Film tentang Penyair Wiji Thukul,
“Istirahatlah Kata-Kata”
Menjadi Buronan itu Jauh Lebih Menakutkan dari.....
Anda
pengguna sosial media? Kebebasan berpendapat yang Anda nikmati hari ini, tidak lahir begitu saja. Ia hadir melalui
perjuangan dan keberanian orang-orang yang rela menanggalkan kehidupan
pribadinya. Dikejar aparat, terbuang bahkan ada yang hilang hingga kini.
Film Istirahatlah Kata-Kata dengan tokoh
sentral Wiji Thukul, diperankan secara apik oleh Gunawan Maryanto. Sebagai
pemain teater, gestur Maryanto sangat terlihat, saat bermain di film ini.
Adegan film Istirahatlah Kata-Kata
dibuka dengan suara panci berisi air yang sedang mendidih. Selanjutnya, adegan
beralih ke istri Wiji Thukul, Sipon (diperankan Marisa Anita) berbicara dengan
seorang intel, sambil merangkul anaknya (Fitri Nganti Wani).
Sang intel meski berbicara dengan gaya
santai, tetapi dengan tujuan dan karakter jelas. Intimidatif. Ia menanyakan
keberadaan Wiji Thukul.
Pelarian Thukul berawal ketika Partai
Rakyat Demokratik (PRD) dideklarasikan pada 22 Juli 1996. Lima hari selepas
deklarasi PRD, terjadi penyerbuan dan pengambilan paksa kantor Partai Demkorasi
Indonesia (PDI, kelak jadi PDIP) di Jalan Diponegoro 58, Jakarta Pusat.
Oleh pemerintah Orde Baru, PRD segera
dijadikan sebagai kambing hitam atas peristiwa Sabtu Kelabu tersebut. Seluruh
pengurus dan aktivis demokrasi di bawah naungan PRD, jadi target operasi.
Pemberitaan di berbagai media massa yang ketika itu berada dibawah tekanan
pemerintah Orde Baru, menyudutkan PRD. Thukul sebagai aktivis Jakker (Jaringan
Kerja Kerakyatan), di bawah naungan PRD, segera jadi target pengejaran.
Singkat kata, ia tiba di Kota Pontianak.
Di kota ini, dia disembunyikan di rumah Sylvester Thomas Daliman (dosen) dan
Martin Siregar (aktivis buruh dari Medan yang lari ke Pontianak).
Selama di Pontianak, Thukul hanya
bersembunyi. Ia tidak melakukan aktivitas politik, seperti yang dilakoni di
Solo, Tangerang atau Jakarta. Di sinilah, sisi-sisi kemanusiaan dan psikologi
seorang Thukul dikupas.
Dalam pelariannya, ia kerap mengalami
paranoid dan kekhawatiran dengan suara. Entah itu suara ambulan, sepeda motor,
sepatu lars serdadu, atau tangis bocah.
Dalam suatu dialog dengan Martin dan
Thomas, Thukul secara bergurau berucap, “Rejim ini bangsat tapi takut dengan
kata-kata. Menjadi buronan itu, jauh lebih menakutkan dari menghadapi sekompi Kacang
Ijo bersenapan lengkap yang membubarkan demontran.”
Martin, dalam wawancara dengan saya
berujar, saat pertama ke Pontianak, Wiji Thukul sangat paranoid. “Thukul selalu
curiga dan takut. Apalagi bila melihat orang berseragam tentara. Thukul
bergegar dan gemetar,” kata Martin.
Kondisi itu terjadi, karena Thukul
pernah mendapat poporan senjata di wajahnya, ketika mendukung aksi buruh Sritex
di Sukoharjo, Jawa Tengah. Karenanya, Martin harus mengembalikan semangat
Thukul, ketika berada di Pontianak.
Dalam film itu digambarkan, karena tak
bisa tidur selama berhari-hari, Thomas mengajak Thukul beli tuak. Dengan motor
tua, keduanya berboncengan malam-malam mencari minuman keras, khas Kalbar ini.
Eh, tak tahunya ketika hendak masuk ke
jalan kampung, seorang gila berlagak serdadu menghadang jalan. Tanya ke Thukul,
“Dari mana? Punya KTP?”
Karuan saja keduanya kelimpungan.
Untunglah, Thomas yang kenal sang serdadu menetralisir. Thukul adalah temannya.
Kenapa harus ditanya KTP-nya segala. Sejak itulah, Thukul dibuatkan identitas
baru di Pontianak.
Kondisi tak kalah sulit dialami Sipon.
Sebagai istri aktivis, Sipon kerap didatangi intel serdadu atau polisi. Ia juga
kerap mendapat cibiran dari tetangga. Dalam suatu pertemuan dengan Thukul,
Sipon ditanya dan bingung menjawab.
“Aku tidak ingin kau pulang, dan tidak
ingin kau pergi. Aku hanya ingin kau ada.”
Problem Penindasan Struktural
Menyaksikan film Istirahatlah Kata-Kata,
tak sekedar menyaksikan narasi besar sejarah yang dilihat dan dibangun dari arus
pinggiran. Ia juga menegaskan problem besar dari permasalahan di Indonesia,
bagaimana penindasan struktural dilakukan oleh negara, melalui elemen-elemen
pendukungnya. Seperti, militer, undang-undang yang tidak pro rakyat, dan sebagainya.
Sejarah suatu bangsa selalu dibangun
para penguasa. Mereka yang menentukan sejarah bangsa, akan dilihat seperti apa.
Tak heran bila sejarah yang ada saat ini, tak lepas dari sejarah arus utama.
Yang coba dibuat, dijaga dan dicekokkan kepada generasi penerus bangsa. Film
ini coba menepis itu.
“Kita tidak boleh melupakan arus
pinggiran. Sekarang ini, narasi Indonesia ditulis oleh orang-orang yang berkuasa,”
kata Yosep Anggi Noen, sutradara sekaligus penulis film ini.
Padahal, sejarah-sejarah dari arus
pinggiran itulah yang turut membangun dan punya andil besar, membangun sejarah
di Indonesia. Narasi pinggiran itu, membangun ranah yang bisa jadi lebih
intelektual.
Narasi yang dibuat melalui arus
pinggiran itu, terlihat dari tema utama yang diangkat. Yaitu, film biografi
Wiji Thukul. Kenapa pinggiran? Seperti kita ketahui, Thukul bukanlah seniman
arus utama. Yang puisinya merefleksikan arus besar puisi saat itu.
Thukul hanyalah buruh, aktivis, dan
seniman yang melihat segala problem yang ada di sekitarnya, dengan kaca mata
rakyat biasa. Namun, problem itu dia lihat tidak hanya yang nampak di permukaan
saja. Ia gali dan analisis hingga akar masalahnya. Misalnya, ketika Thukul
melihat pelacur.
Seorang pelacur, bila dilihat melalui
pendekatan moral, tentu saja orang yang dianggap tak memiliki moral. “Pendekatan
moral menjamah masalah saja tidak bisa, apalagi menyelesaikan masalah,” kata
Martin menirukan ucapan Wiji Thukul.
Oleh sebab itu, setiap persoalan di masyarakat
harus dikaji secara struktural. Pelacur itu tidak salah. Bapak atau keluarga
pelacur juga tidak salah. Tapi, pembangunan developmentalis
itu yang menciptakan kemiskinan, tutur Martin.
Permasalahan struktural sangat kental di
film ini. Meski tidak dijejalkan, tapi dia nampak dari adegan-adegan yang ditampilkan.
Misalnya, permasalahan mendasar tentang listrik. Dalam beberapa adegan di film,
mati listrik menjadi problem yang selalu dialami masyarakat, khususnya orang di
luar Pulau Jawa.
Listrik mati membuat orang tak bisa
bekerja. Anak menangis karena takut dengan kegelapan. Tak hanya di luar Jawa.
Problem struktural juga terjadi di Jawa.
Di Jawa, rakyat tidak bisa mengakses
perumahan yang layak. Padatnya penduduk di Jawa, membuat rakyat harus berdesakan
di lahan-lahan yang sempit. Bahkan, menyediakan MCK (mandi, cuci, kakus) untuk
keluarga sendiri pun, masih kesulitan. Alhasil, mereka harus berbagi fasilitas
MCK di tempat umum.
Ketika menggunakan fasilitas umum pun,
penindasan terhadap anak atau perempuan kerap terjadi. Misalnya, dalam adegan
itu, istri Wiji Thukul harus meminjamkan sikat gigi dan odol kepada seorang
tetangga.
Adegan yang digambarkan secara parodi tersebut,
membuat penonton tertawa. Hal itu sesungguhnya menyiratkan, problem struktural
yang terkadang tak kita sadari sepenuhnya.
Begitu pun ketika Sipon harus menemui
Wiji Thukul yang baru pulang dari Pontianak. Bagi perempuan, pergi ke hotel
untuk suatu keperluan, sesuatu yang diharamkam. Hotel adalah gambaran dan
hegemoni relasi yang maskulin. Tak heran bila Sipon dianggap pelacur, ketika
ada tetangga melihatnya ke sana.
Problem struktural juga muncul melalui
relasi kekuasaan aparatur tentara. Ketika Thukul dan Martin datang ke tukang
cukur. Thukul harus mengalah, karena ada anggota tentara yang ingin dicukur
duluan. Tak berhenti sampai di situ, aparat ini juga berbincang dengan gaya
khas, interogasi.
Lalu, kenapa Thukul memilih jalur
kebudayaan dalam perjuangannya? Pilihan itu tak lepas dari pemahamannya
mengenai sejarah panjang gerakan yang dipahaminya.
Ada tiga fase sejarah gerakan sejak
tahun 70-an. Pertama, perubahan sosial tahun 1970-1980, harus dilakukan secara idelogis.
Tapi gerakan itu ternyata gagal. Kedua, perubahan sosial tahun 1990, berbasis gerakan
sipil. Gerakan itu pun gagal. Karenanya, strategi gerakan selanjutnya, melalui
kebudayaan.
“Hal itulah yang diyakini Wiji Thukul,
sehingga dia muncul melalui gerakan kebudayaan,” kata Martin Siregar.
Film Istirahatlah Kata-Kata mengingatkan
pada pemerintah, masih ada pekerjaan rumah yang harus dituntaskan. “Penghilangan
terhadap aktivis harus ada yang bertanggungjawab. Apakah nanti mereka
rekonsiliasi atau apa terserah. Selama penghilangan ini belum diselesaikan atau
tidak ada yang bertanggungjawab, tidak akan bisa diselesaikan,” ucap Thomas
Daliman.
Menonton Film Istirahatlah Kata-Kata,
adalah melihat sisi lain dari aktivis Wiji Thukul. Bahwa, daya tahan hidup dan
kesunyian, juga ruang paling dalam dari suatu perjuangan.*
Terbit di Suara Pemred, 20-21 Januari
2017
Foto adegan dari film Istirahatlah Kata-Kata
No comments :
Post a Comment