Showing posts with label Essai. Show all posts
Showing posts with label Essai. Show all posts

Wednesday, May 13, 2009

Bangsa Tak Bisa Lindungi Warga

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Kemalangan seolah tak pernah lepas pada nasib pada para TKW dan TKI. Kejadian selalu berulang, dan tak ada penyelesaian hingga kini. Belum hilang ingatan kita pada nasib Maria Bonet yang disiksa majikannya, kembali peristiwa mengenaskan menimpa seorang TKW yang bekerja di Malaysia.

Meski sudah bekerja hingga tahunan lamanya, namun tak pernah mendapatkan gaji yang menjadi haknya. Lebih mengenaskan lagi, karena akan diperkosa, ia harus terjun dari lantai dua rumah majikannya, sehingga tulang pinggangnya patah.

Banyaknya warga negara Indonesia yang harus merantau ke Malaysia, memang tak berdiri sendiri. Kurangnya pekerjaan yang tersedia di tanah air, membuat mereka terpaksa bekerja di negeri tetangga, tanpa perlindungan dan hukum yang jelas.


Negara seolah tak mampu melindungi warga negaranya. Sehingga kejahatan, siksaan, pemerkosaan kembali terjadi, pada para TKW ini. Tak adanya hukuman dan penyelesaian masalah, membuat para majikan di Malaysia, dengan berani melakukan pelanggaran dan kesalahan. Ini juga yang membuat berbagai rangkaian kejahatan lainnya, kembali terjadi dan terjadi lagi.

Rangkaian peristiwa demi peristiwa, semakin menjelaskan bahwa, negara sudah tidak bisa melindungi warganya. Padahal, sudah semestinya negara melindungi warganya, dimanapun mereka berada. Sudah menjadi kewajiban sebuah negara, memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi warganya.

Apakah sudah sedemikian banalkah, hukum di negeri ini? Sehingga berbagai pelecehan, kejahatan yang terjadi pada warganya, dibiarkan begitu saja? Di mana fungsi negara, ketika semua yang terjadi, tak ada penyelesaian dan jalan keluarnya?

Ini tentu sesuatu yang ironis. Ketika para elit politik sedang saling berlomba untuk menarik perhatian dengan berbagai janji dan solusi. Namun, permasalahan yang berada di depan mata, tak pernah dilihat dan diselesaikan. Atau, karena elit politik memang hanya bicara mengenai kekuasaan yang ingin mereka raih saja. Karenanya, mereka menutup mata, pada berbagai peristiwa yang terjadi.

Haruskah nasib anak bangsa ini, selalu tercabik pada tangan-tangan yang tak menggunakan dasar hukum dalam menyelesaikan sebuah permasalahan. Yang selalu membiarkan segala kejahatan berlalu begitu saja, tanpa berusaha untuk menyelesaikannya.

Atau sudah matikah nurani kita sebagai bangsa. Sehingga hal-hal demikian dianggap sebagai sesuatu yang biasa. Karenanya, tak perlu diselesaikan dan dibiarkan begitu saja. Kalau memang demikian kenyataannya, sampai kapan pun, kita sebagai bangsa, tidak bakal bisa berdiri tegak, dan menatap sebuah masa depan yang menghadang di depan. Sebab, sebagai bangsa kita sudah tidak memiliki solidaritas dan kepedulian pada sesama.

Edisi cetak ada di Borneo Tribune 13 Mei 2009

Baca Selengkapnya...

Wednesday, March 11, 2009

Benahi Infrastruktur di Masyarakat

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak

Sebanyak lima kecamatan di Kabupaten Sintang, dikhawatirkan bakal mengalami rawan pangan. Rawan pangan disebabkan, akses transportasi produksi sangat terhambat. Akibatnya, transportasi jalur distribusi menjadi macet, pemasaran dan konsumsi masyarakat juga terganggu.

Dengan terganggunya jalur distribusi, berimbas pada naiknya harga barang kebutuhan pokok dan standar kehidupan di wilayah itu. Masyarakat harus alami kesulitan hidup, akibat tidak baiknya infrastruktur yang ada.

Pemerintah harusnya memberikan perhatian yang baik, bagi pembangunan infrastruktur yang ada. Sehingga kehidupan yang baik bisa diperoleh warga. Hal itu sudah menjadi kewajiban bagi sebuah pemerintah, untuk memfasilitasi warganya dengan pembangunan berbagai fasilitas.


Dengan pembangunan berbagai sarana dan prasarana, berbagai lingkup kehidupan bisa dijalankan. Pembangunan jalan dan berbagai infrastruktur juga menghidupkan berbagai potensi yang ada. Dengan munculnya potensi, otomatis akan menggerakkan ekomoni dan kehidupan warga.

Ketika pembangunan berbagai fasilitas tidak bisa dilakukan, hal yang selalu dikatakan adalah, minimnya dana yang dimiliki dalam melakukan berbagai pembangunan tersebut. Dan, ketika dana muncul dan pembangunan bisa dilakukan, berbagai pemotongan terhadap dana pembangunan infrastruktur tersebut, bakal terjadi.

Akibatnya, proyek dan hasil pembangunan yang dilakukan, tidak bisa berjalan dengan maksimal, karena dilakukan dengan dana minim. Ini tentu saja berimbas pada kualitas infrastruktur yang dihasilkan.

Kejadian itu seperti lingkaran setan yang terus terjadi. Yang dikorbankan tentu saja kepentingan rakyat. Repotnya lagi, hal itu tidak disikapi dengan sebuah sikap yang kritis dalam melihat berbagai permasalahan ini.

Semua tertunduk diam dan seolah menyetujui praktek yang terus saja terjadi. Masyarakat diam. Dewan diam. Aktivis diam. Pers diam. Semua elemen di masyarakat diam tak bersuara. Hasilnya, kemiskinan struktural bakal terus terjadi, karena penjajahan dan pembiaran terhadap kesewenang-wenangan, bakal terus menggurita itu, tak ada yang melawannya.



Baca Selengkapnya...

Sunday, February 22, 2009

Vandalisme Pembangunan

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak

Ada sesuatu yang selalu membuat aku resah, akhir-akhir ini. Sebuah peristiwa yang begitu menyakitkan. Penghancuran sebuah situs sejarah dan cagar budaya.

Kalaupun mereka tidak mengakui bangunan itu termasuk dalam kategori kedua determinasi yang dibuat, apakah mereka bisa mengelak, bahwa di bangunan itulah, sebuah proses sejarah dari daerah yang bernama Kalimantan barat, tak bisa dilepaskan dari bangunan yang dirobohkan.

Ini namanya vandalisme!!!


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 1989), vandalisme adalah perbuatan merusak dan menghancurkan hasil karya seni dan barang berharga lainnya. Bisa berupa keindahan alam, bangunan, fasilitas umum, dan lainnya.

Vandalisme seringkali muncul dalam berbagai aktivitas yang bersifat negatif. Misalnya, mencorat-coret dinding bangunan, fasilitas umum, bahkan, merusak benda cagar budaya.

Di sebagian besar kota di Indonesia, tindakan vandalis kerap muncul dan menampakkan wajahnya yang lebih nyata, dalam berbagai bentuk dan ekspresi. Ada kemarahan, ketidakteraturan, dan tindakan tidak bertanggung jawab.

Bagaimana dengan proses pembangunan?
Vandalime kerap muncul dalam wujudnya yang lebih nyata, melalui pembongkaran berbagai bangunan situs bersejarah dan cagar budaya. Bagi yang tidak memahami sejarah perkembangan sebuah kota, memahami konteks sejarah dan pembentuk peradaban kota, akan dengan mudah melakukan vandalisme.

Atas nama pembangunan dan perkembangan kota, berbagai bangunan sejarah dan cagar budaya, dengan mudah digusur dan dirobohkan. Padahal, bangunan itulah yang menghubungkan masa lalu perkembangan sebuah masyarakat, dengan masa kini dan masa yang akan datang.

Pembongkaran bangunan bersejarah dan cagar budaya, bakal menghilangkan tali sejarah. Tindakan itu juga menghilangkan ingatan sejarah masyarakat, tentang apa yang pernah terjadi. Sejarah dibuat terputus.

Bisa dibayangkan, apa yang terjadi dengan sebuah masyarakat, yang berjalan tanpa memahami sejarah, dan pembentuk jati dirinya. Jawabannya adalah, masyarakat yang amburadul.

Pontianak sudah kehilangan sejarah dengan pembongkaran bangunan penjara menjadi Rumah Sakit Santo Antonius (RSAA). Padahal, di penjara ini, beberapa pahlawan Kalbar yang berjuang melawan penjajah, ditembak dan dieksekusi.

Dengan roboh dan hilangnya bangunan, ingatan masa lalu tentang tempat kejadian, turut pula hilang. Bangunan yang menjadi pengingat dan pengikat pikiran manusia, tentang sebuah peristiwa heroik dan keberanian para pahlawan yang berani mengorbankan nyawa demi kemerdekaan sebuah bangsa, turut hilang.

Bangunan yang menjadi cantelan masa lalu, kini dan masa depan, tak lagi bisa mengikat pikiran sebuah masyarakat, tentang orang yang telah dengan gagah berani mengobarkan nyawanya. Demi tujuan luhur yang tak pernah mereka nikmati dan rasakan.

Ironis memang. Pikiran dan ingatan masa lalu masyarakat diputus begitu saja, tanpa ada yang merasa kehilangan atau mempertanyakan. Atau, kita memang telah begitu bebal, sehingga tak menyadari atau memang tidak mau tahu. Bahwa, eksistensi kekinian manusia, berawal dan berwujud dalam sebuah rangkaian panjang yang bernama sejarah. Dan kita tak pernah mau tahu, arti dan apa pentingnya rangkaian itu bagi diri kita, lingkungan dan bangsa ini.

Kejadian terbaru di Pontianak adalah, dirobohkannya sebuah rumah yang memiliki nilai sejarah. Dari sinilah orang tahu, di Kalbar pernah menjadi Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB). Rumah itu pernah ditinggali para pendiri, dan orang yang begitu peduli dengan keberadaan Kalbar. Tercatat, Sultan Hamid II, Ovaang Oeray, pernah tinggal dan menempati rumah itu. Juga beberapa penerusnya.

Pembangunan yang tidak menggunakan berbagai pendekatan, kontek budaya, dan sosial, memang cenderung bersifat merusak. Yang muncul hanya pendekatan bersifat kamuflase. Seremoni. Dan, hal-hal yang hanya bersifat permukaan.

Tak menjawab isi dan konteks.□

Edisi cetak ada di Borneo Tribune 22 Februari 2009
Foto dari hellojupiterart.com


Baca Selengkapnya...

Wednesday, February 18, 2009

Budaya Mistik

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak

Manusia Indonesia tak bisa dipisahkan dari budaya mistik. Karena itulah, ketika Tan Malaka menulis buku Madilog, singkatan dari Materialisme, Dialektika dan Logika, antara 1942-1943, memberi penekanan besar pada pentingnya menggunakan rasionalitas atau akal pikiran, untuk membuat sebuah keputusan dalam menentukan sebuah sikap.

Manusia sebagai mahluk sosial, selalu berinteraksi dengan masyarakat. Karenanya, sangat penting menggunakan akal dan rasionalitas. Namun, pada kenyataannya, hingga penghujung abad ke 21, masyarakat Indonesia masih tetap percaya dengan sesuatu yang mistis. Padahal, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, sudah begitu berkembang. Bahkan, manusia sudah berpikir dan berusaha tinggal di luas angkasa. Anehnya, budaya kita malah mundur dan bergerak kebelakang.


Salah satu contoh adalah, kepercayaan masyarakat untuk berobat pada seorang tabib kecil, Ponari. Hanya berbekal batu yang dicelupkan ke air, orang berduyun-duyun datang untuk berobat demi sebuah kesembuhan. Bagaimana mungkin, manusia menyandarkan nasibnya dari seorang bocah kecil, yang untuk mengurusi dirinya saja tak sanggup. Malah dijadikan sebagai tabib untuk mengobati kesembuhannya. Sesuatu yang tak masuk akal dan penalaran.

Bukan kesembuhan yang didapat. Yang ada malah nyawa melayang, karena orang tidak sabar dan saling berdesakan.

Ini sesuatu yang ironi. Bagaimana dalam Iptek yang semakin global dan maju seperti sekarang, manusia malah berpikir mundur, dan tak menggunakan rasionalitas dalam menganalisa sesuatu.
Sikap ini memang tak berdiri sendiri. Pendidikan memegang peran penting, dalam sikap dan budaya masyarakat. Kemiskinan yang sudah begitu akut, dan buruknya sistem kesehatan, turut menyumbang sikap masyarakat dalam memandang nilai sebuah pengobatan. Mahalnya biaya pengobatan di masyarakat, juga mendorong orang mencari jalan pintas, bagi suatu penyakit yang diderita.

Apa boleh buat, sesuatu yang tak masuk akal dan penalaran, jadi sandaran dan pilihan masyarakat, ditengah mahal dan sulitnya akses kesehatan. Kalau sudah begini, apa kata dunia......?!?

Edisi cetak ada di Borneo Tribune, 18 Februari 2008
Gambar diambil dari nextreformation.net

Baca Selengkapnya...

Sunday, February 15, 2009

Bertemu Kawan Lama

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak

Bertemu kawan lama merupakan suatu kebahagiaan tersendiri. Ada banyak cerita dan hal baru bisa kita dengar dan dapat, dari kawan yang telah lama tak bertemu. Seperti cerita yang bakal aku paparkan kali ini.

Pada sebuah siang, telepon genggam berdering. Istri yang mengangkat, karena kebetulan aku tak berada di dekat telepon tadi. Sebuah suara dari seberang terdengar. “Suaranya berat dan sopan,” kata istriku, “Aria Kusumadewa.”

Oh, kataku.


Aku menelepon balik. Ini kebiasaanku. Bukankah, kalau ada orang yang menghubungi kita, adalah sebuah kewajiban untuk meneleponnya kembali. Atau mengucapkan terima kasih, bila ada yang memberikan informasi melalui SMS yang diberikan. Siapapun dia.
Singkat kata, Aria mau berangkat ke Singkawang, untuk membuat suatu dokumenter mengenai budaya Cap Go Meh.

Aku menjemputnya di Bandara Supadio. Dia bersama rombongannya dari Jakarta. Ada Leoni, mantan Trio Kwek-kwek yang sekarang menjadi artis sinetron dan film. Leoni main di film terbaru Aria, yang berjudul Identitas. Dalam film itu, Dedi Miswar dan Coki Situmurang, menjadi eksekutif produser dan produsernya.

Leoni datang bersama kedua orang tuanya. Kebetulan, dia ada acara juga di Jawai, Sambas. Kami berangkat bersama.

Bertemu Aria, ibarat bertemu magnet yang luar biasa besar. Dia selalu menyebarkan energi tentang kreativitas, kekaryaan dan pencapaian. Dalam banyak hal dan kekaryaan, aku sering satu ide dengannya. Kegelisahannya tentang kondisi dan realitas di sekitarnya, dia tuangkan dalam media yang dikuasainya, film.

Sejak mengenalnya ketika, dia membuat Novel Tanpa Huruf R pada 2001, aku mulai mengenal dan memahami berbagai ide, realitas dan simbol-simbol yang selalu dimunculkan dalam film dan karyanya.

Simbol yang kadang membuat orang lain meradang, karena tak memahami dan mengusik sisi-sisi kemapanan, dan cara beragama yang cenderung dogmatis dan tak menghargai perbedaan dan pluralitas. Ia tak suka dengan perbedaan, yang selalu dipertajam dengan berbagai perilaku, demi kepentingan politik dan kekuasaan.

Filmnya selalu menguak hegemoni kekuasaan dan perilaku manusia-manusia di dalamnya, dengan cara satire dalam setiap adegan dan shot di filmnya.

Aria selalu menghadirkan realitas dan sisi kehidupan manusia yang paling ekstrem sekalipun. Filmnya, menjadi cermin dari kehidupan manusia. Kehidupan yang timpang, retak dan tak berbentuk. Manusia bakal dibuatnya gelisah, karena realitas yang ditampilkannya.

Mereka bakal “marah” karena ia menguliti bopeng wajah kehidupan manusia. Aneh memang. Ketika manusia diperlihatkan pada ketidaksempurnaan yang mereka miliki, mereka bakal tak menerimanya. Karena, manusia terkadang memang lebih suka dipuja-puja dan disanjung. Kritik dianggap sebuah permusuhan. Padahal, kritik sebenarnya adalah bagian dari kasih sayang, yang merepresentasikan wujudnya dalam bentuk lain.
Nyatanya, manusia memang lebih suka berada dan memposisikan diri sebagai, manusia yang selalu dipuja dan disanjung atau menjadi para penjilat. Apalagi bagi mereka yang suka dan gila kekuasaan.

Ah, dia memang “nakal”. Selalu mengkritisi dan mengusik sisi-sisi kemapanan sebuah sistem sosial. Membuat pertanyaan pada publik dengan caranya sendiri.

Hampir semua film Aria, melibatkan unsur live, science dan religion. Ada kehidupan, ilmu pengetahuan, dan religi. Tiga sudut pandang itu selalu ada dalam filmnya.
Bahkan, dalam trilogi film yang bakal dibuatnya, tiga unsur itu juga bakal hadir. Tiga film yang digabung menjadi satu itu, atau biasa disebut three angle movie, berjudul Tuhan Beri Aku Kentut, mengenai politik atau science. Identitas, mengenai kehidupan. Metamorfosa, mengenai religi.

Dia memberikan skenario tiga film itu. Aku menyimpannya di laptop. Membacanya. Menganalisanya. Membuat beberapa catatan. Dan, aku tersenyum sendiri.

Ah, Aria Kusumadewa. Kamu masih saja nakal, ya….

Edisi cetak ada di Borneo Tribune, 15 Februari 2008
Foto dari fourstarters.com


Baca Selengkapnya...

Wednesday, February 4, 2009

Tragedi yang Terus Berlanjut

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak

Alat transportasi kita, selalu membuat kita was-was dan tidak merasa aman. Pasalnya, belum adanya standar yang baik, membuat alat transportasi, bukannya tempat yang nyaman, dan kawan yang baik bagi sebuah perjalanan. Tapi, menjadi ancaman ketika orang harus melakukan sebuah perjalanan.

Setiap tahun kita selalu mengalami peristiwa memilukan, berupa tenggelamnya kapal karena gelombang dan kelebihan muatan. Atau jatuhnya pesawat, karena kesalahan teknis dan manusia. Satu peristiwa belum usai, muncul peristiwa lain yang serupa.


Peristiwa kecelakaan laut contohnya. Peristiwa ini terus saja terjadi, karena tidak adanya disiplin dari nahkoda dan warga, yang tidak memedulikan keselamatannya. Nahkoda tidak disiplin, karena tidak mematuhi imbauan dari Badan Metereologi dan Geofisika (BMG) atau pihak berwenang lainnya. Bahwa, kapan gelombang besar dan kapal diperingatkan tidak untuk berlayar.

Nahkoda juga dianggap memasukkan penumpang melebihi kapasitas. Ini bisa dilihat, dari banyaknya korban yang tenggelam, tidak memiliki tiket kapal. Ini bisa terjadi, karena dengan tidak adanya tiket, uang yang masuk demi kepentingan sang nahkoda dan awak kapal yang lain.

Begitu juga dengan penumpang yang tidak memikirkan keselamatan dirinya sendiri. Sehingga naik kapal tidak menggunakan tiket secara resmi. Atau karena alasan buru-buru, sehingga tidak mendapatkan tiket secara resmi.

Akibatnya, ketika ada petaka, mereka juga yang alami kerugian sendiri, karena tak ada yang menjamin dan menanggung mereka, ketika muncul masalah seperti asuransi.

Seharusnya, pemerintah dan dinas terkait, bertindak tegas dalam mengatasi masalah ini. Sehingga peristiwa yang sama tidak terulang. Adanya peristiwa yang terjadi, juga tidak ada sanksi tegas. Sehingga mereka yang melanggar dan membahayakan keselamatan bersama, ditindak dan jera melakukan kesalahan yang sama.

Tak adanya penyelesaian kasus dan penyelidikan yang dipublikasikan secara transparan ke masyarakat, turut membuat masalah ini selalu berulang setiap saat. Hal ini menandakan, tidak adanya efek jera bagi mereka yang melakukan. Sehingga tidak bisa menjadi pelajaran bagi yang lain, untuk tidak melakukan kesalahan yang sama.

Oleh karena itu, perlu ada suatu tindakan dan sanksi yang tegas, bagi permasalahan ini. Supaya semua orang merasa aman, ketika melakukan suatu perjalanan. Begitu juga dengan orang yang berada di rumah, merasa tenang saat anggota keluarganya sedang melakukan perjalanan.

Pemerintah sebaiknya harus melakukan inspeksi dan introspeksi diri, bagi kelangsungan hidup warganya. Caranya dengan membuat suatu peraturan dan pengawasan yang ketat, terhadap berbagai peraturan yang sudah dikeluarkan. Sehingga, orang merasa aman, ketika melakukan perjalanan. Harusnya, angkutan massal bukan menjadi ancaman. Apalagi menjadi alat pembunuhan massal bagi warga.

Edisi cetak ada di Borneo Tribune 4 Februari 2009.
Gambar diambil dari public-domain.zorger.com.

Baca Selengkapnya...

Sunday, February 1, 2009

Tuhan dan Seniman

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak

Ada tiga kelompok komunitas yang aku sangat suka bergaul di dalamnya. Pengacara, Seniman, dan jurnalis. Namun, bukan berarti aku tidak suka bergaul dengan kelompok dan komunitas lainnya.

Berdasarkan suatu riset, tiga kelompok ini, merupakan profesi yang membutuhkan kemampuan intelektualitas tinggi. Ada beberapa alasan, kenapa aku suka bergaul di tiga komunitas itu. Aku suka bergaul di komunitas pengacara, karena mereka ini orang yang cerdas. Cara mereka berpikir. Cara mengemukakan pendapat dan membangun analisa, sangat baik dan mengesankan. Logika dan penalarannya sangat baik. Tak heran, mereka ini merupakan orang-orang yang flamboyan. Dan, salah satunya, jago menaklukkan perempuan dengan berbagai argumen yang dibangun.


Pada awal 2000-an, sebagian besar pengacara top di Jakarta, pernah aku wawancara. Aku senang saja mendengarkan cara mereka bicara. Mengkonstruksi fakta dari asumsi, dalil hukum, menjadi sebuah bangunan baru bernama pembelaan dan pembenaran. Terhadap siapa, itu lain hal. Tergantung ideologinya.

Bergaul dengan jurnalis, karena mudah menyambung saja ketika berbincang. Tahu kondisi terkini, dan isu-isu terbaru.

Bergaul dengan seniman? Nah, ini dia. Aku paling suka dengan mereka. Alasannya, mereka orang pilihan Tuhan. Yang diberi ilmu dan kemampuan, untuk mewujudkan keberadaan dan kesejatian Tuhan. Dalam bahasa sederhananya, Tuhan yang semula abtrak, menjadi nyata lewat kekaryaan, karya dan karsa para seniman. Tuhan mewujud dalam bentuknya yang lebih nyata.

Coba bayangkan! Dari mana munculnya lagu yang enak didengarkan. Lukisan yang indah dilihat. Novel yang enak dibaca dan dijadikan pelajaran. Film yang menggugah dan menginspirasi, dan karya seni atau produk kebudayaan lainnya. Semua tidak bakal tercipta, kalau para seniman tidak mendapat ilham dan bertransformasi dengan Sang Pencipta.

Mencipta bukan perkara mudah. Harus ada ide. Ada pemahaman terhadap suatu masalah. Ada kontek yang menghubungkan karya dengan suatu peristiwa, isu, paham atau ideologi, dan lainnya. Setelah semua itu didapat, tentunya harus ada kemampuan menuangkannya, pada media berbagai media yang dikuasai dan dimiliki.

Karenanya, aku semakin yakin saja, bahwa Tuhan yang penuh dengan sifat yang Maha itu, juga seniman. Kalau tidak, pasti tak bakal tercipta apapun di dunia ini.

Repotnya lagi, orang yang mengaku dekat dengan Tuhan, terkadang menghapuskan karya-karya kebudayaan dan seni, demi pemurnian penyembahan terhadap Tuhan. Munculnya agama, meminggirkan atau malah menghapus kebudayaan lokal. Padahal, adat istiadat dan budaya, dijadikan pintu masuk bagi penyebaran sebuah agama. Ironis, ya.

Parahnya lagi, orang meneriakkan nama Tuhan, untuk melarang dan menghalangi pelaksanaan suatu kegiatan budaya dan adat istiadat, yang penuh dengan karya dan keindahan itu.

Alamak........jangan-jangan, mereka sendiri tak kenal, siapa itu Tuhan. Atau, mengenal Tuhan, hanya di tenggorokan saja. Bukan di hati. Atau, dalam polah dan tingkah nyata di kehidupan sehari-hari.□

Edisi cetak ada di Borneo Tribune 1 Februari 2009
Gambar diambil dari tattoo4u.co.uk

Baca Selengkapnya...

Sunday, January 18, 2009

Topi dan Sebuah Kisah

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak

Apa terjadi di dunia ini, terkadang paradok dan bertolak belakang. Ada suka, ada duka. Ada kejujuran, ada kebohongan. Ada perdamaian, ada peperangan. Repotnya lagi, dua kata itu seolah selalu bersanding, bila kita menyebutkan satu kata diantaranya.

Begitu juga dengan pengalamanku. Ada pengalaman yang membuat aku gembira, sekaligus sedih. Begini ceritanya: seorang adik kelas ketika kuliah jurnalistik di Jakarta, tiba-tiba datang ke kantor Borneo Tribune di Pontianak.


Ia kameramen televisi berita nasional di Jakarta. Pagi itu, ia datang bersama reporter perempuan. Setelah bercerita dan bicara banyak tentang profesi kami, ia minta diantarkan ke salah satu narasumber, yang pernah aku wawancara.

Oh, bolehlah, jawabku.

Tak berapa lama, kami sampai di sebuah rumah. Letaknya di sudut jalan. Rumah itu sederhana. Sebagian halamannya, tergenang banjir, bila ada air pasang.

Seorang pemuda keluar rumah. Ia mempersilakan kami masuk. Kami berbincang. Di sudut ruangan, pada sebuah kursi, seorang tua sedang duduk. Ia menyandarkan badan dan kepalanya di kursi. Tangannya selalu bergerak tak teratur. Ia terkena parkinson.

Setelah berbincang-bincang, kami mengemukakan tujuan kedatangan. Begitu mendengar maksud kedatangan, si anak empunya rumah langsung berkata, ”Bukannya tidak boleh wawancara dengan Bapak, tapi kondisi beliau sudah droup,” katanya.

Sejenak, ia melihat ke arah bapaknya yang duduk di kursi.
”Bapak, ini ada orang mau wawancara.”
”Tak ingat. Lupa.”

Yah, kami percaya, ketika melihat kondisinya. Ia sudah sepuh. Tak mungkin mewawancarainya. Kami maklum. ”Sudah enam bulan ini, kondisi bapak droup,” katanya.

Ia bercerita, bahwa ada jurnalis yang setahun lalu, wawancara dengan bapaknya. Ketika itu, kondisi sang bapak masih bagus. Ia juga sedang giat-giatnya ingin bercerita. Banyak hal ingin disampaikan. Pengalamannya segudang. Namanya juga orang tua.

Sang bapak adalah mantan Waasintel Kodam Kodam XII Tanjungpura, pada 1967. Ketika itu, Kodam masih berada di Kalbar. Sekarang, markas Kodam VI ada di Balikpapan. Ia tahu banyak tentang sejarah pergolakan di Kalbar.

Si empunya rumah cerita, sang jurnalis lupa dengan barangnya. ”Tuh, topinya tertinggal di sini,” katanya, sambil menunjuk sebuah topi warna hitam. Topi itu dicantolkan pada sebuah paku. Debu memenuhi permukaan topi.

Aku langsung deg-degan. Jangan-jangan.

Ah, ternyata benar. Topi itu modelnya seperti yang biasa dipakai tentara Mao Tse Tung, dari China. Aku sangat menyukai topi ini. Semenjak kuliah selalu memakai model topi ini. Bukan bermaksud kekiri-kirian, tapi memang menyukai modelnya. Dengan model rambut yang selalu panjang, kalau memakai topi itu, kayak tokoh revolusioner dari Kuba, Che Guevara. Begitulah, pikiranku kalau sedang memakai topi itu. Waakakakakak......

Aku memang pelupa. Sering kehilangan barang. Terutama rokok dan korek api. Padahal, aku perokok aktif. Dan, topi itu, korban dari otak yang selalu pelupa ini. Sering kali istri marah, karena kalau mau berangkat kerja, kunci, atau apapun selalu tertinggal. Kami harus balik lagi ke rumah.

Karena kebiasaan inilah, istri sering senewen. Dan, aku menanggapinya dengan ringan saja. ”Yaaaaa, yang penting tidak lupa sama anak dan istri.”

Tapi, istriku tahu betul, kalau aku selalu ingat setiap kalimat penting, dari orang yang aku wawancara. Misalnya saja wawancara lima orang dalam satu hari. Hasil wawancara sudah jadi dalam bentuk tulisan di kepala. Beserta kalimat pembuka, alur cerita, berbagai kutipannya, dan kalimat penutupnya.

Ketika mengantar adik kelas itulah, aku dapat pengalaman cukup kontadiktif dalam hidupku. Aku senang karena menemukan topi kesayanganku. Tapi, juga sedih, karena tak bisa menggali sumber sejarah untuk Kalbar.

Ironis memang. Topi itu menghubungkan aku dengan sebuah realitas. Seiring dengan berjalannya waktu, makin banyak sumber dan saksi sejarah, bakal hilang. Meninggal termakan usia.

Aku jadi berpikir, bagaimana sejarah Kalbar kedepan, bisa dipelajari para generasi penerus. Ketika semuanya saksi sejarah sudah meninggal.

Di zaman yang serba materialistik seperti sekarang ini, segala pencapaian dan ukuran sukses, hanya dihitung berdasarkan barang apa yang mereka miliki. Orang tidak berpikir tentang sejarah yang menciptakan diri, lingkungan dan kesejatian mereka.

Bah, menyebalkan....□

Edisi cetak ada di Borneo Tribune 18 Januari 2009

Baca Selengkapnya...

Sunday, January 11, 2009

Negeri Dongeng

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak

Ini negeri dongeng. Tempat antara batas realitas dan fiksi, sungguh terasa absurd dan tak bertepi.

Ini negeri dongeng. Tempat para begajul dan lanun, coba mencitrakan diri jadi malaikat dan peri. Tak heran, berbagai cara ditempuh untuk menyepuh daki, dan menggantinya agar terlihat bersinar dan tak basi.

Ini negeri dongeng. Karenanya, siapapun Anda, bakal bisa dipilih dan dijadikan pemimpin. Tentunya, bila Anda berani mengumbar banyak uang, untuk menyogok dan membayar para pemilih. Dan, jangan lupa, kawan, ini bisa dilakukan dengan berbagai paket. Mulai dari paket kecil hingga besar. Sendiri atau rombongan.

Ah, pokoknya gampang diatur itu.


Lalu, setelah terpilih, Anda berhak merampok dan menguras habis semua yang ada. Toh, Anda sudah mengeluarkan modal, bukan? Anggap saja impas. Kebebasan diserahkan sepenuhnya. Tergantung sejauhmana perut Anda sanggup menampung, apa yang bakal Anda makan.
Eeiit, tunggu dulu. Masih ada fasilitas lagi. Anda bisa memilih semua fasilitas sebagai tambahan. Liburan di pulau terpencil, lengkap dengan berbagai fasilitas ”plus-plus” di dalamnya.

Ini negeri dongeng. Karenanya, Anda boleh melabrak siapa saja, yang telah mencela dan mengkritik reputasi Anda.

Menculiknya. Membanduli kepalanya dengan batu. Menyemplungkannya ke danau dalam dan tak berdasar. Bahkan, menggelitiknya, hingga orang itu semaput sekalipun. Anda punya banyak fariasi untuk melakukannya. Toh, semuanya diperkenankan. Jangan takut bakal melanggar HAM.

Di negeri dongeng ini, HAM, demokrasi, nilai kemanusiaan, hanya barang picisan. Ia hanya laku sekopek. Sepicis. Mungkin, malah tak ada harganya sama sekali.

Oh, ya, satu lagi. Ini masih negeri dongeng yang sama. Anda tak diperbolehkan mengeluarkan pendapat melalui lisan atau tulisan. Bakal kena cekal. Buku Anda bakal kena bakar.

Di negeri dongeng ini, tak dibutuhkan akal dan pikiran. Semua masalah bisa diselesaikan dengan sangat singkat, efektif dan tuntas. Sikat dan bakar.

Tak mengherankan bila, berdasarkan riset terbaru, kondisi otak manusia di negeri dongeng, masih sangat bagus dan orisinil, hingga ajal menjemput. Maklumlah, semasa hidup, otak itu tak pernah dipakai dan dipergunakan.

Ini negeri dongeng. Jadi, jangan marah dan tersinggung, ya.....Hikss, namanya juga dongeng.?

Edisi cetak di Borneo Tribune, 11 Januari 2009

gambar dari http://www.g2glive.com

Baca Selengkapnya...

Monday, December 1, 2008

Mengenalkan Realitas

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak

Si Budi kecil kurus menggigil
Menahan dingin dengan jas hujan
Di suatu sore Tugu Pancoran
Tunggu pembeli jajakan koran

Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu
Demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu.....

Setiap mendengar lagu Sore Tugu Pancoran dari Iwan Fals, aku selalu teringat pada si kecil yang sedang bermain di rumah. Lagu itu bercerita tentang si Budi, anak kecil yang harus berjualan koran, untuk membiayai hidup dan sekolahnya. Budi selalu ngetem di sekitar Tugu Pancoran, Jakarta.


Sebagai orang tua yang sedang memiliki anak kecil, setiap mendengar lagu itu, selalu membuat hatiku serasa dikoyak-koyak. Kenapa harus ada anak kecil berkeliaran di jalan-jalan, untuk mencari sesuap nasi. Padahal, seumuran dia harus bersekolah dan menikmati masa kecil bersama teman-temannya. Pada dunianya.

Namun, inilah realitas. Apapun bentuk dan wujudnya, realitas memang cenderung ekstrem. Ia punya dua sisi yang seolah bisa saling memotong. Berseberangan. Tapi selalu duduk dan berdiri sejajar.

Ada kebahagiaan, tentu ada duka. Ada persahabatan, pasti ada penghianatan. Ada penghargaan, mungkin cacian.

Semua bentuk atau kata sifat itu, selalu melekat. Meski saling bersimpangan realitasnya, tapi ia selalu digunakan sebagai satu kata, untuk menemukan suku kata lainnya. Aneh memang. Begitulah realitas.

Karenanya, aku selalu ingin mengenalkan sebuah realitas pada anak-anakku kelak, sebagai sesuatu yang harus ditelaah. Dikenal. Didekati. Agar, ia tak trauma ketika mengalami suatu realitas yang membahayakan. Atau, ia tak lupa diri, ketika mendapatkan suatu kesuksesan. Aku akan selalu mengajarkannya, kembali ke Titik Nol. Kembali ke asal. Sehingga, ia tak perlu sombong dengan prestasi yang telah diraih.

Aku juga akan mengajak anak-anakku, untuk jalan-jalan ke berbagai lorong yang kotor dan menjijikkan. Agar, ia tahu sebuah realitas kekumuhan di kotanya. Atau, mengajaknya makan di Warung Tegal (Warteg) atau warung emperan. Agar, ia tahu masyarakat kecil yang berada di sekitarnya. Tapi, dia juga akan aku ajak untuk makan di restoran paling mahal sekalipun, agar ia tak minder dan rendah diri dalam bergaul. Juga, mengenalkan sebuah dunia lain.

O...O...ternyata, anak-anakku masih kecil. Ah, rasanya sudah tak sabar untuk melakukannya.□

Edisi cetak ada di Borneo Tribune 1 Desember 2008


Baca Selengkapnya...

Saturday, March 1, 2008

Perumahan yang Layak

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak

Menikmati kehidupan yang baik dan layak adalah dambaan setiap orang. Kehidupan yang baik, indikasinya bisa dilihat dari terpenuhinya berbagai kebutuhan pangan, sandang, dan papan.

Ketiga kebutuhan itu, merupakan kebutuhan dasar yang harus dimiliki setiap warga. Semua saling terkait. Orang tanpa makanan, tentu tak bisa hidup. Tanpa pakaian, badan akan sakit. Orang hidup tanpa rumah, tentu menyengsarakan.

Nah, dari semua kebutuhan itu, dapatkan masyarakat dengan mudah mengakses dan mendapatkannya?


Baiklah mari kita lihat bersama. Untuk mendapatkan pangan atau sandang, meski sulit, mungkin masyarakat tidak terlalu sulit mendapatkannya.

Makanan, meski dalam taraf sederhana atau belum begitu terpenuhi asupan gizinya, orang bisa mendapatkannya. Begitu juga dengan pakaian. Lalu, bagaimana dengan pemenuhan perumahan?

Agaknya, hal ini masih menjadi kendala dan permasalahan hingga kini.

Ketika kita ingin mendapatkan sebuah rumah, berbagai birokrasi yang begitu panjang dan rumit, bakal menghadang di depan kita. Semua persyaratan harus dihadirkan. Slip gaji, rekening koran, kartu keluarga, perusahaan tempat kita bekerja, dan berbagai tetek bengek lainnya.

Syarat-syarat itu, bagi orang yang bekerja dan mendapatkan slip gaji, mungkin tidak akan membuat masalah. Tapi, bagaimana dengan orang yang bekerja di sektor informal. Yang tak ada bukti atau slip gajinya. Apalagi bila persyaratan itu merupakan harga mati yang tak bisa ditawar. Tentu saja, sampai mati pun, orang yang bekerja di sektor informal, takkan bisa mendapatkan rumah layak bagi keluarganya.

Hal ini, tentu membawa efek yang tak baik. Apalagi, rumah merupakan sarana dan tempat bagi sebuah keluarga untuk melabuhkan diri dan berkumpul. Bahkan, dalam satu peribahasa dan budaya tertentu, seorang lelaki yang tak memiliki rumah, bukan seorang lelaki sejati, karena dia tak bisa melindungi keluarganya.

Seharusnya, sudah menjadi tugas pemerintah menyediakan perumahan murah bagi warganya. Mereka yang bekerja di sektor formal maupun non formal, seharusnya bisa mengakses dengan mudah perumahan itu.

Pemerintah mesti membangun perumahan murah yang menyediakan berbagai kemudahan dan akses terjangkau bagi semua masyarakat. Satu contoh bagus, bisa kita lihat dari pemerintah Belanda. Yang menyediakan perumahan bagi warganya. Pemerintah membangun berbagai perumahan, sehingga setiap warga bisa menempati sebuah rumah. Perumahan disediakan dalam bentuk sewa atau beli. Mereka yang memiliki uang sedikit sekali pun, bisa menyewa perumahan yang disediakan negara. Dengan cara seperti itu, setiap warga bisa mendapatkan fasilitas yang layak bagi hidup yang mereka jalani.

Sudah saatnya, pemerintah membuat berbagai kebijakan populis dan bisa dinikmati oleh setiap warganya.□








Baca Selengkapnya...

Kabut Asap

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak

Dalam masalah kabut asap, Kalimantan Barat ibarat “Negeri Kutukan.” Negeri yang memiliki nasib dan tidak bisa diubah.

Bagaimana tidak, permasalahan ini terjadi setiap tahun. Selalu terjadi dan terus berulang. Permasalahan asap seolah tak ada penyelesaian, atau ada satu cara untuk menyelesaikannya.

Asap selalu memenuhi udara Kalimantan Barat setiap tahun. Setiap saat, rongga paru-paru kita dipenuhi oleh partikel udara yang mengandung zat berbahaya. Organ paru-paru kita seolah dibakar, karena menghirup karbon dan zat berbahaya lainnya.


Bisa dibayangkan, dalam beberapa tahun kedepan, apa akibat paru-paru yang selalu dimasuki bahan dan zat berbahaya, akibat pembakaran lahan atau hutan ini. Zat berbahaya itu bisa berupa Karbon Monoksida, Nitrigen Dioksida, Ozon atau Sulfur Dioksida.

Zat dan partikel berbahaya ini, bila kontak langsung dengan tubuh, akan membuat mata perih, paru-paru terasa panas, dan dada terasa sesak. Pada tahap selanjutnya, akan membuat infeksi saluran pernapasan atas (ISPA).

Bisa dibayangkan, bagaimana generasi Kalbar kedepan, bila generasi mudanya banyak terkena ISPA. Hal itu, tentu berimbas pada produktifitas kerja. Pada akhirnya, berpengaruh pada kesejahteraan dan kehidupan setiap warga.

Kabut asap tidak saja berpengaruh terhadap kesehatan, tapi juga punya efek sosial, ekonomi, perdagangan dan lainnya. Dengan adanya kabut asap, jalur transportasi darat, pelayaran dan penerbangan terganggu. Distribusi barang tak bisa dilakukan. Akibatnya, terjadi kerugian pada berbagai sektor ekonomi. Yang membuat kerugian pada produsen maupun konsumen.

Terhambatnya jalur distribusi membuat berbagai barang menjadi mahal dan tak terjangkau. Masyarakat dirugikan akibat ulah sebagian masyarakat peladang atau perusahaan perkebunan tak bertanggungjawab, yang melakukan proses pembersihan lahan melalui cara bakar.

Repotnya lagi, ketika masalah ini muncul, terjadi saling tuding siapa yang harus bertanggungjawab. Masing-masing pihak tak merasa bertanggungjawab terhadap permasalahan yang muncul. Selain itu, kurangnya koordinasi antarlembaga, makin membuat permasalahan ini tak berujung pangkal.

Tak tegasnya aparat penegak hukum, juga membuat masalah ini tak pernah tuntas. Para pelaku dan pembakar lahan, selalu mengulangi perbuatannya, karena tak ada efek jera bagi setiap pelanggar.

Seharusnya, pemerintah melalui berbagai instansi yang terkait di dalamnya, membuat langkah penanganan lebih serius dalam masalah kabut asap. Harus ada satu teknologi pertanian murah yang bisa digunakan masyarakat atau perusahaan, selain teknologi bakar.

Pemerintah bisa bekerja sama dengan pihak universitas untuk mengembangkan teknologi pertanian. Pada dasarnya, teknologi ini, juga tidak terlalu sulit untuk diterapkan. Tinggal kemauan dan iktikat baik dari pemerintah saja, untuk melaksanakannya.

Aparat penegak hukum mesti menyamakan persepsi dalam masalah ini. Sehingga tidak muncul tumpang tindih satu instansi dengan lainnya. Harus ada satu persepsi tentang penanganan hukum, bagi para pelanggar ini.

Bila penanganan hukum masalah kabut asap tidak dilakukan dengan baik, pada akhirnya berimbas langsung pada kesehatan diri dan keluarga. Tentunya, kita tidak ingin, generasi di Kalbar, tumbuh menjadi generasi yang ringkih dan layu, karena tubuhnya digerogoti berbagai penyakit akibat kabut asap.□

Edisi cetak di Borneo Tribune 1 maret 2008
Lukas B. Wijanarko

Baca Selengkapnya...

Saturday, January 26, 2008

Tebang dan Lelang

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak

Ketika pertama kali dilantik menjadi Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono dengan tegas memerintahkan, menindak tegas para pembalak kayu. Perintah itu diikuti dengan berbagai operasi di lapangan.

Hasilnya, para pembalak dan cukong kayu tiarap semua. Sebuah kebijakan, tentu ada dampaknya. Begitu juga dengan pemberantasan pembalakan liar ini. Kebijakan ini memiliki dampak begitu nyata pada perekonomian di Kalbar. Terutama bagi daerah-daerah yang menjadi sentra bagi pambalakan liar. Ekonomi langsung lumpuh. Perputaran uang menghilang. Warung, tukang ojek, tukang sampan, penginapan, dan berbagai bidang usaha langsung kolaps.

Kondisi itu makin terasa di daerah sepanjang perbatasan dengan Malaysia. Misalnya di Lanjak, Badau, Jagoi Babang, Sintang dan sekitarnya.


Dulunya, daerah-daerah itu menjadi salah satu pintu masuk kayu ke Serawak, Malaysia. Di Malaysia kayu hasil pembalakan liar langsung distempel perusahaan yang ditunjuk pemerintah. Maka, jadilah kayu itu legal dan sah.

Selain menampung kayu dari Indonesia, para pembalak liar yang biasanya dilindungi dan bekerja sama dengan para samseng atau preman dari Serawak ini, juga langsung melakukan aksinya di sepanjang perbatasan. Patok perbatasan digeser dan kayu langsung diambil dari hutan-hutan di Indonesia. Dengan cara ini, kayu dibawa masuk ke Malaysia.

Dari berbagai perbincangan dan informasi dengan para pelintas batas, hal ini masih banyak ditemui di sepanjang perbatasan Indonesia dan Malaysia, hingga sekarang.

Dengan kondisi seperti ini, tak heran bila Malaysia yang hutannya tinggal sedikit, menjadi negara eksportir kayu terbesar di dunia.

Perubahan kebijakan pemerintah RI dalam penanganan pembalakan liar, membuat cukong dan para pembalak liar menjadi kelimpungan. Namun, mereka juga tak kalah akal. Sebuah metode baru pun digelar.

Tebang dan lelang.

Dengan metode ini, para pembalak dengan leluasa melakukan aksinya. Syaratnya, harus ada kerja sama. Dan ini sifatnya lebih terbuka. Maka publikasi pentingnya hasil tangkapan menjadi agenda tersendiri, dan harus dipublikasikan di media massa.

Logikanya dibuat sederhana saja. Berbagai pihak yang berkepentingan disuruh bicara di media. Daripada kayu tidak dimanfaatkan, kenapa tidak dijual saja. Hasilnya untuk kas pemerintah.

Hemm. Enak saja. Pemerintah yang mana?

Nampaknya, logika sederhana itu bakal terus dijalankan. Baru-baru ini, aparat menemukan 2.000 log kayu gelondongan yang dihilirkan melalui Sungai Kapuas. Dengan logika sederhana saja, tak mungkin kayu itu tidak ketahuan. Dengan jumlah yang begitu banyak. Dengan kecepatan rakit yang hanya mengikuti arus Sungai Kapuas. Sudah pasti kayu itu bakal ketahuan.

Ketika ditangkap, anak-anak dan perempuan ada yang ikut di atas rakit. Atas nama memberi makan keluarga, pekerjaan itu dilakukan. Apa boleh buat, hanya itu pekerjaan yang bisa dilakukan.

Bukankah ini lagu lama? Dari mana orang kampung memiliki modal sebesar itu, dan mampu menghilirkan rakit kayu sebanyak itu, kalau tak ada pemilik modal atau cukong dibelakangnya?

Karenanya, pemerintah dan aparat harus bertindak tegas. Tak ada lelang bagi kayu yang ditangkap. Semua kayu harus dihancurkan. Supaya tak ada pembalakan lagi.

Untuk itu, semua harus turut mengawasi proses itu. Pemerintah, aparat, tokoh masyarakat, LSM, akademisi, jurnalis, dan lainnya. Semua harus ikut mengawasi dan mengawal kasus ini.

Bila hutan kita ingin hutan lestari. Tak ada banjir dan bencana, maka kita harus berani mengatakan: tak ada lelang bagi kayu yang ditangkap. Semua harus dimusnahkan!!

Foto Marfa Chandra

Baca Selengkapnya...

Friday, January 25, 2008

Mengembalikan Ruh Pemekaran

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak

Pemekaran bukan untuk bagi-bagi kekuasaan. Seharusnya memang demikianlah adanya. Bila kita konsisten dan memegang prinsip itu, langkah yang harus dilakukan selanjutnya, tentunya saja mengembangkan wilayah yang dimekarkan.

Bila demikian adanya, hal pertama yang harus dilakukan adalah, di mana pusat pemerintahan dan pusat perniagaan harus dibangun?

Baru-baru ini, Bupati Kabupaten Pontianak, Agus Salim, sudah berani memberikan pernyataan dengan membagi pusat pemerintahan dan perdagangan. Kota Mempawah dijadikan sebagai pusat pemerintahan, Sungai Pinyuh sebagai kota perdagangan.


Dari segi pengembangan wilayah, logika ini baik sekali. Dengan membagi daerah berdasarkan peruntukannya, akan didapat suatu formula yang tepat. Pembangunan daerah bisnis, tentu berbeda dengan pusat pemerintahan. Rencana tata ruang dan tata wilayah (RTRW) tentu berbeda. Konsep pembangunannya pun berbeda.

Contoh yang baik tentang hal, ini bisa kita lihat pada model pembagian pusat bisnis dan pemerintahan di Amerika. Negeri Paman Sam menjadikan New York sebagai pusat dari kegiatan bisnis dan perdagangan. Washington DC sebagai pusat pemerintahan.

Pembagian dua peran itu, tentu dengan sebuah kebutuhan, kota akan berkembang puluhan bahkan ratusan tahun kedepan. Nyatanya memang demikian. Ratusan tahun setelah didirikan, dua kota itu semakin berkembang. Penduduk bertambah. Tentunya, kebutuhan lahan untuk tempat tinggal, juga bertambah. Begitu pun dengan kebutuhan terhadap sarana dan prasarana, semakin bertambah. Dua kota itu, masih sanggup memenuhi berbagai kebutuhan lahan untuk itu.

Coba kalau dua fungsi kota pemerintahan dan bisnis digabung? Dalam jangka puluhan tahun, pemenuhan terhadap lahan, mungkin saja masih bisa dilakukan. Tapi, bagaimana bila ratusan tahun lagi? Apakah lahan yang tersedia masih tersedia?

Contoh buruk dari pengabungan pusat pemerintahan dan bisnis menjadi satu, bisa kita lihat pada Jakarta. Gubernur Jenderal JP Coen, mungkin tak berpikir, setelah ratusan tahun, kota yang didirikannya akan semakin tenggelam permukaan tanahnya.

Tenggelam karena penduduknya semakin bertambah. Peruntukan lahan tidak jelas, karena pusat bisnis dan pemerintahan menyatu. Kota menjadi kehilangan sumber daya, bagi pengembangan yang bakal dilakukan. Hal ini, tentu saja membuat kota menjadi kolaps.

Kota sebagai pusat pemerintahan dan bisnis, membuat berbagai wilayah dikembangkan berdasarkan logika kebutuhan saat itu saja. Ruang publik terampas oleh berbagai pembangunan mall. Daerah resapan air, terampas oleh pembangunan perumahan. Pada akhirnya, ini mengorbankan kebutuhan jangka panjang, dan tata kelangsungan sebuah kehidupan masyarakat kota itu sendiri.

Hal ini bisa kita lihat dengan kasat mata. Industri di Jakarta, perhotelan, perkantoran, atau kegiatan bisnis lainnya, menyedot air tanah bagi kebutuhan industrinya. Akibatnya, air laut meresap puluhan kilometer ke daratan. Air tanah di Jakarta menjadi asin dan tak layak konsumsi. Ketika hujan datang, tanah tak mampu menyerap air, karena tak punya pori-pori. Semua tertutup beton. Akibantnya, banjir selalu terjadi.

Tak heran bila wacana pemisahan pusat kota pemerintahan dan bisnis, juga terjadi pada Jakarta. Ketika itu, 1928, pemerintah Belanda ingin memindahkan ibu kota ke Bandung. Hal itu diiringi dengan pembangunan berbagai gedung sebagai pusat pemerintahan. Salah satunya adalah Gedung Sate. Namun, krisis ekonomi dunia pada era 1930-an, membuat pembangunan pusat pemerintahan itu terhenti. Dan pemisahan dua fungsi itu pun hilang bersama waktu.

Era Presiden Sukarno dan Suharto, wacana pemindahan ibukota juga terjadi. Presiden Sukarno ingin pusat pemerintahan pindah ke Balikpapan. Presiden Suharto ingin pusat pemerintahan pindah ke Jonggol. Keduanya sepakat, Jakarta sudah tak layak lagi sebagai pusat pemerintahan. Sudah terlalu padat dan tak bisa dikembangkan.

Di Kalbar, hal yang sama juga sedang terjadi. Lihat saja pemekaran di depan mata kita. Misalnya, Kabupaten Kubu Raya (KKR). Rencananya, pusat pemerintahan akan ditempatkan Sungai Raya. Alasannya, karena sebagian besar penduduk KKR ada di Sungai Raya.

Logika sederhananya, bila dipandang dari kaca mata pelayanan dan kepentingan sesaat, pendapat itu ada benarnya. Biarlah wilayah yang paling banyak penduduk ini, mengenyam kemudahan bila berurusan dengan berbagai kebutuhan pelayanan pemerintahan.

Namun, bila dilihat bagi pengembangan wilayah puluhan tahun atau malah ratusan tahun kedepan, daerah ini sudah tak bisa dikembangkan lagi. Dengan jumlah penduduk yang sudah padat, tentu peruntukan lahan untuk berbagai pengembangan, bakal tidak ada.

Kenapa pusat pemerintahan tidak dibuat di daerah lain saja. Misalnya di Rasau Jaya, Kubu, Padang Tikar, atau lainnya. Daerah-daerah itu masih punya banyak lahan untuk dikembangkan, untuk puluhan bahkan ratusan tahun kedepan. Selain itu, dengan menempatkan pusat pemerintahan di daerah yang masih terbuka, tentu saja membuat daerah itu jadi maju.

Yang pasti, ruh dari pemekaran adalah, menciptakan kesejahteraan dan pengembangan daerah. Bukan untuk kepentingan sesaat. Apalagi untuk bagi-bagi kekuasaan saja. □

Foto Lukas B. Wijanarko

Baca Selengkapnya...

Thursday, January 24, 2008

Berharap pada Pemekaran?

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak

Gegap gempita pemekaran pasca otonomi daerah, menjadi euforia tersendiri. Berbagai wilayah di Indonesia dimekarkan. Semua wilayah dipecah. Provinsi dipecah. Kabupaten dipecah. Orang daerah rela berduyun-duyun datang ke Jakarta, untuk memuluskan agenda yang diusung. Semua bersatu dalam satu pemahaman dan kesepakatan.

Demikianlah adanya pemekaran. Berbagai alasan dikemukakan. Ada yang bilang untuk mempercepat laju pembangunan. Mempermudah rentang kendali wilayah. Mempermudah pelayanan kepada masyarakat, dan lainnya. Karenanya, wilayah yang dianggap bisa dimekarkan, bakal dimekarkan.

Bila alasannya memang demikian, alangkah indahnya pemekaran itu. Apalagi dengan wilayah seperti Kalbar, yang luasnya satu setengah kali pulau Jawa. Tentunya menjadi harapan semua masyarakat, bila konsep awal dari pemekaran itu bisa dilaksanakan.


Lalu, sudahkah pemekaran menjawab permasalahan di atas? Nampaknya belum semuanya. Pemekaran di berbagai daerah, tidak semuanya berjalan dengan mulus. Dalam artian, pemekaran tidak serta merta membuat pembangunan atau pelayanan menjadi mudah.

Di beberapa daerah, pemekaran yang dilakukan, malah membuat daerah induk menjadi terbebani dengan berbagai subsidi, kepada daerah yang dimekarkan. Tidak adanya berbagai potensi sumber daya alam dan manusia (SDA dan SDM), atau sarana prasarana pendukung, membuat daerah yang dimekarkan harus merangkak pelan sekali dalam membangun daerah itu. Sebab, sebagian besar uangnya, digunakan untuk membangun infrastruktur dan sarana pendukung yang belum tersedia.

Yang lebih parah lagi dalam pemekaran adalah, orientasi mencari berbagai kekuasaan dari daerah yang dimekarkan. Hal ini terlihat, begitu daerah yang dimekarkan menjadi daerah otonom dan berdiri sendiri.

Satu persatu orang muncul dan memberikan berbagai pernyataan, bahwa mereka yang paling berperan dan punya jasa memekarkan daerah tersebut. Berbagai pernyataan itu muncul di media massa. Tak hanya itu. Pembuatan pernyataan juga diiringi dengan dukungan. Ada yang mengatasnamakan dan mendapat dukungan dari partai, organisasi kemasyarakatan, agama, etnis atau profesi.

Semua berlomba-lomba tampil mengenalkan diri pada masyarakat. Tak heran bila dalam keseharian, muncul berbagai wajah baru di media massa. Semua berusaha tampil dan dikenal. Namun, sedikit sekali dari mereka yang tampil, membawa semangat kebersamaan, untuk membangun daerah yang baru dimekarkan, dan bicara urusan rakyat kecil.

Semua berlomba-lomba mensosialisasikan diri melalui berbagai macam cara. Ada yang melalui kegiatan olah raga, sosial, pendidikan, acara keagamaan dan lainnya. Apa yang dilakukan tersebut, bermuara pada satu hal. Menapak jalan untuk memperoleh kekuasaan.

Berbagai pernyataan dikeluarkan untuk menarik simpati. Berbagai simbol dan identitas dimunculkan untuk memperoleh legitimasi dan kepercayaan diri dan golongan. Bagi mereka merasa tak percaya diri dengan prestasi dan kemampuan yang dimiliki, tentu mencari hal paling mudah dalam mendongkrak popularitas. Karenanya, tak heran bila muncul berbagai isu agama dan sentimen etnis dimunculkan.

Repotnya lagi, isu etnis dan agama itu, dilakukan untuk menekan suatu kelompok etnis, agama, atau golongan lainnya. Hal ini tentu saja membuat masyarakat saling berhadap-hadapan. Etnis satu berhadapan dengan etnis lain. Agama satu berhadapan dengan agama lain. Golongan satu berhadapan dengan golongan lain.

Isu-isu agama, etnis dan golongan memang sengaja dilanggengkan oleh para elit politik untuk mencari dukungan dan memperoleh kekuasaan. Kondisi SDM masyarakat yang masih rendah, bukannya diberi pendidikan politik yang baik, malah dipolitisir.

Kalau memang begitu orientasi orang memekarkan suatu daerah, buat apa kita berharap dari pemekaran?

Edisi cetak di Borneo Tribune 24 Januari 2008
Foto Muhlis Suhaeri

Baca Selengkapnya...

Wednesday, January 23, 2008

Memanusiakan Buruh

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak

Sebuah pertanyaan terlontar. Siapakah buruh itu? Buruh adalah mereka yang bekerja dan menggantungkan hidupnya dari gaji dan mendapat upah, dari jasa atau tenaga yang dikeluarkannya. Jadi, siapapun yang bekerja dan mendapatkan gaji, mereka adalah buruh. Orang yang bekerja di bank, rumah sakit, perusahaan sawit, jurnalis, swalayan, toko, atau dimanapun, adalah buruh. Nasib buruh, pekerja, karyawan, SDM, atau apapun namanya, selalu rentan terhadap tindakan pemutusan hubungan kerja (PHK).

Hal ini tidak saja terjadi di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, tapi juga di negara-negara maju. Bedanya, kalau di negara lebih maju ada kesadaran untuk berhimpun dan membuat serikat buruh. Sehingga ketika muncul permasalahan antara perusahaan dan buruh, ada wakil yang berpihak dan membela hak-hak buruh.


Sebaliknya, di negara-negara berkembang, hal ini belum sepenuhnya muncul. Tak heran, bila timbul suatu permasalahan antara buruh dan majikan atau pemilik modal, perusahaan dengan sewenang-wenang bertindak menurut pemahamannya sendiri.

Repotnya lagi, pihak pemerintah yang seharusnya menjadi mediator dan penengah dalam berbagai kasus persengketaan itu, cenderung diam dan tak ada tindakan. Meskipun sudah ada berbagai peraturan dan UU yang menjadi acuan, bagi penyelesaian masalah tersebut. Hal itu nampaknya tak begitu dihiraukan. Untuk apa, toh, kaum buruh sendiri juga tidak tahu dengan hak yang mereka miliki.

Pemahaman orang tentang makna dan arti buruh sangat sempit. Buruh dianggap mereka yang bekerja dan mengandalkan tenaganya, untuk pekerjaan-pekerjaan berat. Tak heran, muncul berbagai istilah baru, sebagai bentuk pengaburan makna buruh itu sendiri. Seperti, pekerja kerah putih, ekspatriat, eksekutif dan lainnya.

Pemaknaan dan determinasi ini memang sengaja dimunculkan, sebagai bentuk dari pengkotak-kotakan kelas buruh. Sehingga ketika terjadi permasalahan di suatu perusahaan, misalnya sawit, kayu, garmen, atau perusahaan apapun, tidak akan menimbulkan simpati bagi buruh di perusahaan yang lain.

Untuk apa, toh, kelas mereka berbeda. Begitulah logika sederhananya. Mereka tidak sadar, bahwa siapapun punya peluang yang sama, untuk dipecat kapan pun. Sekali lagi, kapan pun.

Selama menjadi buruh dan tergantung dari gaji, setiap saat buruh punya peluang yang sama, untuk menelan pil pahit bernama PHK.

Kemarin, tindakan sewenang-wenang perusahaan terhadap buruh kembali terjadi. Ketika terjadi permasalahan antara perusahaan dengan buruh, perusahaan dengan arogansi memutuskan secara sepihak permasalahan itu. Kata kuncinya adalah pemutusan hubungan kerja (PHK).

Dengan melakukan PHK, permasalahan dianggap selesai. Dan duri yang mengganjal dalam perusahaan, dianggap sudah hilang. Benarkah demikian?

Tentu saja tidak. Dengan melakukan pemutusan hubungan kerja, perusahaan harus menanggung beban baru dalam melakukan sebuah proses produksi. Perusahaan harus mencari karyawan baru. Mengajari dan mendidik kembali. Menyesuaikan ritme kerja mulai dari awal, dan lainnya.

Semua itu tentu membutuhkan energi, pemikiran, dan waktu. Padahal, semua elemen itu yang mendasari sebuah proses produksi. Bila elemen itu terus berputar dari awal, tentu menganggu proses produksi itu sendiri.

Dalam suatu proses produksi, tentu terdapat berbagai macam elemen pendukung. Ada pemilik modal. Ada SDM. Ada mesin, dan lainnya. Buruh, karyawan, pekerja atau apapun namanya adalah aset. Aset yang tak terpisahkan dalam suatu proses produksi. Bila aset itu tidak dipelihara dengan baik, tentu akan aus dan tumpul. Apalagi kalau harus bongkar pasang dan main ganti. Tentu membuat ritme kerja tidak selaras.

Menghadapi hal ini, kaum buruh semestinya juga harus sadar. Kekuatan mereka menjadi bagian dari suatu proses produksi. Ketika terjadi tindakan sewenang-wenang, mereka pun menggunakan kekuatannya dengan cara mogok. Namun, pemogokan harus dikoordinasi dengan baik. Ada tahapan dan proses yang harus dilakukan. Ada kesadaran dari semua orang. Tidak asal mogok. Karenanya, buruh harus berserikat dan berorganisasi.

Kesadaran dan perubahan itu, harus muncul dari diri buruh itu sendiri. Karena mengharapkan perubahan dari para pemodal, hanya ilusi belaka.□

Edisi Cetak 23 Januari 2008
Foto Lukas B. Wijanarko

Baca Selengkapnya...

Tuesday, January 22, 2008

Kebijakan yang Timpang

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak

Seorang ibu rumah tangga mengeluh. Sudah beberapa minggu ini, ia sulit mendapatkan bahan bakar untuk memasak. Minyak tanah sulit didapatkan. Kalaupun ada, ia harus berdesakan dan antre hingga beberapa jam. Hanya untuk mendapatkan beberapa liter minyak tanah.

Masyarakat biasa dijatah lima liter saja untuk keperluan sehari-hari. Sisanya yang puluhan jerigen, dibawa dengan bus. Untuk mendapatkan lima liter minyak itu pun, tidak pasti kapan minyak tanah di depot bisa dibeli Tidak setiap hari depot minyak tanah buka.

Setiap kali ada pertanyaan dari masyarakat, ke mana larinya minyak tanah, sang pemilik depot minyak tanah selalu menjawab dengan kalimat sama. Kiriman belum datang. Semua dijatah dari sananya. Masyarakat pun cuma manggut-mangut. Bagi masyarakat, jalur distribusi minyak tanah, tak begitu penting dari mana asalnya dan bagaimana distribusinya. Yang mereka tahu, ketika butuh minyak tanah, dengan mudah hal itu didapatkan. Titik.


Tak hanya itu. Ketika pemerintah mencanangkan konversi minyak tanah ke elpiji, ini pun menimbulkan masalah baru. Sekali lagi, pemerintah tidak menyiapkan infrastruktur yang baik, ketika kebijakan itu digulirkan. Akibatnya, ketika kebijakan ini pun membuat masyarakat susah.

Pemerintah tak sanggup menyiapkan tabung gas elpiji bagi warga. Perusahaan yang ditunjuk oleh pemerintah, tak sanggup menyediakan tabung gas elpiji. Alhasil, pemerintah harus mengimpor tabung-tabung gas tersebut.

Lagi-lagi, pemerintah mendatangkan barang, untuk memenuhi kebutuhan kita sendiri. Sebagai bangsa, kita sama sekali tak mandiri. Tak bisa memenuhi kebutuhannya sendiri.
Atau, karena mental para pembuat kebijakan kita yang selalu menjadikan sesuatu, sebagai proyek dan menghasilkan uang untuk dipungut bagi dirinya.

Anehnya lagi, kebijakan tak populis itu, dibungkus dengan sebuah suguhan, pembagian tabung tiga liter kepada masyarakat. Semua dibagikan secara gratis. Lucunya, masyarakat yang mendapatkan tabung itu, dijual lagi.

Untuk apa? Toh elpiji juga tak tersedia di semua tempat. Susah mendapatkannya. Mau fakta? Sekarang ini, coba saja cari elpiji di toko atau distributor sekalipun.

Hari ini, seorang pemilik toko yang biasa menjual gas elpiji, mengeluh tak karuan. Sudah berminggu-minggu, tokonya tak mendapat pasokan gas elpiji. Alasannya? Sekarang ini pasokan gas di Kalbar, hanya dari satu perusahaan. Inilah yang disebut dengan monopoli.

Sebelum gas dipegang satu perusahaan, tokonya biasa mendapat kiriman dari Jakarta, 5-6 kali seminggu. Setiap pengiriman bisa puluhan tabung. Sekarang ini, tokonya hanya mendapat kiriman sekali saja dalam seminggu. Itupun hanya 10 tabung. Bayangkan, berapa kerugian yang harus dia tanggung dalam hal ini.

Kelangkaan gas, membuat pemilik toko menaikkan harga gas. Sebelum dipegang oleh satu perusahaan, ia biasa menjual elpiji seharga Rp 75 ribu per/tabung. Kini, ia menjual gas elpiji Rp 90 ribu per/tabung. Fantastik. Naiknya Rp 15 ribu per/tabung atau sekitar 20 persen.

Lagi-lagi, masyarakat yang langsung kena imbas dari kebijakan tidak populer ini. Kebijakan itu juga menjadi lahan empuk bagi para spekulan dan pembuat kebijakan yang ingin mendapatkan untung. Dengan kondisi perekonomian seperti sekarang, hal itu makin memberatkan beban masyarakat.

Ironis memang. Bangsa Indonesia dijajah Belanda, karena VOC ingin melakukan monopoli perdagangan. Begitu merdeka dan memasuki era pemerintahan Orde Baru, monopoli juga terjadi di mana-mana.

Sekarang ini, ketika Orde Baru sudah tumbang, muncul para pedagang yang ingin melakukan monopoli terhadap suatu produk. Dan hal itu pun, dilindungi dan difasilitasi para pejabat yang ingin mendapatkan keuntungan dari kebijakan yang dibuat.

Tak ada cara lain. Masyarakat harus mengkritisi berbagai kebijakan yang tidak populer ini.

Foto Lukas B. Wijanarko

Baca Selengkapnya...

Sunday, October 21, 2007

Nasionalisme dalam Sepotong Tanah, Air dan Udara

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak

Salah satu pendiri bangsa Indonesia, Sukarno dalam salah satu bukunya menulis, “Nasionalisme adalah, bila terjadi kemakmuran dan tidak ada penindasan satu masyarakat terhadap lainnya.” Nah, dalam rangka menyambut ulang tahun Kota Pontianak ke 236, sudahkah, kota ini membuat bangga dan rasa cinta bagi warga yang menempatinya? Mari kita lihat beberapa fakta yang menunjukkan hal itu.


Serombongan gerobak sepeda berjajar pada ruas kiri jalan. Pengendaranya berpakaian lusuh. Sebuah topi butut melindungi kepala dari terik sang surya. Sepasang sepatu telah koyak di sana-sini, melambari telapak kaki yang tak kalah dekil. Di gerobak itu, berbagai barang bekas terjajar dan menumpuk.


Seorang anak kecil melonggokkan kepalanya dari balik gerobak yang sedang berjalan. Pandangannya khas anak kecil. Riang dan gembira. Sesekali tangannya menunjuk pada sebuah tempat yang membuatnya tersenyum. Senyum tanpa dosa. Sang ayah menanggapi, sambil tetap mengayuh pedal gerobaknya. Dia coba menyenangkan buah hatinya dengan respon. Senyum yang tertahan.

Sore itu, dua generasi ini baru saja menyelesaikan sebuah tugas. Mengumpulkan barang bekas dan berbagai sampah. Ya, dari barang bekas itulah, mereka menggantungkan hidup, demi sebuah cita bagi hari esok.

Seperti sebuah aliran air, rombongan gerobak sepeda itu terus bergerak. Pada sebuah tikungan di Jalan Kesehatan, Kota Baru, rombongan mengarahkan stang sepedanya. Rombongan berhenti pada sebuah “komplek” rumah papan. Di area yang tak lebih dari 10 x 20 meter ini, puluhan kepala keluarga berjejal dan tinggal. Sungguh pemandangan yang mengiriskan hati. Inilah rumah para pemulung yang biasa berkeliling dengan gerobak sepedanya ke seluruh Kota Pontianak.

62 tahun kemerdekaan, tak menyisakan sebentuk hasil pembangunan pada nasib mereka. Pemukiman mereka kumuh dan tak teratur. Anak hidup dalam lingkungan tak sehat. Tak ada sumber air bagi kehidupan mereka. Air hanya didapat dari kemurahan alam, melalui hujan. Sanitasi buruk. Rumah papan dengan celah dan lubang mengangga di mana-mana. Untuk mandi, mereka mengandalkan air parit yang ada di depan komplek. Parit sedalam setengah meter dan lebar satu setengah meter itu, menjadi tempat mandi dan mencuci. Itu pun kalau airnya tidak kering.

Komplek rumah pemulung itu, tentu saja bukan satu-satunya komplek kumuh dan tak mendapatkan fasilitas air dan sanitasi di Pontianak. Masih banyak lagi komplek serupa dengan kondisi yang sama.

Bicara mengenai sanitasi, ada beberapa elemen dalam hal sanitasi. Sanitasi berhubungan dengan pembuangan air kotor dari rumah tangga, perdagangan dan industri. Dalam masalah sanitasi, harus dipikirkan bagaimana mengatasinya masalah air kotor tersebut.

Hal ini penting, karena pembuangan air kotor yang baik, bakal menjamin kesehatan masyarakat dan lingkungannya. Dalam hal pembuangan air kotor, mesti memperhatikan seberapa kualitas buangan air yang dihasilkan, dan kwantitas atau jumlah air kotor yang dibuang.

Bicara mengenai sanitasi, juga berhubungan dengan bagaimana pengelolaan sampah dilakukan. Sampah merupakan masalah klasik setiap kota di belahan dunia manapun. Masalah sampah di perkotaan, berhubungan dengan pengumpulan, pengangkutan dan pengelolaan yang dilakukan terhadap sampah.

Ada tiga sumber sampah. Sampah rumah tangga, perdagangan (termasuk pasar), dan daerah industri. Sampah dari tiga daerah itu tentu saja berbeda. Dengan mengetahui asal sampah, bakal memudahkan pengumpulan sampah.

Pengumpulan, pengangkutan dan pengelolaan sampah saling berkait. Ketiga hal itu berhubung. Contohnya, Pemkot Pontianak memiliki mesin pengolahan dan angkutan sampah. Namun, pengumpulan sampah tidak dilakukan dengan baik. Akibatnya, sampah bertebaran di sepanjang jalan. Seperti, di Jalan Purnama, Veteran, Komyos Sudarso, dan lainnya. Di daerah ini tidak ada penampungan sampah sementara. Kondisi ini makin diperparah dengan tidak disiplinnya masyarakat membuat sampah. Jadilah, Pontianak sebagai gudang sampah. Di mana-mana ada sampah berserak di sepanjang jalan.

Kita juga tak habis pikir, penanganan terhadap air bersih. Bagaimana tidak, Pontianak khususnya dan Kalbar pada umumnya, dialiri sungai-sungai besar. Sungai ini mengalirkan air setiap tahunnya. Namun, untuk mendapatkan air bersih, susahnya setengah mati. Kualitas pengolahan air yang dilakukan Perusahaan Daerah Air Minum Daerah (PDAM), pun kurang maksimal. Air masih keruh dan tak siap pakai. Hasil pengolahan air kurang maksimal. Padahal, teknologi pengolahan air, tidak menggunakan teknologi tinggi.

Tak tersedianya air bersih, tentu saja berimbas pada produktifitas penduduk. Masyarakat jadi kurang produktif. Hal ini berimbas pada peningkatan ekonomi. Begitu juga dengan munculnya penyakit. Berbagai penyakit susulan juga muncul, akibat buruknya kualitas air bersih.

Tak tersedianya air juga berimbas pada mahalnya biaya hidup. Bayangkan saja, bila dalam keseharian kita minum air mineral. Satu galon air mineral seharga Rp 22.000 (di Jakarta merk yang sama seharga Rp 8.500). Untuk keluarga dengan jumlah empat orang, air itu habis sekitar 4-5 hari. Dalam sebulan, kalikan saja uang yang harus kita keluarkan untuk membeli air minum.
Kehidupan kota tentu saja tidak bisa dipisahkan dengan penyediaan energi listrik. Listrik menjadi salah satu infrastruktur yang penting bagi segala aktifitas. Dengan kurangnya pasokan energi listrik, sebagus apapun Pemkot melakukan promosi terhadap kota Pontianak, hasilnya bakal sulit mendatangkan investor. Padahal dengan semboyan ”Pontianak Kota Khatulistiwa Berwawasan Lingkungan Sebagai Pusat Perdagangan dan Jasa Bertaraf Internasional” bakal sulit dicapai.

Jangankan untuk Kota Perdagangan Bertaraf Internasional, Kota Perdagangan Antarpulau pun bakal sulit. Hal ini makin diperparah dengan posisi pelabuhan yang berada di alur sungai Kapuas. Untuk menjangkau Kota Pontianak, kapal harus masuk ke hulu sungai sejauh 25 km. Kondisi makin parah dengan pendangkalan yang terjadi pada alur sungai. Keberadaan pelabuhan juga menyulitkan kapal dengan tonase besar masuk ke pelabuhan. Belum lagi, posisi kapal ketika menyandar. Posisi sandar tidak diikuti dengan berbagai pembangunan gudang pelabuhan. Bongkar muat kapal dilakukan di sepanjang Jalan Komyos Sudarso, sementara keberadaan gudang-gudang berada di Siantan. Hal ini membuat biaya tambahan bagi perusahaan untuk transportasi yang dilakukan.

Begitupun dalam halm pembangunan yang dilakukan. Pembangunan yang dilakukan, semestinya tidak tambal sulam. Sebagai contoh, untuk membangun jalur transportasi darat, Pemkot melakukan penimbunan terhadap berbagai parit di Pontianak. Pada awal tahun 70-an, Pontianak dikenal sebagai Kota Seribu Parit. Sekarang ini, parit-parit itu telah banyak yang ditimbun dan dijadikan jalan raya, pertokoan atau rumah.

Padahal, fungsi parit sanagt vital sekali. Parit merupakan sarana pembuangan air dan saluran drainase yang baik bagi kota. Parit juga berfungsi sebagai sirkulasi dan cara membersihkan kota dari berbagai sampah yang ada, secara alami. Dengan parit, lingkungan kota juga menjadi sehat, karena bisa membuat sirkulasi air. Pontianak yang berupa rawa, butuh sirkulasi yang baik. Salah satunya dengan pembuatan parit sebagai drainase.

Sekarang ini, orang banyak beranggapan, perkembangan Kota Pontianak semakin maju. Hal itu bisa dilihat dengan munculnya berbagai bangunan modern di kota ini.

Hal itu ada benarnya. Namun, pembangunan berbagai gedung baru, seharusnya tidak menggusur atau merobohkan gedung-gedung yang bersejarah. Dengan hilangnya bangunan bersejarah, hilang juga budaya suatu masyarakat.

Pembangunan bangunan pusat perbelanjaan modern, hendaknya juga tidak menggusur pasar-pasar tradisional yang sudah ada. Bagaimanapun, setiap sentra ekonomi memiliki pangsa pasarnya sendiri. Selain itu, dengan memberikan kesempatan pada para pelaku ekonomi kecil mengembangkan perekonomiannya, bakal menguatkan sistem perekonomian masyarakat.

Pemkot harus berusaha membina dan menghidupkan pasar tradisional. Kalaupun pasar tersebut kurang bersih, tidak bisa langsung digusur atau dibongkar. Malah sebaliknya, Pemkot harus melakukan pembinaan dengan memberi berbagai kemudahan dari segi fasilitas, sarana dan prasarana.

Dari berbagai kondisi dan realitas yang ada itulah, seharusnya menjadi satu refleksi kita bersama, untuk membangun Kota Pontianak, kedepannya.

Bagaimanapun, nasionalisme tidak hanya bersifat sloganistik dan bersifat mengilusi saja. Nasionalisme dan cinta pada tanah air, kota, dan tempat yang kita tinggali, tidak lepas dari pemenuhan berbagai kebutuhan dan hajat hidup orang banyak.

Bagaimana kita bisa bicara tentang nasionalisme, bila tanah yang kita tempati selalu digusur. Air yang kita minum mahal sekali. Udara yang kita hirup, selalu penuh dengan debu dan kabut asap.□


Edisi Cetak ada di Borneo Tribune, 21 Oktober 2007
Foto Lukas B. Wijanarko





















Baca Selengkapnya...