Showing posts with label Budaya. Show all posts
Showing posts with label Budaya. Show all posts

Sunday, November 1, 2009

Ta-thung: Ironi Manusia Pilihan Dewa

Oleh: Muhlis Suhaeri
Mereka manusia pilihan Dewa, yang diberi “mandat” menyunggi nasib manusia. Mereka punya kemampuan mengobati, mengusir roh jahat, dan kebal terhadap berbagai senjata tajam. Namun, kalau pun bisa memilih, sebenarnya mereka tak ingin punya kemampuan dan dipilih para Dewa, demi keistimewaan-keistimewaan itu. Manusia istimewa itu, ta-thung, namanya.


Keluarga Ta-thung
MATA BONG Khin Dyung (56 tahun) terlihat menerawang. Ia seakan sedang menatap dan menimbang garis nasib yang diembannya kini. Bong bekerja sebagai tukang gigi di Singkawang. Dia tak begitu kesulitan dengan pekerjaan yang dijalani. Namun, ada satu kemampuan istimewa yang tak sembarang dimiliki orang, yang harus selalu dijaganya. Agar kemampuan itu, “tak memakan diri sendiri” karena perbuatan tak bijak yang dilakukannya.


Bong memiliki kemampuan sebagai ta-thung sejak berusia tujuh tahun. Waktu itu, ia bekerja di pangkalan Saga Tani Singkawang. Kerja di toko yang menjual beraneka ragam sembako atau kelontong. Warung itu melayani berbagai keperluan karyawan yang bekerja menoreh karet.

Suatu saat dia jatuh sakit. Seperti penyakit malaria. Badan rasanya panas dingin. Demam. Terutama pada malam hari. Ia tak sanggup mengerjakan sesuatu. Tapi, pada siang hari, dia masih bisa kerja. Kondisi itu berlangsung hingga 49 hari. Oleh pemilik toko, dia dibawa ke dokter dan sin she atau dukun tradisional masyarakat Tionghoa.

Pertama kali dibawa ke dokter, sakitnya tidak sembuh juga. Dalam sakitnya, Bong mengigau. Sakitnya akan sembuh dengan sendirinya. Tunggu waktu. “Sembuhnya sudah penetapan,” kata Bong.

Setelah sembuh, dia merasa ketakutan dan tidak ingin kerja lagi di tempat itu. Ia merantau ke Batu Ampar, Kubu Raya. Ia bekerja di sektor kayu. Namun, dia merasa badan tetap tak enak. Ia merasa ada yang mengikuti.

“Ke mana-mana diikuti. Merasa dikejar-kejar terus,” kata Bong.

Ia ingin melepaskan diri, agar yang “ikut” tersebut, bisa lepas. Tapi tak bisa dilakukan, karena ia punya kerja benar.

Bong mengobati orang sejak umur 10 tahun. Fungsinya hanya sebagai perantara. Suatu saat ada orang sakit. Dia membantu orang itu dengan ramuan dedaunan. “Kita tak tahu daun apa. Kita cari di hutan,” kata Bong.

Bong membuat resep dengan bahasa Mandarin. Padahal, dia tak pernah sekolah atau belajar bahasa Mandarin. Setelah kemasukan roh, dia bisa bahasa Mandarin. Roh itulah yang menuntunnya untuk membuat obat-obatan dari dedaunan.

Setelah tenang dan merasa ada yang istimewa dalam dirinya, dia baru merasa yakin. Bahwa, dia punya kemampuan. Saat ada yang sakit, segera dibantu.

Dewa yang mengikuti dirinya bernama Chau Liu Nyian Shai, Dewa Langit. Ini orang sakti. Dia panglima perang dari sebuah kerajaan di China daratan dan pandai mengobati orang sakit. Orang sakti atau panglima, setelah mati biasanya disebut Dewa.

Bong punya 13 anak. Meski punya banyak anak, setiap ada kesulitan apapun, ada saja jalan keluarnya. Belum pernah ada anaknya sakit parah, sehingga harus mendapatkan perawatan khusus.

Ada lima anaknya jadi ta-thung. Saat ditanya anaknya yang ke berapa punya kemampuan ta-thung, dia menjawab, “Sebentar, ya, lihat KK dulu.”

Sangking banyaknya anak, dia sendiri lupa anaknya yang nomor berapa, punya kemampuan sebagai ta-thung.

Setelah mengambil kartu keluarga (KK), dia menyebutkan satu persatu anaknya yang punya kemampuan sebagai ta-thung. Anak keempat, Steven Wong. Nama dewanya Nam Hoi Thung Jie. Anak kelima, Pin-Pin Chong. Nama dewanya Chiang Hoi Thung Jie. Anak ketujuh, Antoni Bong. Nama dewanya Sui Kheu Pak Kung. Anak kesebelas, Henri Frans Wong. Nama dewanya tak tetap. Tapi, biasanya Chiau Shan Pak Kung.

Bicara mengenai ta-thung, terkadang bicara mengenai sesuatu di luar jangkauan kesadaran manusia. Misalnya saja, kenapa kemampuan ta-thung bisa menurun pada anak. Biasanya ada jodohnya. Namun, ada juga yang tak bisa menurun pada keluarga.

Bong punya banyak jimat untuk menurunkan kemampuan ta-thung pada anaknya. Tapi ia tak mau menurunkan. Paling membina anak supaya menjalankan sesuatu atau berbuat baik.

Dalam satu pertemuan, Antoni Bong sebenarnya merasa takut menjadi ta-thung. Ia menjadi ta-thung sejak 2003. Saat dia bimbang dan ragu, orang tuanya memberikan keyakinan. Bahwa, semuanya akan baik dan menjaga diri dari masalah apa saja.

Hingga sekarang, ia tak pernah diganggu orang. “Yang kita harap, Tuhan masih sayang sama kita. Jadi, kita tidak usah takut,” kata Antoni.

Sama seperti orang tuanya, saat pertama kali menjadi ta-thung, ia alami banyak hal. Kepala pusing. Badan terasa berat untuk bergerak. Capek. Tak bisa lakukan apa-apa. Menjadi ta-thung di luar kesadarannya. “Kita dalam keadaan tidak sadar,” kata Antoni.

Antoni dalam kesehariannya, ikut membantu orang tuanya.

Menurut Bong, ta-thung harus punya hati baik. Tak boleh menipu orang. Kalau berbuat jahat, bisa membahayakan diri sendiri. “Bagi yang berilmu, kalau kita sadis, ‘dia’ lebih sadis,” katanya.

Dia dalam hal ini adalah, Dewa yang mengikuti para ta-thung. Orang juga menyebut guru, atau arwah leluhur.

Untuk mencapai jalan kebenaran dan kebaikan, butuh waktu lama belajarnya. Kalau berbuat jahat, belajarnya 3-4 hari saja. Begitu kata Bong. “Karena belum apa-apa sudah mau menipu, maka ilmu makin ganas. Kalau ikuti jalan baik, akan baik,” kata Bong.

Ta-thung ada yang hitam dan putih. Membina ta-thung supaya baik, butuh waktu satu hingga dua tahun. Ta-thung bila punya pikiran jahat, cepat reaksinya. Tapi, tetap ada hukum karmanya. Bong selalu memberikan saran, supaya anaknya mengikuti jalan yang baik.

Kalau ada perintah untuk bertapa, ta-thung tak perlu membantah. Begitu juga dengan pantangan, jangan sampai dilaksanakan. Kenapa banyak ta-thung bermasalah? Misalnya tak punya anak, karena yang “di atas” punya mata.

Menurut Bong, ta-thung tak bisa dijadikan mata pencaharian. Kemampuan itu untuk masyarakat yang minta bantuan. Karenanya, ta-thung harus punya mata pencarian tetap.

Bong kerja sebagai tukang gigi. Kalau ada yang minta berobat dan bantuan, ia akan melaksanakan tugas itu. Di luar itu, dia akan bekerja sebagai tukang membuat gigi.

Dalam berbagai kesempatan khusus, seperti pembukaan Klenteng, Cap Go Meh, Imlek atau tradisi lainnya, ta-thung memiliki peran penting.

Untuk melaksanakan tugasnya, ta-thung harus menyesuaikan dengan Dewa yang mengikutinya. Pakaian disesuaikan dengan karakter dan sifat dari sang Dewa. Pakaian membuat sendiri atau pesan. Bong dan masing-masing anaknya punya dua pasang pakaian.

Seragam dibuat dari lokal dan luar. Harganya beragam. Misalnya, bila pakaian dipesan dari Thailand, harganya sekitar Rp 1,6 juta. Dari Singapura Rp 3 juta. Dari Tiongkok seharga Rp 9 juta.

Namun, pakaian Steven dipesan dari Singapura, harga sepasang Rp 9 juta. Warna pakaian merah dengan motif naga dan bordir. Pakaian Pin-Pin dari Tiongkok. Satu pasang seharga Rp 9 juta. Ada tiga set. Baju itu dipakai selamanya.

Bong pernah alami pengalaman yang membuatnya nyaris bangkrut. Pada 25 September 2008, ia diminta warga di Kepulauan Natuna, Riau, meresmikan sebuah Pekong atau Klenteng.

Klenteng memiliki peran sangat penting dalam budaya dan masyarakat Tionghoa. Sebab, ketika mereka tinggal atau mendirikan suatu rumah atau perkampungan, Pekong sebagai tempat beribadat bagi warga, harus ada di sana.

“Apa yang bisa dilakukan untuk Pekong, itu akan dilakukan,” kata Bong.

Namun, musibah menimpa tanpa disangka. Perahu yang membawa mereka terbakar. Pakaian dan barang yang dibawa ikut terbakar di dalam kapal. Pakaian seragam, tandu, gendang, obat ramuan, ikut terbakar. Kerugian diperkirakan sekitar Rp 90 juta.

Pemilik kapal tak mau ganti. Masyarakat yang mengundangnya bersedia mengganti. Namun, Bong tak mau. Kalau masyarakat yang ganti, sampai 10 keturunan, akan dicaci maki. Dia konsultasi dengan pemilik kapal, tapi tak ada jawaban. Akhirnya, Bong membuat pakaian baru.

Meski memiliki kemampuan istimewa, tapi Bong tidak pernah merasa sebagai manusia istimewa. Kalau merasa sebagai manusia istimewa, sama saja merasa sebagai yang “Di atas”.

Jadi, sebagai manusia, ia tidak merasa ada yang istimewa. Ia menganggap biasa saja. Kalau merasa istimewa, akan membuat seseorang menjadi sombong.

“Kita tidak memikirkan. Bukan kita yang bantu orang. Kita cuma sebagai pelaksana,” kata Bong, “Tuhan berkuasa yang bantu.”

Bong merupakan salah satu contoh dari keluarga yang menjadi ta-thung secara turun temurun. Tak hanya keluarga Bong, Chie Lie Na atau Lina (40 tahun), juga contoh keluarga ta-thung.

Sejak umur 35, ia menjadi ta-thung. Keturunan dari kakek ke bapak ke anak. Lina keempat dari tujuh bersaudara. Empat orang saudaranya menjadi ta-thung. Namun, ada satu yang sudah meninggal, sehingga tinggal tiga orang.

Anak nomor dua, Chie Jun Nam biasa dipanggil Ahmad. Dewanya bernama Malin Ciong Kiun. Anak nomor empat, Lina. Anak nomor lima, Chie Jun On alias Budi. Dewanya bernama, Ng Fong Thai Chie. Anak nomor enam, Chie Jun Fo alias Rudi. Dewanya bernama Thai Fut Shin. Ayah Lina bernama Chie Chiung Fu atau Ali. Kakeknya bernama, Chie Jin Tong. Biasa dipanggil Holian atau Alian Chiton. Dia perantauan langsung dari Tiongkok. Nama dewanya, Chee Thian Thai Sien atau Sun Go Kong. Kitab Sun Go Kong bernama Tung Su. Ketika berubah wujud menjadi monyet kecil, dan bisa masuk ke ruang kecil.

Kini, Lina tinggal di Jakarta. Di ibu kota, dia menjadi tabib. Kemampuannya bisa menyembuhkan orang kerasukan, meningkatkan usaha, dan lainnya. Namun, kebanyakan yang datang orang sakit. Misalnya, ada gangguan, masuk angin jahat, dan lainnya.

Kemampuan yang dimiliki tidak untuk mengganggu orang. Kalau orang dalam kesusahan, ia akan menyembuhkannya. Ta-thung tidak pernah minta bayaran khusus, ketika mengobati seseorang. Suka rela saja.

Ia mengobati orang di rumahnya. “Kalau ada guru ikut, kapanpun guru datang harus pulang. Memanggilnya harus di rumah. Untuk mengobati orang harus di Toa Pekong,” kata Lina. Untuk memanggil guru, harus dipanggil dari lima penjuru.

Lina punya tiga anak. Paling besar kelas 3 SMA. Dia tidak berharap anaknya jadi ta-thung. “Mudah-mudahan jangan. Ikut boleh, tapi jangan masuk,” kata Lina.

Anaknya kenal dengan dunia ta-thung. Lina pernah mengajak anaknya. Anak paling kecil, sering diajak sehingga tidak takut.

Menurutnya, pengalaman berkesan sebagai ta-thung, kalau bisa menyembuhkan orang sakit. Begitu juga kalau ada anak yang sakit.

Lina juga punya kemampuan kebal terhadap senjata tajam. Kalau sudah kemasukan ruh Dewa, ia bisa duduk di atas pedang yang bentuknya serupa bunga teratai. Ia pengikut dari Dewi Kwan Im atau Dewi Welas Asih. Dewi ini selalu menggunakan simbol bunga teratai.

Sebagai ta-thung karena faktor keturunan dan pengikut Dewi Kwan Im, Lina pantang makan daging. Sebab, Dewi Kwan Im tidak boleh makan binatang hidup. Lina harus vegetarian. Tidak boleh makan daging sapi, ayam, serta babi.

Dewa dari kakek, tidak boleh makan daging monyet, anjing, kucing, kura-kura dan ular.
Sebab, dewa yang mengikut adalah Sun Go Kong dari bangsa kera.

***

MENURUT XF ASALI, pengarang buku Aneka Budaya Tionghoa, ta-thung berasal dari dua suku kata. Tha: pukul. Thung: orangnya. Tak sembarang orang bisa menjadi ta-thung. Kemampuan itu bisa dimiliki melalui keturunan atau peristiwa tertentu. Misalnya, selepas sakit. Kemampuan jadi ta-thung juga bisa dipelajari melalui tuntunan seorang suhu atau guru. Ta-thung untuk menolong orang lain, bukan mencari kekayaan.

Kalau kemampuan menjadi ta-thung muncul dengan sendirinya pada seseorang, maka ruh Dewa atau arwah leluhur bisa dibawa ke mana-mana. Bahkan, bila orang itu pindah ke lain pulau atau negara. Ia masih bisa memanggil ruh untuk datang.

Ta-thung paling banyak terdapat di Singkawang. Namun, banyak juga yang tinggal di Pontianak, dan daerah sekitarnya.

Lo Chin Hin (45 tahun), ta-thung dari Siantan, Pontianak. Ia pertama kali kemasukan ruh arwah leluhur, ketika usianya 25 tahun. Ruh yang masuk bernama Sak Bong Kung. Dalam bahasa dialek China Kek, nama itu berarti Batu Raja Dewa. Karena itulah, ia membangun Klenteng dengan nama tersebut di depan rumahnya.

Tahun 2000, Lo Chin Hin membangun tangga setinggi delapan meter. Bangunan itu dibangun atas permintaan ruh yang ada pada dirinya. Bangunan itu berupa tangga dan undakan dari besi baja setajam pisau. Setiap undakan diberi pisau.

Pada perayaan dan acara tertentu, Lo Chin Hin akan menari, menaiki dan menuruni undakan itu. Sambil beratraksi, ia mencucuk pipinya dengan tembaga sepanjang setengah meter sebesar paku. Kenapa tembaga? Sebab, bekas luka tidak mengalami infeksi. Luka menutup sendiri, setelah diberi abu hio atau setanggi.

Cap Go Meh atau hari ke 15 Imlek, merupakan hari besar bagi para ta-thung. Ia akan meramaikan acara itu. Datangnya ruh leluhur ke raga, bisa 2-3 kali secara bergantian. Kedatangan itu ditandai dengan permintaan dari ta-thung untuk mengganti baju. Warna baju itu merah, putih dan hitam. Baju merah yang datang ruh dari leluhur atau Dewa dari Tiongkok. Bila warna hitam, biasanya yang datang Datuk dari orang Dayak.

Masuknya ruh ke raga ditandai dengan berbagai macam hal. Salah satunya, dengan muntahnya sang ta-thung. Ketika arwah leluhur masuk pada raganya, harus ada orang yang sanggup menerjemahkan apa permintaannya. Karenanya, harus ada yang selalu menjaga ta-thung, ketika ia sedang trance.

Lo Chin Hin selalu ditemani Fut Men, 34 tahun, ketika sedang kerasukan ruh. Fut Men kebetulan menantunya sendiri. Dialah pemandu atau penerjemah, bila arwah minta sesuatu. Bahasa yang dipergunakan adalah bahasa China, Khek Kuno. Bahasa itu beda dengan bahasa Khek yang biasa dipakai sekarang ini.

Menurut Fut Men, tradisi ta-thung di negeri China sudah tidak ada. Ta-thung di Kalbar merupakan perpaduan antara tradisi masyarakat Tionghoa dan Dayak. Tak heran jika pada perayaan Cap Go Meh, ada juga orang Dayak menjadi ta-thung.

Lo Chin Hin punya 6 anak. Namun, belum ada satu pun anaknya memiliki dan bisa mewarisi kemampuannya sebagai ta-thung.

Seperti juga Lo Chin Hin, Acai (24 tahun) menjadi ta-thung bukan karena garis keturunan. Ia tinggal di Singkawang. Postur tubuhnya kurus dengan tinggi sekira 170 cm. Acai kurang lancar berbahasa Indonesia.

Ia jadi ta-thung sejak usia 11 tahun. Bila biasanya ta-thung ada pantangan makan sesuatu, ia tidak punya pantangan makan apapun.

Acai biasa memakai pakaian hijau, saat menjadi ta-thung. Ia kerasukan ruh salah satu arwah leluhur. Namanya sama dengan nama salah satu Dewa. Namun, ia sendiri tidak tahu nama Dewa itu. Ketika ia hendak memanggil arwah leluhur masuk ke raganya, ia mesti dipandu sang suhu. Acai banyak belajar dari gurunya, untuk menjadi ta-thung.

Lalu, apa pendapatnya terhadap kemampuan dan kesaktiannya?
“Jadi ta-thung biasa saja,” kata lelaki dengan rambut sebahu ini.

***

PADA SEBUAH gang di belakang bangunan bioskop bercorak Art Deco yang dibangun pada 1957 di Kota Singkawang, terdapat sebuah Pekong kecil. Di sana, ada seorang ta-thung bernama Tjhan Hian Bun (67 tahun). Dia biasa dipanggil Ahian.

Ia menjadi ta-thung sejak umur 24 tahun. Arwah leluhur atau dewanya bernama Bun Bu Ciong Kiun, panglima perang atau jenderal. Dewa ini punya kemampuan menyembuhkan orang sakit. Tergantung orang yang datang dan kondisi pasien. Misalnya, anak kecil sering kaget karena kemasukan ruh, kena ilmu atau disantet orang.

Ia punya tujuh orang anak. Namun, tak ada yang jadi ta-thung. Menurutnya, ta-thung tak bisa disembuhkan. Ruh dewa yang sudah masuk ke tubuh seseorang, akan terus ikut. Menjadi ta-thung bukan kehendak sendiri. Kemampuan itu ditunjuk sendiri oleh para dewa.

Masuknya arwah Dewa susah diperkirakan. “Kalau orang tak mau atau menghindar jadi ta-thung, bisa gila atau sakit,” katanya.

Selama menjadi ta-thung, beberapa kali orang menguji kesaktiannya. Ada orang kirim ilmu untuk diadu. Bentuknya seperti santet. Orang mengirim ilmu berbentuk ular, jarum, dan lainnya. Namun belum sempat masuk sudah ditangkis. Tak tahu siapa yang kirim. Rasanya seperti orang tidur, badan panas atau meriang. Peristiwa itu berlangsung sekitar satu jam. Kejadian berlangsung belasan kali.

Ta-thung memiliki aura dan energi positif. Kalau ke mana-mana, orang yang melihatnya langsung baik. Apalagi kalau ta-thung ketemu sesama ta-thung. Begitu ketemu di jalan, langsung tahu bahwa orang itu punya ilmu. Seperti magnet yang saling ketemu. Ada energi. Ada getaran.

Meski begitu, dia tidak berharap anaknya jadi ta-thung. “Usaha seperti ini hanya secukupnya saja. Bukan untuk cari kekayaan. Orang tua ingin anaknya maju, karena kehidupan ta-thung pas-pasan,” kata Tjhan Hian Bun. Namun, ia merasa cukup hidupnya. Bisa makan dan mencukupi kebutuhan hidupnya.

Ta-thung bukan sesuatu yang dibanggakan. Kemampuan itu hanya pemberian. Kecuali, kemampuan itu diperoleh dengan mempelajari suatu ilmu.

Uniknya, meski ta-thung merupakan tradisi orang Tionghoa, kemampuan sebagai ta-thung juga bisa dimiliki orang Melayu, Dayak dan lainnya. Pada perayaan Cap Go Meh, mereka ikut pawai dan meramaikan. Ta-thung muncul dan ikut meramaikan festival. Tujuannya, mengusir ruh jahat, sehingga tahun depan bisa hidup lebih baik. Ini semacam tolak balak. Bagi orang Taoisme, ini adalah suatu keyakinan. Bagi orang Tionghoa yang sudah memeluk agama Kristen, misalnya, ini dianggap seni saja.

Menurut kepercayaan masyarakat Tionghoa, ketika ta-thung berkeliling kota pada perayaan Cap Go Meh, ia dipercaya dapat membersihkan kota dari berbagai unsur ruh jahat. Dengan hilangnya ruh jahat, kehidupan menjadi tenang dan tentram.

Menjelang perayaan Cap Go Meh, ta-thung biasanya melakukan puasa dulu. Puasa dari segala perbuatan berbau kotor. Puasa dilakukan 3-7 hari. Intinya, puasa untuk keselamatan dan kesejahteraan.

“Orang yang berilmu ikut merayakan Cap Go Meh sebagai ucapan selamat,” katanya.

Ia berharap pada pemerintah, tradisi itu diteruskan. Zaman Presiden Suharto, tradisi itu ditiadakan. Padahal, itu suatu agama dan adat istiadat. Tradisi itu gabungan dari Tao, Konghucu, dan Buddha (Darma). “Seharusnya ta-thung terus diadakan dan dimeriahkan,” katanya.

Di lingkungan keluarga dan lingkungan sosial lainnya, ta-thung disegani masyarakat. Tapi juga bukan sesuatu yang dianggap istimewa oleh keluarganya.

Keponakan Tjhan, Melson (29 tahun) menyatakan, “Dibilang bangga, ya, iya. Dibilang tidak, ya, tidak. Tapi kalau ada keperluan, tidak datang ke orang lain.”

Melson lahir di Singkawang. Sekarang tinggal dan hidup di Jakarta. Saat acara Cap Go Meh, dia pulang ke Singkawang. Ia jadi penerjemah pamannya, ketika sedang kemasukan ruh Dewa. Segala apa yang diminta dan dibicarakan, harus diterjemahkan.

Meski demikian, ia tak ingin jadi ta-thung. “Tak terpikirkan jadi seorang ta-thung,” katanya.
Ta-thung memang identik dengan kehidupan apa adanya. Tak bisa bergerak lebih luas, dalam mengembangkan berbagai usaha atau pekerjaan. Sekedar cukup untuk hidup.

***

MALAM ITU, saya seperti berada di dunia lain. Seluruh ruangan dipenuhi oleh bunyi-bunyian. Saling menyahut. Bunyi gendang besar bersahutan dengan simbal yang ditabuh secara terus menerus oleh anak-anak kecil. Mereka memang bertugas membunyikan alat musik tersebut.

Asap tebal membumbung dan berpendar ke segenap celah ruangan, dari dua kaleng berisi dupa dan kemenyan. Kaleng itu diputar-putar. Asap semakin mengepul keluar dari kaleng. Asap seakan membekap setiap jiwa di ruangan itu. Menenggelamkannya pada suasana magis dan dramatik.

Pada sebuah altar, seorang pemuda bertubuh subur, seperti termenung dan menunggu sesuatu. Sekujur tubuhnya telah diberi kerincingan, lonceng, dan pakaian khas, seorang Datuk. Di bagian kepalanya, terselip bulu burung enggang. Ini burung khas endemik di Pulau Kalimantan. Burung suci bagi orang Dayak.

Lelaki itu bernama Darmanto alias Afu (30). Sedari tadi, ia selalu menguap. Bukan sembarang menguap. Itu pertanda Dewa bakal masuk ke tubuh lelaki Tionghoa ini.

Tak berapa lama, anjing di belakang rumah melolong dengan pelan. Entah kebetulan atau tidak, melolongnya anjing bisa dilihat sebagai sebuah pertanda, ada sesuatu yang datang. Panca indera pendengaran anjing, lebih kuat dari pendengaran manusia. Anjing punya indera sensitif terhadap suara, temperatur, perubahan suhu, getaran, aktivitas elektrostatis dan kimia, serta medan magnet dan medan listrik.

Bersamaan dengan itu, tubuh Afu terjengkang ke belakang. Mendadak seperti orang pingsan. “Pas mau masuk, badan seperti tertimpa batu dari punggung. Setelah itu tak sadar diri, seperti orang tidur,” kata Afu.

Kemenyan berfungsi menguatkan ilmunya. Tambah semangat. Kalau gurunya datuk –orang Jawa, pakai kemenyan. Kalau gurunya Tionghoa, tak pakai kemenyan.

Datuknya bernama Kinsan dari Jawa. Guru yang lain bernama Bu Mian Ciong Kiun.
Yang masuk ke tubuh Afu bernama Gum Chit Sian Bong, dan punya kemampuan sebagai tabib.

Afu jadi ta-thung sejak umur 18 tahun. Ketika itu, ia berdiri di depan pintu rumah. Tiba-tiba ada bayangan terbang. Ada ruh yang masuk ke tubuhnya. Dia langsung bengong. Tubuhnya terasa demam, seperti orang tak sadar.

Sejak kemasukan ruh, ia tak bisa konsentrasi saat guru menerangkan di depan kelas. Afu sering melamun dan bengong hingga setahun lamanya. Sehingga, mau tak mau ia berhenti sekolah. Setelah membuat Pekong, ia langsung sembuh total.

Afu tak banyak bicara. Bahasa Indonesianya kurang lancar. Ia selalu ditemani sang mertua, Fifi (43). Mertua ini yang menterjemahkan apa kemauan Afu saat kemasukan ruh.

Seperti juga para ta-thung maupun anggota keluarganya, seandainya boleh memilih, Fifi tak ingin Afu jadi ta-thung. “Apa boleh buat, sudah kemasukan. Bukan kemauan,” kata Fifi.

Mula-mula ia tidak ingin punya menantu ta-thung. “Jadi ta-thung tak bisa kerja apa-apa. Harus pulang,” kata Fifi.

Afu tak bisa keluar kota. Ia selalu berada di Singkawang. Afu pernah ke Taiwan. Namun, ia merasa tidak tenang. Ia selalu ingin balik ke Singkawang.

Saat anaknya hendak menikah dengan Afu, Fifi tak bisa menolaknya. “Kalau memang jodohnya, orang tua tak bisa menghalangi,” kata Fifi.

Fifi merasa menantunya membawa hoki atau keberuntungan. Afu membuka tempat biliar. Tiap hari dapat hoki.

Fifi selalu menjaga Afu ketika menantunya ini melakukan atraksi. Fifi selalu pakai helm saat upacara berlangsung. Di dalam helm itu ada jimat dari singsang supaya tidak kemasukan. “Karena saya dari dulu selalu urusi itu, maka harus jaga-jaga,” kata Fifi.

Setiap ta-thung punya hari tertentu untuk memperingati hari jadinya. Ulang tahun itu biasanya permintaan dari ruh atau Dewa yang mengikuti. Afu memperingati ulang tahun gurunya pada tanggal 9 bulan Imlek.

Banyak hal yang harus disiapkan untuk itu. Ada tebor, bir, kue bulan, tebu, limau dan lainnya. Semua memiliki makna. Tebu bentuknya beruas-ruas seperti tangga. Maknanya, pekerjaan atau usaha juga bertingkat sampai ujung. Kue bulan adalah kue ulang tahun. Limau supaya bisa membawa hoki. Bir untuk menjamu tamu-tamu guru.

Setiap ulang tahun butuh dana sekitar Rp 3-4 juta. Uang itu dipergunakan untuk memberi angpao pada setiap orang yang membantu. Namun, biasanya dalam kegiatan itu, banyak orang yang pernah ditolong dan disembuhkan Afu, turut membantu. Dalam berbagai ritual dan kegiatan, Afu dibantu pengusaha pakan ternak. Pengusaha ini merasa “dibantu” oleh Afu dalam berusaha.

Saat menjadi ta-thung, Afu menggunakan dua tandu. Pada ujungnya dipasang dua tiang untuk pegangan. Tandu hitam pada sebelah kanan ada pedang besar. Pada sebelah kiri ada tombak besar dengan bentuk setengah bulan. Tandu merah, ada tombak dan bulan sabit di sebelah kanan. Bagian bawah tandu diberi baja setajam pisau. Di atas baja tajam itulah, Afu berdiri tanpa alas kaki dan menggoyang-goyangkan tandu ke depan dan belakang, samping kiri dan kanan.

Afu pernah terluka dalam atraksinya. Luka itu seperti disilet pisau di bagian bawah kakinya. Ketika itu, dia belum punya tandu sendiri. Masih ikut tandu orang. Kini, selama punya tandu sendiri, ia tak pernah alami luka. Tandu itu berwarna merah dan hitam. Untuk membuatnya butuh dana sekitar Rp 3 juta setiap tandunya.

Meski kebal senjata tajam, atraksi para ta-thung tetap saja mengkhawatirkan orang-orang terdekatnya. Siau Ling (24), istri Afu juga merasa khawatir bila Afu melakukan atraksinya.

“Ada perasaan takut juga, kalau Afu luka,” kata Siau Ling.

Dari perkawinan itu, lahir dua anak. Satu lelaki dan perempuan. Lelaki bernama Yung-yung (6). Perempuan bernama Cia-Cia (2). Kedua anak itu belum terlihat ada bakat ta-thung.

Siau Ling berharap dan menurut saja pada garis nasib yang telah ditentukan. Namun, kalau boleh memilih, dia tak ingin anak jadi ta-thung. “Tak bisa ke manapun,” katanya.

Meski ruh para Dewa bisa dipanggil kapanpun, namun tak pernah muncul saat di kamar ketika keduanya sedang berduaan.

Ta-thung harus saling menjaga dan menolong, saat kemasukan ruh. Karenanya, orang yang tidak berkepentingan saat ta-thung kerasukan, jangan berdiri di jalur perjalanan ta-thung. Bisa kena marah atau dikejar. Ketika selesai melakukan atraksi, tubuh Afu lelah sekali. Kepala juga masih terasa puyeng.

Begitulah kehidupan dan kisah para ta-thung. Meski memiliki kemampuan istimewa, sebagian besar ta-thung yang ditemui, tidak ingin keluarganya menjadi ta-thung. Meskipun para Dewa atau leluhur yang memilihnya. Inilah sebuah ironi di balik kehidupan para ta-thung atau manusia sakti itu.


Edisi cetak ada di Majalah Suara Baru, edisi November 2009

Baca Selengkapnya...

Thursday, October 1, 2009

Bakar Kapal Wangkang

Ritual Penutup Sembahyang Kubur
Oleh: Muhlis Suhaeri
Kalimantan Barat yang multikultur dan etnis, memiliki tradisi dan budaya beragam. Salah satunya, ritual sembahyang kubur bagi warga Tionghoa. Sembahyang kubur dilaksanakan dua kali setahun. Pada bulan dua dan tujuh penanggalan Imlek. Sembahyang bulan dua dinamakan Cheng Beng. Sembahyang bulan ketujuh dinamakan Cit Gwee Puah. Sembahyang berlangsung dari tanggal 1 hingga 15.

Selama 15 hari, sebanyak 50 yayasan yang menaungi ratusan marga, bergiliran melakukan ritual sembahyang kubur. Waktu pelaksanaan sudah ditentukan. Biasanya, hari pertama sembahyang kubur dibuka oleh marga Halim, karena dianggap marga terbesar.


Menurut kepercayaan warga Tionghoa, pada bulan kedua dan tujuh penanggalan Imlek, pintu akherat dibuka. Mereka yang sudah meninggal, arwahnya akan turun ke bumi dan mengunjungi keluarganya. Nah, saat itulah, keluarga harus mengadakan sembahyang kubur, supaya ketemu arwah leluhur.

Penanggalan Imlek menggunakan sistem lunar atau bulan. Ini berbeda dengan penanggalan Masehi yang menggunakan sistem matahari. Tahun 2009 masehi, sama dengan 2560 tahun Imlek.

Pada sembahyang bulan ketujuh Imlek, kita bisa menyaksikan ritual budaya yang sungguh menarik. Namanya, ritual bakar kapal Wangkang. Ritual ini dilaksanakan sebagai puncak dari ritual sembahyang kubur pada hari ke 15.

Menurut buku Aneka Budaya Tionghoa Kalimantan Barat, karangan Lie Sau Fat atau XF Asali, sembahyang kubur di Tiongkok tanpa acara pembakaran kapal Wangkang. Di Pontianak, malah ada ritual itu. Kapal Wangkang atau Jong Son mempunyai arti Kapal Samudera. Kapal berfungsi mengangkut ruh-ruh yang tidak diurus oleh keturunan atau yang tidak ada keturunannya, supaya bisa kembali ke tempat kelahirannya. Sebab tiap-tiap ruh mesti ada asal-usulnya.

Mereka harus melalui samudera, maka diperlukan kapal Wangkang.

Pada ritual sembahyang kubur, orang Tionghoa dari Kalimantan Barat yang merantau ke berbagai daerah di Indonesia, kembali ke Pontianak, Singkawang, atau daerah lain di Kalbar. Para perantau ini, kebanyakan tinggal atau bekerja di Jakarta, Bandung, Batam dan Surabaya.

Bisa dipastikan, pada bulan-bulan ini, penerbangan penuh sekali. Harga tiket bisa dua kali lipat harganya. Bila pada bulan biasa harga tiket pesawat dari Jakarta atau Pontianak, sebesar Rp 400 - 740 ribu, pada sembahyang kubur bisa mencapai Rp 1-1,4 juta.

Pada bulan ini, Kota Pontianak semarak dengan berbagai kebutuhan sembahyang kubur. Seperti, kertas uang-uangan. Kertas ini sebagai simbol uang tail atau uang pembayaran. Buah jeruk, apel, pisang, pear, belimbing dan tebu, juga dibtuhkan bagi sembahyang kubur.

Ritual sembahyang kubur, sebagian besar dilakukan orang Tionghoa penganut Buddha, Kong Hu Cu dan Taoisme. Biasanya setiap keluarga melakukannya. Tak hanya keluarga, sembahyang kubur juga dilakukan setiap marga. Tujuannya, bila ada yang meninggal, tapi tidak disembahyangi keluarganya atau tak memiliki keturunan, maka anggota marga yang menyembahyanginya. Setiap marga berkumpul dalam satu yayasan. Puncaknya, pada tanggal 15, sembahyang kubur dilakukan Yayasan Bhakti Suci, yang menaungi seluruh yayasan Tionghoa di Kalbar.

Waktu pelaksanaan sembahyang kubur, tergantung setiap keluarga. Biasanya dipilih hari baik. Seiring dengan kesibukan setiap orang, biasanya hari libur dipilih sebagai hari melaksanakan ritual sembahyang kubur. Namun, setiap marga yang bernaung dalam yayasan, biasanya memiliki waktu tetap, bagi pelaksanaan sembahyang kubur setiap tahunnya.

Pagi itu, sekitar pukul 6.00 WIB, saya ketemu keluarga Vivi Hiu (23) di pemakaman Yayasan Bhakti Suci, Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya. Bhakti Suci merupakan yayasan yang menaungi semua yayasan Tionghoa di Kalbar.

Vivi datang dengan seluruh keluarganya dari pihak bapak. Ia menyembahyangi kakeknya. Nenek, Tjhau Gek Lan (78) tidak tidak boleh ikut sembahyang kubur. Begitu juga ketika kakek meninggal, nenek tidak boleh mengantar ke kuburan.

Bentuk kuburan itu lumayan besar. Sekira tiga kali tiga meter. Pada nisan tertera huruf China dengan gambar foto kakeknya. Nama dan foto nenek yang masih hidup, juga sudah ada di sana. Namun, nama dan foto itu, ditutup dengan kertas warna merah. Kalau neneknya sudah meninggal dan menempati areal tersebut, kertas merah itu bakal dicabut.

Komplek pekuburan Bhakti Suci luasnya puluhan hektar. Masing-masing keluarga dan marga, memiliki kavling di pekuburan ini. Setiap keluarga dan marga mesti beli.
Saya perhatikan, keluarga Vivi membawa buah anggur, apel, jeruk, klengkeng dan pear. Juga ada nasi, kue-kue, baju, dupa, daging babi, ayam atau itik, dan ikan. Semua daging dalam keadaan matang. Daging mewakili kehidupan di tiga wilayah, darat, udara dan air.

Hal yang tak boleh tertinggal adalah, kertas sembahyang. Kertas ini tengahnya ada cat perak. Kertas melambangkan uang atau tail. Semua peralatan itu, membutuhkan dana sekitar Rp 600 ribu. Yang paling mahal kertas tail emas atau Kim Cua. Kertas ini langsung didatangkan dari daratan Tiongkok. Modelnya satu ikat, harganya Rp 20-30 ribu. Tergantung kualitas kertas.

Ketika tiba di pekuburan, keluarga ini melakukan sembahyang kepada Dewa Bumi atau Thau Ti Pekong. Sembahyang ini, ibaratnya permisi kepada Dewa Bumi. Mereka akan melakukan sembahyang kubur, pada leluhurnya. Doa ini dipimpin sang ayah.

Ritual dilanjutkan dengan sembahyang kepada kakek. Ini, untuk menyapa kakek, bahwa keturunannya sudah datang. Keluarga juga bertanya, apakah kakek sudah bangun dari tidur, dan bagaimana keadaannya. Ritual diiringi menyulut dupa atau hio. Buah, makanan, baju, daging dan peralatan yang dibawa, ditaruh di depan nisan. Barang-barang ini, dipercaya bisa dipakai dan dimakan arwah leluhur. Ritual ini juga diiringi dengan menuangkan arak putih dan teh ke poci kecil. Minuman ini sebagai pengiring makanan yang terhidang.

Saya mencandai Vivi, “Wah, kakek bisa mabuk dong minum arak?”
“Oh, arak ini tidak memabukkan, kok.”

Sembari menunggu kakek “menyantap” makanan yang dibawa, keluarga ini melipat lembaran-lembaran kertas uang, menjadi segi tiga. Bentuk ini menyerupai uang tail kuno yang biasa digunakan di Tiongkok, dulunya. Dengan melipat kertas, nilai tukarnya dipercaya lebih tinggi. Sehingga kakeknya memiliki cukup uang, untuk belanja di alam baka. Bila kertas tak dilipat, nilainya tak seberapa.

Selepas itu, keluarga ini melakukan sembahyang tiga kali. Ritual ini, memanggil dan tanya pada kakek, apakah dia sudah menyantap hidangan makanan dan minuman yang dibawa. Selanjutnya, uang kertas disembahyangkan. Lalu, uang dibakar untuk kakek. Ritual diakhiri dengan bakar uang kertas bagi Dewa Bumi. Kegiatan tersebut, menutup ritual sembahyang kubur keluarga ini.

Seluruh makanan, daging, kue, buah-buahan yang dibawa ke pekuburan, kecuali nasi, dibawa pulang lagi ke rumah. Selanjutnya, keluarga makan-makanan itu secara bersama.

Saya penasaran dan tanya pada Vivi, “Bagaimana cara mengetahui, makanan yang terhidang itu, sudah dimakan arwah leluhur?”
“Dari bau makanan tersebut. Kayak basi, tapi bukan basi,” kata Vivi.

Agak jauh dari keluaga Vivi, sembahyang kubur Yayasan Sungai Beringin berlangsung. Jumlah mereka sekitar 30 orang. Ini sembahyang untuk marga. Tujuannya, orang-orang yang tak sempat disembahyangkan keluarganya, diwakili oleh marganya.

Yayasan Sungai Beringin beralamat di Jalan Gajah Mada Pontianak, biasanya sembahyang kubur pada hari kesepuluh, setiap tahunnya. Sembahyang kubur dipimpin para sesepuh dan tetua yayasan. Marga Lim atau Halim, biasanya sembahyang pada hari pertama sembahyang kubur. Marga Tan, pada hari kedua sembahyang kubur. Selain faktor hari baik, waktu sembahyang juga diatur, supaya tidak terjadi penumpukan orang ketika sembahyang.

Urutan dan ritualnya sama dengan ritual sembahyang kubur yang dilakukan keluarga.
Namun, makanan, kue, daging, kertas uang yang dibawa, tentu lebih banyak. Namanya juga bekal bagi banyak orang. Ada babi dan kambing satu ekor. Suasana meriah sekali. Umbul-umbul dan bendera marga tertancap di sekitar areal pelaksanaan ritual. Juga batang-batang tebu. Ini melambangkan kemakmuran. Rasa tebu manis. Lonceng dan genta juga ada.

“Sesaji merupakan sumbangan dari para pengusaha, panitia dan orang-orang kaya satu marga,” kata Andrew Yuen, pemuda yang ikut sembahyang.

Pada tanggal 15 penanggalan Imlek, saya datang lagi ke pekuburan Yayasan Bhakti Suci. Hari itu merupakan hari terakhir sembahyang kubur. Semua wakil yayasan hadir. Ini sembahyang kubur kolosal.

Semenjak pagi, masyarakat menyediakan berbagai makanan, buah-buahan, kue dalam keranjang dan menaruhnya di depan rumah. Siangnya, pengurus setiap yayasan membawa sesajian ke pekuburan Yayasan Bhakti Suci.

Di lapangan depan pekuburan, semua sesajian dihamparkan. Dengan sesajian ini, dilakukan sembahyang Shi Ku atau Sembahyang Rebutan. Setelah diberi doa, masyarakat berebut mengambil sesajian. Setiap orang Tionghoa yang mengikuti ritual tersebut, harus ikut berebut. Tidak peduli orang kaya atau miskin. Mereka percaya, dengan mendapatkan sesajian yang terhidang, rejeki tahun itu, bakal lancar.

Ada mitos dalam sembahyang Shi Ku, mereka yang berebut tidak boleh jatuh atau terpeleset. “Bisa kemasukan ruh,” kata Yuen.

Selepas sembahyang Shi Ku, ritual dilanjutkan dengan prosesi pembakaran kapal Wangkang. Kapal ini terbuat dari kertas. Kerangkanya dibuat dari kayu cerucuk.
Anek Abe (61), si pembuat kapal menjelaskan, kapal dibuat selama 20 hari. Biayanya sekitar Rp 20 juta. Biaya pembuatan ditanggung Yayasan Bhakti Suci. Panjangnya sekitar 21 meter. Lebar kapal 3,6 meter. Tinggi 1,2 meter.

“Setiap tahun, panjang kapal ditambah 5 cm. Alasannya, setiap tahun, arwah yang dibawa semakin banyak,” kata Anek, yang sudah 15 tahun membuat kapal Wangkang tersebut.

Setiap tahun, warna kapal berubah. Tak ada kepastian warnanya apa. Yang menentukan Yayasan Bhakti Suci. Tahun kemarin, 2008, warna kuning dan biru dengan garis merah di tengah. Tahun ini, warnanya kuning dan merah dengan garis hijau di tengah.
Kapal terbuat dari kayu cerucuk sekitar 300 batang, dan papan sekitar 200 keping. Pembuatan kapal membutuhkan kain sekitar 300 meter. Lama pembuatan sekitar 20 hari, dan dikerjakan sebanyak enam pekerja. Mereka dibayar secara harian, Rp 40-60 ribu.

Anek tak tahu pasti, kapan tradisi bakar Kapal Wangkang dimulai. Menurutnya, sebelum dia lahir, tradisi itu sudah ada. Bahkan, ketika zaman Orde Baru, perayaan itu tetap dilaksanakan. “Kalau tak dilaksanakan, nanti arwahnya ngamuk. Kota Pontianak bisa tak aman,” kata Anek.

Lim Yak Seng (56), salah satu pembuat kapal bercerita, pelaksanaan bakar Wangkang, awalnya berada di depan klenteng tertua yang berada di komplek pertokoan Pasar Kapuas Indah. Namun, karena wilayah itu sudah mulai padat, sekitar tahun 1990-an, pelaksanaan bakar Wangkang dipindahkan ke pemakaman Bhakti Suci.

Ada dua layar warna putih dengan tulisan huruf China. Layar pertama tertulis Ik Fan Fong Sun. Layar kedua atau belakang Sun Fung Tek Li. Dua kalimat tersebut, kira-kira begini artinya, “Selamat jalan mudah rejeki. Terus berjalan lurus mengikuti angin.”
Dalam kapal Wangkang, ibarat kapal sungguhan. Ada nahkoda, awak kapal, juru mudi, juru tulis, tempat sembahyang atau kelenteng. Semua dari kertas. Bekal untuk berlayar juga ada. Ada kue, buah kelapa, pinang, beras, sayur mayor, dan berbagai buah-buahan lainnya. Kertas uang atau Kim Cua bertumpuk-tumpuk sebagai bekal.

Menjelang pembakaran kapal Wangkang, dilaksanakan upara ritual sembahyang. Para petinggi Yayasan Bhakti Suci mewakili sembahyang. Ritual berlangsung di depan kapal Wangkang bagian haluan. Urutan dan prosesi, sama dengan sembahyang kubur keluarga atau yayasan. Selesai sembahyang, mereka mengitari kapal Wangkang. Selepas itu, setiap pengurus memegang kayu yang ujungnya diberi sumbu dari kain.

Setelah semua pengurus memegang kayu, bensin dituang ke bawah kapal Wangkang. Dengan aba-aba, mereka menyulut kapal kertas itu.

Seketika, api menyala dengan cepat. Bersama api dan asap yang membumbung tinggi, para arwah diantar menuju tempat terbaiknya. Pemadam kebakaran yang sedari tadi siaga, mulai menyemprotkan air di atas kapal Wangkang. Tak langsung kena ke kapal. Tujuannya, supaya bara api tidak terbang dan jatuh di perumahan penduduk.

Sore itu, saya menikmati pemandangan yang terasa sejuk di hati. Diantara kobaran api yang membara mengiringi ritual dan prosesi adat, anak-anak kecil Tionghoa, berjingkrak dan berlarian dengan riang. Lepas dan bebas. Mengantar para arwah kembali ke tempatnya.□

Edisi cetak ada di Majalah Suara Baru, edisi Oktober 2009.
Foto-foto Muhlis Suhaeri

Baca Selengkapnya...

Friday, July 3, 2009

Kledik, Harta Karun Terpendam

Muhlis Suhaeri dan Eko Susilo
Borneo Tribune, Pontianak
Alat musik ini sungguh eksotik bentuknya. Sebuah peniup berbentuk bulat dari labu. Labu kering menghasilkan resonansi bunyi. Labu tersambung dengan lima bambu kecil berdiameter sekira 2,5 cm dan panjang 30 cm. Sebuah bambu lainnya, sepanjang 130 centimeter menjuntai ke atas.

Pipa-pipa bambu berfungsi memperkeras bunyi. Satu bambu menghasilkan satu nada. Setiap bambu kecil memiliki lubang yang berfungsi mengatur nada dan bunyi.

Pada ujung bambu paling panjang, sebuah labu kecil bertengger. Fungsinya mempercantik sekaligus penguat bambu. Lilitan rotan mengikat lima bambu dalam satu ikatan, makin mempercantik alat musik ini.


Alat musik ini punya beberapa nama. Ada yang beri nama kledik, kedirek, dan engkurai. Ini jenis alat aerofone atau musik tiup. Kledik termasuk jenis musik tiup yang menggunakan lidah berupa kayu apin. Ini jenis kayu enau, tapi lebih kecil. Pada ujungnya berfungsi menghasilkan vibrasi atau sumber bunyi.

Kledik menghasilkan suara seperti alat musik organ. Alat musik ini, bila ditiup suaranya polyphonic. Yang berarti punya banyak nada atau jumlah nada yang bisa ditekan secara bersamaan. Lawannya monophonic, berarti cuma satu nada yang bisa keluar. Katakanlah, 64 polyphonic berarti ada 64 tuts yang bisa ditekan secara bareng pada waktu bersamaan.

“Padahal, keberadaan alat musik ini diperkirakan sudah muncul sejak 2000-3000 tahun yang lalu,” kata Rizaldi D. Siagian.

Tak heran bila, kledik dijadikan souvenir untuk seorang kepala negara pun, tidak akan membuat malu. Apa pasal? Bentuknya unik dan eksotik. Sehingga membuat alat musik ini, cocok sebagai hadiah. “Gubernur pun tidak akan malu untuk memberikannya pada presiden. Bahkan, Presiden RI, tak bakal malu memberikan alat ini pada Obama, misalnya,” kata Rizaldi.

Cara memainkan kledik dengan cara ditiup atau diisap (freereed), seperti harmonika. Untuk mengatur nada yang keluar dari kledik, dengan membuka dan menutup lubang yang terdapat pada batang bambu tersebut.

“Belum diidentifikasi nada apa-apa saja yang ada. Bagi saya, dia memiliki kekhasan tersendiri,” kata Rizaldi.

Rizaldi seorang etnomusikolog. Menurutnya, ada beberapa negara di Asia Tenggara yang juga memiliki alat tiup yang hampir serupa. Misalnya di Thailand, dan negara Indochina.
Kledik adalah instrumen yang sistem taksonominya berangkat dari alam. Ini bisa dilihat dari penggunaan bambu, labu, dan rotan sebagai pengikatnya. Bahkan, untuk merekatkan bambu dan labu, menggunakan sarang lebah sebagai media.

Kledik ditemukannya di Desa Sungai Buaya, Kecamatan Kelam, Kabupaten Sintang. Menurutnya, kledik di Indonesia hanya ditemukan di desa tersebut. Selain ada alat musiknya, juga ada warga yang bisa memainkan alat musik tersebut. Di Kaltim, alat musik ini ditemukan, tapi sudah tak ada yang bisa memainkannya.

“Di situ letak keunikannya. Selain bentuk dan suaranya, juga ada orang yang bisa memainkannya,” kata pria yang pernah menjadi ketua jurusan musik di Universitas Sumatera Utara (USU), Medan.

Masyarakat di Desa Sungai Buaya, menggunakannya kledik sebagai sarana hiburan. Jadi, bukan dimainkan pada saat upacara sakral atau untuk kegiatan lainnya.

Bagi Rizal, sisi keunikan kledik, sebenarnya bukan tujuan utama yang menjadikannya karya seni bernilai tinggi. Tetapi, ada sesuatu yang bisa dilakukan dengan mengembangkan potensi ekonomi kreatif. Hal itu bisa dilakukan dengan menjadikan kledik sebagai “jalan” untuk mewujudkannya.

“Sangat potensial dari sisi ekonomi, dan harus dikembangkan. Dia menonjolkan kebudayaan yang tinggi sekali, serta memberikan kontribusi yang besar kepada dunia,” kata Rizaldi.

Pelestarian Berbasis Pendidikan
Malam itu, kami berbincang di rumah makan di Jalan Siam, Pontianak. Perbincangan berlangsung seru. Ada antusiasme dan keinginan untuk saling menyelami. Perbincangan mengalir dengan suasana santai.

Di depan kami, seorang berkaca mata dan penampilan tak formal, sedang bicara dengan gayanya yang khas. Terkadang dia berdiri. Bahasa tubuhnya bergerak, seirama dengan apa yang sedang dibicarakan. Kami pun menanggapinya dengan semangat.
Lelaki itu bernama Rizaldi D. Siagian. Ia etnomusikolog asal Medan. Saat ini, ia menetap di Jakarta.

Ia pernah membuat berbagai karya. Salah satunya, film tentang Fadel Muhammad, Gubernur Gorontalo. Sebuah film dokumenter berdurasi delapan menit berjudul “My Forest’s Tears” atau Hutanku Meratap, juga digawanginya. Dia mencipta dan mengisi aransemen lagunya. Film ini masuk nominasi festival film internasional di Jepang.

Lalu, mengapa dia memutuskan untuk menjadi etnomusikolog?

“Etnomusikolog tidak percaya pada musik-musik universal, karena sangat kapitalistik,” jawabnya.
Walapun demikian, Rizal, sapaan akrabnya, pernah menekuni blantika musik cadas atau musik rock. Pada era Flower Generation tahun 70-an, ia pernah eksis di bidang musik.
Saat itu, di Indonesia sedang “demam” musik cadas dengan kiblat berbagai grup band cadas seperti, Led Zeppelin, Deep Purple, Rolling Stones, ELP dan lainnya. Di Jakarta, ada God Bless, sebagai punggawanya. Di Surabaya ada grup SAS. Di Bandung ada The Rollies. Di Medan, ada grup Great Session. Nah, di Great Session inilah, Rizal bertugas menggebuk drum.

Tapi, selama bermain musik, ia merasa tak menemukan kepuasan. “Saya hanya copy paste,” katanya.

Dia hanya meniru dan memainkannya. Karenanya, ia pindah haluan dan lebih memperdalam pengetahuan musiknya. Hasilnya adalah, berbagai pengetahuan tentang musik etnik. Pengetahuan itu dimiliki secara akademis, dan melalui jenjang pendidikan.

Saat menjadi dosen di USU, dia berkesempatan sekolah lagi di Amerikan Serikat, selama tiga tahun pada 1985. Namun, saat dia akan meneruskan hingga tingkat doktor, USU memanggilnya. Ia harus kembali dan mengajar di sana.

Ia menjadi dosen dan kepala jurusan Etnomusikologi di USU. Pada 1992, ia keluar dari USU, dan memutuskan jadi seniman saja. Dari tahun 1992-1999, dia berkiprah di Medan. Pada 1999, ia pindah ke Jakarta.

“Ketika menjadi seniman, saya merasakan bahagia. Dari sisi intelektual, saya harus bisa memberikan kontribusi kepada masyarakat,” katanya.

Selama menjadi etnomusikolog, dia berkeliling ke Indonesia. Perjalanannya ke berbagai daerah, ia menemukan bermacam kebudayaan. Baginya, hal itu memberi ilmu pengetahuan lebih luas dan bisa dikembangkan. Ia kerap menemukan sesuatu diluar dugaan.

Ketika datang ke Kalbar untuk lakukan penelitian alat musik kledik, ia menemukan sesuatu yang tak terbayangkan. Rizal tak hanya menemukan kledik, tapi juga menemukan orang yang sanggup memainkannya.

Untuk meneliti kledik saja, Rizal butuh waktu lima tahun lebih untuk melakukannya.
Kini, ketika sudah menemukan, ia berencana menampilkan kledik dalam pagelaran Megalitikum Kuantum, bersama kesenian Sub Suku Dayak lainnya. Seperti, kesenian Timang yang merupakan tradisi lisan, dimana pengetahuan disusun dalam suatu pantun, kemudian disampaikan dengan cara bersenandung.

Tak hanya menampilkan, dia juga melakukan pemberdayaan masyarakat di sana. Caranya? Membuat ekonomi kreatif sehingga masyarakat bisa berdaya.

“Saya sudah pesan 100 kledik, dan minta tiga orang untuk belajar. Nantinya, ingin saya tampilkan dalam Megalitikum Kuantum,” kata Rizal.
Ditampilkannya kledik dalam Megalitikum Kuantum, merupakan upaya mempromosikan kebudayaan suku Dayak Inggar Silat. Menurutnya, tugas seniman adalah mempromosikannya.

“Saya peduli dengan mereka. Ini bagian martabat bangsa. Jadikan ini semua sebagai identitas martabat kita,” katanya bersemangat.

Ia ingin menunjukkan bahwa, budaya bisa ditampilkan di tempat lain. Pertunjukkan kledik bisa menjadi pembentukan opini dan proses interaksi. Sehingga tidak menutup kemungkinan, kledik jadi suatu kebudayaan bernilai tinggi dan dikenal di seluruh dunia.

Tak hanya mempopulerkannya, ia juga ingin meningkatkan potensi ekonomi masyarakat di sana. Caranya, membuka akses ke desa tersebut. Sehingga orang yang ingin mengetahui kebudayaan dan kledik, bisa langsung datang ke sana. Sehingga perputaran roda ekonomi tidak hanya dari segi “menjual” kebudayaan tersebut, tapi juga diperoleh dari wisatawan yang berkunjung. Ini tentu saja memberikan pendapatan pada penduduk yang menetap di Desa Sungai Buaya.

“Pemerintah juga harus mengambil peranan dalam industri kreatif ini,” kata rizal. Misalnya, membeli kledik langsung dari desa tersebut, terus dipajang di kantor. Dengan langkah ini, pemerintah berarti turut memperkenalkan kledik kepada masyarakat luas.
Dengan mempromosikan kledik, berarti menambah khasanah budaya Kalbar. Sehingga masyarakat Dayak, tak hanya diidentikkan dengan perisai dan Mandau, atau alat musik sape’.

Menurutnya, sekarang ini, tinggal memikirkan bagaimana cara memasarkan kledik. Apakah dengan mengikuti selera pasar, mengedukasi atau memberi pendidikan pada masyarakat, dengan mengajarkan sesuatu yang bermanfaat.

“Bila kebudayaan ini dipaksakan untuk mengikuti selera pasar, maka yang terjadi adalah, kehancuran nilai kebudayan tersebut,” kata Rizal.

Namun, bila dengan mengedukasi kebudayaan tersebut, akan mempertahankan warisan budaya yang sangat berharga ini. Karenanya, interaksi dengan masyarakat luas, harus diciptakan untuk mewujudkan ekonomi kreatif.

Edisi cetak ada di Borneo Tribune 2-3 Juli 2009.
Foto by Eko Susilo

Baca Selengkapnya...

Friday, January 23, 2009

Dialog Naga Tak Capai Mufakat

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak

Ruangan yang tertutup rapat itu, serentak buncak oleh teriakan. Puluhan orang yang sedari tadi hanya menunggu, tanpa dikomando langsung ikut berteriak. Teriakan bergelora, begitu dilihat para pemimpin yang mereka tunggu, keluar dari ruang rapat itu.

Suasana segera terlihat begitu emosional. Berbagai teriakan dan kalimat, meluncur begitu deras, dari wajah-wajah yang terlihat gelisah. Suasana memanas. Namun, tak ada gerakan atau kehendak untuk merusak. Semua masih terkendali. Masing-masing berusaha menahan diri. Massa membubarkan diri.

Saat itu, sedang berlangsung dialog tentang penyelenggaraan iring-iringan Naga dan Barongsai pada perayaan Imlek. Dialog yang difasilitasi Walikota Pontianak, Sutarmidji, berlangsung di kantor walikota, Kamis (22/1). Dalam dialog itu, hadir para utusan dari aparat kepolisian, Kodim, Muspida, tokoh masyarakat Majelis Adat Budaya Melayu (MABM).


Mereka yang baru saja keluar dari ruangan rapat adalah Gerakan Barisan Melayu Bersatu (GBMB). Mereka tidak ikut rapat. Kedatangan massa yang menggunakan satu truk bak terbuka ini, hanya ingin menyampaikan sebuah pendapat. Menolak penyelenggarakan arak-arakan Naga.

Erwan Irawan, ketika ditemui dalam barisan massa menyatakan, ”Tak ada dialog untuk arak-arakan Naga dan Barongsai.”

Kedatangannya ke ruang rapat, tidak untuk membicarakan mengenai dialog Naga dan Barangsai. Ia hanya ingin menyampaikan sebuah surat pernyataan. Dalam surat pernyataan yang ditandatangani dan mengatasnamakan GBMB, ia menyatakan, ”Menolak adanya permainan arakan Naga dan Barongsai untuk bermain di tempat-tempat umum di wilayah Kota Pontianak.”

Nazaruddin yang ikut dalam rombongan dan mengatasnamakan warga di Sungai Jawi, ikut memberikan pendapatnya. Ia tak setuju dengan arak-arakan Naga dan Barongsai. Alasannya, saat umat Islam akan melaksanakan arak-arakan keliling Kota Pontianak, dalam rangka memeriahkan Tahun Baru Islam, 1 Muharram, Pemkot melarang arak-arakan yang dilakukan.

”Ini namanya tidak adil,” katanya, dengan wajah emosi.


Sementara itu, di ruang pertemuan ruang walikota, masih berlangsung dialog. Suasana cair. Tak ada ketegangan. Dalam sebuah pernyataannya, Sutarmidji mengimbau pada warga yang ingin menyampaikan pendapat, agar berlaku sopan dan lemah lembut.

”Sampaikan sesuai dengan adat dan budaya Melayu,” katanya, ”ide boleh keras, tapi cara menyampaikan harus santun.”

Ia yang kelahiran Melayu Pontianak, dalam kehidupan sehari-hari, tak lepas dari adat dan budaya Melayu.

Menurutnya, ia sudah mengajak umat untuk datang pada perayaan 1 Muharram di Lapangan Makorem. Namun, yang datang sedikit saja. Hanya ada sekitar 70 mobil. ”Itupun yang banyak anak-anak,” kata Sutarmidji.

Pelaksanaan arak-arakan Naga dan Barongsai, seolah memang bagai benang kusut di Kota Pontianak. Pemerintah, melalui Walikota Buchary Abdurrachman, pernah mengeluarkan peraturan, SK Walikota Nomor 127 tahun 2008, untuk melarang arak-arakan Naga dan Barongsai di tempat tempat umum. Kini, peraturan itu telah dicaut.

Walikota terpilih, Sutarmidji, yang baru sebulanan menapak tampuk kepemimpinan, mendapat tekanan dari warga yang tak setuju peraturan itu dicabut.

Pada dialog terakhir, aparat kepolisian yang diwakili Wakasat Reskrim Poltabes, Muktar AP, hanya mendukung saja keputusan apa yang bakal dilaksanakan walikota. ”Karena belum ada keputusan, maka kami akan menunggu perkembangan yang akan disampaikan,” katanya.

”Bagaimanapun, semua budaya harus berkembang. Untuk mengembangkan budaya, semua harus bersemangat,” kata Setiman, dari aparat TNI yang ikut dalam rapat tersebut. Nah, kalau ada turis yang datang dan mengeluarkan uang untuk belanja, tentu yang bakal menikmati, masyarakat Kota Pontianak.□

Edisi cetak ada di Borneo Tribune, 23 Januari 2009.
Foto Muhlis Suhaeri


Baca Selengkapnya...

Tuesday, December 2, 2008

Tato Bagi Masyarakat Dayak

Oleh: Muhlis Suhaeri

Sekelompok orang menari. Langkah dan geraknya ritmis. Mereka berderet dalam langkah-langkah teratur. Pakaian para penari khas dan unik. Ada sulaman, manik-manik dan rupa warna berpadu. Gelang dan giwang juga memenuhi tangan dan kaki penari.

Dua orang pemusik memegang Sape’. Ini jenis alat musik khas Dayak Kayaan yang bentuknya menyerupai gitar. Ada beberapa senar. Diantara yang menari, seorang perempuan tua, penuh tato di sekujur tangan dan kaki, ikut bergabung. Gerakannya masih lincah dan bersahaja. Ia seolah membimbing penari muda, mengikuti gerakannya.

Itulah sebuah siang, pada pertengahan bulan Juni di Rumah Betang, Jalan Sutoyo Pontianak. Hari itu, mereka berkumpul menggelar Gawai Dayak Kayaan. Setiap warga Dayak Kayaan di Pontianak, diharapkan hadir dalam acara itu. Berbagai upacara dan ritual adat digelar.


Dalam buku Mozaik Dayak, Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat, selain di Kalbar, subsuku Dayak Kayaan juga ada di Kalteng, Kaltim dan Sarawak, Malaysia. Subsuku Dayak ini cukup terkenal bagi kalangan peneliti.

Dalam masyarakat Dayak Kayaan, ada tiga tingkatan strata sosial. Hipi, bangsawan atau setingkat raja. Panyin, orang bisa. Dan, Diivan atau budak. Strata sosial ini, punya kemiripan dengan Dayak Taman, Lau’, dan Tamambalo. Namun, dalam perkembangannya, strata Diivan, sudah ditiadakan.

Dayak Kayaan memiliki budaya dan kesenian yang cukup dikenal. Tak hanya bagi kalangan masyarakat Dayak, juga masyarakat diluar Dayak. Salah satu contoh adalah seni tato. Seni tato dinamakan Tedak. Ini untuk kata benda. Kalau kata kerjanya, Nedak. Seni tato bagi masyarakat Dayak Kayaan, terutama dilakukan bagi perempuan.

“Dalam adat dan kesenian kami, perempuan harus ditato,” kata Ny Berdanetha JC Oevaang Oeray. Berdanetha perempuan Dayak Kayaan, kelahiran Kecamatan Putussibau, Kapuas Hulu. Ia istri Johannes Chrisostomus Oevaang Oeray, gubernur pertama dari suku Dayak. Berdanetha menikah dengan Oevaang Oeray pada umur 14 tahun. Namun, ia tak tahu persis tanggal kelahirannya. Ia memiliki tato di kedua tangan dan kakinya.

Dulu, ia tinggal di Rumah Betang di Tanjung Kuda, Putussibau. Rumah tradisional masyarakat Dayak bentuknya memanjang. Karenanya, disebut Rumah Betang atau Rumah Panjang. Seperti kebanyakan rumah Betang Dayak, bangunan rumah terletak di pinggir sungai. Yaitu, di Sungai Mendalam.

Masyarakat Dayak hidup secara komunal. Rumah Betang Tanjung Kuda, ada 90 pintu. Rumah dibangun dari kayu Belian. Ini jenis kayu paling keras dan bisa tahan ratusan tahun, meskipun terendam dalam air sekalipun.

Sayangnya, rumah itu tak ada lagi. Rumah terbakar, gara-gara dua remaja sedang memasak di dapur, dan tidak menjaganya. Ia tak ingat pasti, tahun berapa terbakar. Yang pasti, setelah Jepang masuk dan sebelum kemerdekaan. Berarti antara 1942-1945. Menurutnya, rumah itu bagus, besar dan kuat. Paling bagus diantara rumah betang lainnya.

Bagi perempuan Dayak Kayaan, ketika usia menginjak usia 10 tahun, mereka harus ditato. Tato bagi wajib hukumnya. Perempuan yang tidak ditato, dianggap belum dewasa. Kalau tak ditato, mereka tak dianggap dalam lingkungan sosial masyarakat di sana. “Akan diledek dan jadi ejekan,” kata Berdanetha.

Bambang Bider, seorang aktivis Dayak dari LSM Heart of Borneo menyatakan, tato semacam representasi spiritualitas terhadap yang maha tinggi. Semacam tuntunan bagi mereka, ketika meninggal dunia. “Tato menjadi peta dan jalan menuju Apo Lagam atau surga,” kata Bider.

Motif tato Dayak Kayaan, menunjukkan kelas sosial suatu masyarakat. Seorang Hipi atau bangsawan, tentu berbeda dengan kelas sosial biasa, ketika membuat tato. Begitu juga motif yang dipakai.

D. Uyub, lelaki Dayak Kayaan kelahiran Sungai Mendalam, menyatakan bahwa motif tato tidak saja berfungsi sebagai penerang dalam perjalanan di alam baka, hiasan tubuh agar tampak cantik, tapi juga untuk melihat strata sosial. Perempuan itu dari kasta Hipi atau masyarakat biasa. penggunaan motif tato pada kaum perempuan Dayak Kayaan, harus sesuai dengan tingkat strata sosialnya. Tujuannya, selain membedakan tingkat status sosial, juga memiliki makna religi tertentu.

Untuk melihat kasta perempuan Dayak Kayaan, bisa dilihat dari jenis dan motif tatonya. Perempuan Hipi menggunakan beberapa motif. Pertama, Usung Tingaang. Jenis motif ini berbentuk paruh burung Enggang. Ini burung endemik di Kalimantan, yang melambangkan tanda maran atau mulia. Kedua, Kajaa’ Lejo. Bentuknya seperti bekas telapang kaki harimau. Motif ini melambangkan kekuatan dan kegagahan. Kegagahan terlambangkan dengan kehebatan seseorang. Tapak harimau sudah menginjak paha, tapi tidak berbahaya. Karenanya, motif Kajaa’ Lejo menjadi motif tertinggi, pada kalangan perempuan Hipi. Ketiga, Usung Tuva’. Tuva’ sejenis tumbuhan yang akarnya bisa dipakai menuba atau meracun ikan. Motif ini melambangkan kekuatan jiwa, bagi seorang Dayung atau orang yang memimpin doa secara adat. Motif serupa angka delapan atau kurfa. Keempat, Usung Iraang. Motif ini berbentuk piramida. Memiliki ujung tajam. Makna motif, diyakini bisa memberi semangat tinggi, dan kemampuan menganalisa berbagai aspek sosial kehidupan manusia. Kelima, Tena’in Ba’ung. Bentuk motif ini melingkar bulat. Persis lingkaran obat nyamuk bakar. Motif ini mengambil makna usus ikan buntal. Ini sebagai tanda, perempuan siap berkeluarga, dan siap hamil. Ikan Ba’ung perutnya besar, persis perempuan hamil. Keenam, Iko’. Motif ini berbentuk gelombang. Digunakan sebagai batas antara motif satu dengan lainnya. Motif Iko’ tak punya makna khusus.

Motif tato perempuan Panyin, bisa menggunakan motif perempuan Hipi, selain motif Kajaa’ Lejo dan Usung Tingaang. Dua motif itu tak bisa dipakai perempuan Panyin. Akibatnya bisa celaka.

“Jika menggunakan motif tato sembarangan, diyakini akan mendapatkan mala petaka parit,” kata Uyub. Orang tersebut seluruh kulit tubuhnya akan berwarna kuning. Muka tampak pucat, serta perut besar. Penyakit itu diyakini bakal diderita seumur hidup.

Letak tato biasanya pada bagian tangan, kaki dan paha. Letak motif Usung Tinggang pada perempuan Hipi, terletak di paha kiri dan kanan. Tepatnya di atas lutut. Motif Kajaa’ Lejo, di paha kiri dan kanan bagian depan. Motif ini biasanya bercampur dengan Usung Tuva’ dan Usung Iraang, yang juga bisa dipakai kaum Panyin.

Letak motif tato perempuan Panyin, ada di beberapa bagian. Usung Tuva’ terletak di paha kiri dan kanan. Tena’in Ba’ung biasanya dipakai sebagai pembatas dengan motif Usung Tuva’, terletak di paha bagian belakang. Usung Iraang dipakai sebagai pembatas antara motif satu dengan lainnya, bercampur dengan Usung Tuva’dan biasa disebut Iko’. Terletak pada paha bagian depan. Bermakna menandakan ujung bagian yang tajam. Hal itu sesuai dalam Tekna Lawe Idaa Beraan, atau cerita sastra Lawe Idaan Beraan. Lawe adalah seorang tokoh dalam cerita Idaan Beraan.

Peletakan motif Usung Tuva’, Tena’in Ba’ung, Usung Iraang dan Iko’, pada kalangan Hipi bisa sama dengan kaum Panyin.

Pada usia 10 tahun, perempuan Dayak Kayaan ditato pada bagian kaki. Biasanya dari lingkaran engkel hingga betis atas. Ada juga yang hingga ke paha. Kaki bagian jari dan bagian atas juga kena tato. Setelah 12-13 tahun, mulai ditato pada bagian tangan.

Tato dibuat ketika tidak ada kegiatan. Bukan pada musim berladang. Tukang tato biasanya perempuan. “Mereka memiliki kemampuan yang diturunkan secara turun temurun. Tidak boleh sembarangan orang,” kata Bernadetha.

Alat membuat tato terbuat dari kayu. Ada tangkai pemukul dari kayu. Namanya Lutedak. Di ujung kayu ada jarum tato. Jarum dicelupkan ke tinta, setelah itu mengikuti ukiran yang sudah ada. Motif tato berupa cetakan di kayu. Kulit yang akan ditato, dicap dulu dengan alat cetakan ini. Setelah itu, jarum tato mengikuti gambar. Cetakan tato disebut Klinge. Ukuran Klinge sudah paten.

Tinta untuk membuat tato, dikumpulkan dari asap lampu pelita. Lampu ini bahan bakarnya tanah, dan ada sumbu pada ujungnya. Asap yang keluar dari ujung sumbu ditampung. Ketika dipakai, asap dicampur dengan air. Meski dari asap pelita, tapi kualitasnya bagus. Pernah suatu ketika, Bernadetha tersiram air panas. Namun, tatonya tidak apa-apa.

Tak ada pantangan ketika orang ditato. Orang yang ditato, tak boleh bicara. Alasannya, dikhawatirkan tato tak jadi dan tak tuntas, karena melanggar aturan. Ibarat orang sedang menggoreng dan mempersiapkan sebuah makanan, tidak boleh diajak bicara. Bagian yang sudah ditato, dibersihkan di sungai, untuk hilangkan kotoran dan daki.

“Meskipun baru ditato, tapi tak bisa hilang, saat dibersihkan di sungai. Heran, aneh juga,” kata Berdanetha.

Setelah ditato, biasanya bagian itu terasa bengkak. Tapi, tak menimbulkan inveksi. Obat untuk tato, beras yang disangrai atau ditumbuk halus. Lalu, beras dicampur dengan akar Bado. Ini jenis tumbuhan merambat. Cara membuatnya, akar ditumbuk dan dicampur dengan beras. Lalu, diurap dan dibalurkan ke tubuh yang telah ditato. Setelah itu, dibalurkan, seperti bedak dingin.

Tato paling sakit di kaki bagian atas, karena langsung kena tulang. Bila tidak kuat, akan menangis. Tangisan ini dilakukan sambil bernyanyi. “Hehehe......Istilahnya sambil bedayu atau menyanyi,” kata Berdanetha. Lagunya seperti menangisi orang yang meninggal.

Sekarang ini, tato tak dipakai lagi pada perempuan Dayak Kayaan. Hanya orang tua saja yang masih memikiki tato. Sebabnya? Faktor pendidikan dan pergaulan, membuat perempuan Kayaan tak lagi membuat tato di tubuhnya. “Mosok sekolah di kota, tapi lain dari yang lain,” kata Berdanetha.

Tak adanya Rumah Betang bagi komunitas masyarakat Dayak Kayaan, setidaknya turut membuat tradisi dan seni tato turut menghilang.

Selain masyarakat Dayak Kayaan, secara tradisi, tato juga dikenal di kalangan masyarakat Dayak Iban, dan Kenyah, kata Gerar Gabriel Martinus Daria.

Menurutnya, tato bagi masyarakat Dayak, lebih kepada nilai seni. Keberadaan tato sudah ada ratusan tahun lalu, seiring munculnya seni ukir pada masyarakat Dayak.

Gerar dari Kecamatan Benua Martinus di Kapuas Hulu. Ia membuat tato sejak usia 30 tahun. Menurutnya, tato merupakan tanda kebanggaan, ciri khas, dan tak ada unsur magis. Tapi, tato tidak boleh sembarangan. Misalnya, tato Naga. Kepala naga harus menghadap ke bawah. “Supaya tidak makan diri sendiri,” kata Gerar.

Dalam bahasa Dayak Martinus, Naga disebut dengan Naboaou atau mahlug penjaga air. Supaya hari tidak hujan, maka minta pertolongan pada Naboaou.

Bagi Dayak Iban, tato ada di semua badan. Selain Naga, burung Enggang atau Rangkong juga sering dibuat untuk motif tato. Terutama bagi masyarakat Dayak Iban. Mereka lebih banyak ke Sayap Enggang. Ini melambangkan keagungan. Burung Enggang merupakan simbol kesetiaan. Selama betina bertelur dan mengerami telornya, sang jantan akan selalu berada di depan sarang yang terbuat dari lubang pohon, dan mengantarkan makanan bagi betina.

Selain Enggang, gambar tato yang selalu ada di Dayak Iban adalah, Bunga Terong. Gambar ini selalu ada di dada kanan dan kiri. Ini lebih kepada nilai artistik. Namun, motif tato tidak spesifik, harus dipakai siapa. Misalnya saja Iban, bisa ditato apa saja, karena motifnya itu-itu saja.

Tato membuat ciri khas dari suatu suku orang Dayak.

Motif Dayak Kenyah berupa akar-akaran, ular dan segala binatang. Tato Dayak Kayaan lebih halus, kecil dan lebih rumit. Motifnya terutama akar-akaran. Motif akar selalu dipakai, karena orang Dayak tidak bisa dipisahkan dengan hutan dan isinya. “Jadi, aneh saja bila orang Dayak dianggap merusak hutan. Kehidupan mereka tidak bisa dipisahkan dengan hutan,” kata Gerar. Simbol-silmbol yang ada itulah, kemudian dimunculkan di tato. Simbol lain adalah, babi, ular dan anjing.

Tumbuhan akar, rebung, dan pakis, juga sering dijadikan motif untuk tato. Resam bentuk daunnya seperti sisir tali, dan bisa dibuat untuk kalung. Kantung Semar juga simbol yang bagus untuk membuat tato.

“Pada dasarnya, membuat tato seperti membuat motif pada Gunungan di Wayang Kulit. Ini ibarat pohon kehidupan,” kata Gerar. Ada pohon, binatang, berjajar hingga naik ke atas, seperti gambar Gunungan.

Dulu, membuat tato dengan menggabungkan 5-7 jarum menjadi satu. Setiap jarum dibatasi dan ada tandanya, setiap kedalamannya. Butuh waktu tujuh jam sampai satu hari. Tergantung pembuatannya. Namun, membuat tato biasanya tidak sekaligus. Yang paling berat adalah membuat arsir.

Orang membuat tato dari tinta Cina. Tinta ini dipakai karena sangat lengket. Orang Dayak menyebutnya Tawat. Terkadang, orang menggunakan arang batu baterei. Caranya, baterei arang dihancurkan dengan air. Namun, bahan ini, warnanya kurang bagus dan pudar.

Dulu, ada upacara adat untuk membuat tato. Namanya, Adat Batato. Adat ini lebih memohon keselamatan, sehingga ketika membuat tato tidak salah. Adat Iban, Kayaan, Kenyah, hampir sama. Dalam upacara adat ini, keluarga yang bakal ditato, menyembelih babi atau ayam. Ini merupakan bentuk dari syukuran. Di Rumah Betang, keluarga yang akan membuat tato, mengadakan syukuran, dan memberitahu komunitas keluarga lain.

Membuat tato tak sekali jadi. Upacara dilakukan tak sampai satu hari lamanya. Upacara dilakukan sekali saja, ketika orang itu akan membuat tato. Tato merupakan proses yang terus menerus. Tak sekali jadi.

Sekarang ini, ketika membuat tato, unsur adatnya sudah hilang. Namun, ada kejadian yang membuat orang bertato, dianggap preman. Zaman itu disebut Petrus atau penembak misterius. Ini era 80-an. Begitu juga dengan tradisi telinga panjang bagi perempuan Dayak di Rumah Betang. Pemerintah menganggap hal itu tidak bagus, sehingga tidak dibina.

“Sekarang ini, ada kecenderungan anak muda Dayak memiliki tato. Ada kebanggaan kalau memiliki tato,” kata Gerar.

Pada berbagai acara Gawai Dayak, selalu dilakukan pembuatan tato. Sifat dan motif tatonya kontemporer. Tato jenis ini, dasarnya tetap. “Proses tato juga berkembang sesuai dengan proses kehidupan,” kata Gerar.

Namun, sekarang ini ada yang rancu dan tidak pas. Misalnya, orang Dayak membuat tato Gergasi atau Barong dengan lidah menjulur. Lidah menjulur untuk barong dari Bali. Sekarang ini, pertatoan sudah mulai menjadi tren, seperti zaman dulu. “Yang pasti, tato Dayak tidak identik dengan preman,” kata Gerar.

Tak hanya orang Dayak biasa, tato juga melekat pada seorang biarawan. Bruder Stephanus Paiman, misalnya. Dia berasal dari Dayak Kandayatn. Biasa dipanggil Bruder Step. Ia dari Ordo Kapusin.

Menurutnya, tato bila badan tidak kuat, bisa demam dua minggu. Apalagi kalau tato di leher, orang bisa tidak sanggup makan selama dua minggu.

Orang tua tidak mempermasalahkan, ketika dia membuat tato. Mulai dari kakek, kakak, sudah biasa membuat tato.

Bruder Step ayahnya dari Dayak Kandayatn. Ketika zaman mengayau atau berburu kepala masih berlaku, kalau orang selesai mengayau, tangan kanannya diberi tanda tato. Bentuknya bulat dan di tengahnya ada dua garis silang. Lebar lingkaran sekitar dua senti meter. Tiap dapat satu kepala, bulatan itu bertambah, hingga melingkari tangan, seperti gelang. Lingkaran awal berada di ujung pergelangan tangan. Satu lingkaran bisa memuat 12 lingkaran. Setelah penuh, tanda lingkaran itu dibuat ke atas, atau arah siku. Kalau sudah penuh, harus ke atas lagi.

Bruder Step memiliki kakek bernama Kek Uban di Bantanan, Kabupaten Sambas, perbatasan dengan Biawak, Sarawak. Tatonya berbentuk gelang. Dari ujung tangan hingga ke siku.

Sebelum masuk biara, Bruder Step sudah membuat tato. Sejak SMU, mulai membuat tato berciri khas Kalimantan. Alasan ia membuat tato, karena unsur seni. Pertama kali membuat tato, antara 1974-1975. Tato pertamanya bergambar kepala Harimau di dada kanan. Ini melambangkan keberanian dan keperkasaan. Dia mengakui, dulunya suka berkelahi.

Gambar kedua burung Garuda terbang di dada kiri. Ini melambangkan kebebasan.
Ada motif Dayak Kandayatn dibuat di kaki. Di tangan kanan, ada burung Enggang yang dikitari Pakis. Di tangan kiri ada gambar Kalajengking dikitari pakis.

Membuat tato dengan motif binatang berbisa, memiliki arti tersendiri. Orang percaya, tato Kalajengking atau binatang berbisa lainnya, kalau pemiliknya memukul, bisa berakibat fatal. Apalagi ada tahi lalat di tangan. Ceritanya, bakal berbahaya bila memukul orang.

Namun, bila ada tato Ular, Kalajengking atau binatang berbisa lainnya, bila masuk ke wilayah pedalaman, harus izin dulu dengan masyarakat setempat. Tujuannya, supaya tidak diuji atau dicoba masyarakat. Misalnya, masyarakat mengirim Ular, Kalajengking atau lainnya.

Ketika di biara, Bruder Step memperbanyak tatonya. Alasannya, hal itu tidak bertentangan dengan konstitusi dan aturan hidup di Kapusin. Tidak ada ajaran gereja yang melarang hal itu.

Bagi Bruder Step, membuat tato berhubungan dengan sesuatu yang ideologis. Di Ordo atau kehidupan biarawan gereja, ada yang namanya mendera diri. Sejarahnya, pada abad pertengahan, banyak pengikut dari Ordo Fransiskus, hidup mendera diri dengan cambuk. Mereka ingin merasakan penderitaan Yesus dalam perjalanan menuju Golgota.

“Saya membuat tato, karena ada darah yang saya bayangkan, adalah penderitaan Yesus,” kata Bruder Step. Ia menerapkannya dengan tato. Ketika masuk biara, ia membuat kepala Yesus dengan hiasan Mahkota Duri. Gambar itu ada di bagian perut.

Sekarang ini, ada beberapa imam yang punya tato di tubuh. Cirinya khas. Yesus Sang Gembala. Gambarnya, Yesus dengan tongkat dan dua anak domba.

Bruder Step punya tato gambar salib di pangkal tangan kanan. Gembala di dada kanan atas. Di punggung ada gambar naga dan burung Phoenix.

Suatu ketika, ada ada Master General dari Roma, Italia, John Chardou datang ke Kalimantan Barat pada 2003. Ia berkata, “Step satu-satunya Kapusin yang bertato di seluruh dunia.”

Ada beberapa pengalaman unik, dengan tato di tubuhnya. Pada 2003, Bruder Step dan Romo Ignatius Sandyawan Sumardi SJ, menjemput TKI yang diusir dari Malaysia di Tanjung Priok. Pelabuhan ini terkenal dengan para preman dan calonya. Karenanya, Bruder Step diminta maju sebagai garda depan oleh Romo Sandyawan.

Pengalaman lainnya, ketika naik bis, tidak ada penumpang yang berani duduk di dekatnya. Tapi di sisi lain, ia kerap diincar Buser atau tim buru sergap polisi.

Begitu juga ketika ia sedang jalani pendidikan Novisat di Parapat, Medan, selama satu tahun. Setelah itu, pendidikan filsafat di Pematang Siantar, Medan, selama lima tahun. Ia tinggal di asrama selama jalani pendidikan.

Di Sumatera, ada anggapan umum, orang bertato dianggap preman.

Suatu ketika ia menuju kota, ada keperluan. Saat hendak kembali ke asrama, ia kehabisan uang. Ia cari akal. Apa boleh buat, ia simpan dulu kalung rosarionya, dan memasukannya ke kantong celana. Lalu, ia membuka dua kancing bajunya, sehingga tatonya terlihat.

Kebetulan, bangunan asrama berada dekat dengan jalur angkutan. Sehingga begitu turun, ia bisa mengambil uang di asrama. Saat itu, angkutan menggunakan colt pick up, Mitsubishi Colt 300.

Setelah angkutan sampai di dekat asrama, Bruder Step bicara pada kernetnya, “Tunggu sebentar, saya ambil uang di asrama.”

Tapi, sang kernet malah tidak mau, dan langsung minta supir untuk tancap gas. Meninggalkan tempat itu.□

Foto-foto by Muhlis Suhaeri

Baca Selengkapnya...

Saturday, July 26, 2008

Antar Ajung

Menghidupkan lagi ritual dan tradisi yang telah lama ditinggalkan

Oleh; Muhlis Suhaeri

Siapa tak kenal Sambas? Sambas dikenal dengan jeruknya yang manis dan keelokan pariwsata budayanya. Sambas berada di pantai utara wilayah Kalimantan Barat. Berjarak sekitar 250 km dari ibukota provinsi, Pontianak.

Masyarakat Sambas hidup dari pertanian dan maritim. Kombinasi ini membuat budaya, tradisi dan pola kehidupan masyarakatnya, mengabungkan hal tersebut. Salah satunya budaya Antar Ajung. Ritual yang dilakukan sebelum menyemai padi. Asa juga ritual menjelang panen, ruah emping. Ruah artinya keselamatan. Emping berarti panen.

Antar Ajung memiliki makna, mengantar ajung. Ajung berasal dari kata Jung. Ini nama untuk kapal dengan dua layar utama. Bentuknya mirip kapal Shanghai dalam film-film Hongkong. Masyarakat susah menyebut kata Jung. Untuk lebih memudahkan pengucapan, ditambah huruf A.


Sejak dulu, masyarakat Sambas memang sudah akrab dan mengenal jenis kapal layar ini. Sambas merupakan pelabuhan internasional, dulunya.

Antar Ajung merupakan budaya masyarakat pesisir Melayu Sambas, ketika hendak menyemai padi. Dilakukan pada bulan Jumadil Awal, pada kalender Hijriah. Atau, pada Juni, penanggalan masehi. Biasanya, bulan itu musim hujan mulai datang. Tujuan lainnya, menyatukan musim tanam. Bila menanam secara bersama, hama padi akan berkurang.

Ritual Antar Ajung tak tentu waktunya. Pelaksanaan berdasarkan kesepakatan para tetua adat. Lalu, apa makna Antar Ajung bagi warga di Sambas?

“Dengan pelaksanaan Antar Ajung, kite dijaohkan dari marabahaya,” kata Azis Auli (68), warga Pipitteja, Paloh, Sambas. Masyarakat berharap, dengan Antar Ajung mereka dijauhkan dari berbagai macam roh jahat, hama wereng dan tikus. Karenanya, ruh-ruh jahat itu, mesti ‘diikat’ dan dibawa dengan ajung, menuju laut lepas. Dia percaya, ada perubahan hasil panen karena pelaksanaan Antar Ajung.

Tahun 2008, merupakan tahun kedua pelaksanaan Antar Ajung secara besar dan bersama-sama. Tradisi ini sudah 50 tahun ditinggalkan masyarakat. Alasannya, karena dianggap syirik atau menyekutukan Allah.

Kalaupun ada yang tetap melakukannya, sendirian saja. Misalnya, Awang Bujang (75) yang sudah melaksanakan Antar Ajung sejak 1953. Setiap tahun, dia membuat Ajung sendiri, dan melarungkannya ke laut. Sekarang ini, Dinas Pariwisata Sambas sudah mulai membantu kegiatan ini. Bahkan, sudah menjadikannya agenda pariwisata.

Pelaksanaan Antar Ajung dilaksanakan di Kecamatan Tanah Hitam dan Paloh. Setiap dusun membuat satu ajung. Tak ada pakem dalam pembuatan ajung. Ukurannya tak dibatasi. Besar atau kecil, terserah saja.

Saya coba tanya pada Azis tentang hasil panen, setelah dilaksanakan Antar Ajung.
“Kalau ajungnya besar, hasil panennya besar juga?”
“Hehehe.......”

Azis tak memberi jawaban. Sawah di Sambas diukur dengan borong. Dia kerjakan tiga borong. Enam borong setara dengan satu hektar. Untuk menghasilkan satu ton padi, biasanya dengan luasan dua borong. Itupun hasil panen setahun sekali.

Ajung dibuat dari kayu Jelutung. Warga menyebutnya kayu Pelaik atau Lempung. Ini jenis kayu ringan dan mudah terapung. Warga juga menggunakan kayu Sengon, atau lainnya. Kayu diambil dari pinggir hutan di sekitar kampung.

Panjang ajung sekira 1-2 meter. Lebar badan sekira 20-30 cm. Tinggi layar sekira 2-3 meter. Ada tiga layar di ajung. Layar depan, berfungsi menentukan arah kapal, selain kemudi tentunya. Layar utama dan kedua untuk membuat ajung berlayar. Di samping ajung diberi cadik atau katir. Ini sebagai penyeimbang, supaya ajung tidak roboh. Di bagian buritan ada kemudi dari kayu keras. Biasanya dari kayu Baris atau Kompas yang bisa tenggelam.

Ajung dibuat beramai-ramai atau sendiri. Tak ada ritual khusus dalam membuat ajung. Namun, komposisi panjang, tinggi dan lebar layar sangat menentukan, ajung bisa melaju dengan kencang atau tidak.

Biaya pembuatan ajung ditanggung secara bersama seluruh warga dusun, atau orang yang merasa mampu melakukannya. Satu ajung menghabiskan dana sekitar Rp 250-300 ribu. Sanggar Buana Lancang Kuning memberi bantuan Rp 50 ribu, pada setiap dusun, untuk pembuatan ajung.

Azis Auli membuat ajung sendiri. Ia menghabiskan waktu sebulan lamanya. Namun, tak demikian dengan Mathan (35), warga Tanah Hitam, Paloh. Dia membuat ajung bersama lima orang dari dusunnya, selama empat hari. Ajung itu dibuat dari kayu Sengon yang tengahnya dibuat lubang jalur, sehingga menyerupai bentuk perahu sungguhan. Setelah bagian tengah dicoaki, atasnya ditutup dengan triplek tipis, sehingga berat ajung akan ringan. Alat membuat ajung terdiri dari ketam, kapak, pabang, cat, paku, kain, dan lainnya.

Satu hari sebelum pelaksanaan Antar Ajung, masyarakat mengambil air di tong besar. Yang sudah didoakan sang pawang. Air itu dicipratkan ke rumah masing-masing. Zar’in, warga Pipitteja, sore itu memercikkan air ke sekitar rumah. Ia percaya, ini sebagai tolak balak. Malamnya, diadakan doa bersama di setiap dusun.

Doa dilakukan di rumah yang ada ajungnya. Ajung diberi sesajian dan ‘bekal’. Ada ketupat, kue cucur daram-daram, miniatur perabotan dapur, nyirok atau alat penampi beras, pinang, buah kelapa, beras ratih atau padi yang disangrai. Bekal ini diibaratkan, dalam berlayar orang membutuhkan semua peralatan dan makanan tersebut. Buah pinang disediakan, karena dulu orang suka menyirih. Kelapa mesti ada, sebab bisa diminum di perjalanan. Beras ratih untuk menyambut kedatangan tamu. Yaitu, makhluk tidak bisa dilihat.

Dalam ritual ini, ada acara menjumput beras kuning dan retih, lalu ditaburkan ke ajung. Ada daun juang, pepapas, daun mayang, menyan, dan air di tempayan yang telah diberi doa. Warga datang ke acara selamatan dengan membawa ketupat. Setelah sampai di rumah yang punya hajat, ketupat dikumpulkan dan dimakan secara bersama. Tuan rumah menyediakan kopi, teh dan makanan kecil. Begitulah kebersamaan yang menaungi ritual ini.

Malam itu, warga di Dusun Pipitteja, berkumpul di rumah Azis Auli. Ada satu ajung di pelataran rumah. Seorang pawang atau dukun, telah memberi doa dan mengisi ajung dengan berbagai syarat dan bekal. Tepat di depan rumah, anak-anak melafalkan lagu-lagu berbahasa Arab, diiringi sebuah musik dari kerincingan. Tepat pukul 21.00 WIB, mereka berdoa. Setelah itu makan bersama.

Kepala Desa Pipitteja, Nandes (37), hadir dalam kesempatan itu. Dalam upacara tersebut, kepala desa melimpahkan sepenuhnya kegiatan kepada tokoh adat.

Meski pernah lama tak diadakan, sebagian besar warga mengetahui ritual Antar Ajung. Mereka bercerita pada anak-anaknya. Setidaknya, itulah yang dilakukan Abdul Rosyid (59), warga Pipitteja. Ia punya enam anak. Semua anak tahu cerita tentang Antar Ajung.

Agak jauh dari lokasi itu, suasana lebih semarak. Di Dusun Danau Peradah, Paloh, ratusan orang ramai berkumpul. Ada puluhan ajung. Setiap ajung ditaruh pada sebuah kayu penyangga. Ada berbagai perlengkapan ritual, mulai dari beras ratih, daun juang, pinang, apam, dan lainnya.

Dulu, ada 16 pawang. Satu ajung satu pawang. Sekarang ini, cuma ada dua pawang. Di dusun ini, ritual mengisi ajung meriah sekali. Ada puluhan orang dukun. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka diminta masyarakat menyembuhkan penyakit atau mengusir ruh jahat. Usia mereka beragam. Dari anak muda hingga orang tua. Dukun bisa dimasuki ruh halus. Masuknya ruh harus melalui ritual dan upacara khusus. Bangsa halus ini mesti dipanggil. Ketika ruh hendak masuk ke raga, para dukun ini, kadang terjengkang ke belakang. Setelah itu sadar lagi, dan ruhnya bisa masuk.

Hamdi, dukun muda duduk di arena kegiatan. Di hadapannya, Awang Bujang (75), pawang, duduk sambil mengisap rokok. Hamdi mengikat kain kuning di kepalanya. Ia memusatkan diri. Konsentrasi. Setelah itu, dia terjengkang ke belakang. Lalu, ia bangkit dan duduk lagi. Tak berapa lama, ada yang ”masuk”. Terjadi dialog antara Hamdi yang sudah kerasukan dengan Awang Bujang.

”Sape name?”
”Saye orang kebenaran dari Batu Bejamban, Paloh.”

Bahasa Melayu Sambas, hampir sama dengan bahasa Melayu Pontianak atau bahasa Betawi. Cuma, beda dilogat atau ejaan. Sape name dan saye dilafalkan dengan nada tinggi, seperti menyebut kata tempe.

Paloh hingga sekarang, dianggap angker dan keramat. Nama tempat yang ada di sana, menyiratkan hal itu. Misalnya, Tanah Keramat, Tanah Hitam, dan lainnya. Pusat kehidupan bangsa dan ruh halus, ada di Batu Bejamban. Ini sebuah batu di Sungai Tengah. Bentuknya seperti jamban, tempat orang mandi. Letaknya sekitar tiga jam naik perahu klotok dari steigher di Tanjung Harapan, Sekura. Konon, banyak bersemayam ruh orang sakti dan keramat. Seorang warga Malaysia menyumbang sebuah villa, karena mendapat lotere, setelah menyepi di sana.

Awang minta Hamdi memeriksa perahu Lancang Kuning. Setelah menjumput bertih dan beras kuning, ia keliling memeriksa satu persatu ajung. Dengan mata terpejam dan tangan bergetar terus, Hamdi yang sudah kemasukan ruh, berkeliling memeriksa setiap ajung.

Ketika sadar dan selesai melakukan ritual, saya bertanya pada Hamdi.
”Bagaimana rasanya ketika kemasukan ruh orang kebenaran, Gusti Imam?”
”Seperti mimpi saja.”
“Kok bisa berjalan ke mana-mana?”
“Dituntun same orang kebenaranlah.”

Acara berlangsung hingga tengah malam. Ada puluhan dukun. Mereka punya karakter dan kelakuan unik, saat kemasukan ruh. Ada yang menari-nari sambil diiringi musik. Berlari-lari terus mengitari lapangan. Berjingkrak-jingkrak. Bahkan, ada yang naik ke beberapa ajung. Pakaian yang dikenakan juga beragam. Ada model pakaian Melayu, Dayak, Tionghoa, dan lainnya. Sesuai dengan ruh yang masuk. Ruh terdiri dari panglima perang, orang keramat, dan dote-dote (datuk).

Emma dari Sanggar Buana Lancang Kuning mengatakan, tahun ini tak hanya ritual Antar Ajung. Tapi juga ada festival. Ada 18 ajung bakal dilarung ke laut. Yang dinilai dalam festival adalah, kecepatan ajung ke tengah laut. Bentuk dan keindahan. Dalam Antar Ajung kali ini, ada berbagai pertunjukkan budaya dari setiap peserta. Tujuannya, selain melakukan ritual, juga melestarikan dan menampilkan berbagai budaya Sambas.

Menurutnya, kalau Antar Ajung sudah dilaksanakan, pawang tidak boleh bicara apapun mengenai ritual adat ini. Dikhawatirkan bisa kena ke tubuhnya. Ada beberapa pantangan harus dijauhi, setelah ritual Antar Ajung. Tidak boleh memotong binatang, ayam, kambing dan lainnya. Pantang menebang kayu besar atau sagu. Tidak boleh melaksanakan acara bersifat keramaian. Seperti pernikahan, sunatan atau lainnya. Seluruh masyarakat berlaku hal ini. Dulu, tiga hari pantangannya. Sekarang ini, satu hari saja berlaku.

Bila ada yang melanggar, hukumannya membuat ketupat 100 buah. Ketupat harus dibagikan ke seluruh rumah warga. Hukuman ini terasa ringan. Namun, ini merupakan sanksi moral. Semua orang jadi tahu kesalahannya. Selain itu, mereka yang melanggar, harus membayar Rp 25 ribu. “Uang itu sebagai infak ke masjid setempat,” kata Abdul Gani (61), Ketua Dewan Adat Melayu Desa Pipitteja, Kecamatan Pimpinan.

Pagi hari, masyarakat berbondong-bondong memenuhi jalan. Mereka mengarak ajung menuju pantai Tanah Hitam. Setiap dusun mengarak ajung yang mereka buat. Jarak dusun dengan tempat prosesi sekitar 15-17 km. Kalau terlalu jauh, biasanya ajung diangkut dengan mobil bak terbuka. Setelah dekat, baru diarak beramai-ramai.

Dalam arakan itu, ajung didampingi pawang. Dia selalu mengibaskan mayang atau bunga pinang yang terlebih dulu dicelup ke air tolak balak. Pinang menjadi ciri khas dari tradisi di masyarakat Melayu. Masyarakat Dayak biasanya pakai daun juang.

Tiba di pantai Tanah Hitam, semua ajung dijejer di pinggir pantai berpasir putih ini. Wilayah ini terletak di laut China Selatan. Menurut Mathan, yang tinggal di sana, dinamakan Tanah Hitam, karena dulunya ada tanah berwarna hitam. Sekarang tak ada lagi.

Serombongan peserta dari Dusun Peria Desa Tanah Hitam, didampingi tiga pawang perempuan. Sunnah (70), Halipah (65), dan Limah (60). Ketiganya memakai pakaian kuning, khas busana Melayu. Ketiganya mengisi ajung dengan ritual di pinggir pantai ini.

Pelepasan ajung berlangsung dua kali. Ajung yang bersifat ritual dan festival. Ajung ritual merupakan penyelenggaraan yang bersifat tradisi. Ajung festival merupakan ajung yang dilombakan.

Tepat tengah hari, ajung tradisi dilarung ke tengah laut. Beberapa orang menggotong ajung dan membawanya ke air. Begitu di air, angin yang bertiup kencang, langsung membawa ajung ke tengah lautan. Namun, ada juga ajung yang tak bisa jalan, bahkan miring dan hampir tenggelam.

Ajung yang dilarung ke laut, bisa sampai ke pulau Serasan di laut Natuna. Jaraknya sekira 10 jam perjalanan dengan perahu mesin nelayan dari pantai ini.

Selepas ajung dilarung, orang kembali lagi ke pinggir pantai. Sebuah panggung sederhana didirikan untuk menampung para penyanyi dan pengisi acara. Rombongan dari Pemda dan DPRD Sambas juga datang, meski dalam bentuk perwakilan.

Pertunjukkan dilanjutkan. Tarian dan nyanyian kembali bergemuruh. Dalam kata sambutannya yang dibacakan staff-nya, bupati Sambas, Burhanuddin A. Rasyid mengatakan, melalui kegiatan ini, diharapkan bisa mengembangkan perbedaan dalam kemenangan. “Gali terus nilai budaya, sepanjang tidak bertentangan dengan nilai agama,” katanya.

Menjelang pukul 15.00 WIB, awan mendung mulai menutupi areal kegiatan. Gerimis mulai menetes. Ajung yang berderet di pinggir pantai, serentak diberi aba-aba untuk segera dilarung. Dua hingga empat orang dari setiap dusun, mengangkat ajung. Setelah diberi aba-aba, mereka berlari dengan serentak menuju laut.

Kondisi itu menimbulkan pemandangan dramatik. Ada teriakan. Ada cipratan air laut. Ada pandangan ribuan warga. Semua meluruh bersama dengan ajung yang mulai terlarung.□

Edisi cetak ada di Koran Tempo, Agustus 2008

Foto Muhlis Suhaeri






Baca Selengkapnya...

Saturday, May 24, 2008

“Fan Nyin” Bukan Setengah Manusia

Awal bulan ini saya mendapat kiriman dari anak saya di Yogyakarta 1 buah buku yang berjudul: “Orang Cina Khek dari Singkawang”, karangan Prof. Dr. Hari Poerwanto, Guru Besar Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada, cetakkan tahun 2005.

Buku ini memang belum sempat saya baca secara keseluruhan, tetapi membaca secara sepintas, diantaranya pengantar Penerbit Komunitas Bambu (Edi Sudrajat) pada halaman VI bagian bawah terdapat beberapa kalimat yang mengusik perhatian saya, seperti dikutip di bawah ini:


“Sedangkan masyarakat Singkawang kadang menyebut suku bangsa bumiputra dengan istilah Fan Nyin, artinya setengah manusia atau barbar”. Sebagai putra daerah yang kebetulan dari suku Khek/Hakka, juga fasih, memahami betul dialeg Khek, saya merasa istilah ini sangat menyesatkan dan tidak etis karena dapat dikonotasikan memandang rendah terhadap martabat saudara kita bumiputra, serta menimbulkan kesalahpahaman yang berkelanjutan sampai ke generasi anak cucu kita.

Di zaman reformasi ini perlu adanya semangat keterbukaan dan saling mengenal serta memahami, maka saya merasa terpanggil dan berkewajiban berkomentar apa adanya berdasarkan fakta dan data yang kami ketahui. Karena tulisan Bapak Profesor Dr. Hari Poerwanto adalah buku yang “serius“ (dikerjakan selama 15 tahun ) yang tentu nantinya akan banyak dibaca dan dipakai sebagai referensi oleh generasi muda kita, jangan hanya karena ketidaktahuan/ketidakpahaman sesaat, akan merusak sendi-sendi persatuan kebangsaan kita di masa depan.

Penterjemahan kata “Fan Nyin” yang diterjemahkan artinya menjadi “Setengah Manusia” di editor buku tersebut, mengingatkan saya pada 1 dekade yang lalu, pernah seorang penulis lokal Kalbar menterjemahkan demikian juga. Pada waktu itu, saya tidak menanggapinya karena saya mendapat informasi bahwa penulis ini adalah “pendatang baru” di Kalbar, yang menulis berdasarkan pengamatan pribadinya.

Dan sekarang kembali saya membaca lagi istilah “Fan Nyin” = setengah manusia, dari buku ilmuwan yang Guru Bbesar Antropologi berpengalaman, sehingga membuat saya mau tidak mau memberanikan diri menginformasikan penterjemahan yang benar.

Untuk lebih jelasnya asal usul kata “Fan” ini, saya mengutip dari Kamus Mandarin
“Phiau Cun Kuok Ing Suek Sen Xi Tian” atau Kamus Standard Bahasa, Siswa Mandarin tahun 1952, dimana tulisan kata: “FAN” diartikan: di luar batas Negara Tiongkok, perbatasan. Sedangkan “NYIN“ diartikan sebagai manusia, komunitas orang, sehingga kata “Fan Nyin“ kalau diterjemahkan akan berarti: orang/komunitas asing, masyarakat yang berada di luar perbatasan Negara Tengah/Tiongkok.

Perlu diketahui zaman dahulu di Tiongkok (Negara Tengah), dinasti kekaisaran Cina saat itu menganggap Negaranya terletak di tengah, sebagai sentral, pusat semesta, sehingga menganngap suku bangsa yang di luar perbatasan negara tengah sebagai suku Fan.
Masa itu Kekaisaran di daratan Tiongkok menamai suku-suku di luar Tiongkok (Negara Tengah/China) berdasarkan letak geografis dari arah mata anginnya, sebagai berikut :
Di sebelah Timur Tiongkok disebut “Tung Ie”. Sebelah Barat Tiongkok disebut “Si Yung”. Sebelah Selatan Tiongkok disebut “Nan Man”. Dan, sebelah utara Tiongkok disebut “Pei Tik”.

Saya masih ingat ,semasa Perang Dunia II tahun 1941, kami komunitas peranakan Tionghoa di Singkawang sendiri juga disebut “Fan Nyin” yang artinya Orang/asing, orang di luar perbatasan Tiongkok.

Sedangkan saya anak kecil disebut “ Fan Tse” artinya, anak orang asing (Fan = orang asing/orang diluar Tiongkok/orang di luar Negara Tengah; Tse = anak).

Kalau orang Tiongkok yang merantau ke Selatan/ASEAN, masih disebut dengan “Ko Fan “ (Ko= merantau/melewati; Fan = Perbatasan Tiongkok). Dan bahkan sekarang kalau kami menikah pun masih disebut Kau Fan Pho (Kau = memperistri; Fan Pho = gadis di luar negara Tiongkok). Sehingga biarpun lelaki suku Khek menikah dengan gadis Tionghoa di sini, tetap di sebut Kau Pan Pho. Artinya menikah dengan gadis yang di luar Tiongkok.

Jadi sebutan “Fan Nyin” sama sekali tidak ada konotasi negatif apalagi menghina. Memang arti yang sebenarnya adalah orang luar/asing, orang di luar perbatasan, dan ini semua ada tercantum dalam kamus koleksi saya 1952 yang saya sebutkan tersebut di atas dan tentu saja di kamus kamus modern lainnya.

Dari pengalaman tumbuh dan bergaul bersama dengan teman-teman bumiputra saya semasa kecil, khususnya teman dari suku pesisir, terlihat ada yang sering melafalkan huruf F menjadi P. Jadi kemungkinan saja ada yang salah melafalkan kata Fan Nyin menjadi Pan Nyin. Padahal dalam dialeg Tionghoa beda intonasi saja beda arti. Apalagi salah melafalkan, ini sering saya alami dimana nama kecil saya A Fat tapi dipanggil A PAT. Hal ini kami anggap hanya salah pengucapan saja, tidak ada unsur kesengajaan.

Seperti masih juga sering kita temui orang orang tua Tionghoa yang susah membedakan untuk melafalkan huruf R dan huruf L.

Saya bukan seorang akademis, tetapi berprinsip belajar itu tidak ada batasnya, jadi kalau ingin memahami suatu hal/perkara, harus belajar/bertanya kepada sumber/literatur yang dapat dipertanggungjawabkan, paling tidak bisa kita perbandingkan dari beberapa sumber.

Saya hanyalah seorang pemerhati sosial dan budaya yang peduli dengan persatuan dan kerukunan anak bangsa, dan sadar tak ada gading yang tak retak, maka harus siap membuka diri untuk dikritik untuk memperkaya wawasan kita bersama.

Kiranya kedepan akan ada usaha usaha dari dunia akademis kita misalnya, Universitas Tanjungpura, Departemen Pendidikan Nasional, Balai kajian sejarah dll, untuk melakukan penelitian dan pengkajian atas keanekaragaman kultur budaya daerah kita yang majemuk.

Mudah-mudahan tulisan ini ada manfaatnya, khususnya bagi yang senang dengan wawasan mengenai adat istiadat serta budaya daerah.

Salam Sejahtera.

X.F. ASALI
Jl. Sisingamangaraja Pontianak

Edisi cetak ada di Borneo Tribune 24 Mei 2008
Foto Lukas B. Wijanarko

Baca Selengkapnya...

Sunday, April 13, 2008

Robo-robo, Wisata Budaya di Negeri Opu Daeng Menambon

Oleh Muhlis Suhaeri

Bagi masyarakat keturunan Bugis di Kalimantan Barat, Rabu minggu terakhir pada bulan Safar, pada kalender Hijriah, merupakan hari yang selalu diperingati dengan sebuah tradisi. Tradisi Robo-robo. Maksud dari kegiatan budaya itu, memperingati kedatangan Opu Daeng Menambon ke Mempawah. Opu merupakan pendiri Kota Mempawah.

Mempawah merupakan ibu kota Kabupaten Pontianak. Dari Kota Pontianak, perjalanan dapat ditempuh dengan waktu sekitar satu jam. Jaraknya sekitar 40 km. Meski agak bergelombang, jalan relatif mulus dan beraspal. Tanah gambut membuat jalan selalu ambles dan retak, terutama pada setiap sambungan jembatan.


Hari itu, saya berkendara menuju Mempawah. Sepanjang perjalanan menuju ke sana, di beberapa daerah, saya berhenti untuk melihat prosesi itu. Masyarakat Bugis yang tersebar di sepanjang garis pantai utara Kalimantan Barat, mulai dari Mempawah, Sungai Purun, Segedong, Sungai Kakap, Kubu Raya, dan lainnya, melakukan kegiatan Robo-robo.

Di Sungai Purun, 22 km dari Pontianak, saya berhenti di SD 1 Sungai Purun. Pagi itu, semua murid di sana, yang terdiri dari beragam etnis berkumpul. Ada suku Bugis, Jawa, Tionghoa, Melayu, Dayak, Madura, dan lainnya. Mereka membawa ketupat, lepat lao, apam, atau makanan kecil lainnya. Ketupat merupakan makanan wajib yang harus dibawa.

Saya menghampiri seorang murid.
”Bawa apa itu?”
”Ketupat.”
”Bawa berapa?”
”Empat butik.”

Murid itu bernama Sahrul (9). Sambil berkata, ia memperlihatkan ketupat di kantong kresek warna hitam yang dibawanya. Ketupat berisi mie, sambal dan rebon udang.

Tak hanya Sahrul yang bawa ketupat ke sekolah. Sarnela dan Edi Gunawan, murid kelas 3, juga bawa. Sebagian besar siswa di sana, membawa makanan. Namun, ada sebagian siswa tak bawa makanan.

Tak hanya siswa. Guru juga bawa ketupat. Sebagai lauk, ada opor ayam, ikan, telur dan lainnya. Menjelang pukul 8.00 wib, siswa kumpul dan berderet di depan kelas. Mereka duduk memanjang dan berderet di lantai sekolah yang terbuat dari kayu.

Pipin (38), guru olah raga, segera membawa nampan dan mengedarkan ke barisan siswa. Siswa meletakkan satu atau dua ketupat yang mereka bawa ke nampan. Dalam sekejap, nampan itu telah penuh. Ketupat segera dibagikan lagi pada siswa yang tak bawa makanan.

Sebelum siswa dan guru makan bareng, guru agama membaca doa. Do’a tolak bala. Berisi harapan supaya kehidupan yang dijalani, dijauhkan dari malapetaka. Dalam kegiatan itu, soal makanan nomor dua. Yang penting kumpul bareng antara siswa dan guru.

“Apa makna Robo-robo?” tanya saya.
“Robo-robo punya nilai kebersamaan dan kesatuan,” jawab Pipin.

Setelah makan bareng, diikuti dengan berbagai kegiatan. Ada pertandingan olah raga atau perlombaan. Ada lomba makan kerupuk, panjat pinang, tarik tambang dan lainnya.

Wagiyem (57), sudah mengajar di SD 1 sejak 1977. menurutnya, setiap tahun kegiatan itu pasti diadakan. “Biarpun kecil, kegiatan memperingati Robo-robo selalu dilakukan,” kata Wagiyem.

Sang kepala sekolah, Surip (50), baru empat tahun mengajar di sana. Ia berasal dari Jawa. Meski bukan suku Bugis, ia juga merayakannya. Ini bentuk pembauran dan mengikuti perkembangan lingkungan. ”Ada kebersamaan dan saling menghargai,” kata Surip.

Pagi itu, tak hanya murid di SD itu yang makan bersama. Masyarakat Bugis di sepanjang jalan dari Pontianak menuju Mempawah, memperingati acara Robo-Robo dengan makan bersama keluarga di luar rumah. Mereka percaya, hal itu merupakan satu cara melakukan talak balak dalam kehidupan yang mereka jalani, kelak.

Selepas mengikuti kegiatan di SD itu, saya melanjutkan perjalanan ke Kota Mempawah. Mempawah merupakan kota transit. Meski terlihat bersih dan tertata, dari segi pembangunan, kota ini terlihat jalan ditempat. Tak ada sentra industri atau kegiatan ekonomi yang cukup berarti di sini.

Yang bisa menunjukkan bahwa kota ini ada, karena di sini ada berbagai bangunan dan kantor pemerintah. Itupun, sebagian besar pekerja dan pegawainya, tinggal di Kota Pontianak. Mereka pulang hari, setelah bekerja.

Tiba di Kuala Mempawah, suasana sudah terlihat ramai. Jalanan penuh orang. Di sudut kiri dan kanan jalan, orang mendirikan warung kecil. Ada warung makan dan minuman, pakaian, suvenir, dan lainnya. Pendirian warung di Kuala Mempawah, berlangsung setahun sekali. Pas, pelaksanaan ritual Robo-robo.

Kuala Mempawah merupakan pertemuan antara Sungai Mempawah dan Laut Cina Selatan. Tempat ini menjadi pusat dari pelaksanaan kegiatan Robo-robo. Tempat ini dibagi dua. Sisi sebelah kiri menjadi pelabuhan penangkapan ikan, dan sebelah kanan pusat armada Angkatan Laut.

Pelaksanaan kegiatan Robo-robo dipusatkan di sebelah kiri Kuala Mempawah. Sebuah tenda besar berisi kursi dan tenda berdiri di sana. Pagi itu, Cornelis, Gubernur Kalbar dan beberapa pejabat teras di Kabupaten Pontianak, hadir di sana.

Saya mengikuti sebuah perahu yang menuju ke ujung Kuala Mempawah. Di pinggir laut itu, puluhan perahu telah berada di sana. Semua perahu dalam kondisi diam, dan melempar sebuah jangkar, agar perahu tak terseret ombak.

Sebuah perahu warna kuning, terlihat mencolok berada di antara puluhan perahu. Perahu ini bernama Lancang Kuning, yang merupakan perahu Kerajaan Amantubillah Mempawah. Di dalam perahu itu, puluhan orang mengenakan seragam kebesaran kerajaan. Ada warna kuning, merah, hitam dan lainnya. Berbagai simbol dan bendera kerajaan berkibar diterpa angin.

Pagi itu, laut di pinggir kuala terasa beda. Kesemarakan warna-warni bendera, baju, dan berbagai perlengkapan upacara, terasa kontras dengan warna langit yang mendung dan gelap.

Dari arah laut, nampak sebuah perahu berisi puluhan orang sedang mendekati kuala. Perahu itu diikuti puluhan perahu kecil. Perahu agak besar itu berisi raja Kerajaan Amantubillah, Mempawah, Pangeran Ratu DR. Mardan Adijaya Kesuma Ibrahim. Ia menggunakan perahu Bedar.

Sejenak kemudian, perahu Bedar mendekati perahu warna kuning. Pangeran Pemangku Adat yang berada di perahu Lancang Kuning, segera melakukan ritual Buang-buang.
Perangkat Buang-buang terdiri dari telur ayam, bertih, kemenyan, dan setanggi. Telur ayam diulas atau diusap dengan minyak wangi. Telur melambangkan awal kehidupan. Bertih adalah padi dari beras kuning yang diongseng. Padi melambangkan kesuburan dan kemakmuran. Kemakmuran di seluruh penjuru angin, air, dan darat.

Setelah Pemangku Adat membacakan doa, semua perangkat Buang-buang dilempar ke laut. Selepas acara Buang-buang, Pemangku Adat mengumandangkan azan dan do’a talak balak.

Buang-buang mempunyai makna, ada keterikatan dan silaturahmi dengan air. Di air ada mahluk dan kehidupan. Ini sangat khas sekali dengan budaya dan tradisi masyarakat Bugis, yang tidak bisa dipisahkan dengan air. Sebagai pelaut, masyarakat Bugis selalu dekat dengan air. Air tak bisa dipisahkan dengan kehidupan orang Bugis. Mereka terkenal sebagai pelaut yang mengarungi berbagai lautan.

Inilah makna dan inti dari Robo-robo. Penyambutan Opu Daeng Menambon, ketika berlayar menuju Kuala Mempawah dari Kerajaan Tayan di Kalbar. Tayan sekarang ini termasuk wilayah Kabupaten Ketapang.

Ketika itu, 1737 Masehi atau 1148 Hijriah, seluruh masyarakat di Mempawah menyambut dengan antusias kedatangan Opu Daeng Menambon. Masyarakat berdiri di sepanjang bantaran sungai Mempawah. Sangking senangnya, Opu Daeng Menambon melemparkan sisa bekalnya berupa ketupat kepada masyarakat.

Nah, sekarang ini, setiap memperingati acara Robo-robo, ketupat merupakan makanan yang harus selalu dihidangkan. Robo-robo merupakan napak tilas Opu Daeng Menambon dan istrinya. Opu keturunan Bugis dan Melayu. Istrinya, Ratu Kesumba, keturunan Dayak, Melayu dan Jawa. Opu punya panglima dari berbagai suku. Patih Kumantar, Panglima Itam dari Dayak. Panglima Amangkuru, Parewang, Sigentas Alam, dari Melayu. Lo Tai Pak, dari etnis Tionghoa. Karaeng Talibe, Matalampang, Bontiak, dari Bugis. Panglima Daeng Siti Fatimah, anak Sultan Hasanudin, meninggal dan dimakamkan di Tanjung Matoa, Kalbar.

Makam Opu Daeng Menambon terletak di atas bukit. Jauhnya sekitar 8 kilometer dari Mempawah. Makam itu dijaga oleh juru kunci makam. Ia seorang Mukti, atau orang yang ahli dalam masalah agama. Namanya, Gusti Amar. Juru kunci dipilih karena garis keturunan.

Makam terletak di atas bukit. Dari bawah menuju puncak bukit, melalui tangga semen sebanyak 256 undak. Ada mitos mengatakan, bila orang menghitungnya dari bawah, jumlahnya tidak akan sama setiap orang.

Selesai ritual Buang-buang, perahu Bedar dan Lancang Kuning segera menyusuri Sungai Mempawah, menuju tempat berlangsungnya upacara. Di panggung kegiatan, puluhan pejabat dan undangan sudah hadir. Ribuan masyarakat dengan sabar berdiri di sisi kiri dan kanan sungai. Mereka dengan antusias menunggu pelaksanaan kegiatan, dan perlombaan perahu yang bakal dilaksanakan, selepas upacara selesai.

Selepas kegiatan seremonial, kegiatan para pejabat dan undangan dilanjutkan di Istana Amantubillah. Bangunan Istana Amantubillah mempunyai karakteristik khas sebagai bangunan Melayu. Seluruhnya dari kayu belian atau kayu besi. Ini jenis kayu paling kuat dan keras dari Kalimantan. Bangunan dari kayu belian sanggup bertahan hingga ratusan tahun lamanya.

Seluruh bangunan istana dicat dengan warna biru muda. Di sebelah kiri bangunan utama, ada ruang untuk menyimpang peralatan musik, sejenis gamelan. Ada gong, kimung, dan lainnya. Seluruh peralatan ini, merupakan persembahan dan oleh-oleh dari kerajaan Jawa, ratusan tahun silam. Dua buah meriam tergeletak di sisi kiri dan kanan halaman istana.

Istana Amantubillah mempunyai lambang ayam jantan dan buaya. Ayam warna hitam dan putih. Ayam melambangkan kejantanan dan keberanian. Hitam melambangkan kejahatan, putih kebaikan. Artinya, kehidupan jangan terlalu memandang duniawi. Buaya melambangkan keperkasaan, kekuatan, dan keperkasaan.

Sekarang ini, mereka yang memegang tampuk dan kerabat istana, merupakan generasi ke 13 dari Opu Daeng Menambon. Ada hirarki dan struktur di Istana Amantubillah. Masing-masing memiliki tugas tersendiri.

Jabatan tertinggi dipegang Pangeran Ratu, berperan dalam urusan kenegaraan. Tugas ini dipegang oleh Mardan Adijaya. Pangeran Pemangku Adat, mengurusi masalah adat, dipegang Gusti Zulkarnaen. Pangeran Laksamana, berhubungan dengan kelaskaran, prajurit atau massa, dipegang Gusti Heri Ansari. Pangeran Bendahara, berhubungan dengan managerial dan urusan rumah tangga Istana, dipegang oleh Utin Sri Beta Candramidi.

Penunjukkan jabatan berdasarkan pada aura kepemimpinan, kecakapan pada diri orang yang menjadi anak dari para pewaris istana. Penunjukkan diputuskan melalui rapat Majelis Amantubillah, dilihat dari keturunan terdekat dengan keluarga sebelumnya.

Siang itu, seluruh undangan dari berbagai kerajaan di Nusantara hadir. Ada utusan dari Kerajaan Sambas, Sintang, Landak, Sekadau, Tayan, Kubu, Ketapang, Solo, dan Kanoman. Tamu dijamu di Istana Amantubillah dengan saprahan.

Hidangan makanan Saprahan dijaga rasa dan keasliannya. Endun, juru masak istana mengemukakan, dalam saprahan menunya khas. Antara lain, udang sere, ikan pindang, ayam opor, osengan, dan sop.

Minumannya, air serbet, terbuat dari serai cengkeh, kayu manis dan cengkeh. Minuman ini berfungsi mengembalikan kesehatan tubuh. Kue terdiri dari bingka labu kuning, kue jorong, tepung beras dibungkus daun pandang wangi. Makanan yang tak boleh diubah, ayam masak putih dan udang sere. Kue jorong tak boleh tertinggal. Setiap tahun harus ada.

Dengan melaksanakan ritual Robo-robo setiap tahun, para kerabat Istana Amantubillah, merasa bisa menjaga dan meneruskan puak Opu Daeng Menambon. Selain itu, menghormati dan menjaga tradisi warisan turun-temurun, sehingga tetap eksis.□

Edisi cetak ada di koran Tempo 13 April 2008.
Foto Muhlis Suhaeri

Baca Selengkapnya...