Sejarah Lambang Negara Garuda Pancasila
Tahukah Anda bahwa, Februari adalah bulan yang sangat bersejarah bagi lambang negara Indonesia, Garuda Pancasila. Sebab, pada tanggal 8, 10, 15 dan 20 Februari 1950, rancangan pertama kali hingga pengumuman lambang negara Garuda Pancasila dilakukan.
Tak banyak yang tahu bahwa, Sultan Abdul Hamid Alkadrie atau Sultan Hamid II, putra kesultanan Kadriah, Pontianak adalah pencipta lambang negara Indonesia.
Apalagi, saat ini sebutan Garuda Pancasila lebih familiar di telinga. Padahal, Sultan Hamid II menamai lambang sakral negara kita dengan Elang Rajawali Garuda Pancasila.
Berdasarkan penelitian dari Turiman Fachturahman Nur disebutkan, salah satu sumber inspirasi Sultan Hamid II merancang lambang negara adalah, lambang Istana Kesultanan Sintang yang berbentuk Elang Garuda.
Berbekal fakta tersebut, Suara Pemred menyambangi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sintang, tepatnya menemui Siti Musrikah, Kabid Kebudayaan pada dinas tersebut.
Menurut Musrikah, berdasarkan keterangan dari pihak Kesultanan Sintang, memang dulu Sultan Hamid II pernah meminjam lambang kerajaan, sebagai salah satu sumber inspirasi mengerjakan tugas dari Presiden Sukarno, untuk membuat lambang negara.
“Sejarah penciptaan lambang negara, adalah salah satu sejarah yang ingin ditilepkan (dihilangkan),” ujar Siti.
Lalu, siapakah Sultan Hamid II? Sultan Hamid pernah menjabat sebagai Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat, yang tercatat dalam konstitusi RIS (Republik Indonesia Serikat) tahun 1949.
“Jadi, Kalimantan Barat itu bergabung ke NKRI. Sebelumnya, berdiri sendiri yang sejajar dengan bangsa Indonesia. Sultan Hamid II membawahi seluruh kesultanan yang tergabung dalam Daerah Istimewa Kalimantan Barat,” terang Turiman.
Di kancah internasional, sebelum hadir dalam Konferensi Meja Bundar di Den Hag, Belanda, Sultan ke VII Kesultanan Kadriah Pontianak ini, menginisiator Konferensi Inter-Indonesia yang digelar di Yogyakarta dan Jakarta. Hasilnya, antara BFO (wakil daerah/negara buatan Belanda) dan Negara Republik Indonesia, sepakat duduk bersama Belanda.
Sultan Hamid II menjadi pemimpin delegasi BFO, dan dari Indonesia, Mohammad Hatta yang didaulat memimpin.
Delegasi Belanda diwakili Mr Van Maarseven. Dalam konferensi yang berlangsung pada 23 Agustus hingga 2 November 1949 itu, BFO dan Negara Republik Indonesia, menyerahkan kedaulatan bersama untuk bergabung dalam RIS. Inilah titik Indonesia benar-benar meraih kemerdekaan secara de facto dan yuridis.
“Andai kata waktu itu Sultan Hamid II tidak menyatakan bergabung dengan NKRI, apa iya Ratu Belanda mengakui kedaulatan bangsa Indonesia?” tanya peneliti yang juga dosen Fakultas Hukum Untan ini.
Berdasarkan buku, “Sejarah yang Hilang” karya Mahendra, Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS), pada 19 Desember 1949-6 September 1950. Sultan Hamid merupakan Menteri Negara Zonder Portofolio dalam Kabinet RIS. Salah satu tugasnya, membuat lambang negara.
Secara konstitusional hal itu tertuang dalam Pasal 3 Ayat (3) Konstitusi RIS 1949, bahwa negara menetapkan Materai dan Lambang Negara.
Pada Sidang Kabinet, 10 Januari 1950, dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinasi Menteri Negara Zonder Porofolio, Sultan Hamid II.
Untuk melaksanakan keputusan sidang kabinet, Menteri Prijono melaksanakan sayembara pembuatan lambang negara.
Ada dua hasil terbaik diperoleh. Yaitu, rancangan Muhammad Yamin dan Sultan Hamid II. Namun, rancangan M Yamin ditolak panitia, karena terlalu banyak garis-garis dan mengesankan gambar matahari, terpengaruh sekali oleh Jepang.
Pada 8 Februari 1950, sketsa lambang negara pertama kali diajukan ke Presiden Sukarno di Istana Gambir atau Istana Negara.
Rancangan pertama, gambar kepala sangat terpengaruh dengan lambang kesultanan Sintang. Bagian tengah ada tangan memegang perisai.
Tanggal 10 Februari 1950, Sultan Hamid II menyempurnakan gambar. Tangan di bagian tengah perisai dibuang. Bagian kepala ada penyempurnaan, seperti Garuda sekarang ini, namun belum ada jambulnya.
Sukarno memperkenalkan lambang negara kepada khalayak ramai di Hotel ‘des Indes’. Pada 20 Februari 1950, rancangan Sultan Hamid II, dipasang di ruangan Sidang Parlemen RIS untuk pertama kali.
Jadi, Februari merupakan bulan bersejarah sebagai cikal bakal lambang negara RI.
Penuh Simbol dan Makna
Garuda Pancasila merupakan lambang negara yang penuh simbol dan makna. Konsep dasar sebagai pandangan dan falsafah bangsa dituangkan dalam pembuatan simbol yang penuh makna, dalam setiap detail di lambang negara. Namun, semua merupakan satu kesatuan.
Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara, di mana lukisan otentiknya diserahkan kepada H. Mas Agung. Sedangkan Lambang Negara yang ada disposisi Presiden Soekarno dan foto gambar lambang negara yang diserahkan ke Presiden Soekarno pada awal Februari 1950, masih tetap disimpan oleh Istana Kadriyah, Pontianak.
Dari transkrip rekaman dialog Sultan Hamid II dengan Mas Agung (tahun 1974), sewaktu penyerahan berkas dokumen proses perancangan lambang negara, disebutkan, “ide perisai Pancasila” muncul saat Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara.
Sultan Hamid teringat ucapan Presiden Soekarno, hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia, di mana sila-sila dari dasar negara, yaitu Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara.
Suara Pemred menemui Turiman Faturahman, peneliti perjuangan Sultan Hamid II.
Dikatakannya, lambang negara Indonesia memiliki tiga konsep dasar. Yakni Elang Rajawali Garuda Pancasila, perisai Pancasila yang tergantung di leher garuda, dan identitas bangsa Indonesia, Bhineka Tunggal Ika.
Dalam perisai tersebut, terdapat lima simbol Pancasila. Sila pertama disimbolkan dengan bintang bersudut lima. Mewakili nur atau cahaya. Ketuhanan Yang Maha Esa, diartikan sebagai cahaya. Persis berada di tengah. Dengan perisai tersendiri berwarna hitam.
"Lalu empat bidang lainnya, warnanya merah putih, sesuai dengan warna bendera kita. Jadi sila ke satu itu, cahaya bagi keempat sila lainnya," tutur Turiman.
Membaca Pancasila dalam lambang negara, haruslah melingkar. Sila pertama berada di tengah, sebagai pusat. Seperti tawaf mengelilingi Ka'bah. Bukan dibaca secara linier atau piramida. Sila kedua disimbolkan dengan kalung bersegi empat dan lingkaran berjumlah tujuh belas. Lingkar sebagai lambang wanita. Dan bentuk petak, simbol laki-laki. Lambang regenerasi.
"Artinya Tuhan Yang Maha Esa (sila pertama) itu menginginkan bangsa Indonesia, kemanusiaannya adil dan beradab. Laki juga perempuan. Itu paham humanisme,” sebutnya.
Manusia harus beradab. Berpikir adil. Karena adil mendekati takwa. Ketuhanan Yang Maha Esa. Manusia yang adil dan beradab membutuhkan suatu wadah. Yakni, Persatuan Indonesia. Sila ketiga.
"Karenanya menurut Sultan Hamid II, persatuan Indonesia, bukan kesatuan. Berujung pada pemikiran federalis. Berlambang pohon beringin," terangnya.
Lambang pohon beringin dipakai sebagai bentuk apresiasi Sultan Hamid II pada Purwacaraka, yang memberikan sumbangan pemikiran padanya. Pohon beringin merupakan simbol bersatunya rakyat dan penguasa. Di mana, biasanya pohon ini berada di alun-alun kerajaan, seperti di Yogyakarta. Yang mana alun-alun adalah tempat rakyat menyampaikan aspirasi kepada rajanya.
Lalu sila ke empat, perihal demokrasi. Bermusyawarah dan mufakat yang berlambang banteng.
Apresiasi rancangan Muhammad Yamin. Sila ke lima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bersimbol sederhana, padi dan kapas. Lambang sandang pangan. Jika dua hal itu terpenuhi, rakyat Indonesia dipastikan makmur. Berdaulat jika semua dari dalam negeri.
“Sejatinya, Pancasila turut mengajarkan bagaimana sebaiknya membangun sebuah bangsa. Yakni kedaulatan sandang dan pangan,” kata Turiman.
Dalam lambang negara ada kalimat Bhineka Tunggal Ika. Selama ini orang kerap mengartikannya sebagai, ‘berbeda-beda tapi tetap satu jua’. Menurut Turiman, hal itu keliru. Dengan makna seperti itu, akhirnya yang ditonjolkan adalah perbedaan. Beda suku, beda agama, beda bendera.
“Sejatinya, bhineka itu berarti keragaman. Tunggal itu artinya satu. Sementara ika, artinya itu. Jadi Bhineka Tunggal Ika, yang beragam itu satu itu. Yang satu itu, beranekaragam,” terangnya.
Pemaknaan yang sudah masuk ke dalam pemikiran bangsa Indonesia sejak puluhan tahun, akhirnya memengaruhi seseorang dalam bersikap. Saling mengkafirkan satu sama lain pun tak bisa dihindari. Beda pilihan, jadi penyebab keributan. Kekayaan keberagaman, tak dipikirkan.
Padahal, Tuhan berfirman, sengaja menciptakan orang bersuku-suku, berbangsa-bangsa untuk saling mengenal.
Menurut Siti Musrikah, Kadis Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sintang, ketika ditemui Suara Pemred mengatakan, lambang simbol rantai di dada burung Garuda yang bermakna persatuan dan kesatuan, filosofi yang diambil dari kalung masyarakat Dayak Kalimantan.
“Kalung itu berbentuk bulat dan persegi yang teruntai sambung menyambung, membentuk sebuah rantai dengan makna yang sesungguhnya adalah, regenerasi berkelanjutan,” kata Musrikah.
Pahlawan Nasional
Negara mestinya mengangkat Sultan Hamid II sebagai Pahlawan Nasional, karena telah merancang dan membuat lambang negara. Sama seperti penghargaan yang sudah diberikan kepada Wage Rudolf Supratman yang menciptakan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Usulan itu sudah diperjuangkan sejak tahun 2000.
Namun, hingga kini, masih belum ada titik terang mengenai hal tersebut.
Pada masanya, Sultan Hamid II adalah anak bangsa berpendidikan tertinggi di Indonesia. Ia mengikuti Akademi Militer Belanda (KMA) di Breda, Belanda hingga tamat dan berpangkat letnan pada kesatuan tentara Hindia Belanda.
Sayangnya, putra mahkota Kesultanan Kadriah Pontianak yang lahir 12 Juli 1913 ini, dituduh terlibat dalam peristiwa Westerling. Sejarah tersebut tertulis di buku-buku sejarah sekolah hingga kini. Padahal, dari Mahkamah Agung sudah menyatakannya tidak bersalah.
“Usulan itu sudah masuk dan diperjuamgkan sejak tahun 2000, tinggal direspon oleh Dinas Sosial Provinsi yang punya kewenangan dan kompetensi dalam pengusungan beliau sebagai Pahlawan Nasional,” ujar Turiman Faturahman, peneliti perjuangan Sultan Hamid II kepada Suara Pemred.
Semua hal untuk pengusungan tersebut sudah dilakukan, hasil penelitian tentang perjuangan Sultan Hamid II pun, telah dibukukan. Aspirasi elemen masyarakat sudah disampaikan ke pemerintah, termasuk DPRD Provinsi Kalbar dari tahun 2000.
Saat ini yang dibutuhkan adalah pemulihan nama baik Sultan Hamid II, dan hal itu hanya bisa dilakukan oleh semua elemen masyarakat Kalimantan Barat. Termasuk juga mendorong agar namanya diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.
Masalah sebenarnya belum berhenti di situ. Masih ada diskriminasi hukum terhadap Sultan Hamid II. Dimana lagu kebangsaan di Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009, diakui dirancang oleh WR Supratman. Sementara perihal lambang negara, nama Sultan Hamid II tidak dituliskan.
“Pengakuan pembuatan lambang negara saja baru pada 2012, itu pun secara de facto, tapi hari ini kita masih ada diskriminasi hukum. Yang bisa memperjuangkan semua ini masyarakat Kalimantan Barat,” ujar Turiman.
Bukan hanya ikhwal lambang negara saja, selama ini lekat di masyarakat Sultan Hamid II terlibat dalam pembunuhan massal peristiwa penyerbuan Westerling dan APRA (KNIL di Negara Bagian Pasundan), Bandung, 23 Januari 1950. Sedikitnya 79 anggota TNI Divisi Siliwangi dan 6 orang sipil tewas dalam pernyerbuan itu.
Dalam buku Sultan Hamid II; Sang Perancang Lambang Negara “Elang Rajawali-Garuda Pancasila” Anshari Dimyati, dkk menyebutkan, dalam Putusan Mahkamah Agung 8 April 1853, dikatakan bahwa Dakwaan Primair (pokok) Jaksa Agung Soeprapto tidak dapat dibuktikan secara hukum. Namun Sultan Hamid II tetap dijerat hukuman penjara 10 tahun, karena ber”niat” melakukan penyerbuan terhadap Sidang Dewan Menteri RIS, dan ber”niat” membunuh tiga orang pejabat negara.
Rencana penyerbuan Sidang Dewan Menteri RIS tanggal 24 Januari 1950, satu hari sebelum penyerangan Westerling, memang ia rencanakan, namun telah ia batalkan. Westerling dan Frans Najoan yang ia perintahkan pun tak jadi melakukannya. Tak ada insiden apapun pada hari itu. Lain kasus dengan penyerangan yang dilakukan Westerling satu hari sebelumnya yang menewaskan 85 orang.
“Sultan Hamid II sama sekali tak tahu perihal kejadian itu dan tak pernah memberi perintah,” kata Turiman.
Siti Musrikah, Kadis Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sintang mengatakan, sang perancang lambang negara ini bisa segera diumumkan secara resmi oleh negara, dan tuduhan makar atas dirinya bisa segera dihapus. Sebab, di persidangan pun tidak terbukti bahwa, Sultan Hamid terlibat dalam pemberontakan Westerling.
“Kita berharap pengakuan dari negara atas Sultan Hamid bisa segera diumumkan, dan beliau bisa diangkat sebagai salah satu Pahlawan Nasional, sebagaimana pahlawan-pahlawan lain yang juga berjasa kepada negara,” kata Musrikah.
Max Yusuf Alkadrie, Ketua Dewan Pembina Yayasan Sultan Hamid II, ketika dihubungi Suara Pemred mengatakan, tanggal 26 Agustus 2016, gambar rancangan asli Lambang Negara Indonesia ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya Nasional, lewat Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 204/M/2016.
Kini, posisi lambang negara, sejajar dengan bendera kebangsaan merah putih dan lagu kebangsaan Indonesia Raya.
“Penetapan Elang Rajawali Garuda Pancasila sebagai cagar budaya nasional, merupakan buah keringat banyak orang. Upaya yang diperjuangkan sejak lama, diakui sekarang,” kata Max.
Sekretaris Pribadi Sultan Hamid II ini menjelaskan, sejak beberapa lama pihaknya memperjuangkan penetapan cagar budaya nasional ini. Tak sekadar mengajukan ke pemerintah, seminar-seminar juga rutin digelar untuk menjelaskan bagaimana perjuangan Sultan Hamid II. Bahkan tahun 2013 di Pontianak sempat diadakan Seminar Nasional dan Pameran Lambang Negara oleh Sekretaris Negara.
“Kita berterima kasih kepada pemerintah, kepada saudara Turiman, Ansyari, semua pihak yang peduli pada Sultan Hamid II dan karyanya,” ucapnya dalam.
Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978 di Jakarta, dan dimakamkan di Pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang. Elang Rajawali Garuda Pancasila, karyanya telah jadi bagian yang tak terpisahkan dari Indonesia.
“Semoga juga ingatan semua anak bangsa,” ujar Max. Edisi cetak di Suara Pemred, 10 Februari 2017 (bls/nan/lis)
Tuesday, January 10, 2017
Posted by Muhlis Suhaeri at 12:05 AM
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment