Saya mengenalnya sejak tahun 2005. Namanya, Sugeng Hendratno (55 tahun). Ketika itu, saya baru saja pindah ke Kota Pontianak dari Jakarta. Ada kerjaan menulis buku.
Selesai urusan wawancara atau bertemu narasumber, saya cari kesibukan dengan bertemu para jurnalis atau fotografer di Pontianak.
Nah, Sugeng Hendratno adalah fotografer di Pontianak ketika itu, yang biasa saya temui.
Persamaan hobi membuat kami mendirikan komunitas fotografi.
Anggotanya, ada penggemar fotografi, jurnalis, fotografer profesional, macam Sugeng Hendratno, dan lainnya.
Mas Sugeng, saya biasanya memanggilnya, orang yang tidak pelit dengan ilmu. Juga tidak pilih-pilih teman.
Tak heran bila temannya banyak banget. Dari berbagai macam kelompok, profesi atau sebatas tongkrongan warung kopi. Sebagian besar orang mengenalnya. Tak hanya kenal, mereka juga suka dengan pribadinya.
Mas Sugeng pandai menempatkan diri. Apalagi di dunia para penggemar fotografi. Kawannya mulai dari remaja, dewasa hingga orang tua. Mulai dari penggemar fotografi, fotografer kawinan, fotografi jurnalistik, hingga para model yang sering dijadikan obyek foto.
Ia sosok yang disenangi dan jadi idola. Bagaimana tidak, anak yang baru pegang kamera dan lagi senang-senangnya motret pun, dia temani hunting foto. Begitu pun dengan para fotografer profesional atau sekedar hobi. Semua dekat dengannya.
Dia tak pelit ilmu. Pada siapa pun.
Saya punya pengalaman tersendiri, jalan bareng dia. Ketika itu, saya dapat dana hibah dari PPMN (Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara) di Jakarta, untuk sebuah liputan investigasi, akhir tahun 2007. Liputan itu meliputi wilayah Kota Pontianak, Kabupaten Kubu Raya, Mempawah, Bengkayang, Sambas, Singkawang hingga ke Sarawak, Malaysia.
Setelah riset pustaka, membuat timeline liputan, menentukan narasumber, jalin kontak dengan para penghubung di lapangan, saya mengajaknya jalan bareng ke beberapa daerah pedalaman di Kalbar.
Bagi orang luar Kalbar, masuk ke wilayah-wilayah pedalaman Kalbar, tentu saja harus punya cara tersendiri.
Mas Sugeng ibarat jimat dalam perjalanan dan kerjaan yang saya lakukan. Dia kenal banyak orang. Bahkan, di tempat terpencil sekali pun. Heran saya. Ada saja orang yang dikenalnya di suatu wilayah.
Itu sangat memudahkan perencanaan, gerak dan pencapaian target-target hasil liputan.
Liputan itu terbit di koran tempat saya bekerja, Harian Borneo Tribune dengan judul The Lost Generation. Tulisan itu terbit 19 edisi secara bersambung. Ada 63 halaman folio atau sekitar 24 ribu kata.
Naskah tentang pengusiran orang-orang Tionghoa sepanjang perbatasan Kalbar tersebut, memenangkan penghargaan jurnalistik Mochtar Lubis Award dan Adiwarta, untuk kategori investigasi tahun 2008.
Lain kali, saya jalan bareng dengan Mas Sugeng lagi, untuk liputan di Majalah Play Boy Indonesia. Saya ditelepon seorang redaktur majalah tersebut, Agus Sopian (almarhum).
“Lis, mau nulis untuk Majalah Play Boy, nggak?”
“Oh, siap. Seneng banget, Kang.”
“Oke, buat proposal liputannya, tema dan budjetnya, ya!”
Setelah semua beres, saya liputan ke Singkawang. Dalam budjet yang saya buat, estimasi waktu liputan selama empat hari. Temanya, pengantin pesanan atau kawin kontrak di Singkawang. Hingga hari keempat, narasumber utama belum dapat.
Otak mulai stres. Berbagai cara dan jaringan diberdayakan. Akhirnya, tugas beres.
Beberapa hari setelah liputan itulah, istri cerita.
Mas Sugeng cerita, “Gila, gigih suamimu itu.”
Saya hanya senyum-senyum saja.
SUGENG HENDRATNO, awalnya adalah pelukis. Ada banyak lukisan dia buat. Saya kebagian dua lukisan. Satu lukisan perempuan Dayak dengan hiasan manik-manik. Cerah dan ceria. Satu lagi, lukisan ukuran besar bertema topeng, dengan beragam ekspresi wajah.
Lukisan itu dibuatnya di Sekretariat AJI Pontianak. Lukisan pernah beberapa kali pindah tempat. Terakhir saya bilang ke dia,
“Aku ingin pasang lukisan itu di rumah. Pokoknya, aku bakal mulyakan lukisan itu.”
Dan, memang, lukisan dengan dasar warna abu-abu itu, menempel di ruang tamu rumah. Gambaran wajah dalam topeng dengan beragam ekspresi tersebut, selalu membuat saya tersadar bahwa, dalam hidup ada beragam karakter manusia.
Kita tidak bisa membuat semua orang senang, gembira atau melayani apa yang menjadi kemauannya. Yang bisa dilakukan dalam hidup dan pergaulan adalah, belajar dan menerima segala karakter tersebut. Bila tidak, kita akan berserak. Pecah seperti gambaran topeng yang berserak di dasar lukisan.
Sebagai fotografer yang berawal dari pelukis, dia paham benar anatomi tubuh. Juga gestur dan komposisi. Foto-foto human interest yang dia potret, banyak menggambarkan detail itu.
Begitu pun dengan foto-foto alam yang dipotretnya. Gambaran lukisan dengan berbagai pernak-pernik, warna dan tata cahaya, kerap muncul di foto-fotonya. Persis bak lukisan.
Foto-fotonya kerap digunakan untuk berbagai program di WWF, tempat dia menjadi fotografer.
Para aktivis pun, kerap menggunakan fotonya untuk kegiatan mereka. Dan, dia tak pelit atau minta imbalan untuk foto yang digunakan tersebut.
Akhir 2018, saya tak lagi bisa menikmati foto-fotonya. Badannya mulai digerogoti penyakit. Kanker paru. Efek dari perjalanannya selama 24 tahun, keluar-masuk hutan. Gas dan karbon dioksida dari lingkungan yang basah dan lembab, mulai mengikis kekebalan tubuhnya, kata seorang dokter.
Semalam, bayangan dan kilatan flash dari kameranya, seakan membekap kami dalam jarak. Kami saling memandang. Ia terbujur dalam diam. Tanpa kata-kata. Tangan yang biasa menenteng kamera dan lensa, tak lagi liat dan kekar. Imbas dari sakit yang mendera.
Yang mengantarnya pada pusara.
Clik. Cekrek...
Keterangan foto:
Sugeng Hendratno berfoto di depan mozaik foto karyanya. (Foto oleh Galih Nofrio Nanda)
Sunday, July 21, 2019
Sugeng Tindak Mas Sugeng Hendratno...
Posted by Muhlis Suhaeri at 1:21 AM
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment