Sunday, November 27, 2005

Mengolah Limbah, Menuai Rupiah

Oleh: Muhlis Suhaeri

Siapa bilang barang limbah tak ada nilainya? Mau tahu buktinya, lihat saja penuturan pengrajin mebel kayu, yang menggunakan semua bahan bakunya dari limbah pabrik kayu. Apa yang dia lakukan, menghasilkan sebuah karya cukup menarik ‘tuk dinikmati semua kalangan. Ya, semua yang dikerjakannya, berawal dari limbah dan berujung pada rupiah.


Awalnya pada tahun 1980-an. Ketika itu, Kota Pontianak dibanjiri kursi tamu dan kursi makan dari Singapura. Kursi itu sederhana saja bentuknya. Sebuah kursi yang sanggup membuat enam orang duduk dalam satu ruang dan waktu. Kursi itu bernama kursi tamu 321. Maksudnya, kursi panjang untuk tiga orang. Kursi agak pendek untuk dua orang. Dan satu kursi buat satu orang. Tentu saja ditambah dengan satu meja.


Kursi itu seluruh bahannya dari kayu. Pada setiap bilah kayunya, dibaut dan direkatkan dengan mur. Hasilnya, sebuah kursi yang kuat sekali. Untuk kursi makan, biasanya terdiri dari satu meja makan dengan enam kursi. Kursi itu rangkanya dari besi bulat, dan tempat duduknya dari kayu. Ketika itu, hanya orang kaya saja bisa menikmati kursi itu.

Lalu, muncul pertanyaan dalam benak Khou Yak Hau, biasa dipanggil Ayak, 53 tahun. “Apa tidak mungkin, kursi yang begitu sederhana, masyarakat Pontianak tidak membuatnya?”

Berawal dari pemikiran itulah, dia mulai mengasah kemampuannya. Alhasil, barang yang dibuatnya, dapat dinikmati semua kalangan. Orang miskin pun dapat menjajal dan memajang barang itu di rumah. Barang yang dibuat menyebar seantero wilayah. Bahkan, kursi tamu dan kursi makan itu sempat dibawa juga ke Singkawang dan Pemangkat. Oleh pedagang yang ada di sana, barang dibawa ke Batam melalui pedagang antarpulau.

Nah, terpenuhinya kursi di Pontianak dan Batam, membuat pabrik kursi yang ada di Singapura tutup. Pabrik yang ada di Singapura, ternyata dibuat untuk pemasaran Pontianak dan Batam. Ketika orang Pontianak sanggup membuat kursi, pabrik mereka tutup, karena harga produksinya lebih mahal dari kursi buatan Pontianak.

Akhirnya, orang pada ikut-ikutan membuat kursi. Padahal, mereka tidak punya pengalaman dan hanya punya modal saja. Hal itulah yang membuat pasaran kursi menjadi hancur. Apa pasal? Mereka hanya mengejar penjualan saja dan mutu tidak memperhatikan kualitas. Rangka kursi yang seharusnya dilas mengeliling, cuma dilas sedikit saja. Kursi yang seharusnya menggunakan besi tebal diberi besi kecil dan tipis, sehingga kursi cepat rusak. Orang tidak mau lagi memakai kursi ini.

Sekarang ini, minat orang pada kursi kayu ini mulai tumbuh lagi. Hal itu bisa dilihat pada penjualannya yang semakin meningkat. Meski penjualan kursi tidak dapat diperkirakan jumlahnya perbulan, tapi ada musim tertentu yang bisa menjelaskannya. Sebut saja pada saat Lebaran, Natal dan Imlek.

Pada hari besar itulah, orang butuh meja dan kursi untuk menyemarakkan suasana rumahnya. Contoh saja kursi yang diproduksi Ayak. Pada awal bulan puasa hingga menjelang Lebaran, ada sekitar 200 pasang kursi tamu 321 yang laku terjual. Ketika Imlek, kursi tamu Ayak laku hingga seratusan pasang. Ini untuk satu pengrajin saja. Sementara, di Pontianak ada sekitar 20 pengrajin kursi yang sama. Hitung sajalah, berapa kira-kira penjualan kursi ini.

Kenapa orang memakai kursi ini, alasannya sederhana saja. Kalau orang pakai kursi busa, kemampuan busa hanya lima hingga enam tahun saja. Dan untuk membeli kursi itu, karena harganya yang cukup mahal, orang harus menabung dulu agar bisa membelinya. Lain halnya dengan kursi kayu ini. Cukup dengan uang Rp 650 ribu, Anda bisa membawa pulang satu set kursi tamu 321. Kursi makan dijual dengan harga Rp 60 ribu perkursi. Anda bisa mencari kursi ini di sebagian besar toko mebel.

Setelah Lebaran, Natal dan Imlek, pengrajin akan membuat berbagai macam barang, sehingga produksinya tidak berhenti. Barang seperti kursi kantor, kursi bakso, rak handuk, rak TV, tempat kordin dan lainnya, produksinya akan lebih ditingkatkan. Bahkan, anak tangga juga dibuat.

Model kursi itu sederhana saja. Untuk pasaran di Pontianak, yang penting adalah harganya murah. Karena kalau barang banyak modelnya, jatuhnya malah mahal. “Simpel saja. Bagaimana caranya enak kerja dan cepat. Sehingga kita bisa menjual dengan harga murah. Yang bisa murah itu kalau kerjanya cepat,” kata Ayak.

Produksi harus ada target setiap harinya. Untuk kursi tamu, targetnya 6 set kursi sehari. Sekarang ini, hasil produksinya masih dibawah 10 set. Kursi makan, diatas 6 set atau 100 kursi perhari. Kalau dibawah angka itu, akan rugi. Di lahannya seluar sekitar 3000 meter, Ayak sanggup mempekerjakan 34 orang. Bahkan pernah hingga 43 pekerja.

Sistem kerja gajinya harian. Bagi pekerja baru, gajinya mulai dari Rp 10-12 ribu. Ada juga pekerja borongan. Tukang las, paling tidak bisa mendapatkan uang Rp 80 ribu perhari. Jam kerja mulai pukul 7. Pada pukul 9.00-9.30, karyawan mendapatkan rehat sambil menyerutup secangkir kopi. Pukul 11.00-12.00, waktunya istirahat makan siang. Kerja mulai lagi pada 12.00-16.00.

Besi untuk membuat kerangka kursi makan didatangkan dari Jakarta. Besi itu biasa disebut star bults. Perbatang harganya Rp 30 ribu. Satu batangnya sepanjang 6 meter. Satu kursi makan butuh sekitar 3,5 meter besi. Ukuran besinya 7/8. Artinya, ketebalannya dibawah 1 inchi. Satu inchi sama dengan 2,2 cm. Ketebalan besi ada yang 0,8 mili hingga 1 inchi.

Bahan baku diperoleh dari kayu pabrik yang sudah tak terpakai. Harga perkubik Rp 500 ribu. Sebelum membeli barang akan dilihat dulu, berapa persen bahan itu yang kira-kira masih bisa dipakai. Cara pembelian bahan baku juga bisa dilakukan dengan memborongnya. Pihak pabrik biasanya setuju saja, karena kalau pun tidak dibeli, barang itu akan dibuang juga. Harga kayu setiap truk Rp 1-2 juta. Satu truk biasanya berisi 4-5 kubik. Pada hari biasa, dalam satu minggu membeli bahan baku sekitar satu truk. Pada hari Lebaran, Imlek, bisa mencapai dua truk. Kadang kondisi kayu terlalu rusak dan ukurannya pendek. Maka, kayu itu akan dibeli lebih murah.

Tunggul kayu yang sudah puluhan tahun dibuang, juga akan digunakan. Caranya, tunggul itu dibelah dengan mesin chainsaw. Meski bagian luar kayu sudah rusak, tapi dalamnya masih bagus. Dan bagian tengah kayu itulah yang diolah. Kayu yang biasa dipakai adalah tembesu (bedaru), bengkirai, meranti dan lainnya. Banyak jenis kayu bisa dipakai. Tinggal pilih sesuai dengan keinginan.

“Saya memanfaatkan kayu-kayu yang sudah tak terpakai untuk dikumpulkan, ini merupakan limbah semua kayunya, dan tidak ada yang kita beli itu dari kayu empat meter yang masih bagus,” tutur Ayak.


Profil, Ayak

Namanya Ayak. Guratan-guratan garis menanda jelas pada wajahnya. Sekali melihat, orang akan langsung dapat melihat karakternya. Keras dan tegas. Ketertarikan Ayak pada dunia mebel dan industri kerajinan, tak muncul begitu saja. Sedari kecil dia sudah terbiasa mendengar suara mesin.

Dulu, bapaknya seorang pengusana tahu. Dan dia suka sekali dengan kerajinan tangan. Sayangnya, dia tidak pernah kerja di sebuah perusahaan besar, sehingga tidak punya pengalaman lain dalam bekerja. Meski begitu, semua model mebel yang ada di perusahaannya, dia kreasi dan ciptakan sendiri.

Sebelumnya, dia membuka toko bangunan pada tahun 1997. Mulai tahun 2004, dia beralih membuat kursi, karena toko bangunan banyak saingan.

Dalam menjalankan bisnisnya, Ayak mempunyai tiga pedoman. Pertama, harus tegas dalam kerja. Dia mengarahkan anak buahnya sesuai dengan apa yang harus dikerjakan. Kedua, cara kerja jangan buang waktu dan bercanda. Area kerja berhubungan dengan mesin, maka orang harus berhati-hati. Semua mesin ada putarannya. Salah sedikit saja dalam bekerja, bisa membahayakan jiwa.

Cara bekerja dan menangani mesin juga harus benar. Misalnya, ketika karyawan sedang mengebor atau memotong. Pekerja harus tahu di mana harus berdiri, sehingga tidak membahayakan jiwanya. Pekerja juga mesti tahu, kapan harus memakai sarung tangan dan kapan tidak. Untuk pekerjaan yang mengebor, tidak boleh pakai sarung tangan. Karena begitu terserempet mata bor, tangan yang menggunakan sarung tangan juga akan tertarik, sehingga tangan ikut terkena mesin bor. Tapi, untuk pekerjaan yang memegang kayu, dan kalau tidak pakai sarung tangan akan membuat tangan lecet, ya harus pakai sarung tangan. Ketiga, barang harus kuat. Untuk membuat barang yang kuat, tentu harus tahu teknik dan cara pembuatan yang baik.

Selain itu, kerja harus kompak dan saling tukar pikiran dengan pekerja. Cara pandang pekerja juga harus dimengerti. Dalam menangani karyawan, memang ada aturan ketat dalam peraturan, sehingga mereka mengerti dan kerja betul. Tidak boleh main kasar dengan pekerja tentunya. Masalah etos kerja, Ayak menilai pekerja di sebagian besar wilayah ini, masih tertinggal. Dia mengaku belum pernah keluar negeri. Namun, dia bisa menilai ketertinggalan itu dari banyak hal. Bisa dari pengusaha, pekerja, atau kurangnya perhatian dari pemerintah.

Suatu ketika datang tamu dari Taiwan. Orang itu berkeliling ke beberapa perusahaan yang sama di Pontianak. Setelah itu, dia lihat perusahaan Ayak. Menurut orang Taiwan, yang tidak sembarangan membuang bahan hanya di perusahaannya. Cara mendidik anak buah juga baik. Tapi, dibandingkan dengan cara kerja orang Taiwan, masih jauh. Mereka lebih rajin dan betul-betul kerja.

Kesulitan apa yang ditemui dalam menjalankan perusahaannya?

Kesulitan yang dialami adalah masalah modal. Modal yang ada tidak sesuai dengan usaha. Namun, masalah utama yang ada di Pontianak, adalah masalah harga. Barang yang murah itulah, yang biasanya laku di Pontianak. Supaya barang harganya murah, produksinya harus cepat, supaya menekan ongkos produksi. Kalau tidak, dia akan merugi. Karenanya, dia mengkhususkan diri, pada barang murah dan sederhana. Jadi, barang itu dapat dipakai di rumah, kantor, atau menaruhnya di teras bisa.

Hal lain adalah masalah investasi mesin. Karena yang utama alat harus lengkap. Untuk mesin saja menghabiskan uang Rp 600 juta. Ada mesin gesek, ketam, pemotong, bubut, genset, bor, spindel (membuat bentuk kayu sesuai dengan yang diinginkan). Belum lagi membeli pisau bagi mesinnya. Satu pisau ada yang harganya ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Bahkan, ada pisau yang satu set harganya mencapai Rp 5 juta.

Jadi, untuk membeli pisau saja, bisa membeli satu mobil Kijang. Semua itu dilakukan, juga demi kegemarannya membuat kerajinan tangan. Dia pernah meminjam uang dari bank untuk usahanya. Uang itu dia belikan alat-alat. Akhirnya, modal malah tersedot semua ke investasi mesin, dan untuk menjalankan produksi payah.

Meski Ayak telah membuka usaha dan menciptakan lapangan kerja, namun pemerintah belum punya perhatian pada apa yang dilakukannya. Hal sederhana yang bisa dilihat adalah, tidak adanya perhatian dalam bentuk penyuluhan. Atau, kerja sama untuk perbaikan mutu produksi. Malahan, yang datang dari pemerintah adalah orang yang menanyakan masalah perijinan. Orang itu datang dan mengajukan diri untuk mengurus masalah perijinan.

“Masalah ijin dan membayar pajak memang menjadi kewajiban kita. Tapi, kalau ijinnya sampai tinggi sekali, dan tidak sesuai dengan yang sebenarnya, pengusaha tentu keberatan,” katanya.

Apalagi ditengah naiknya BBM seperti sekarang ini. Semua orang mengalami kesulitan. Begitu juga dengan dirinya. Dia ingin melihat negara ini maju, karenanya semua yang sifatnya membangun dan usaha, seharusnya dibantu dengan baik.

Apa yang dialami Ayak, adalah potret buram penanganan masalah pembangunan di negeri ini. Hal itu tentu tidak dialaminya sendiri, tapi juga orang lain. Bila hal itu terus dibiarkan, apa yang akan terjadi kedepannya. Tentunya, iklim investasi dan bisnis akan sulit berkembang di Kalbar khususnya, dan Indonesia pada umumnya.

Padahal, negara kita butuh sosok-sosok yang sanggup mendongkrak perekonomian seperti Khou Yak Hau, atau Ayak........***




Foto by Lukas B. Wijanarko, "Ruang Pamaer."
Edisi Cetak, minggu ketiga November 2005, Matra Bisnis

1 comment :

Anonymous said...

nice info mas...
sekarang memang sangat dibutuhkan jiwa wiraswata karena semakin hari semakin sulit mendapatkan lapangan pekerjaan