Wednesday, June 9, 2010

Kisruh Patung Naga di Singkawang

Naga Meliuk Warga Bertumbuk

Makalah Menyulut Amarah (bagian 1)
oleh: Muhlis Suhaeri
Malam semakin larut. Suasana jalan sepi. Hanya angin dan kepak serangga malam, menjadi penguasa jagat, malam itu. Empat orang masih terjaga dan terlibat pembicaraan serius, di tengah isu dan rumor bakal terjadi demo besar pagi harinya di Singkawang, Kalbar.

Aku, satu di antara orang yang sedang berbincang itu. Tiga orang lainnya, guru, PNS dan pemilik warung. Kami berbincang mengenai pilkada langsung di Singkawang, makalah Wali Kota, Hasan Karman, tugu naga, hingga kondisi dan situasi terakhir, pascabentrok antara kelompok FPI dengan aparat kepolisian, 28 Mei 2010.

Singkawang kota yang indah. Dua gunung mengapit dan menghadap laut. Di antara cekungan itu, Kota Singkawang berada. Sesuai dengan nama asalnya, San Keow Jong. Artinya, kota yang diapit bukit dan menjulur ke laut.

Singkawang dihuni tiga etnis besar, Tionghoa, Melayu dan Dayak. Tionghoa sebagian besar tinggal di Singkawang selatan. Melayu di utara. Dayak di timur. Jejak ketiganya, menanda pada nama daerah. Di selatan, ada nama Cong Sa Pa, Atap Kong, Jam Tang, Sakkok, Saliung, Kopi San dan lainnya. Di utara, banyak dimulai dengan nama sungai. Ini nama khas Melayu. Misalnya, Sungai Kunyit, Resak, Daun, Bulan, Garam, dan Nangka. Semelagi Besar dan Kecil. Di timur, Bagak, Mayasopa, Nyarumkop, Sanggau Kulor, Pendereng, Mencong, dan Senggang. Nama-nama itu berasal dari Dayak Selakau. Di Kalbar, Dayak ada 150-an subsuku.

Suku lainnya, Jawa, Madura, Bugis, Batak, Minang dan lainnya. Isu etnisitas sangat sensitif di Kalbar. Sejarah panjang konflik berlatar belakang komunitas etnis, kerap terjadi. Semua waspada.

Dari pembicaraan itu, aku menangkap banyak ketidakpuasan pada pemerintahan Hasan Karman dan pribadinya. Sebagian besar narasumber yang diwawancara, juga menyatakan hal sama. Ada ketidakpuasan menumpuk, kebuntuan komunikasi, segregasi sosial dan kelompok, serta ketidaksiapan sekelompok masyarakat terhadap kepemimpinannya. Pada akhirnya, semua jadi bom waktu yang efektif. Tinggal cari pemantik. Dan, konflik pun terjadi.

Naiknya Hasan Karman atau Bong Sau Fan sebagai wali kota Singkawang, tak lepas dari terbukanya demokrasi dan reformasi 1998. Ia mencalonkan diri dalam pilkada pertama yang dilakukan secara langsung. Ada lima pasangan. Hasan Karman berpasangan dengan Edy R. Yacoub. Awang Ischak dengan Raymundus Sailan. Darmawan dengan Ignatius Apui. Suyadi Wijaya dengan Bong Wui Khong. Syafei Djamil dengan Felix Periyadi. Awang Ischak merupakan incumbent atau wali kota menjabat.

“Secara komposisi, empat lawan satu,” kata Mansyur dari KNPI. Maksudnya, suara Melayu diperebutkan empat calon dari Melayu, dan suara Tionghoa untuk Karman.
Berdasarkan data terakhir pilkada, jumlah penduduk Singkawang sebesar 210 ribu. Jumlah paling besar di wilayah barat dan selatan. Bila sanggup memenangkan dua daerah itu, bisa memenangkan pemilihan. Begitu rumusnya.

Karman muncul pada saat yang tepat. Begitu bertanding langsung menang. “Dia memposisikan diri sebagai pembela yang tertindas. Ini membuat dia menang,” kata Wijaya Kurniawan, pemimpin Majelis Adat Budaya Tionghoa (MABT), cabang Singkawang.
Euforia politik membuat warga Tionghoa memilihnya. Mereka ingin pemimpin Tionghoa di Singkawang. Ini suatu pandangan yang membuat warga Tionghoa sangat antusias mengikuti pilkada. Kantung-kantung warga Tionghoa, secara penuh mendukungnya.

“Suara orang Tionghoa, 90 persen untuk Hasan Karman,” kata Awang Gunawan, tim sukses Awang Ischak. Ia mengontrol seluruh saksi TPS di Singkawang. Malah, ada TPS-TPS, dimana suara Ischak tak ada sama sekali. “Saksi dari kita, tak memilih Pak Awang Ischak. Inikan aneh. Ada apa dengan itu? Tentu money politic,” kata Gunawan.

Masuknya politikus Tionghoa ke kancah politik, membuat politisi lain merasa gerah. Keberhasilan di bidang ekonomi selama ini, tentu tak membuat para politisi Tionghoa kesulitan menyediakan logistik, bagi jalannya politik praktis.

Karman dapat dukungan dari para pengusaha Jakarta, Pontianak, Singkawang dan sekitarnya. Dia pendiri dan Wakil Ketua Permasis (Perkumpulan Masyarakat Singkawang dan Sekitarnya), periode 2006-2009. Ini wadah para perantau Singkawang, Sambas dan Bengkayang di Jakarta.

Karman datang dan minta dukungan tokoh-tokoh Tionghoa. Sentimen etnisitas jadi pintu masuk. “Dia datang ke saya, kita inikan sama-sama Tionghoa, bantu saya jadi wali kota,” kata Chai Ket Khiong, pemimpin Majelis Tao Indonesia (MTI) cabang Singkawang.

Awalnya, dia menolak. Namun, Karman bisa menyakinkannya. Akan ada perubahan bagi kehidupan warga Tionghoa, saat dia jadi wali kota. Karman juga berjanji, listrik tak akan mati, jalan diperbaiki, dan air lancar.

Khiong menganggap janji itu tak mewujud. “Yang ada, listrik naik 100 persen. Jalan berdebu. Air tidak lancar,” katanya.

Ischak tak mau berjanji. “Saya orang realistis karena birokrat. Apa yang dapat kita lakukan dengan potensi dan dana yang ada,” kata Ischak.

Ia menilai, pilkada langsung yang pertama di Singkawang, masih memilih suku. Bukan figur pemimpin. “Alangkah baiknya tak gunakan isu ras dan politik uang,” kata Ischak.

Dari jumlah total suara yang sah, 86.294 suara, Ischak mendapat 30.706 suara. Karman peroleh 36.103 suara. Meski memenangkan pilkada, langkah Karman tak mulus menuju kursi wali kota. Pilkada Singkawang menyisakan permasalahan.

Pasangan Awang Ischak dan Raymundus, melakukan gugatan ke pengadilan. Mereka menganggap pasangan Hasan Karman dan Edy R Yacoub, melakukan banyak kecurangan. Seluruh bukti sudah dikumpulkan. Ada anak SMP mencoblos, politik uang, memberikan barang, selebaran berbau SARA, hingga kehadiran Karman di KPU Singkawang jelang rekapitulasi suara. Dari rangkaian berjalannya sidang, Ischak yakin memenangkan gugatan.

Ada lima hakim dalam perkara itu. Ketua Majelis Hakim dipimpin Sofjan Tandjung. Anggota majelis hakim, CH Kristipurnami Wulan, Asmaini Adlis, I Nengah Suriada, dan Sudjono.

Malam hari menjelang keputusan sidang, Ischak masih yakin memenangkan gugatan. Bahkan, ia dan timnya, sudah menyiapkan rombongan dan kendaraan menuju ke Pontianak. Keputusan sidang di luar dugaan. Tiga hakim menolak gugatan, dua hakim menerima gugatan. Ischak kalah.

KPUD Kota Singkawang menetapkan pasangan Karman dan Yacoub sebagai pemenang pilkada dalam rapat pleno, Jum’at (23/11). Keduanya jadi Wali kota dan Wakil Wali kota Singkawang periode 2007-2012. Pelantikan berlangsung pada 17 Desember 2007.

Gaya kepemimpinan Karman dan Ischak berbeda. Ischak birokrat lulusan Sekolah Ilmu Pemerintahan. Ia meniti karir sebagai PNS. Jabatan awalnya camat. Karman mantan manager di perusahaan Barito Pacifik, milik konglomerat asal Bengkayang, Prayogo Pangestu. Karman juga pengusaha dan pengacara.

Karman dianggap memimpin pemerintahan dengan gaya perusahaan. Siapa pun anak buahnya tak akan menampik, ia paling awal datang ke kantor. Juga, paling terakhir pulang. Setelah pulang, dia menutup rumah dinas. Sejak itu, rumah dinas wali kota selalu tertutup.

“Dia salah satu pejabat yang paling sulit ditemui,” kata Iwan Gunawan, pengusaha, mantan tim suksesnya.

Gaya kepemimpinan perusahaan dan pemerintahan, dasar dan prinsipnya sangat berbeda. Memerintah dengan gaya perusahaan, pemerintah harus diuntungkan. Konsep pemerintahan, kalau warga sejahtera berarti berhasil. Sebab, konsep kebijakan publik, warga dapat untung.

Hingga 100 hari pemerintahannya, warga Singkawang menunggu realisasi pembangunan yang dijanjikan Karman. Repotnya lagi, Karman tak mau mendengar saran dan usul orang lain.

“Dia selalu bilang, jangan ajari bebek berenang, bila orang memberi saran dan usul,” kata Iwan Gunawan.

Zaman Ischak, rumah dinas tak memiliki pintu. Semua orang bisa masuk tanpa kecuali. Mulai dari tukang becak hingga pejabat. Semua membaur di ruang tamu. Anggaran rumah tangga sebesar Rp 18 juta setiap bulannya, habis untuk membeli berbagai keperluan rumah tangga wali kota, dalam menjamu setiap tamu yang datang. Pembelian gula dan kopi, jumlahnya mencapai ratusan kilogram setiap bulannya.

Karena itukah, meski tersandung kasus “Mercure Gate”, rakyat tetap memilihnya? Mercure Gate merupakan video Ischak dan Anita Cheung yang sedang berangkulan dan tidur bareng. Aku pernah meliput kasus itu, untuk Majalah Gatra. Setelah tiga tahun tidak pernah kontak sama sekali, ternyata Ischak masih mengenali.

Aku bertanya pada banyak orang, bagaimana sikap mereka terhadap kasus itu. Sebagian besar tak mempermasalahkan. Apakah norma sudah longgar atau dia memang diterima warga? “Ya, namanya orang, tak selamanya lurus. Kadang ada bengkoknya,” kata Awang Gunawan.

Pada 26 Agustus 2008, berlangsung seminar dan bedah buku Fiqih Melayu bertempat di Gedung Dekranasda Singkawang. Ada tiga pembicara. Hasan Karman, serta dua akademisi dari Untan dan UGM. Kegiatan diikuti sekitar 50-orang.

Dalam seminar tersebut, Karman meringkas penelitian dari desertasinya sebagai doktor di Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Makalah berjudul, “Sejarah dan Asal-usul dan Melayu.” Dalam makalahnya, Karman menulis, kerajaan Melayu hidup dari perdagangan dan perompakan. Perluasan wilayah dilakukan dengan mengawini para putri pemimpin di pedalaman.

Selepas acara belum muncul polemik. Nah, kenapa muncul dua tahun setelah itu? “Mungkin, saat itu, karena dia kepala daerah, orang setuju saja. Tak ada yang bereaksi atau menyanggah,” kata Kurniawan.

Mansyur, Ketua KNPI menyesalkan tindakan Karman. Hal itu melukai perasaan Puak Melayu. Sebagai kepada daerah, tak seharusnya Karman menulis seperti itu. Secara akademis, hal itu bisa saja dilakukan. “Tapi, sebagai kepada daerah, hal itu bisa menimbulkan kontroversi dan polemik,” kata Mansyur.

Menurutnya, Karman melanggar UU Nomor 23 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah. Ada satu pasal berbunyi, kepala daerah dilarang mengeluarkan pernyataan yang bisa menimbulkan kontroversi. “Sebagai kepada daerah, wajib hukumnya menjaga stabilitas daerah,” kata Mansyur.

Mengenai tuntutan mundur yang dilakukan terhadap Karman, Mansyur menyatakan, masyarakat sudah memberikan toleransi pada pemerintahan Karman. “Ini terkait dengan janji Hasan Karman. Manakala dalam waktu dua tahun tak bisa bangun Singkawang, ia akan mundur,” kata Mansyur. Menurutnya, Karman selalu mengatakan hal itu, ketika berkampanye.

Beberapa akademisi memberikan pendapat terkait makalah Karman. Prof Dr Syarif Ibrahim Alqadrie, dosen Untan berpendapat, setiap orang bisa setuju atau tidak dengan makalah yang dibuat seseorang. Namun, ketidaksetujuan terhadap suatu makalah, tak bisa diselesaikan dengan pemaksaan.

“Orang harus mengubah ketidaksetujuan tersebut, melalui makalah dan argumentasi,” kata Alqadrie. Sebab, tak ada kekuatan yang bisa mengubah suatu penelitian. Harus dilakukan penelitian baru. Sehingga ilmu pengetahuan berkembang.

Ia berpendapat, “Mungkin, saja sewaktu menulis seminar, Karman kurang memperhitungkan faktor yang timbul secara psikologis, sosiologis dan religiusitas,” kata Alqadrie.

Prof Dr Chairil Effendy, Rektor Untan yang juga Ketua Majelis Adat Budaya Melayu Kalbar menyesalkan ketidakbijaksanaan Karman menulis makalah. Karman dianggap mengutip tanpa menjelaskan referensinya. “Meskipun hanya kutipan, berarti dia setuju dengan kutipan tersebut,” kata Effendy.

Kutipan yang tertulis dalam makalah, kerajaan Melayu dibangun dari perdagangan dan perompakan, menurutnya merupakan pandangan kolonial. Karenanya, sebagai akademisi yang hidup pada era sekarang, harus dapat mengkaji atau mendekonstruksi pandangan kolonial yang ada.

“Sayangnya Hasan Karman meneruskan pandangan itu. Sehingga orang Melayu membuat penolakan,” kata Effendy.

Dr Akil Mochtar, Hakim Mahkamah Konstitusi, dalam suatu pertemuan dengan jurnalis mengatakan, ada cara bijak menyelesaikan makalah Karman. Ada mekanisme bisa ditempuh. Misalnya, melalui jalur hukum.

“Orang atau organisasi yang tidak setuju dan dirugikan terhadap suatu persoalan, bisa melaporkannya secara hukum,” kata Akil.

Pada akhirnya, relasi sosial di Singkawang meski berjalan sangat baik, tetap saja menunjukkan sisinya yang retas dan gampang terbelah. Apalagi bila diiringi ketidakpuasan dan ketidaksiapan terhadap sebuah kepemimpinan. Juga, komunikasi yang tersumbat dan mandek.


Naga Emas Membuat Panas (bagian 2)
Sebuah Patung Naga berwarna kuning emas. Melingkar pada tugu setinggi enam meteran. Tugu terletak di perempatan Jalan Niaga dan Kepol Mahmud, Singkawang. Lokasi itu pusat pertokoan. Ada banyak bangunan rumah toko di sekitar Tugu Naga.

Sudah dua tahun Tugu Naga bertengger di sana. Sudah dua kali pula, warga mendemo. Ada pihak setuju dengan pendirian Tugu Naga. Pihak lainnya tak setuju. Mereka yang setuju menganggap, Kota Singkawang perlu ornamen kota, demi menarik wisatawan. Yang tak setuju menganggap, naga simbol komunitas masyarakat Tionghoa. Padahal, Singkawang multietnis.

Polemik dan penolakan terhadap Tugu Naga, sebenarnya bukan kali pertama terjadi. Tahun 2003, masa pemerintahan Awang Ischak sebagai Wali Kota Singkawang, pendirian Patung Naga sudah bergulir. Saat itu, Patung Naga dibangun di dekat Klenteng Bumi Raya, di tengah kota. Penyandang dananya, Beni Setiawan, pemilik Hotel Prapatan dan Iwan Gunawan. Keduanya pengusaha di Singkawang.

Saat itu, bentuk Patung Naga memanjang, membelah persimpangan dan menjadi pembatas jalan. Namun, baru separuh dibangun, ada penolakan dari masyarakat. Sebagian warga tak setuju. Mereka membungkus Patung Naga dengan kain putih. Tanda tangan dibubuhkan sebagai isyarat penolakan.

“Karena ada penolakan dari warga, dan bila dilanjutkan bisa memicu konflik, pembangunan Patung Naga dihentikan,” kata Ischak.

Namun, saat tampuk pemerintahan berganti, dan Hasan Karman menjadi Wali Kota Singkawang, dia memberikan izin pada Beni Setiawan dan Iwan Gunawan, untuk membangun Tugu Naga. Bentuknya melingkar ke atas, membelit sebuah tugu.

Kedua orang itu beranggapan, Tugu Naga berfungsi memperindah kota. “Saya menganggap, Tugu Naga merupakan karya seni,” kata Gunawan. Tujuannya, agar Kota Singkawang memiliki ikon. Seperti, ketika orang datang ke Paris, ada Menara Eiffel. Atau, ke Singapura, ada Patung Singa.

Beni Setiawan juga menganggap, Tugu Naga hanya seni. Tak lebih. “Karena barang kesenian, ditaruh di mana saja tidak ada persoalan,” kata Setiawan.

Dana pembangunan Tugu Naga sekitar Rp 50-60 juta. Ia rela mengeluarkan uang bagi pembangunan Tugu Naga, sebab, ingin membangun Kota Singkawang dengan berbagai ikon. Nanti, setelah Tugu Naga, mungkin akan ada tugu atau patung yang melambangkan suku Dayak, Melayu atau lainnya.

Ia menganggap, pembangunan Tugu Naga bukan proyek besar. Sehingga tak perlu melibatkan banyak orang. “Kalau sesama teman bisa, kenapa libatkan banyak orang,” kata Setiawan.

Uray Sutamsi berpendapat, munculnya berbagai simbol yang identik dengan Tionghoa, tak lepas dari euforia politik, karena Wali Kota Singkawang dari Tionghoa. Seharusnya, masalah itu bisa diselesaikan sejak awal, bila ada undangan atau silaturahmi dilakukan Karman.

“Karena tak ada komunikasi itulah, muncul masalah dan penolakan terhadap Hasan karman,” kata Sutamsi.

Bagi warga Tionghoa pemeluk agama Khonghucu dan Tao, naga merupakan binatang tunggangan Dewi Kwan Im atau Dewi Welas Asih. Kwan Im menempati posisi istimewa dalam kepercayaan pemeluk Khonghucu dan Tao. Karenanya, naga dianggap binatang suci dan sakral. Naga hanya ada di tempat peribadatan.

“Naga tempatnya di atas, bukan di bawah,” kata Chai Ket Khiong, pimpinan Majelis Tao Indonesia (MTI), cabang Singkawang.

Ada tiga jenis naga. Naga Emas, Biru dan Hitam. Naga Emas jenis naga paling bagus. Naga Emas dianggap membawa keberuntungan dan rejeki berlimpah. Naga Biru adalah naga jantan. Biasanya dibangun di pintu gerbang. Fungsinya sebagai penjaga. Naga Hitam adalah naga sial.

Naga binatang suci. Kalau sudah buka mata, naga jadi binatang sakral. Buka mata dilakukan dengan upacara khusus. Dipimpin ta-thung atau orang sakti yang punya kemampuan sebagai sinsang atau dukun Tionghoa.

“Tak heran, Tugu Naga itu ‘memakan’ orang,” kata Khiong.

Ada pengendara motor menabrak Tugu Naga. Ia tewas seketika. Bahkan, seluruh keluarga korban, kerasukan roh dan meludah terus sepanjang hari. Mereka sembuh, setelah dilakukan upacara yang dipimpin ta-thung.

Tugu Naga memang diterjemahkan dengan beraneka versi. Wijaya Kurniawan dari Majelis Adat Budaya Tionghoa (MABT), berkata, “Tugu Naga tak lepas dari kami punya simbolisasi.”

Secara pribadi ia menilai, Tugu Naga tidak di persimpangan jalan. Sebab, naga binatang sakral. Bahkan, ketika naga dibangun, para pemilik ruko tak mau kepala naga menghadap ruko mereka. Warga menganggap, hal itu bisa membawa ketidakberuntungan. Kepala naga, akhirnya diarahkan ke jalan yang menghadap arah terminal Singkawang.

Chia Jung Khong atau Haji Aman, pemimpin Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI), cabang Singkawang, berpendapat, naga bagi Tionghoa muslim tidak masalah. Cuma, letaknya yang di perempatan jalan, membuat orang menolak keberadaannya.

Menurutnya, alasan pendirian Tugu Naga untuk menarik wisatawan, kurang tepat, bila Tugu Naga berada di perempatan jalan. “Bagaimana orang mau berfoto di Tugu Naga? Nanti malah menganggu lalu lintas, dan bisa tertabrak kendaraan,” kata Khong.

Menurutnya, kalau mau menarik wisatawan, harusnya Patung Naga ditempatkan di taman. Sebab, masih banyak taman kosong di Singkawang.

Menanggapi berbagai polemik yang muncul seputar Tugu Naga, Wali Kota Singkawang, Hasan Karman berpendapat, “Tugu Naga itu bukan tempat ibadah sakral. Itu bukan binatang sesembahan,” kata Karman, “jadi, harus dibedakan antara tugu, patung dan arca. Tugu Naga hanya karya seni yang dicipta seorang perupa asal Singkawang, M. Hasbi. “

Orang memaklumi pendapat Karman, karena selepas SMP, ia tak lagi di Singkawang. Balik lagi setelah 30 tahun. “Jadi, dia dianggap tak memiliki sensitivitas terhadap warganya,” kata Kurniawan.

Kalau Tugu Naga tetap dipertahankan, akan menjadi tugu kebencian bagi orang yang tak setuju. “Sehingga akan selalu memicu konflik,” kata Kurniawan.

Benarkah, orang yang telah lama tak tinggal di wilayahnya, mengalami kemunduran dalam memahami sensitivitas terhadap warganya?

Aku menemui orang Tionghoa kelahiran Singkawang yang lama tinggal di Jawa. Selepas sekolah, ia kuliah dan menetap 20 tahun di Yogyakarta dan Bandung. Sekarang, ia balik lagi dan tinggal di Singkawang. Namanya Dalimonte. Ia seorang notaris.
Menurutnya, orang Tionghoa di Jawa, lebih menyesuakan diri dengan budaya Jawa. Di Singkawang, karena Tionghoa jumlahnya banyak, biasanya hidup dengan komunitasnya sendiri.

“Karenanya, hidup terkotak-kotak,” kata Dalimonte. Terutama generasi tua. Generasi muda sudah lebih baik dalam hal pergaulan sosialnya. Ada pembauran.

Ia menilai, masuknya politikus Tionghoa ke kancah politik, sangat baik. Tapi, jangan sampai berlebihan. Harus pandai merangkul dan membangun relasi sosial.

“Ini yang saya lihat kurang dari kepemimpinan Hasan Karman,” kata Dalimonte, “ia kurang merakyat dan kurang bisa merangkul elemen masyarakat.”

Dia berharap, dalam membangun sesuatu, jangan terlalu frontal. Harus selaras dan serasi. Demikian juga dalam pembangunan Tugu Naga.

****

Mess Daerah Singkawang seolah tak sanggup lagi menampung orang yang hadir. Bangunan itu penuh dan sesak. Mereka yang tak kebagian tempat duduk di ruangan, berdiri dan tumpah ruah di halaman gedung. Siang itu, Jum’at (28/5), bangunan yang terletak di Jalan Merdeka, Singkawang, menjadi saksi dari ribuan massa yang mulai resah.

Tujuan dari pertemuan, minta pertanggungjawaban Wali Kota Singkawang, Hasan Karman, terkait makalahnya yang telah menimbulkan kontroversi di masyarakat. Pesertanya unsur pemerintah, pimpinan dari berbagai organisasi pemuda, sosial dan keagamaan di Singkawang. Ada juga utusan dari keraton Sambas, Sukadana, dan Ketapang. Karman diundang pada pertemuan, namun tak hadir.

Pemangku kegiatan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI). KNPI selalu melakukan kegiatan pada tanggal 28. Hal itu mengambil semangat Sumpah Pemuda 28 Oktober.
Acara dimulai pukul 14.00 WIB. Suasana semakin memanas. Terjadi perpecahan pendapat. Massa yang hadir mulai tak sabar. Mereka menggeruduk ke ruangan, dan ingin bukti konkret dari pertemuan tersebut.

“Suasana sudah tak terkendali dan kacau,” kata Mansyur, Ketua KNPI Cabang Singkawang. Dia menjadi moderator dalam kegiatan itu. Pertemuan sudah kantongi izin dari pihak keamanan.

Di luar ruangan, tiba-tiba sekelompok massa mengangkat Ilyas Buchairi, pimpinan Front Pembela Islam (FPI), cabang Singkawang, ke atas meja untuk berorasi. Ia tak bisa menolak. Dalam orasinya, ia menyampaikan program FPI terkait keberadaan Tugu Naga yang dibangun akhir 2008.

“Mari kita robohkan Patung Naga,” teriaknya lantang.

Massa bergerak ke arah Tugu Naga. Namun, para pimpinan organisasi dan utusan tetap melanjutkan dan membahas, langkah apa yang dilakukan, untuk membuat Karman mempertanggungjawabkan makalahnya.

“Perumusan tetap berjalan. Demo Tugu Naga tak ada di agenda pertemuan,” kata Mansyur.

Pertemuan berlangsung hingga pukul 18.00 WIB. Ada tiga keputusan dihasilkan. Mereka menyebutnya “Dekrit Melayu.” Pertama, Hasan Karman harus mempertanggungjawabkan makalahnya secara hukum. Kedua, dalam waktu 1x24 jam, Hasan Karman harus turun dari jabatannya. Ketiga, Hasan Karman harus minta maaf dengan pihak keraton Sambas dan masyarakat Melayu.

Setelah orasi, Buchairi dibonceng sepeda motor keluar Mess Pemda. Selepas itu, dia masuk mobil bersama beberapa anggota FPI. Menurutnya, tindakan itu spontanitas saja. Tak ada rencana. Sebab, selepas shalat ashar, ia ada jadwal memberikan tausiah atau ceramah agama di majelis taklim Assyifah di Jalan Veteran, Singkawang.

Ia sampai di lokasi Tugu Naga sekitar pukul 15.00 WIB. Ia melihat banyak massa berkerumun. Ada puluhan aparat polisi dan Brimob mengelilingi Tugu Naga. Aparat dilengkapi tameng dan pentungan. Ada mobil antihuru-hara diparkir.

Sempat terjadi aksi saling dorong antara aparat dan massa. Ada yang mulai melempar batu. Tugu Naga jadi sasaran. Ada empat batu melayang. “Salah satu batu mengenai Tugu Naga dan memantul ke aparat,” kata Buchairi.

Tiba-tiba ada teriakan maju dari aparat. Seketika polisi yang berjaga, segera merangsek ke arah massa. Massa pendemo atau sekedar penonton, segera berlarian. Mereka saling berdesakan. Ada yang terjatuh. Buchairi salah satunya. Ia tertabrak massa yang lari dari kejaran aparat. “Saya tak lari, karena tak merasa melakukan demo,” kata Buchairi.

Polisi melakukan penangkapan. Tak sekedar menangkap, tapi juga memukul, menendang dan menyeret mereka yang tertangkap. “Ada banyak salah tangkap,” kata Buchairi.

Ada remaja yang hanya menonton, ikut tertangkap. Mereka terkena pukulan dan tendangan, hingga lebam di sekujur tubuh. Tindakan represif polisi menuai protes.

Kapolres Singkawang, AKBP Anthony Sinambela, saat ditemui di rumah dinasnya menyatakan, “Apa yang kami lakukan sudah sesuai prosedur.”

Ada tujuh orang ditangkap. Mereka adalah, Ilyas Buchairi, Iwan, Bambang Prayogi alias Bilal, Uray Robi, Hendra, Deni, dan Jery. Mereka dianggap melanggar pasal 160 dan 170 KUHP, karena melakukan pengrusakan dan mengganggu ketertiban umum. Ancaman hukuman maksimalnya, enam tahun penjara.

Bentrokan anggota FPI dan aparat, terdengar di Mess Pemda. Isunya, Buchairi dipukuli dan ditangkap aparat. “Namun, rapat terus berlanjut, karena ada beberapa rumusan belum selesai,” kata Mansyur.

Setelah ditangkap, ketujuh orang itu dibawa ke Mapolres Singkawang. Polisi memberlakukan Siaga 1. Malamnya, beberapa pimpinan FPI dan KNPI menjenguk tahanan. Hanya Mansyur dan M Zein, Sekretaris FPI, boleh masuk. Keduanya merasa, aparat terlalu arogan.

Dengan nada tinggi, Kapolres menunjuk Mansyur dan Zein. Ada urusan apa mau ketemu tujuh orang itu. Sebab, yang berhak mendampingi adalah pengacara.

“Saya terus terang tersinggung. Kita mau jalin komunikasi, malah disambut seperti itu,” kata Mansyur. Tapi, Sinambela membantah hal tersebut. Menurutnya, ia sudah melakukan yang sesuai prosedur. Mengenai suaranya yang terdengar membentak, karena karakternya memang seperti itu.

Setelah menginap dua malam di Polres Singkawang, 31 Juni 2010, sekitar pukul 16.55 WIB, mereka dibawa ke Pontianak dengan tangan diborgol tali plastik, lengkap dengan baju tahanan. Model borgol itu, semakin orang berusaha melepaskan diri, tali semakin kuat menjerat tangan. Pembukanya dengan gunting. Ketujuh orang ditempatkan dalam mobil tahanan, dan dikawal kendaraan khusus, selama perjalanan.

“Tak ada pemberitahuan kepada keluarga. Status kami sebagai tahanan titipan dari Polres Singkawang,” kata Buchairi.

Mereka diperlakukan dengan baik. Setelah berada semalam di tahanan Polda, ketujuh orang itu mendapat penangguhan penahanan, pada 1 Juni 2010. Mereka dibawa menuju Singkawang dengan mobil pribadi pada siang harinya. Menjelang magrib, ketujuh orang itu sampai di Masjid Raya Singkawang. Ada ribuan massa menyambut. Ada sambutan tepung tawar.

Meski pernah ditahan, Buchairi dan FPI akan terus melakukan perjuangan. “Selama, Tugu Naga tidak pada tempatnya,” kata Buchairi.

Rentang waktu selepas demo Tugu Naga yang berakhir dengan bentrokan, Jum’at (28/5), hingga Jum’at (5/6), merupakan waktu yang penuh dengan ketidakpastian. Banyak isu beredar. Akan ada isu demo besar lagi. Ada provokasi. Ada pembakaran kantor PKK. Pembakaran lapak dagangan. Percobaan pembakaran mobil. Pelemparan molotov, hingga sweeping terhadap Karman.

Pada 30 Mei 2010, Pemda dan Muspida melakukan koordinasi dalam acara silaturahmi di Kantor Bappeda. Ada aparat keamanan, polisi, Kodim, pemerintah dan seluruh pimpinan elemen masyarakat di Singkawang. Agendanya, bagaimana mengatasi permasalahan yang kadung muncul.

Dalam pertemuan itu, Karman bertanya pada yang hadir. “Ini ada SMS dari Rumah Betang, ingin meletakkan tempayan di Tugu Naga,” kata Karman.

Meletakkan tempayan yang diikuti dengan upara Pamabank, merupakan isyarat, kondisi sedang gawat. Bila tempayan sudah diletakkan, wajib hukumnya warga Dayak, turut mengamankan Kota Singkawang. Ini berbahaya. Puak Melayu bisa berhadap-hadapan langsung dengan Dayak.

Puak Melayu juga sudah mengibarkan bendera kuning di berbagai tempat. Hal itu sebagai isyarat, sedang ada masalah. Harus bersiaga.

Menurut Kilim, ada yang coba menggiring masalah itu ke etnis. Tapi, tindakan itu bisa dicegah oleh Kilim yang hadir dalam pertemuan. “Belum saatnya,” kata Kilim, menanggapi SMS tersebut.

Aloysius Kilim adalah Ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Singkawang. Dia juga anggota DPRD Singkawang.

Beberapa pucuk pimpinan Melayu, juga sudah menyiapkan diri. “Musuh jangan dicari. Ketemu, jangan lari. Takkan hilang Melayu ditelan zaman,” kata pucuk pimpinan ini.
Aku berusaha menemui beberapa simpul massa. Saat itu, sudah banyak warga dari luar yang masuk ke Singkawang. Sudah ada koordinasi. Bila ada yang menghentikan, akan berhadapan dengan massa. Pembagian tugas pun sudah dilakukan. Siapa bertugas di mana.

“Bagi kami, membakar Singkawang ini terlalu kecil. Kami tidak mau melakukan itu,” katanya. Apalagi dengan berbagai pengalaman yang pernah dijalani. Tak hanya di Asia Tenggara. Tapi juga di jaringan berskala Internasional.

Ah, aku hanya mendengus. Membayangkan liukan naga yang terlihat elok, namun bisa membakar apa saja yang ada di hadapannya……

Dimuat di Voice of Human Right (VHR).
Foto oleh Muhlis Suhaeri




No comments :