menggunakan mobil untuk promosi dan pemasaran. Bahkan, Nitisemito menyebar pamflet dan promosi nama produksi rokoknya dengan pesawat terbang. Sesuatu yang tak pernah dilakukan di industri rokok hingga sekarang.

Industri rokok menyumbang kemajuan ekonomi di masyarakat. Alasannya, industri rokok menyerap jumlah tenaga kerja yang besar. Sebab, industri rokok mulai dari hulu hingga hilir, melibatkan banyak pekerja. Ada petani tembakau. Petani penggarap. Pengering tembakau di gudang. Yang mengeringkan tembakau selama satu hingga tiga tahun. Tembakau harus diputar secara terus, supaya tembakau kering secara sempurna.

Dalam proses produksi rokok, ada tukang rajang tembakau. Pelinting rokok yang biasanya dilakukan di rumah. Ada abon, bagian pengepul dari pelinting rokok. Ada tukang saus. Bagian pengemasan, dan lainnya. Rantai dan proses itu saling jalin menjalin.    

Persaingan di Industri Rokok

Persaingan di industri rokok sangat kuat. Mata rantai produksi rokok yang melibatkan banyak orang, bisa saja ketika ada satu proses produksi yang berkianat, dapat membuat hasil rokok menjadi tak enak rasanya.

Hal itu terjadi pada produk rokok Nitisemito. Ada kompetitor bekerja sama dengan Abon. Rokok Nitisemito menggunakan tembakau yang baik. Tapi, dalam proses pelintingan misalnya, Abon meminta pelinting rokok, menggunakan kualitas tembakau atau kertas rokok kurang baik. Rasa rokok Nitisemito menjadi rusak.    

Tak hanya diproses produksi, perkembangan industri rokok yang sedemikian maju, membuat orang Tionghoa mengikuti jejak para pengusaha lokal dalam industri rokok kretek. Persaingan itu sedemikian kuatnya, sehingga berimbas pada kerusuhan sosial di Kudus, tahun 1918. Kerusuhan di berbagai wilayah lain turut terjadi, berkaitan dengan persaingan usaha.

Kerusuhan berdampak pada rumah dan pabrik rokok kretek terbakar. Banyak korban harta dan benda. Pascakerusuhan, banyak pengusaha lokal dihadapkan pada pengadilan. Mereka dihukum. Akibatnya, banyak perusahaan lokal gulung tikar. Tak ada yang menjalankan lagi. Sebaliknya, posisi pengusaha Tionghoa semakin kuat dan maju (Amen Budiman dan Onghokam, 2017).

Tak hanya persaingan antar pengusaha lokal, bisnis rokok turut melibatkan perusahaan trans-nasional. Berdasarkan data pemerintah, impor rokok putih ke Hindia Belanda tahun 1923, mencapai 1 miliar batang. Bahkan, tahun 1925, perusahaan patungan antara Inggris dan Amerika, British America Tobacco (BAT), mendirikan pabrik di Cirebon. Selanjutnya, berdiri pabrik di Surabaya, 1928.

Uniknya, pemerintah Hindia Belanda melindungi pengusaha rokok kretek dengan berbagai peraturan yang menguntungkan. Misalnya, penerapan cukai rokok putih lebih tinggi. Penerapan pembuatan mesin untuk membuat rokok, harus dengan izin pemerintah.

Proteksi pemerintah Hindia Belanda kepada pengusaha rokok kretek, tentu bernilai ekonomis. Ketika usaha rokok kretek terus berjalan, pemerintah Hindia Belanda tetap dapat mengumpulkan pajak, dari para pengusaha rokok kretek lokal.

Kondisi itu tak membuat pengusaha rokok putih tinggal diam. Mereka menggunakan berbagai macam cara, menghancurkan pasar rokok kretek di berbagai daerah. Di Jawa Barat, pengusaha rokok putih membujuk warga di suatu pedesaan, menebang pohon kawung yang menjadi pembungkus rokok.

Tak adanya persediaan pohon kawung, diharapkan membuat perusahaan rokok gulung tikar. Tak ada bahan baku pembungkus rokok. Tapi, usaha itu tak berhasil. Pengusaha rokok kretek bekerja dengan cepat. Menanam pohon kawung lagi, menggantikan pohon kawung yang ditebang.

Bahkan, setiap ada daerah muncul pengusaha rokok kretek baru, perusahaan rokok putih membuat produk yang murah harganya. Rokok putih itu bermerek Pirate (Bajak Laut). Ketika rokok kretek itu sudah tak laku, produk rokok putih itu ditarik dari pasaran.

Praktik itu dilakukan secara berulang di berbagai daerah.*** 

Baca Selengkapnya...

Saturday, December 9, 2023

 

Gadis Kretek, Kota M dan Gempuran Kapitalisme Global di Industri Rokok (bagian 2)

Oleh: Muhlis Suhaeri


PONTIANAK, insidepontianak.com - Setelah mengarungi lautan Atlantik, dan mendarat di pulau San Salvador atau pulau Wetling, tahun 1492, Columbus menemukan perahu lesung berisi orang Indian dengan berbagai muatan daun kering di perahu. Daun kering itu, kelak disebut dengan tobacco atau tembakau (Amen Budiman dan Onghokham, 1987).

Ketika itu, orang Indian telah memiliki kebiasaan menghisap tembakau pada sebuah pipa panjang, biasa terbuat dari tulang. Mereka menikmati rokok pada ujung tulang yang sudah diberi tembakau. Pipa panjang itu disebut tubak. Dari kata tubak, kelak lahir kata tobacco dalam bahasa Inggris, dan tembakau dalam bahasa Indonesia.

Tembakau menempati peran istimewa bagi masyarakat Indian di benua Amerika Utara dan Selatan. Tembakau digunakan dalam setiap ritual keagamaan dan pengobatan. Bangsa Indian yang menempati sebelah timur pegunungan Rocky Mountain meyakini tembakau sebagai sesaji dan disukai oleh kekuatan gaib. Bahkan, bangsa Indian Alqoncuia Pusat, memiliki keyakinan bahwa tidak ada acara keagamaan bisa dimulai, tanpa kehadiran tembakau.

Di Indonesia, kebiasaan menggunakan tembakau dilakukan suku di sekitar sungai Fly di Irian Timur, berbatasan dengan Irian Jaya. Mereka memanfaatkan tembakau dengan merokok, tidak mengunyah seperti kebiasaan orang Indian. Orang Fly menggunakan pipa dari bambu untuk menikmati tembakau. Di wilayah Irian lainnya, warga menikmati tembakau dengan cara melintingnya menjadi rokok.

Sebelum mengenal rokok, orang Indonesia mengunyah sirih dan pinang. Ada kapur, gambir dan tembakau sebagai campuran. Bahan menginang hampir sama dengan campuran yang terkandung dalam kretek. Campuran tembakau untuk pinang disebut tembakau sugi. Orang Jawa menyebutnya mbako susur.

Kebiasaan makan sirih dan pinang itu, selanjutnya berubah jadi merokok dengan tembakau. Bahan pembungkus tembakau menggunakan daun jagung kering, daun pisang atau daun palem.

Kebiasaan merokok di Indonesia, diperkenalkan oleh bangsa Portugis. Selanjutnya, bangsa Belanda semakin mempopulerkan kebiasaan tersebut.

Kebiasaan merokok juga telah memasuki istana Keraton di Jawa. Utusan VOC, Dr H de Haen mendiskripsikan pengalamannya, ketika berkunjung ke Kerajaan Mataram untuk bertemu Sultan Agung.


Ia menuturkan, Sultan termashur yang memerintah antara tahun 1613-1645, merupakan perokok berat. Sultan Agung menggunakan pipa dari perak untuk merokok. Di samping Sultan, selalu ada abdi yang menyalakan rokok dengan upet atau tali api-api, ketika rokok Sultan mati.  

Ketika kebiasaan mengisap tembakau masih di lingkungan keraton, rakyat jelata hanya mengunyah pinang dan sirih. Lalu, kebiasaan merokok dinikmati rakyat jelata juga. Hal itu termaktub dalam kisah Roro Mendut dan Tumenggung Wiraguna, semasa pemerintahan Sultan Agung.

Kebiasaan mengisap rokok tersebut, selanjutnya menyebar dan bisa dinikmati rakyat biasa dengan rokok klobot. Sebatang rokok dengan tembakau, daun pandan atau daun jagung sebagai pembungkusnya.

Sama dengan penduduk Indian, rokok juga digunakan untuk ritual keagamaan atau sajen, bersama bunga mawar, cempaka, kenanga atau melati.     

Awalnya perkebunan tembakau ditemukan di Bogor, Priangan dan Cirebon. Ketika pemerintah Belanda mulai bangkrut, harus mendanai perang Diponegoro di Jawa, dan perang Padri di Minangkabau, pemerintah Hindia Belanda menerapkan tanam paksa. Terutama tanaman dengan komoditas ekonomi tinggi, seperti tembakau.

Perkebunan tembakau muncul di Kediri, Rembang, Madiun, Surabaya dan Madura. Perkebunan tembakau juga ditemukan di sekitar Klaten, daerah Kesultanan, Jember dan Besuki.

Bahkan, tahun 1830, memerintahkan Hindia Belanda menanam tembakau untuk ekspor Eropa, dengan bibit tembakau Havana dan Maryland di Jetis dan Probolinggo (saat ini Muntilan), seluas 55 bahu.

Bibit itu diberikan secara cuma-cuma kepada warga. Namun, upaya itu gagal karena letusan Gunung Merapi di Jawa Tengah. Tahun 1834, penanaman bibit tembakau Manila dan Havana mulai dilakukan. Sejak 1836 dan 1845, tembakau menjadi tanaman utama ekonomis bernilai tinggi, selain tebu, kopi dan nila.

Lalu, apa yang membedakan antara rokok putih dan kretek?

Rokok putih hanya mengandung tiga jenis tembakau atau American Blend, yaitu; tembakau Virginia, Burley dan tembakau Oriental yang biasanya jenis Turkish. Sementara itu, dalam sebatang rokok kretek mengandung belasan hingga 30 tembakau dari seluruh pelosok Indonesia. Racikan cengkeh, tembakau dan saus itu menghasilkan rasa khas rokok Indonesia, rokok kretek. (Abhisam, dkk, 2012).

Nama rokok kretek berasal dari nama ketika rokok itu diisap. Ada bunyi kumretek dalam bahasa Jawa. Bunyi keretek-keretek ketika serpihan cengkeh dalam rajangan tembakau bertemu dengan api.

Rokok kretek awalnya ditemukan secara tidak sengaja. Hadji Djamhari menderita sakit dada. Setiap penyakit datang, ia mengusap dadanya dengan minyak cengkeh. Seketika penyakitnya hilang. Setelah itu, dia mengunyah cengkeh. (Amen Budiman dan Onghokham, 1997).

Djamhari menggunakan cengkeh sebagai obat. Caranya, merajang cengkeh dengan halus dan mencampurnya bareng tembakau sebagai rokok. Lalu, rokok itu dihisapnya dengan tujuan, asap campuran tembakau dan cengkeh, bisa langsung ke paru-parunya.

Penyakitnya mulai berkurang. Cara itu, selanjutnya menjadi terkenal di sekitar Kudus. Haji Djamhari membuat kretek itu dengan jumlah banyak, untuk memenuhi permintaan handai taulan dan orang di sekitar tempat tinggalnya. Peristiwa tahun 1870 hingga 1880 itu ditandai sebagai awal penemuan rokok kretek.*** 

Baca Selengkapnya...

Friday, December 8, 2023

Gadis Kretek, Kota M dan Gempuran Kapitalisme Global di Industri Rokok (bagian 1)

Oleh: Muhlis Suhaeri


PONTIANAK, insidepontianak.com - Publik penikmat sinema di Indonesia sedang dibikin kesengsem dengan serial Gadis Kretek di platform streaming Netflik. Gadis Kretek merupakan serial pertama Netflik dari Indonesia.

Serial Gadis Kretek pertama kali diperkenalkan pada Busan International Film Festival, 4-13 Oktober 2023. Selanjutnya, diputar di Netflik sejak 2 November 2023.

Film ini diadaptasi dari novel berjudul Gadis Kretek, karya Ratih Kumala. Ketika diadaptasi menjadi serial Netflik, Kamila Andini menyutradarai serial Gadis Kretek. Ada Dian Sastrowardoyo sebagai Dasiyah. Ia tokoh sentral dalam serial Gadis Kretek. Ada Ario Bayu sebagai Soeraja. Putri Marino (Arum), Arya Saloka (Lebas), dan lainnya.

Serial Gadis Kretek berlatar tahun 1960-an di Kota M, sebuah kota imajiner yang terletak di antara Yogyakarta dan Magelang. Di kota ini, geliat bisnis, sosial, dan politik, menyatu dalam balutan dialog, adegan dan plot, serial Gadis Kretek.

Dasiyah, perempuan introver dan lebih suka menyendiri. Ia tinggal dalam lingkaran bisnis keluarga. Dasiyah memiliki visi dalam industri rokok kretek. Ia memiliki mimpi, membuat kretek terbaik. Tapi, di dunia rokok kretek, perempuan hanya boleh menjadi pelinting saja.

Padahal, Dasiyah punya ide membuat ide saus baru. Hal itu menimbulkan pertentangan. Ada penolakan. Sebab, perempuan tak boleh berada di dalam ruang pembuatan saus. Ada mitos, hal itu membuat rokok menjadi tak enak. Apalagi membuat saus rokok. Jelas saja mendapat penolakan.

Saus rokok merupakan kunci bagi kenikmatan sebatang rokok. Ketrampilan mengolah berbagai ramuan rempah, menjadi ciri tersendiri. Saus rokok adalah karakter dari peracik saus.

Kemunculan saus dalam rokok kretek, mencirikan kebiasaan masyarakat Indonesia yang suka dengan memasukkan perisa apa saja ke mulut, ketika makan atau minum. Misalnya, menambahkan gula ke teh atau kopi. Menambahkan sambal atau kecap pada makanan.

Alasan pemakaian saus pada kretek ada dua. Pertama, faktor pemasaran. Setiap rokok harus punya karakter dan cita rasa berbeda. Kedua, tembakau kering sebagai bahan dasar kretek tak langsung siap saji. Alasannya? Kadar alkoholnya tinggi. Saus punya peran menetralisir rasa tembakau yang kasar, dan menjaga menstabilkan konsistensi rasanya (Abhisam DM, dkk, 2012).

Karenanya, ketika Dasiyah memiliki kesempatan memasuki ruang saus di perusahaan rokok keluarganya, ia bereksperimen dan meracik berbagai bahan dan rempah, menciptakan saus terbaru.

Saus terbaru itulah yang menguatkan indusrtri rokok keluarga Idroes Moeria (Rukman Rosadi), ayah Dasiyah. Moeria adalah rangkaian gunung di wilayah Kabupaten Kudus, Jepara dan Pati.

Namun, keberhasilan dan bisnis rokok keluarga Idroes, membuat iri pengusaha rokok lainnya, Soedjagad (Verdi Solaiman). Keduanya terlibat dalam persaingan sengit. Soejagad ingin mengalahkan Idroes dengan cara apa pun. Hal itu tak lepas dari masa lalu keduanya, ketika bersaing untuk mendapatkan Roemaisa (Sha Ine Febrianti), istri Idroes.

Bahkan, Soedjagad memasukkan Idroes dalam daftar hitam peristiwa 1965. Tentara mendatangi rumah Idroes. Ia ditangkap dalam peristiwa tsunami besar politik, sepanjang sejarah bangsa Indonesia.

Perusahaan rokok Idroes tutup. Keluarganya tercerai berai. Dasiyah sempat ditahan dalam kamp atau tahanan perempuan selama dua tahun. Meski tak disebutkan namanya, publik bisa saja menduga, kamp tahanan perempuan yang menjadi tempat bagi orang yang dianggap terlibat dalam peristiwa 1965, adalah kamp Plantungan di Kendal, Jawa Tengah.

Dalam buku berjudul “Gerwani, Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan, Amurwani Dwi Lestari, 2011, kamp Plantungan menjadi saksi bagi organisasi perempuan di bawah underbow PKI tersebut. Namun, banyak juga dalam kamp Plantungan, mereka hanya menjadi korban kecurigaan dan prasangka saja. Di kamp Plantungan, jiwa dan raga para perempuan itu dilecehkan, rusak dan dihancurkan. Oleh penjaga lelaki yang sebagian besar tentara.

Dibebaskan dari penjara, Dasiyah kembali ke rumah orang tuanya. Tak ada keluarga yang tersisa. Hanya rumah yang kotor dan berserak. Ia mencoba bangkit, menghidupkan industri rokok rumahan milik orang tuanya. Resep saus menjadi kunci. Namun, catatan saus kretek ada di buku jurnal miliknya.

Jurnal itu disimpan Soeraja yang telah menjadi menantu Soedjagad. Melalui resep saus milik Dasiyah, Soeraja membangun bisnis rokok hingga tingkat nasional. Kesuksesan yang dirah Soeraja, menyisakan derita pada keluarga Idroes, terutama Dasiyah.

Melalui plot maju-mundur, kondisi sekarang-dulu, serial Gadis Kretek membawa pemirsanya memasuki alam pikiran, sejarah dan konflik, yang dimainkan dengan apik oleh para pemainnya. Bernas dan bertenaga, namun menyayat.(Muhlis Suhaeri) 

Baca Selengkapnya...