Sebuah Desertasi Ilmu Lingkungan dari Pahrian
G. Siregar
Pengelolaan Lanskap
Berkelanjutan dan
Habitat Orangutan
Ringkasan
Desertas ini untuk memperoleh gelar
Doktor dalam Ilmu Lingkungan pada Universitas Indonesia, dan sudah dipertahankan di hadapan
Komisi Sidang Akademik Universitas Indonesia, Rabu, 11 Januari 2017, pukul 14.00 WIB. Pemilik gelar Doktor itu adalah, Pahrian Ganawira Siregar.
Pahrian bukan nama asing bagi saya. Meski,
saya hanya mengenalnya setahun saja, itu pun empat tahun yang lalu, ketika sama-sama bekerja untuk USAID, KINERJA. Aktivis lingkungan ini,
sudah malang melintang di berbagai lembaga Internasional.
Pembawaannya selalu gelisah dengan apa yang
terjadi di lingkungan sekitar. Ia disiplin dan pintar. Gaya
bicaranya lugas dan analisis. Ia selalu memberi
konteks terhadap masalah yang sedang dibicarakan. Namun, ia tidak menggurui,
meski paham masalah itu.
Berbicara dengan Pahrian, ibarat bicara
pergulatan ide dan pemikiran yang tak kunjung henti. Tak heran bila saya cepat
akrab dengan dirinya. Ibaratnya, sumbu ketemu tutup. Klop. Dan, hasil penelitian ini, merupakan bentuk kegelisahan pada apa yang ditekuninya.
Penelitian dari desertasi ini, tujuan utamanya
untuk pengembangan konsep pengelolaan lanskap yang lebih baik,
menggunakan pendekatan metode gabungan memanfaatkan pemodelan system
dynamics, pemodelan multi criteria evaluation, analisis trade off,
evaluasi dan pemetaan keberlanjutan lanskap, serta analisis medan daya.
Penelitian
ini memperlihatkan, jika terjadi peningkatan permintaan edible
oil di pasar internasional, maka pembangunan kelapa sawit yang tidak ramah
terhadap orangutan, akan meningkat dan berpotensi melebihi luasan hutan
yang tersisa di 2030, dan mengakibatkan 200-900 orangutan kehilangan
habitatnya.
“Keberlanjutan
di tingkat lanskap terlihat cenderung seimbang, namun terjadi dominasi
penguasaan lahan dan kesenjangan pemanfaatan antar sub lanskap. Penelitian ini
merekomendasikan beberapa rencana aksi, untuk mewujudkan pengelolaan lanskap
berkelanjutan,” tulis Pahrian.
Orangutan
memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem hutan hujan tropis.
Saat ini, jenis kera besar ini hanya ditemukan di Sumatera dan Borneo
(Kalimantan), yang 90 persennya di Indonesia.
Populasi
orangutan Kalimantan ada tiga kelompok geografi atau sub spesies. Pertama, Pongo
pygmaeus pygmaeus. Orangutan ini di bagian Barat Laut Kalimantan, yaitu
utara dari Sungai Kapuas sampai ke Timur Laut Sarawak. Kedua, Pongo pygmaeus
wurmbii, di bagian Selatan dan Barat Daya Kalimantan, antara sebelah
Selatan Sungai Kapuas dan Barat Sungai Barito. Ketiga, Pongo pygmaeus morio,
di Sabah sampai Sungai Mahakam di Kalimantan Timur. Pahrian menfokuskan
penelitiannya pada jenis Pongo pygmaeus pygmaeus.
Mengapa
ia tertarik meneliti species itu? Sebab, pembangunan di Indonesia 40 tahun
terakhir ini, meluluhlantakkan hutan hujan tropis. Padahal, hutan itu memiliki keanekaragamanhayati.
Akibatnya, lanskap-lanskap yang dahulunya didominasi hutan alami mengalami
perubahan, akibat eksploitasi kandungan mineral di dalamnya, ekstraksi tegakan
kayunya maupun dialihfungsikan menjadi kawasan pemukiman dan infrastruktur,
perkotaan, industri serta lahan budidaya masyarakat.
Forest Watch Indonesia (2011) mencatat, luas hutan hujan
tropika Indonesia yang mencapai 120,35 juta hektar pada 2008,
memiliki laju deforestasi yang tinggi. Yakni: 0,45 juta hektar
pada 2009-2011. Bahkan, pernah
mencapai 2 juta hektar, pada 1997-2001.
Lalu,
bagaimana dengan Kalbar? Provinsi ini mengalami proses
pembangunan dengan menopang penggerak pembangunannya, melalui eksploitasi
sumber daya hutan. Eksploitasi dilakukan, untuk melayani permintaan pasar
global. Harapannya, tentu saja supaya dapat meningkatkan pendapatan negara. Era
itu ditandai dengan pemanfaatan kayu pada 1970-1990-an. Selanjutnya, pembangunan
perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri.
Dominasi Kelapa Sawit
Pembangunan yang
eksploitatif menghadirkan pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja,
baik secara langsung maupun karena multiplier
effect. Pertumbuhan ekonomi yang berlangsung, ternyata tidak serta merta
menghadirkan kesejahteraan pada masyarakat yang hidup di sekitarnya.
Berdasarkan
data Badan Pusat Statistik (2013), tingkat kemiskinan di Kabupaten Ketapang,
Kabupaten Melawi dan Kabupaten Landak berada di bawah garis nasional. Padahal,
ketiga kabupaten ini, pemanfaatan lahannya didominasi kelapa sawit.
“Peneliti
tertarik melihat dinamika pembangunan di Kalimantan Barat, khususnya dinamika
di tingkat lanskap. Pemilihan pendekatan pada tingkat lanskap dikarenakan
pemanfaatan lahan dan pemanfaat dari lahan lebih dapat dilihat dengan cara yang
terintegrasi,” tulis Pahrian.
Kegiatan
ekstraktif, seperti konversi hutan, intensifikasi pertanian dan penanaman pohon
mengakibatkan dampak pada lingkungan, ekonomi dan sosial.
Terkait
species Pongo pygmaeus pygmaeus, konservasi keanekaragaman hayati tidak
akan efektif, bila perlindungan hanya pada keanekaragaman hayati di kawasan
yang dilindungi. Alasannya, kondisi keberlanjutan di kawasan dipengaruhi juga
kondisi di sekitarnya.
Hal
ini terjadi karena, banyak spesies perlu melakukan migrasi atau perpindahan
untuk mendapatkan sumber daya yang tidak tersedia di dalam kawasan yang
dilindungi. Orangutan digunakan sebagai spesies payung di dalam konservasi
hutan tropis Kalimantan, karena berperan penting untuk memencarkan biji-biji
dari tumbuhan yang dikonsumsinya.
Dari
penelitian yang dilakukan, Pahrian memiliki kesimpulan. Berdasarkan hasil
pemodelan business as usual, jika terjadi peningkatan permintaan edible
oil di pasar internasional, mengakibatkan peningkatan pembangunan kelapa
sawit di Kalbar.
Perkebunan
kelapa sawit merupakan pemanfaatan lahan yang paling menguntungkan, ditinjau
dari potensi keuntungan ekonominya. Namun, kerentanannya yang tinggi pada
keberlanjutan orangutan dan keanekaragaman hayati lainnya, dominasi kelapa
sawit di lanskap akan mengancam kelestarian keduanya.
Selanjutnya,
supaya dapat mewujudkan pembangunan secara berkelanjutan di seluruh lanskap
yang ada, pemerintah pusat (c.q. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
serta Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) diharapkan dapat menegakkan, dan
meningkatkan pengawasan pelaksanaan aturan kewajiban pengalokasian luas kawasan
hutan, dalam setiap daerah aliran sungai (DAS) dan atau pulau, minimal 30
persen dari luas daratan.
Pemerintah
propinsi atas fasilitasi dari pemerintah pusat (c.q. Kementerian Perindustrian
dan Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral), diharapkan dapat mengundang
investor dalam pengembangan industri pengolahan biodiesel berbahan baku produk
kelapa sawit di lanskap penelitian, sebagai upaya meningkatkan nilai tambah
dari perkebunan kelapa sawit dan penyerapan tenaga kerja.
Pemerintah
daerah (propinsi dan kabupaten) diharapkan dapat mempromosikan, meningkatkan
kemampuan teknis masyarakat, menyediakan pemodalan bagi masyarakat, mengatur
tata niaga dan penguatan industri rumah tangga pengolahan hasil produksi, untuk
mengembangkan hutan rakyat dan agroforestri.
Selain
itu, perusahaan perkebunan kelapa sawit dan koperasi petani kelapa sawit, diharapkan
dapat bekerja sama mengembangkan program intergrasi sawit dan sapi, sebagai
upaya meningkatkan produktivitas lahan perkebunan kelapa sawit, dan meningkatkan
ketahanan pangan daerah.
Tak
lupa, Pahrian juga mengingatkan, semua pemangku kepentingan di sektor
perkebunan diharapkan, dapat memulai dialog mengenai redistribusi aset dalam
pembangunan perkebunan kelapa sawit.
“Supaya
dapat memformulasikan alternatif-alternatif penyelesaian kesenjangan penguasaan
pemanfaatan lahan, oleh korporasi yang bermartabat dan berkeadilan,” tulis
Pahrian. (muhlis suhaeri)Terbit di Suara Pemred, 16 Januari 2017 Foto dari Yayasan Palung
No comments :
Post a Comment