Saturday, July 26, 2008

Antar Ajung

Menghidupkan lagi ritual dan tradisi yang telah lama ditinggalkan

Oleh; Muhlis Suhaeri

Siapa tak kenal Sambas? Sambas dikenal dengan jeruknya yang manis dan keelokan pariwsata budayanya. Sambas berada di pantai utara wilayah Kalimantan Barat. Berjarak sekitar 250 km dari ibukota provinsi, Pontianak.

Masyarakat Sambas hidup dari pertanian dan maritim. Kombinasi ini membuat budaya, tradisi dan pola kehidupan masyarakatnya, mengabungkan hal tersebut. Salah satunya budaya Antar Ajung. Ritual yang dilakukan sebelum menyemai padi. Asa juga ritual menjelang panen, ruah emping. Ruah artinya keselamatan. Emping berarti panen.

Antar Ajung memiliki makna, mengantar ajung. Ajung berasal dari kata Jung. Ini nama untuk kapal dengan dua layar utama. Bentuknya mirip kapal Shanghai dalam film-film Hongkong. Masyarakat susah menyebut kata Jung. Untuk lebih memudahkan pengucapan, ditambah huruf A.


Sejak dulu, masyarakat Sambas memang sudah akrab dan mengenal jenis kapal layar ini. Sambas merupakan pelabuhan internasional, dulunya.

Antar Ajung merupakan budaya masyarakat pesisir Melayu Sambas, ketika hendak menyemai padi. Dilakukan pada bulan Jumadil Awal, pada kalender Hijriah. Atau, pada Juni, penanggalan masehi. Biasanya, bulan itu musim hujan mulai datang. Tujuan lainnya, menyatukan musim tanam. Bila menanam secara bersama, hama padi akan berkurang.

Ritual Antar Ajung tak tentu waktunya. Pelaksanaan berdasarkan kesepakatan para tetua adat. Lalu, apa makna Antar Ajung bagi warga di Sambas?

“Dengan pelaksanaan Antar Ajung, kite dijaohkan dari marabahaya,” kata Azis Auli (68), warga Pipitteja, Paloh, Sambas. Masyarakat berharap, dengan Antar Ajung mereka dijauhkan dari berbagai macam roh jahat, hama wereng dan tikus. Karenanya, ruh-ruh jahat itu, mesti ‘diikat’ dan dibawa dengan ajung, menuju laut lepas. Dia percaya, ada perubahan hasil panen karena pelaksanaan Antar Ajung.

Tahun 2008, merupakan tahun kedua pelaksanaan Antar Ajung secara besar dan bersama-sama. Tradisi ini sudah 50 tahun ditinggalkan masyarakat. Alasannya, karena dianggap syirik atau menyekutukan Allah.

Kalaupun ada yang tetap melakukannya, sendirian saja. Misalnya, Awang Bujang (75) yang sudah melaksanakan Antar Ajung sejak 1953. Setiap tahun, dia membuat Ajung sendiri, dan melarungkannya ke laut. Sekarang ini, Dinas Pariwisata Sambas sudah mulai membantu kegiatan ini. Bahkan, sudah menjadikannya agenda pariwisata.

Pelaksanaan Antar Ajung dilaksanakan di Kecamatan Tanah Hitam dan Paloh. Setiap dusun membuat satu ajung. Tak ada pakem dalam pembuatan ajung. Ukurannya tak dibatasi. Besar atau kecil, terserah saja.

Saya coba tanya pada Azis tentang hasil panen, setelah dilaksanakan Antar Ajung.
“Kalau ajungnya besar, hasil panennya besar juga?”
“Hehehe.......”

Azis tak memberi jawaban. Sawah di Sambas diukur dengan borong. Dia kerjakan tiga borong. Enam borong setara dengan satu hektar. Untuk menghasilkan satu ton padi, biasanya dengan luasan dua borong. Itupun hasil panen setahun sekali.

Ajung dibuat dari kayu Jelutung. Warga menyebutnya kayu Pelaik atau Lempung. Ini jenis kayu ringan dan mudah terapung. Warga juga menggunakan kayu Sengon, atau lainnya. Kayu diambil dari pinggir hutan di sekitar kampung.

Panjang ajung sekira 1-2 meter. Lebar badan sekira 20-30 cm. Tinggi layar sekira 2-3 meter. Ada tiga layar di ajung. Layar depan, berfungsi menentukan arah kapal, selain kemudi tentunya. Layar utama dan kedua untuk membuat ajung berlayar. Di samping ajung diberi cadik atau katir. Ini sebagai penyeimbang, supaya ajung tidak roboh. Di bagian buritan ada kemudi dari kayu keras. Biasanya dari kayu Baris atau Kompas yang bisa tenggelam.

Ajung dibuat beramai-ramai atau sendiri. Tak ada ritual khusus dalam membuat ajung. Namun, komposisi panjang, tinggi dan lebar layar sangat menentukan, ajung bisa melaju dengan kencang atau tidak.

Biaya pembuatan ajung ditanggung secara bersama seluruh warga dusun, atau orang yang merasa mampu melakukannya. Satu ajung menghabiskan dana sekitar Rp 250-300 ribu. Sanggar Buana Lancang Kuning memberi bantuan Rp 50 ribu, pada setiap dusun, untuk pembuatan ajung.

Azis Auli membuat ajung sendiri. Ia menghabiskan waktu sebulan lamanya. Namun, tak demikian dengan Mathan (35), warga Tanah Hitam, Paloh. Dia membuat ajung bersama lima orang dari dusunnya, selama empat hari. Ajung itu dibuat dari kayu Sengon yang tengahnya dibuat lubang jalur, sehingga menyerupai bentuk perahu sungguhan. Setelah bagian tengah dicoaki, atasnya ditutup dengan triplek tipis, sehingga berat ajung akan ringan. Alat membuat ajung terdiri dari ketam, kapak, pabang, cat, paku, kain, dan lainnya.

Satu hari sebelum pelaksanaan Antar Ajung, masyarakat mengambil air di tong besar. Yang sudah didoakan sang pawang. Air itu dicipratkan ke rumah masing-masing. Zar’in, warga Pipitteja, sore itu memercikkan air ke sekitar rumah. Ia percaya, ini sebagai tolak balak. Malamnya, diadakan doa bersama di setiap dusun.

Doa dilakukan di rumah yang ada ajungnya. Ajung diberi sesajian dan ‘bekal’. Ada ketupat, kue cucur daram-daram, miniatur perabotan dapur, nyirok atau alat penampi beras, pinang, buah kelapa, beras ratih atau padi yang disangrai. Bekal ini diibaratkan, dalam berlayar orang membutuhkan semua peralatan dan makanan tersebut. Buah pinang disediakan, karena dulu orang suka menyirih. Kelapa mesti ada, sebab bisa diminum di perjalanan. Beras ratih untuk menyambut kedatangan tamu. Yaitu, makhluk tidak bisa dilihat.

Dalam ritual ini, ada acara menjumput beras kuning dan retih, lalu ditaburkan ke ajung. Ada daun juang, pepapas, daun mayang, menyan, dan air di tempayan yang telah diberi doa. Warga datang ke acara selamatan dengan membawa ketupat. Setelah sampai di rumah yang punya hajat, ketupat dikumpulkan dan dimakan secara bersama. Tuan rumah menyediakan kopi, teh dan makanan kecil. Begitulah kebersamaan yang menaungi ritual ini.

Malam itu, warga di Dusun Pipitteja, berkumpul di rumah Azis Auli. Ada satu ajung di pelataran rumah. Seorang pawang atau dukun, telah memberi doa dan mengisi ajung dengan berbagai syarat dan bekal. Tepat di depan rumah, anak-anak melafalkan lagu-lagu berbahasa Arab, diiringi sebuah musik dari kerincingan. Tepat pukul 21.00 WIB, mereka berdoa. Setelah itu makan bersama.

Kepala Desa Pipitteja, Nandes (37), hadir dalam kesempatan itu. Dalam upacara tersebut, kepala desa melimpahkan sepenuhnya kegiatan kepada tokoh adat.

Meski pernah lama tak diadakan, sebagian besar warga mengetahui ritual Antar Ajung. Mereka bercerita pada anak-anaknya. Setidaknya, itulah yang dilakukan Abdul Rosyid (59), warga Pipitteja. Ia punya enam anak. Semua anak tahu cerita tentang Antar Ajung.

Agak jauh dari lokasi itu, suasana lebih semarak. Di Dusun Danau Peradah, Paloh, ratusan orang ramai berkumpul. Ada puluhan ajung. Setiap ajung ditaruh pada sebuah kayu penyangga. Ada berbagai perlengkapan ritual, mulai dari beras ratih, daun juang, pinang, apam, dan lainnya.

Dulu, ada 16 pawang. Satu ajung satu pawang. Sekarang ini, cuma ada dua pawang. Di dusun ini, ritual mengisi ajung meriah sekali. Ada puluhan orang dukun. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka diminta masyarakat menyembuhkan penyakit atau mengusir ruh jahat. Usia mereka beragam. Dari anak muda hingga orang tua. Dukun bisa dimasuki ruh halus. Masuknya ruh harus melalui ritual dan upacara khusus. Bangsa halus ini mesti dipanggil. Ketika ruh hendak masuk ke raga, para dukun ini, kadang terjengkang ke belakang. Setelah itu sadar lagi, dan ruhnya bisa masuk.

Hamdi, dukun muda duduk di arena kegiatan. Di hadapannya, Awang Bujang (75), pawang, duduk sambil mengisap rokok. Hamdi mengikat kain kuning di kepalanya. Ia memusatkan diri. Konsentrasi. Setelah itu, dia terjengkang ke belakang. Lalu, ia bangkit dan duduk lagi. Tak berapa lama, ada yang ”masuk”. Terjadi dialog antara Hamdi yang sudah kerasukan dengan Awang Bujang.

”Sape name?”
”Saye orang kebenaran dari Batu Bejamban, Paloh.”

Bahasa Melayu Sambas, hampir sama dengan bahasa Melayu Pontianak atau bahasa Betawi. Cuma, beda dilogat atau ejaan. Sape name dan saye dilafalkan dengan nada tinggi, seperti menyebut kata tempe.

Paloh hingga sekarang, dianggap angker dan keramat. Nama tempat yang ada di sana, menyiratkan hal itu. Misalnya, Tanah Keramat, Tanah Hitam, dan lainnya. Pusat kehidupan bangsa dan ruh halus, ada di Batu Bejamban. Ini sebuah batu di Sungai Tengah. Bentuknya seperti jamban, tempat orang mandi. Letaknya sekitar tiga jam naik perahu klotok dari steigher di Tanjung Harapan, Sekura. Konon, banyak bersemayam ruh orang sakti dan keramat. Seorang warga Malaysia menyumbang sebuah villa, karena mendapat lotere, setelah menyepi di sana.

Awang minta Hamdi memeriksa perahu Lancang Kuning. Setelah menjumput bertih dan beras kuning, ia keliling memeriksa satu persatu ajung. Dengan mata terpejam dan tangan bergetar terus, Hamdi yang sudah kemasukan ruh, berkeliling memeriksa setiap ajung.

Ketika sadar dan selesai melakukan ritual, saya bertanya pada Hamdi.
”Bagaimana rasanya ketika kemasukan ruh orang kebenaran, Gusti Imam?”
”Seperti mimpi saja.”
“Kok bisa berjalan ke mana-mana?”
“Dituntun same orang kebenaranlah.”

Acara berlangsung hingga tengah malam. Ada puluhan dukun. Mereka punya karakter dan kelakuan unik, saat kemasukan ruh. Ada yang menari-nari sambil diiringi musik. Berlari-lari terus mengitari lapangan. Berjingkrak-jingkrak. Bahkan, ada yang naik ke beberapa ajung. Pakaian yang dikenakan juga beragam. Ada model pakaian Melayu, Dayak, Tionghoa, dan lainnya. Sesuai dengan ruh yang masuk. Ruh terdiri dari panglima perang, orang keramat, dan dote-dote (datuk).

Emma dari Sanggar Buana Lancang Kuning mengatakan, tahun ini tak hanya ritual Antar Ajung. Tapi juga ada festival. Ada 18 ajung bakal dilarung ke laut. Yang dinilai dalam festival adalah, kecepatan ajung ke tengah laut. Bentuk dan keindahan. Dalam Antar Ajung kali ini, ada berbagai pertunjukkan budaya dari setiap peserta. Tujuannya, selain melakukan ritual, juga melestarikan dan menampilkan berbagai budaya Sambas.

Menurutnya, kalau Antar Ajung sudah dilaksanakan, pawang tidak boleh bicara apapun mengenai ritual adat ini. Dikhawatirkan bisa kena ke tubuhnya. Ada beberapa pantangan harus dijauhi, setelah ritual Antar Ajung. Tidak boleh memotong binatang, ayam, kambing dan lainnya. Pantang menebang kayu besar atau sagu. Tidak boleh melaksanakan acara bersifat keramaian. Seperti pernikahan, sunatan atau lainnya. Seluruh masyarakat berlaku hal ini. Dulu, tiga hari pantangannya. Sekarang ini, satu hari saja berlaku.

Bila ada yang melanggar, hukumannya membuat ketupat 100 buah. Ketupat harus dibagikan ke seluruh rumah warga. Hukuman ini terasa ringan. Namun, ini merupakan sanksi moral. Semua orang jadi tahu kesalahannya. Selain itu, mereka yang melanggar, harus membayar Rp 25 ribu. “Uang itu sebagai infak ke masjid setempat,” kata Abdul Gani (61), Ketua Dewan Adat Melayu Desa Pipitteja, Kecamatan Pimpinan.

Pagi hari, masyarakat berbondong-bondong memenuhi jalan. Mereka mengarak ajung menuju pantai Tanah Hitam. Setiap dusun mengarak ajung yang mereka buat. Jarak dusun dengan tempat prosesi sekitar 15-17 km. Kalau terlalu jauh, biasanya ajung diangkut dengan mobil bak terbuka. Setelah dekat, baru diarak beramai-ramai.

Dalam arakan itu, ajung didampingi pawang. Dia selalu mengibaskan mayang atau bunga pinang yang terlebih dulu dicelup ke air tolak balak. Pinang menjadi ciri khas dari tradisi di masyarakat Melayu. Masyarakat Dayak biasanya pakai daun juang.

Tiba di pantai Tanah Hitam, semua ajung dijejer di pinggir pantai berpasir putih ini. Wilayah ini terletak di laut China Selatan. Menurut Mathan, yang tinggal di sana, dinamakan Tanah Hitam, karena dulunya ada tanah berwarna hitam. Sekarang tak ada lagi.

Serombongan peserta dari Dusun Peria Desa Tanah Hitam, didampingi tiga pawang perempuan. Sunnah (70), Halipah (65), dan Limah (60). Ketiganya memakai pakaian kuning, khas busana Melayu. Ketiganya mengisi ajung dengan ritual di pinggir pantai ini.

Pelepasan ajung berlangsung dua kali. Ajung yang bersifat ritual dan festival. Ajung ritual merupakan penyelenggaraan yang bersifat tradisi. Ajung festival merupakan ajung yang dilombakan.

Tepat tengah hari, ajung tradisi dilarung ke tengah laut. Beberapa orang menggotong ajung dan membawanya ke air. Begitu di air, angin yang bertiup kencang, langsung membawa ajung ke tengah lautan. Namun, ada juga ajung yang tak bisa jalan, bahkan miring dan hampir tenggelam.

Ajung yang dilarung ke laut, bisa sampai ke pulau Serasan di laut Natuna. Jaraknya sekira 10 jam perjalanan dengan perahu mesin nelayan dari pantai ini.

Selepas ajung dilarung, orang kembali lagi ke pinggir pantai. Sebuah panggung sederhana didirikan untuk menampung para penyanyi dan pengisi acara. Rombongan dari Pemda dan DPRD Sambas juga datang, meski dalam bentuk perwakilan.

Pertunjukkan dilanjutkan. Tarian dan nyanyian kembali bergemuruh. Dalam kata sambutannya yang dibacakan staff-nya, bupati Sambas, Burhanuddin A. Rasyid mengatakan, melalui kegiatan ini, diharapkan bisa mengembangkan perbedaan dalam kemenangan. “Gali terus nilai budaya, sepanjang tidak bertentangan dengan nilai agama,” katanya.

Menjelang pukul 15.00 WIB, awan mendung mulai menutupi areal kegiatan. Gerimis mulai menetes. Ajung yang berderet di pinggir pantai, serentak diberi aba-aba untuk segera dilarung. Dua hingga empat orang dari setiap dusun, mengangkat ajung. Setelah diberi aba-aba, mereka berlari dengan serentak menuju laut.

Kondisi itu menimbulkan pemandangan dramatik. Ada teriakan. Ada cipratan air laut. Ada pandangan ribuan warga. Semua meluruh bersama dengan ajung yang mulai terlarung.□

Edisi cetak ada di Koran Tempo, Agustus 2008

Foto Muhlis Suhaeri






No comments :