Showing posts with label Perempuan. Show all posts
Showing posts with label Perempuan. Show all posts

Sunday, June 28, 2009

Lola Amaria Jadi TKW

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Bila Anda ditanya, siapa aktris berwajah dan punya karakter khas Indonesia? Lola Amaria, mungkin jawaban yang tepat. Kenapa? Sebab, karakter wajahnya memang khas Indonesia. Tak heran bila, ada produser film asing membuat film dengan tema Indonesia, Lola bakal kebagian peran.

Sebut saja film berjudul Dokuritsu atau Kemerdekaan yang dibuat produser Jepang. Lola kebagian peran utama perempuan dalam film tersebut. Begitu juga dengan film terbarunya yang dibuat di Taipe dengan produser dari Negara tersebut. Film berjudul 'The Detours to Paradise', dibintangi Lola Amaria dirilis pada Maret 2009 di Taiwan. Kedua film tersebut, tak diputar di Indonesia. Film terakhir baru saja diputar di Hongkong, Taipe dan Singapura.

Lola juga pernah menjadi peran utama dalam film Ca Bau Kan, Novel Tanpa Huruf R, sutradara film Betina. Kebetulan dipembuatan film Novel tanpa Huruf R, aku mengenal Lola Amaria. Menulis proses pembuatan film itu, hingga menjadi sebuah buku dengan judul “Di Balik Novel Tanpa Huruf R”. Buku itu diterbitkan LKiS, Yogyakarta.


Dalam suatu perbincangan melalui jejaring sosial Facebook, Lola mengatakan, sedang mempersiapkan film drama terbarunya, berlatar belakang tenaga kerja wanita (TKW) di Hongkong. Rencananya, pembuatan film itu setelah lebaran atau awal Oktober 2009. Film berjudul TKW Hong Kong Rhapsody. Ia berperan sebagai pemain.

Kini, dia sedang mempersiapkan film terbarunya. Ia ingin mengangkat tema itu, untuk menepis TKW bukan perempuan yang terpinggirkan. Keberadaan TKW di Hongkong beda sekali dengan di Malaysia atau Timur Tengah. Mereka lebih punya daya juang.

“Aku agak paham di bidang ini, aku mau angkat kesuksesan mereka. Bukan melulu penderitaan, karena mereka adalah penghasil devisa nomor dua terbesar setelah migas. Tahun 2008, mereka menghasilkan 90 triliun rupiah,” kata Lola.

Selain itu, fenomena TKW di Hongkong juga menarik. Misalnya, adanya hubungan sesama jenis atau lesbian. Atau, percintaan dengan tenaga kerja Pakistan, tapi ternyata TKW hanya diporotin saja uangnya.

Susah-susah cari duit, tapi uangnya habis untuk membelikan berbagai barang orang Pakistan ini.

Inspirasi mengangkat film itu, berawal ketika Lola main dalam film Taiwan, yang juga bercerita tentang TKW.

“Masa yg bikin film tentang TKW justru orang luar. Dan memang belum pernah ada film Indonesia yang angkat tema itu. Makanya aku tertarik,” tulis Lola.

Kenapa setting filmnya di Hongkong, karena TKW yang dianggap paling berhasil, berada di Hongkong. TKW di Hongkong punya standar khusus. Hongkong lebih nyaman dan hukumnya jelas. Sebelum berangkat, para TKW juga ada pelatihan khusus selama 3-6 bulan, mengenai berbagai ketrampilan dan bahasa.

Di Hongkong gaji besar. Bisa mencapai Rp 8 juta sebulan. Ada libur, majikan baik, dan mereka bebas, tidak dianggap sebagai pembantu, tapi manusia. Ia tak mungkin membuat film itu di Malaysia atau Timur Tengah, tanpa kekerasan dan pelecehan, karena faktanya seperti itu.

“Lagian, kisah sukses mereka tak banyak orang yang tahu,” tulis Lola.
Lola juga menyayangkan berbagai kekerasan yang dialmi TKW di Malaysia dan Timteng. Menurutnya, harus ada ketegasan dari pemerintah. “Jangan cuma mau duitnya saja, tapi tak dilindungi hak mereka sebagai warga Negara,” tulis Lola.

Menurutnya, hal itu ibarat dua sisi mata uang.

Untuk menggarap film itu, Lola sudah sering bolak-balik ke Jawa Timur yang menjadi pusat atau asal para TKW yang ke Hongkong. Lola dan timnya sudah tiga kali riset ke Hongkong. Risetnya sudah setahun ini.

Dia berharap, semua berjalan dengan lancar. Biayanya juga agak kecil. Apalagi lokasi syuting 95 persen berada di Hongkong. Sisanya berada di Surabaya.

Ia merasa beruntung karena didukung tim yang kuat. Ada Noe, dari grup Letto, anaknya Cak Nun, dan Dewi Umaya. Mereka berdua sebagai produser. Skenario ditulis Titin Wattimena. Camera dipegang Yadi Sugandi. Ada beberapa kru lain dari Hongkong. Dalam pembuatan itu, ia kerja sama dengan sebuah rumah produksi di Hongkong. Semua alat juga dari Hongkong.

Nah, bagaimana film itu kedepannya, kita tunggu debut Lola Amaria dengan filmnya.

Edisi cetak ada di Borneo Tribune 28 Juni 2009
Foto dari Face Book Lola Amaria

Baca Selengkapnya...

Saturday, December 29, 2007

Perempuan dan Semangat Pembebasan

Muhlis Suhaeri,
Borneo Tribune, Pontianak

Dor…..Dor…..
Blum……….....

Dua tembakan meluncur. Menembus leher dan dada. Suasana langsung berubah gaduh. Orang berlarian menyelamatkan diri. Semua kacau balau.

Ada mobil terbakar. Daging terpanggang. Asap mengepul. Semua campur aduk. Mengepung jiwa-jiwa yang marah dan kalut.

Aku tertegun. Menyaksikan sebuah drama yang begitu memilukan. Dari layar kaca TV 24 inchi di kantor, sebuah pemandangan terhampar. Stasiun televisi Aljazeera menayangkan berita itu. Penembakan dan bom bunuh diri yang ditujukan kepada Benazir Bhutto. Tokoh oposisi utama di Pakistan.



Malam itu, beberapa saluran televisi seperti CNN dan BBC, menayangkan berita itu hingga sekitar satu jam lebih.

Bhutto berada dalam suatu acara kampanye dan iring-iringan, ketika penembak dan pelaku bom bunuh diri itu, melakukan aksi. Dia sempat dibawa ke rumah sakit di Rawalpindhi. Namun, jiwanya tak tertolong.

Pengikutnya langsung bereaksi. Aksi bakar, dan merusak segera terjadi di beberapa wilayah Pakistan. Dunia internasional pun langsung berseru. Mengutuk penembakan dan segala cara dan bentuk kekerasan yang dilakukan.

Bhutto tidak sendiri. Dia adalah ikon. Simbol pembebasan dan demokrasi melawan Jenderal yang tiran, Perves Musharraf. Pengasingan yang dijalaninya selama delapan tahun di Inggris, tak membuatnya gentar menghadapi segala kekerasan yang ditujukan pada dirinya.

Beberapa jam setelah mendarat, dua bom mobil meledak di tengah iring-iringan orang yang menyambutnya. 138 orang meregang nyawa. Ia bergeming. Tak tunduk pada teror.

Aku jadi teringat pembicaraan dengan orang Pakistan. Dia kawin dengan sepupuku. Namanya, Sayid Laiq. Ia berbahasa Postun. Ada tradisi dalam masyarakatnya, “Dalam kondisi apapun, bahkan ketika bahaya mengancam nyawa, kita tidak boleh lari.”

Bhutto telah menghapus stigma di Pakistan. Mungkin juga di negara lain, bahwa sosok perempuan, tidak hanya berfungsi secara domestik atau bekerja di dapur saja. Melayani suami dan mengurus anak saja. Perempuan juga bisa tampil di ranah yang selama ini, menjadi hegemoni dari lelaki. Ranah politik. Ranah yang identik dengan intrik. Sikut-sikutan dan saling ganyang.

Ia telah berhasil menguak tradisi. Membongkar segala kekolotan dan nilai tradisional yang membelenggu kaum perempuan. Dengan kekuatannya yang khas seorang ibu, sosoknya bisa merangkul dan mengayomi semua kekuatan. Tempat berlindung bagi jiwa-jiwa yang resah. Hunian yang aman bagi mereka yang terpinggirkan. Karenanya, kekuatannya itu tak bisa dianggap remeh.

Bhutto juga telah berhasil membongkar tradisi. Dominasi laki-laki terhadap perempuan. Ia membuka mata kaumnya, ketika segregasi antara lelaki dan perempuan masih mendominasi pola kehidupan suatu masyarakat.

Di satu sisi, Bhutto telah berhasil menguak tabu. Namun, pada sisi yang lain, ia menumbuhkan bibit-bibit ekstremisme atas peran yang hilang dari budaya patriarki. Yang selama ini dipegang kaum lelaki. Apalagi bagi mereka yang masih berpikiran kolot. Maka segala cara pun bakal dilakukan, demi meraih superioritas.

Hatiku terasa ngilu. Pada wajah anggun dan berkarisma di layar itu. Sosok pejuang yang menjadikan dirinya martir, bagi sebuah proses demokrasi. Bagi sebuah tatanan nilai baru.

Tak jauh dari Pakistan, sebuah negara tetangga, juga terjadi gejolak serupa. Myanmar, negara dengan tradisi dan kediktatoran militer, melakukan hal sama pada warganya. Segala bentuk pengekangan yang dilakukan serdadu dengan dukungan bedil, membekap negeri tiran ini, puluhan tahun lamanya.

Aung San Suu Kyi, memanggul tanggung jawab dan seruan dari rakyatnya. Dia berdiri lantang melawan segala bentuk tiran. Perempuan yang satu ini, menjadi simbol dan pemersatu bangsa, dalam melawan kediktatoran militer.

Dalam pemilihan umum yang dilakukan, dia memenangkan suara. Namun, militer menolaknya. Malah memenjarakan di rumahnya sendiri. Suu Kyi menjadi tahanan rumah. Untuk segala usaha dan pengorbanan yang dilakukan, dunia menghadiahi perempuan lembut ini dengan hadiah tertinggi. Nobel Perdamaian.

Perjuangan perempuan di belahan bumi lain yang tak kalah heroiknya terjadi di Amerika Latin. Negeri-negeri di Amerika Selatan ini, sebagian besar mengalami kontradiksi dasar dan pertentangan yang jelas. Antara kaum kapitalis yang didukung rejim militer.

Munculnya Melida Anaya Montes dari El Salvador, menjadi ikon dan lambang pejuang kaum perempuan dan simbol pembebasan di Amerika Lain. Ia menemui ajal dan dibunuh teman-temannya sendiri.

Bagaimana dengan perempuan di Indonesia, sekarang ini?

Perempuan di Indonesia tak lebih. Munculnya Megawati, bisa dianggap sebagai awal dan ikon yang bisa mempersatukan dan menjadi simbol pembebasan. Ketika semuanya sudah didapat, dia melupakan semangat pembebasan itu.

Dia malah tenggelam dalam berbagai gelimang yang diperbuat orang di sekitarnya. Tak mengakar pada kaum yang telah memilihnya. Dalam berbagai kebijakan, seringkali tidak populis dan menggunakan naluri keibuannya.

Aceh terus diganyang dengan kebijakan militeristiknya. Kekuatan senjata digunakan untuk menangani negeri Serambi Mekah, tersebut. Hasilnya, Aceh makin bergolak. Operasi militer tak bisa membungkam semangat pembebasan yang dimiliki rakyat Aceh. Sebaliknya, munculnya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dari militer, malah bisa meredam kemarahan dan ketidakadilan yang dirasakan dengan cara perundingan dan pemberian otonomi diperluas bagi rakyat Aceh.

Gerakan dan semangat pembebasan di Kalbar, agaknya belum menemukan gaungnya. Padahal, isu dan permasalahan perempuan, tak kalah banyaknya dengan isu-isu lain. Seperti, illegal logging, fishing, trading. Isu perempuan tak begitu populer, ketika berlangsung hajatan dan pesta demokrasi, Pilkada. Isu perempuan masih menjadi isu pinggiran. Belum ada perhatian khusus terhadap isu perempuan.

Sejatinya, isu perempuan dan perdagangan anak atau trafiking, masih menjadi kasus yang terjadi hingga kini. Apalagi dengan kondisi Kalbar yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Kekerasan dalam rumah tangga, dan penganiayaan terhadap anak, menjadi peristiwa penting dalam berbagai pemberitaan di berbagai media.

Lahirnya UU No. 23 Tahun 2004, tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, seolah tak memberikan jawaban dan penyelesaian terhadap permasalahan yang terjadi.

Dalam berbagai kasus, perempuan yang mengalami KDRT, cenderung menutup diri dan tak mau melaporkan kasus itu ke polisi. Ada tabu dan peristiwa itu dianggap memalukan, bila diketahui oleh masyarakat. Kalaupun melapor, ketika ada proses hukum dilakukan, dan suami bakal ditahan, perempuan malah menarik kasus itu. Alasannya, ia tak siap untuk hidup sendiri. Faktor ketergantungan perempuan secara ekonomi, masih menjadi alasan, penanganan terhadap masalah ini. Dalam hal ini, perempuan kurang mandiri sehingga tidak berani mengambil sikap tegas.

Munculnya kasus ini tak lepas dari budaya patriarki dan bias gender yang terjadi di masyarakat. Data akhir tahun 2006 yang dihimpun Komnas Perempuan, dari 258 lembaga di 32 provinsi di Indonesia mencatat, telah terjadi 22.512 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2006. Dengan beban penanganan 40 - 95 kasus per lembaga, para perempuan pembela HAM yang bekerja pada organisasi penyedia layanan ini membutuhkan dukungan luas agar dapat menjaga keberlanjutan dalam memberikan pelayanan bagi korban.

Kasus KDRT di Kalbar, juga menimpa seorang bocah cilik perempuan bernama Zulkaidah Kurniawati, 7 tahun. Bocah perempuan yang seharusnya mendapat perlindungan dari keluarga ini, malah disiksa dan diperlakukan secara tidak manusiawi. UU KDRT Nomor 23 Tahun 2004 dan Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 menyebutkan, pelaku akan mendapat hukuman maksimal 10 tahun dan minimal 3 tahun.

Isu perempuan dan anak juga masih tak bergeser dengan perdagangan perempuan dan anak. Meski telah keluar UU Nomor 21 Tahun 2007, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, permasalahan ini seolah tak berujung pangkal.

Dalam berita Antara (20/8), ketika membuka kegiatan Workshop Regional, “Pembangunan dan Pengelolaan Pusat Pemberdayaan Perempuan” di Yogyakarta, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta mengatakan, sekarang perempuan menghadapi tantangan baru berupa meningkatnya tindak kekerasan dan perdagangan orang.

Meningkatnya tindak kekerasan dan perdagangan orang lebih banyak dialami oleh perempuan dan anak. Tantangan itu membutuhkan tindakan nyata untuk meningkatkan kualitas perempuan khususnya dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, politik dan perlindungan terhadap hukum. Berkaitan dengan itu, diperlukan suatu lembaga yang dapat mendukung pemberdayaan dan perlindungan bagi perempuan dan anak, seperti pusat pelayanan bagi perempuan dan anak.

Berita Sindikasi Pantau menyebutkan, data dari International Organization for Migration (IOM), ada sekitar 2,4 juta orang, sebagian besar perempuan, dan menangguk sekitar 32 miliar dolar per tahun di seluruh dunia. Ada bermacam bentuk perbudakan buruh di dunia. 85 persen korbannya adalah perempuan dan anak-anak yang terjerat jaringan eksploitasi seks.

Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita (PPSW) Borneo, Rosmaniar, mengatakan, kasus trafiking sebetulnya cukup banyak. Namun, nyaris sulit dibongkar karena berbagai kendala, termasuk dari para penegak hukum yang kesulitan mencari alat bukti atau penyebab lain.

Dijelaskannya, ada juga bentuk lain dari kerja migran, yaitu penari, penghibur, dan pertukaran budaya. Penari, penghibur dan pertukaran budaya ini terutama terjadi di luar negeri. Perempuan dan anak perempuan dijanjikan bekerja sebagai penari duta budaya, penyanyi atau penghibur di negara asing. Saat kedatangannya, banyak dari perempuan ini dipaksa untuk bekerja di industri seks atau pada pekerjaan dengan kondisi mirip perbudakan.

Koordinator Program PPSW Borneo, Reny A. Hidjazie mengatakan, korban trafiking memerlukan pendampingan. Tujuannya, supaya dapat memulihkan kondisi mereka, serta mencegah terjadinya hal-hal yang lebih buruk. Negara bersama organisasi non pemerintah, harus bertanggung jawab melakukan pendampingan korban trafiking. Memberikan pelayanan hukum, dan mengusahakan pemulihan kondisi korban, baik secara fisik, psikologis dan sosial.

Selama ini, penanganan korban trafiking masih dilakukan secara parsial, baik oleh pemerintah, maupun organisasi-organisasi non pemerintah.

“Karena itu diperlukan suatu metode pendampingan korban trafiking yang terpadu dan melibatkan semua unsur yang berkaitan dengan masalah ini,” ujarnya.

Pemerintah, harus melakukan langkah membangun sistem koordinasi dan kerjasama antara pemerintah dan organisasi non pemerintah dalam pendampingan korban trafiking perempuan dan anak. Selain itu, mesti menciptakan mekanisme rehabilitasi dan reintegrasi korban trafiking perempuan dan anak.

Pemerintah mesti meningkatkan pelayanan dan perlindungan terhadap korban trafiking perempuan dan anak. Harus ada suatu cara, bagaimana meningkatkan kesadaran korban untuk menjadi pribadi yang mandiri. Serta meningkatkan pengetahuan dan keterampilan korban, untuk menjalani kehidupan yang wajar sebagai anggota masyarakat.

Hal yang tak kalah penting adalah, mencegah korban tidak kembali mengalami hal yang sama, serta mengurangi terjadinya trafiking.

Isu tak kalah marak adalah masih banyaknya tindak kekerasan yang terjadi terhadap TKW yang bekerja di luar negeri. Berbagai kasus muncul karena adanya eksploitasi tenaga dan terjadinya berbagai kekerasan. Kasus Maria Bonet, dan beberapa TKW yang menjadi korban kekerasan di Malaysia, Saudi Arabia atau lainnya, makin menegaskan, masih minimnya perlindungan terhadap tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri.

Kasus TKW juga muncul seiring dengan munculnya berbagai praktik seks komersial. Dalam berbagai kasus, banyak TKW terpelosok dalam jaring trafiking berkedok pengiriman tenaga kerja ini. Remaja dari berbagai pelosok negeri, tergiur dengan iming-iming gaji dan kerja yang menjanjikan, yang berakhir dengan eksploitasi seks pada mereka.

Masalah kawin pesanan juga masih marak dan terjadi di Kalbar. Praktik yang telah terjadi puluhan tahun lamanya ini, membawa efek dan berbagai masalah, ketika terjadi suatu kasus hukum. Misalnya, ketika mereka mendapat kekerasan rumah tangga, atau mengenai hak kepemilikan anak. Banyak kasus terjadi, mereka harus terpisah dari anak-anak yang mereka miliki, karena hak asuh anak, otomatis berada di pihak lelaki atau pria Taiwan.

Banyak kasus juga terjadi, para pengantin pesanan ini terjebak dalam berbagai praktik prostitusi dan perdagangan seks komersial.

Bila awalnya perkawinan terjadi dengan lelaki Taiwan, sekarang ini kecenderungannya bergeser ke Malaysia. Ketidakberdayaan secara hukum, membuat mereka cenderung diam dan pasrah, ketika mereka mendapatkan kekerasan dari pihak lelaki.

Isu tentang perempuan juga berkisar mengenai kuota pencalonan 30 persen perempuan. Ketentuan pasal 65 ayat 1 UU Pemilu menyebutkan, setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memerhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen.

Kenyataannya, masih banyak partai-partai yang belum melakukan hal ini. Malahan, dari data yang dimiliki Cetro, partai yang melakukan hal ini, adalah partai-partai besar yang cenderung mendulang suara dalam pemilu.

Kenyataan yang bisa kita lihat secara kasat mata dalam lembaga legislatif di DPRD Provinsi Kalbar. Dari 55 anggota legislatif itu, jumlah perempuan hanya ada dua orang. Malah, lebih ironis lagi terjadi di DPRD Kota Pontianak. Dari 45 jumlah anggota dewan, tak ada satu pun, perempuan duduk sebagai anggota dewan.

Ternyata, kuota 30 persen, masih sebatas slogan belaka.

Melihat berbagai realitas dan permasalahan perempuan yang masih menumpuk di Kalbar, apakah bakal muncul perempuan-perempuan yang memiliki semangat pembebas dan dapat membela hak-hak mereka yang tertindas?

Jawabnya, ada pada diri perempuan itu sendiri. Sejauhmana perempuan mengorganisir diri dan menjawab berbagai permasalahan yang muncul. Tentunya dengan tekad membebaskan diri dari keterkungkungan adat, tradisi, dan dogma agama.

Siapa berani menjawab tantangan itu? Mari kita tunggu......□

Foto PKpolitics.com

Baca Selengkapnya...

Monday, November 26, 2007

Kasih yang Terampas

Agus Wahyuni
Borneo Tribune, Pontianak.

Riri, nama panggilannya. Kini, ia sedang di pesakitan, jeruji besi di Polsekta Pontianak Utara, beberapa waktu lalu. Di ruang pengap dan gelap itu, ia bagaikan pungguk merindukan bulan. Ia merindukan anaknya.

Anaknya bernama, Septi Ramadani (1 tahun). Ia anak satu-satunya. Dengan menjadi pesakitan, praktis ia jadi jauh dengan anaknya. Riri tak bisa memeluk dan menimangnya. “Saya selalu menangis jika ingat wajahnya,” kata Riri. Ia tinggal di Perum II, Jalan Kom Yos Sudarso, Pontianak.

Apalagi menjelang tengah malam. Sebelum memejamkan mata, ia hanya bisa berdoa, semoga anaknya selalu baik-baik saja.



Septi anak yang manis. Wajahnya halus. Biasanya, menjelang malam hari, ia selalu memangku dan menggendong anaknya dipangkuan. Setelah itu, sang anak bakal tidur dan terlelap.

Pada hari itu, saya mampir ke ruangannya. Seperti biasanya, saya selalu mencari berita di setiap polsek. Saya menyapukan pandangan ke ruangan itu. Hanya terlihat gelap dan pengap. Ia mendekam di sana. Wajahnya terlihat kusam.

Lalu, ia mulai bercerita. Semenjak bercerai dengan suaminya, Adi Arwan, setahun lalu, hidupnya sebatang kara. Ia sempat bingung, bagaimana cara membesarkan anak. Hanya cukup makan, tidak mampu membeli susu.

Ia tidak bekerja. Hanya ibu rumah tangga. Untuk mencukupi hidupnya, ia biasanya dibantu kakaknya, Ade. Sang kakak tinggal tiga puluh meter dari rumahnya. Biasanya ia mengantarkan beras, dan lauk pauk.

”Sedih melihat anak yang jarang minum susu,” katanya.

Kalaupun minum susu, bisa dihitung dengan jari. Itu pun dari belas kasihan tetangganya. Yang kebetulan mempunyai anak seusia dengan anaknya. Bahkan, tak segan-segan Riri mengemis kepada tetangganya, meminta sesendok susu dari tetangganya.

Ketika itu, pagi baru saja beringsut. Matahari pagi menyingsing. Riri kebingungan. Septi menangis. Anak itu haus. Padahal, ia tak memiliki uang untuk membeli susu.

Ibu berkulit putih, berambut panjang dan lurus ini, bingung. Hendak ke mana mencari susu. Tetangga yang biasa diandalkan, sedang keluar kota. Uang tak punya. Kalaupun ada, hanya cukup untuk ia makan dan anaknya. Sementara itu, harga susu cukup mahal.

Septi ditinggalnya. Riri pergi menggunakan oplet menuju Pasar Siantan. Ia gelap mata dan mengambil susu di sebuah swalayan. Namun, ia tertangkap basah. Ketahuan sedang mengutil sekaleng susu S-26 seharga Rp 165.000. Susu itu disembunyikan di roknya.

Kini, hidup Riri terasa hampa. Tak satu pun anak kecil dilihatnya.

Di tahanan itu, ia bersama tahanan lain, yang kebanyakan adalah pria. Mereka terlibat berbagai kasus. Sebulan yang lalu, ia dibesuk kakaknya, Ade. Untuk sementara, Septi tinggal bersamanya, sampai ada kesempatan Riri dipertemukan dengan anaknya.

Riri adalah potret buram ketidakberdayaan seorang perempuan. Yang demi anaknya, harus menanggung beban berat. Apa yang dialaminya, juga menjadi malapetaka bagi sang anak, karena harus berpisah dengan ibunya. Padahal, seorang anak, apalagi masih kecil, sangat tergantung pada orang tuanya.

Pada Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Sedunia yang jatuh pada 25 November, data dari Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan mencatat, pada akhir 2006 yang dihimpun Komnas Perempuan. Dari 258 lembaga di 32 provinsi di Indonesia, tercatat telah terjadi 22.512 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2006.

Untuk Kota Pontianak, dari data penyandang masalah sosial, untuk kategori rawan sosial ekonomi sebanyak 405 laki-laki dan 1.034 perempuan. Tuna susila sebanyak 61 laki-laki dan 476 perempuan. Anak terlantar 632 laki-laki dan 754 perempuan. Anak nakal 404 laki- laki dan 268 perempuan. Gelandang dan pengemis 227 laki-laki dan 415 perempuan. Eks narapidana 187 laki-laki dan 23 perempuan.

Hilfira Hamid, Kabag Pemberdayaan Perempuan dan Kesra Kota Pontianak mengatakan, memang selama ini kasus yang sering terjadi, kekerasan terhadap perempuan rata-rata tidak membekali diri, dikarenakan masih tergantung kepada suami. Untuk itu, perempuan perlu membentengi dengan pendidikan dan ketrampilan.

Hilfira menambahkan, biasanya kasus kekerasan yang sering terjadi kepada keluarga ekonomi menengah kebawah. Perempuan mesti memahami kehidupan rumah tangganya. Sehingga mengetahui hak–haknya sebagai ibu rumah tangga. Dengan cara itu, bakal menghambat terjadinya kekerasan.

Kekerasan perempuan untuk ekonomi menengah keatas juga sering terjadi, terutama kekerasan fisik. Ini dikarenakan, si perempuan merasa terlalu diatas. Baik dalam hal pendidikan maupun penghasilan terhadap suami, karena lebih mengutamakan ego masing-masing pasangan.

Untuk mengatasi tindak kekerasan, hal terpenting adalah pendidikan agama. “Jika pendidikan ini sudah kuat, saya yakin, kekerasan tidak akan terjadi,” kata Hilfira.

Menanggapi kasus yang dialami Riri, Hilfira mengatakan, akan memperjuangkan. Dikarenakan di dalam pengadilan nantinya, hendaknya para hakim harus mempertimbangkan latar belakang seseorang. Yaitu, dari segi ekonomi, seperti yang dialami Riri. Seorang ibu rela mencuri susu kaleng, hanya semata-mata untuk anaknya.

"Korupsi besar saja tidak ditahan, sedangkan Riri harus ditahan,” kata Hilfira.

Hilfira juga menyikapi mengenai sel ruang tahanan. Kebanyakan dari pemantauannya, ruang tahanan perempuan satu sel dengan tahanan pria. Walaupun terdapat sekat, ini akan mengganggu, terutama psikologis perempuan itu sendiri.

Bukan berarti masuk penjara, selesai permasalahan. Tetapi, bagaimana mencari jalan permasalahannya. “Sedangkan yang menjadi korban adalah anak, siapa lagi yang mengurusnya,” kata Hilfira.

Untuk itu, pemerintah berusaha membina perempuan-perempuan yang rawan terhadap masalah sosial. Salah satunya dengan menyediakan sekolah wajib bagi perempuan, khususnya Kota Pontianak. □


Foto Muhlis Suhaeri

Baca Selengkapnya...

Monday, July 2, 2007

Perempuan di Sungai Itik Lebih Mudah Menjadi Anggota Credit Union

Nurul Hayat
ANTARA

Borneo Tribune, Pontianak

Kaum perempuan di desa Sungai Itik, Kecamatan Sungai Kakap, Kabupaten Pontianak lebih mudah untuk dirangkul menjadi anggota credit union atau koperasi kredit daripada para prianya.


"Untuk mengajak mereka masuk CU, tidak mengalami kesulitan berarti. Apalagi biasanya keinginan bergabung itu dari mereka sendiri karena melihat keberhasilan sesama perempuan yang sudah terdaftar sebagai anggota," kata Sapiah, 27, Pengurus CU Muare Pesisir, Desa Sungai Itik, 23 kilometer dari Pontianak, Senin.


Menurut ia, untuk mengajak warga setempat menjadi anggota tidaklah mudah. Kebanyakan penduduk Sungai Itik adalah petani yang sepanjang pagi hingga siang berada di sawah. Selain itu, tidak jarang dari mereka juga memiliki usaha sampingan seperti keramba ikan dan berkebun kelapa.

Waktu yang masih tersisa, mereka pergunakan untuk mengerjakan keterampilan tangan, semisal membuat atap daun nipah. Karena sempitnya waktu yang ada, membuat kaum pria setempat enggan terlibat kegiatan lain, seperti menjadi anggota koperasi kredit. Karena itu pula, ia mengatakan kebanyakan anggota CU Muare Pesisir di desa Sungai Itik, adalah para perempuannya.

Para perempuan setempat masih mempunyai waktu luang pada hari Sabtu untuk mengikuti kegiatan lain di luar urusan rumah tangga dan bertani. Pengurus CU pun, pada akhirnya hanya bisa memberikan pendidikan kepada calon anggota yang didominasi perempuan untuk sehari saja. Padahal lazimnya, pendidikan bagi anggota CU berlangsung selama dua hari.

"Jika pendidikan berlangsung dua hari, apalagi lebih, banyak calon anggota merasa keberatan," jelas Sapiah.

Para perempuan setempat masih bersedia meluangkan waktu mengikuti kegiatan pendidikan yang juga menjadi syarat jika hendak mengajukan peminjaman uang baik untuk keperluan produktif maupun konsumtif. Sementara itu, seorang anggota CU dari dusun Parit Cik Mina, Hadiah, 50, menyatakan suaminya tidak mempunyai waktu khusus untuk mengikuti kegiatan di luar bertani.

"Saya telah mengajak suami masuk anggota tapi selalu tidak ada waktu untuk ikut pendidikan," kata anggota CU sejak 2003 itu. Suami Hadiah, Ariadi, 53, memiliki sawah dan kebun kelapa. Waktunya habis untuk mengurusi kedua hal itu. Hadiah mengaku ingin sekali melibatkan suaminya menjadi anggota Cu yang telah memberikan manfaat lebih bagi kehidupan mereka.

"Tetapi memang susah ya, laki-laki lebih mengutamakan pekerjaannya," kata ibu dengan tiga anak itu.

Pernyataan serupa juga disampaikan Taksiah, 39, yang telah 3 kali meminjam uang melalui CU Muare Pesisir. Namun begitu, ia telah berhasil mengajak 6 orang adiknya untuk menjadi anggota CU. Mereka kini menjadi anggota aktif dan telah beberapa kali meminjam modal usaha melalui CU Muare Pesisir yang berkantor pusat di Sungai Kakap, Kabupaten Pontianak.

Sementara menurut data Badan Koordinasi Koperasi Kredit Daerah Kalimantan, jumlah anggota dari 48 CU yang ada telah mencapai 334.119 orang. Khusus CU Muare Pesisir yang berdiri 10 Mei 2003, telah memiliki anggota sebanyak 853 orang hingga Maret lalu.ANTARA□

Foto by Lukas B. Wijanarko, "Memetik Sayur."
Edisi Cetak di Borneo Tribune, 3 Juli 2007

Baca Selengkapnya...

Thursday, June 7, 2007

Adakah Jugun Ianfu di Kalbar?

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak

Tanggal 28 Juni, warga Kalimantan Barat, mengenang peristiwa Mandor atau Hari Berkabung Daerah (HBD). Peristiwa itu meninggalkan jejak, terbunuhnya ribuan warga Kalbar dari berbagai agama, etnis, dan golongan. Ada yang menyebut, jumlah korban 21.037. Ada lagi yang menyebut sekitar 50 ribu.

Kalau serdadu Jepang, membunuh ribuan warga Kalbar semasa penjajahannya, bagaimana dengan nasib perempuan? Berapa orang menjadi korban kekerasan seksual tentara Jepang?


Ketika elit politik, pejabat atau warga berteriak dan mengangkat isu HBD, isu tentang peremouan yang dijadikan budak nafsu tentara Jepang, tidak terdengar dalam teriakan para tokoh masyarakat itu. Apakah kita menutup mata terhadap permasalahan ini? Atau, memang tidak peduli dan tidak berani mengakui, karena merasa malu, bahwa perempuan kita pernah mengalami peristiwa itu.

Dalam kamus elektronik Wikipedia Indonesia, Jugun ianfu merupakan wanita yang dipaksa untuk menjadi pemuas kebutuhan seksual tentara Jepang di Indonesia, dan di negara jajahan Jepang lainnya, pada kurun waktu tahun 1942-1945, semasa Perang Dunia II.

Menurut riset Dr. Hirofumi Hayashi, seorang profesor di Universitas Kanto Gakuin, jugun ianfu termasuk orang Jepang, Korea, Tiongkok, Malaya (Malaysia dan Singapura), Thailand, Filipina, Indonesia, Myanmar, Vietnam, India, Indo, Belanda, dan penduduk kepulauan Pasifik. Jumlah perkiraan dari jugun ianfu pada saat perang, berkisar antara 20.000 dan 30.000. Pengakuan dari beberapa jugun ianfu yang masih hidup, jumlah ini sepertinya berada di batas atas dari angka itu. Kebanyakan rumah bordilnya berada di pangkalan militer Jepang, namun dijalankan oleh penduduk setempat, bukan militer Jepang.

Menurut riset Dr. Ikuhika Hata, seorang profesor di Universitas Nihon. Orang Jepang yang menjadi jugun ianfu ini sekitar 40 persen, Korea 20 persen, Tionghoa 10 persen. Dan 30 persen sisanya dari kelompok lain.

Dalam berbagai seminar mengenai trafiking, isu jugun ianfu kurang tersentuh dalam pembahasan. Padahal, Menurut Hairiah dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) perwakilan Kalbar, jugun ianfu termasuk dalam sejarah trafiking di Indonesia.

Masalah jugun ianfu pernah dilakukan tribunal court di Belanda dengan hakim dari negara-negara lain. Hasil dari persidangan menyatakan, pemerintah Jepang bersalah dan diharuskan memohon maaf pada korban dan keluarganya.
Menurut Asmaniar, jugun ianfu merupakan peristiwa menyedihkan. Dalam artian, banyak perempuan Indonesia dijadikan pemuas nafsu tentara Jepang, namun tidak terungkap. Demikian juga di Kalbar. Ada perasaan malu mengungkapkan. “Peristiwa ini dianggap sebagai aib bagi diri dan keluarganya,” kata anggota dewan dari Komisi D DPRD Kalbar, ini.

Ini sesuatu yang tidak adil dan menyedihkan. Dalam artian, banyak dari perempuan Indonesia menjadi korban, tapi tidak tersuarakan. Orang yang sudah menjadi korban, pada akhirnya menjadi korban lagi, karena tidak terungkap. Yang harus dilakukan tentu, membuat perasaan nyaman dan aman. Mereka harus dihargai dengan rasa kemanusiaan.

Membuat rasa aman pada perempuan yang menjadi jugun ianfu perlu dilakukan. Orang yang pernah diperkosa, punya efek psikologi dan trauma. Apalagi, dijadikan budak seks. Yang konotasi orang, jelek saja.

Dalam sejarahnya, para korban jugun ianfu tidak punya posisi tawar. Mereka tak berdaya. Yang laki-laki saja dibantai, apalagi perempuannya. Pada masa perang, sudah menjadi rahasia umum, perempuan dijadikan sandera dan pampasan perang.

Yang harus dipertanyakan adalah, apakah ini baik-baik saja. Artinya, tidak ada korban jugun ianfu. Atau, malu karena menjadi korban.

Seharusnya ada suatu usaha mencari tahu, apa yang sebenarnya terjadi. Caranya, menghimpun berbagai data tentang peristiwa itu. Seperti juga, bagaimana mencari berbagai data mengenai peristiwa Mandor. Dari hasil itu, dikuatkan pemerintah daerah dengan Perda. Bahwa, ini peristiwa yang memang pernah terjadi.

Dari rentang waktu terjadinya peristiwa hingga saat ini, para korban masih ada yang hidup. Dan kalau bicara harus mulai dari mana, harus ada yang mulai. Sejarah ini harus diungkap satu persatu. “Kita tidak punya kapasitas untuk menghujat. Malah, yang harus dilakukan adalah, melindungi dan membuka masalah ini ke permukaan,” kata Asmaniar. Seperti juga membuka tragedi Mandor.

Harus dibuka satu perspektif, para korban di Jawa sudah ada yang berani menuntut dan memperjuangkan masalah ini. Pemerintah Kalbar atau kelompok yang peduli, harus mau memperjuangkan hal ini. Sehingga korban terlindungi dan tidak membawa masalah ini sendirian, ke masa tuanya.

Lalu, tahapan apa saja yang harus dilakukan, sehingga isu ini tidak hanya menjadi wacana, tapi juga satu gerakan?

Sekarang ini situasinya memang masih cair sekali. Yang paling mungkin bisa dilakukan adalah, pemerintah harus membahas hal pada tataran eksekutif dan legislatifnya. Harus ada data awal, bahwa ada pengakuan persoalan kejahatan dilakukan oleh penjajahan Jepang pada perempuan Kalbar.
Pemerintah harus memberi informasi pada masyarakat, peristiwa itu memang pernah terjadi. Selain itu, harus ada studi perpustakaan atau penelitian tentang masalah ini.

Keterlibatan berbagai pihak dan instansi sangat diperlukan dalam hal ini. “Dinas sosial, Bapora, bahkan hingga ke Sekda, sekalipun,” kata Asmaniar.

Ia berharap, masalah ini harus dibuka. Menurutnya, bangsa ini adalah bangsa pelupa. Dan ada kekhawatiran dari korban untuk melapor atau malu. Bila itu terjadi, maka sejarah bangsa ini, tidak akan pernah terungkap. Kalau tidak punya sejarah, berarti tidak punya satu pijakan untuk bertindak dan berpijak, pada masa kini.

Menurut Sudarto, salah satu peneliti sejarah di Kalbar, saat ini pemerintah Jepang sudah memperbolehkan berbagai dokumen sejarah dibuka.

Hal ini tentu bisa ditelusuri. Membuka masalah jugun ianfu, bukan berarti ingin mempermalukan mereka yang menjadi korban. Tapi, ada satu usaha untuk meluruskan sejarah. Bahwa, penjajahan Jepang, pernah melakukan kekerasan terhadap perempuan di Kalbar.

Jepang harus minta maaf atas perbuatan-perbuatannya. Kalau memang bisa diikuti dengan pemberian kompensasi pada korban, tentu akan sangat lebih baik.

Persoalannya sekarang adalah di data. Kalau memang harus dibuka, harus ada bantuan dari berbagai pihak yang mengetahui masalah ini. Masalah ini harus dibuka secara bersama. Membuka masalah jugun ianfu bukan berarti mempermalukan korban atau membuka luka lama. Tapi, untuk melindungi hak-hak orang yang terbaikan.

Perjuangan ini tentu tidak sebentar. “Pemerintah Kalbar harus punya kemauan dan itikad baik, untuk mengangkat masalah ini. Ini memang bukan proses yang mudah,” kata Asmaniar.□

Edisi Cetak ada di Borneo Tribune, 7 Juni 2007
Foto Lukas B. Wijanarko

Baca Selengkapnya...