By Muhlis Suhaeri
Pembangunan melalui program transmigrasi, bagai dua sisi mata pisau. Keberhasilan program ciptakan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan warga. Kegagalan program, menciptakan keterasingan dan keputusasaan psikologi dan sosial.
Titin Suprihatin (29), biasa dipanggil Titin, baru saja mencuci piring di dapur. Ia bergegas menuju ruang tengah rumah kontrakannya. Yang nampak hanya televisi 14 inch. Itu pun sedang rusak. Ia tak ada hiburan lagi. Bola lampu 15 watt, tak menyisakan sinar terang, meski cat warna putih mendominasi warna tembok. Temaram mendominasi kondisi rumah. Sejenak, ia memperhatikan kaleng racun serangga di ruang itu.
Tiba-tiba, ia meraih kaleng dan menuangkan dua sendok ke gelas. Segelas teh menjadi alat pencampur. Ia biasa memberi anaknya jamu. Karenanya, ia minta anak-anaknya minum “jamu”.
Dua anaknya, Asiah (9) dan Satrio Sujatmiko (6), segera meraih gelas dan minumnya. Anak ketiga, Ahmad Hadi Waluyo (3,5) sudah terlelap. Suprihatin minum setengah gelas serangga dicampur teh. Asiah dan Waluyo muntah. Merasa tak ada hasil, ia mengambil pisau di dapur.
Tiga anaknya diiris satu per satu pergelangan tangan kanannya. Selepas itu, Titin mengiris pergelangan kirinya dengan parang. Keempatnya bersimpah darah. Lantai kamar depan yang terbuat dari papan, menjadi saksi upaya bunuh diri. Namun, sebelum keempatnya meregang nyawa, Suyono (46), sang suami, tiba di rumah.
Ia baru saja memarkirkan gerobak baksonya di pelataran rumah. Begitu masuk rumah, ia heran ada suara ribut-ribut. Lebih heran lagi, pintu kamar bagian depan terkunci dari dalam. Tak biasanya pintu dikunci.
Ia berkata pada istrinya, agar pintu dibuka. Imbauan tak digubris. Malah, sang istri memberikan jawaban, “Sudah, kamu urus diri sendiri saja.”
Merasa ada yang tak beres, Suyono mengambil kapak di dapur. Ia mencongkel pintu kamar. Begitu terbuka, ia kaget bukan kepalang. Darah berceceran di kamar seukuran tiga kali tiga meter tersebut.
Suyono menghubungi ketua rukun tetangga (RT). Ia kenal baik dengan pimpinan warga di RT 12 RW 06. Sang ketua RT, Santoso, segera bergegas. Bersama istrinya, Juwariyah, ia menuju rumah kontrakan warganya. Sangking terburu-buru, Juwariyah hanya mengenakan daster.
Melihat empat orang bersimbah darah, Santoso dan istrinya menuju ke rumah sakit terdekat. Dengan motornya, keduanya menyusuri kegelapan Gang Cempaka Putih menuju Jalan Raya Adisucipto. Jalan sempit dan berkelok sepanjang satu kilometer tersebut, diterabas sesegera mungkin. Sesampai di rumah sakit militer, keduanya menemui petugas jaga. Oleh petugas jaga, mereka diberi saran melapor ke polisi. Sebab, polisi punya mobil untuk membawa korban ke rumah sakit. Segera saja, keduanya menuju Polsek Parit Baru di Sungai Raya. Mendapat laporan, polisi menuju rumah korban.
Empat orang korban segera dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Soedarso. Keempatnya dibawa ke Unit Gawat Darurat (UGD). Nyawa mereka terselamatkan. Anak paling besar paling parah lukanya.
Melihat peristiwa itu, Santoso terkejut bukan kepalang. “Selama ini saya lihat bapaknya baik saja. Keluarga itu tak pernah bertengkar dengan warga,” kata Santoso.
Astuti (23), adik Suprihatin juga kaget. Sehari sebelumnya, dia bertandang ke rumah tersebut. Ia tak melihat permasalahan di keluarga kakaknya. “Mbak Titin orangnya pendiam. Kalau ada masalah juga diam,” kata Astuti.
Asro (35), suami Astuti, saat ditemui di rumah kontrakan iparnya mengatakan, ia kaget dengan peristiwa itu. Sekitar pukul 23 WIB, rumahnya digedor kerabat. Ia diberitahu, iparnya kena musibah. Ia heran, kenapa iparnya berbuat nekad. Yang dia tahu, Suyono pernah marah pada Suprihatin.
Saat itu, Suyono hendak belanja keperluan dagangan baksonya. Ia biasa berangkat jam lima pagi. Suyono minta Suprihatin menyeduh kopi. Namun, kopi habis. Lagi pula, jam lima pagi toko belum buka.
Suprihatin juga sedang risau. Hutangnya Rp 500 ribu pada keluarga adiknya, belum terbayar. Padahal, ia berjanji mengembalikan uang dalam jangka sebulan. Ditambah lagi, anak keduanya harus masuk sekolah. Ia butuh uang.
Sementara itu, hasil jualan bakso hanya cukup untuk makan. Sedari pagi, keluarga ini sudah persiapkan dagangan. Suyono berangkat pukul 11.0 Wib, dan pulang pukul 22.0 Wib. Untung yang diperoleh sekitar Rp 20-30 ribu setiap harinya. Modal yang harus dikeluarkan Rp 150 ribu.
Sejak melonjaknya kebutuhan pokok, harga bahan baku naik semua. Sebelumnya, ia hanya keluarkan Rp 50 ribu untuk berdagang. Sekarang ini, dengan uang Rp 150, baru bisa berdagang. Padahal, ia tak bisa menaikkan harga semangkok bakso.
Suyono tak menyangka dengan apa yang dilakukan istrinya. “Karakter istri baik dengan keluarga. Ia sedang khilaf saja, karena ekonomi atau apa,” kata Suyono. Sebelumnya tak ada apa-apa. Ibaratnya, makan dengan garam saja bisa terima.
Saat berbincang di selasar RSUD Soedarso, Suprihatin tak punya alasan jelas, kenapa ia melakukan perbuatan itu. “Tak ada masalah. Tiba-tiba kepikiran, anak akan kasihan kalau ditinggal mati oleh saya,” kata Suprihatin. Ia sangat sayang pada ketiga anaknya.
Selama ini, ia jarang ke mana-mana. “Memang suntuk, Mas. Mau ke mana bingung. Pakai motor tak tahu jalan, dan takut ditilang polisi,” kata Suprihatin.
Prihatin punya penyakit darah tinggi. Terakhir sebelum kejadian, tekanan darahnya 150/100 mmHg. Tekanan darah normal biasanya 120/80 mmHg.
Suprihatin telah menetap lima tahun di Desa Parit Baru, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya (KKR). Sebelumnya, ia warga transmigrasi di Desa Radak, Kecamatan Terentang, KKR. Ia berusaha cari penghidupan lebih baik. Selama merantau, ia sudah sanggup beli tanah dan kredit motor. Ia beberapa kali pindah rumah kontrakan. Rumah terakhir baru ditempati tiga minggu. Penghuni sebelumnya, Agus, tinggal bersama istrinya di rumah itu.
Ibu Agus, demikian ia biasa dipanggil, selalu bertandang ke rumah Juwariyah. Suatu ketika, Juwariyah mendapat cerita. “Kalau motong wortel, perasaan selalu ingin motong tangan sendiri terus,” kata Juwariyah, menirukan ucapan Ibu Agus.
Berita mengenai keluarga ini, segera merebak. Tak urung, Bupati KKR, Muda Mahendrawan, segera menjenguk korban di RSU Soedarso. “Saya turut prihatin dengan masalah ini,” katanya.
Camat Terentang, Rasudi (40) dan Kades Radak I, Sumardi (36), bahkan datang menjemput warganya. “Kami tak ingin anaknya putus sekolah,” kata Camat Terentang, Rasudi.
Banyak kecaman terhadap Suprihatin. Ada yang berharap, ia mendapat hukuman setimpal. Tapi, ada juga yang tak setuju. Dasar pertimbangannya, saat ia jalani tahanan, bagaimana dengan nasib anak-anaknya?
Kapolda Kalbar, Brigjen (Pol) Erwin TPL Tobing dalam kata sambutannya di Hari Bhayangkara Polri ke 64, Kamis (1/7), mengatakan, “Tidak semua masalah hukum harus diselesaikan secara hukum, walaupun itu melanggar hukum. Tapi, ada cara pendekatan lain.”
Devi Tiomana dari Yayasan Nanda Dian Nusantara (YNDN) berpendapat, permasalahan itu tak harus diselesaikan secara hukum. Walaupun, ada unsur hukum terkandung di dalamnya. “Harus ada kebijakan bagi kebaikan anak, lek spesialis. Agar tak memunculkan masalah baru,” kata Devi.
Menurutnya, harus dilakukan pendekatan psikologi dan spikososial. Psikologi orang tua dan anak harus dipulihkan melalui terapi. Anak harus pulih secara psikologi, agar bisa percaya pada orang tuanya lagi. Ia berpendapat, dalam psikologi anak sudah tertanam bahwa, ibunya jahat dan berusaha membunuh. “Hal itu harus dipulihkan,” kata Devi.
Begitu juga dengan lingkungan sosialnya. Harus ada pemulihan secara sosial, sehingga warga bisa menerimanya kembali. “Kalau bisa lakukan pemulihan yang tepat, dia akan belajar. Kalau melakukan relasi sosial, dia akan banyak belajar,” kata Devi.
Dalam hal itu, peran serta pemerintah harus kuat. Agar, tak timbul permasalahan lagi kedepannya, kata Devi.
***
Tanggal 3 Maret 1984, hari paling diingat Mistin (55). Pasalnya, pada hari itu, ia bersama suami, Sakijan dan tiga anaknya, menginjakkan kaki pertama kali di Terentang. Saat itu, Terentang masuk wilayah Kabupaten Pontianak. Sejak pengesahan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2007, tentang Pembentukan KKR di Provinsi Kalbar, Terentang masuk wilayah KKR.
Mistin kelahiran Lumajang, Jawa Timur. Kehidupan di tanah kelahirannya sulit. Saat kepala desa menawari keluarganya ikut transmigrasi, mereka setuju. “Ikut transmigrasi ada masa depan,” kata Mistin.
Dia bareng dua KK di kampungnya, Desa Lumajang, ketika memutuskan transmigrasi. Dari Kabupaten Lumajang, ada 25 KK. Mereka berangkat ke Surabaya dengan bis. Dari kota Surabaya menggunakan pesawat terbang ke Pontianak. Rombongan menginap sehari di Pontianak. Esoknya langsung menuju Terentang.
Mistin berangkat bersama seluruh keluarga. Salah satu anaknya bernama Titin Suprihatin. Dia nomor tiga dari tujuh bersaudara. “Saat itu, Titin baru berumur tiga tahun,” kata Mistin.
Hal sama dialami Sumi (68). Ia punya lima anak. Semuanya lelaki. Salah satu anaknya bernama Suyono. Saat itu, ada pengumuman dari kepala desa, siapa yang mau transmigrasi, pemerintah akan memberangkatkan. Kebetulan, ia tak punya apa-apa di Jawa. Rumah masih kontrak. Suami bekerja sebagai tukang becak.
“Jadi, maulah kita berangkat transmigrasi,” kata Sumi.
Ia berangkat dari Blora, Jawa Tengah, bersama 55 KK. Dari Blora, rombongan ke Semarang naik bis. Perjalanan berlanjut ke Jakarta menggunakan kereta api. Setelah itu, naik pesawat ke Pontianak. “Pakai Garuda,” kata Sumi dengan bangga.
Setelah di penampungan sehari, mereka berangkat menuju Terentang. Rombongan dari Blora bergabung dengan transmigran dari Sukabumi, Jawa Barat. Namun, pada perkembangannya, sebagian besar rombongan dari Sukabumi, pergi dari lokasi transmigrasi. Mereka tak tahan.
Mistin dan Sumi menempati Desa Radak 1. Desa itu dibagi lima RW. RW 1-3, wilayahnya agak tinggi. Ini menguntungkan untuk bercocok tanam. Tanahnya subur dan tak terendam air. Bisa menanam berbagai macam sayuran dan padi. Wilayah RW 4-5, sebagian besar tanahnya datar dan gampang terendam air. Kondisi tanah RW 1-3 dan RW 4-5, ibarat bumi dan langit. “Sangat berbeda,” kata Yuyun, ipar Suprihatin.
“Radak merupakan pasang surut rendah. Adaptasinya ekstrem,” kata Mulyoto, Kepala Bidang Pembinaan Masyarakat dan Kawasan Transmigrasi (PMKT), Dinsosnakertran Provinsi Kalbar.
Meski tanah subur, bila turun hujan sebentar saja, wilayah itu tergenang air. Ini tak cocok bagi tanaman tahunan. Misalnya, tanaman kelapa. Biasanya kelapa akan mati setelah kena air pasang. Sehingga warga tidak tanam kelapa lagi. Tanah hanya cocok bagi padi. Panennya setahun sekali. Tiap satu hektar, biasanya hasilkan dua ton gabah. Kalau tak jadi, paling 5 kwintal. RW 1-3, wilayahnya agak tinggi dan subur. Warga bisa menanam berbagai macam sayuran, ubi kayu, dan jagung.
Untuk memulai hidup, para transmigran mendapat bantuan jatah hidup selama setahun. Karena mereka tinggal di daerah pasang surut, pemerintah memberikan bantuan selama 18 bulan. Tiap bulan, kepala keluarga atau ayah, dapat 17 kg beras. Ibu dapat 10 kg. Anak dapat 7,5 kg. Minyak goreng dapat 3 kg. Gula 3 kg. Kacang ijo 3 kg. Ikan asin 5 kg.
Pemerintah juga memberikan peralatan pertanian. Seperti, cangkul, parang, linggis, kapak, dan lainnya. Pupuk urea satu kantong atau 50 kg diberikan pada para trans, setelah mereka tanam padi. Warga juga mendapat baju stel baju kebaya dan jarik.
Warga mendapat dua hektar tanah. Seperempat lahan pekarangan. Satu hektar lahan usaha. Tiga per empat lahan usaha dua, yang hingga 26 tahun masih berupa hutan. Warga mendapat rumah dari papan dengan tipe 36.
Rumah papan itu sangat sederhana. Berlantai tanah dan berdinding papan kayu atau papan partikel. Bila terkena hujan, papan itu melengkung. “Kami sering menyebutnya karbot meteng,” kata Endang Kusmiyati, warga trans dari SKPD D Sintang. Meteng dalam bahasa Jawa berarti hamil. Banyak rumah warga papannya lepas dan bertebaran di sekitar area desa.
Di SKPD ada tujuh desa. Ada Satuan Pemukiman (SP) 1-8. Daerah itu sekarang lebih dikenal dengan nama Pandan. Ketika pertama kali ditempati pada 1982, daerah itu masih berupa hutan lebat yang baru dibuka. Masih banyak kayu besar di sekitar rumah warga. Begitu juga binatang liar, semisal ular. Masih jadi ancaman.
Cuaca dan kondisi tanah di Kalimantan, sangat berbeda dengan di Jawa. Hal itu membuat warga harus menyesuaikan diri. Perubahan drastis membuat banyak warga meninggalkan lokasi transmigrasi. Kalaupun bertahan, mereka harus makan seadanya.
“Selama berbulan-bulan, kami biasa makan ubi rebus saja atau makan pakai garam,” kata Suprihatin. Sesuai namanya, Suprihatin, hidup dengan prihatin di daerah transmigran.
Pemerintah menyediakan sekolah bagi anak transmigran. Satu sekolah untuk satu pemukiman yang baru dibuka. Sekolah itu jauh dari rumahnya. Dia harus berjalan kaki sekitar 2-2,5 km ke sekolahnya. Kalau ada teman bersepeda, ia akan membonceng. Selepas kelas enam SD, ia jadi buruh tani. Tugasnya menjaga sawah.
Lalu, ia masuk Tsanawiyah. Alasannya, ia juga ingin dapat pelajaran agama. Selain itu, jaraknya tak begitu jauh dari rumah. Kalau mau sekolah SMP, jaraknya sekitar 4 km dari rumah. Tapi, ia hanya sampai kelas dua Tsanawiyah. Ia keluar sekolah karena tak ada biaya.
Selepas putus sekolah, Suprihatin bekerja di luar wilayah transmigrasi. Ia bekerja serabutan. Menginjak dewasa, Suprihatin dijodohkan dengan Suryono. Kedua orang tua berteman.
Setelah tiga hari kenalan, keduanya menikah. “Ya, kita nurut orang tua saja. Dari awal saya terima dia apa adanya,” kata Suprihatin.
Pada awal pernikahan, Suprihatin juga biasa makan nasi dengan lauk garam saja. Setahun menikah, pada 2001, anak pertama lahir. Begitu anak kedua lahir dan mulai ada kebutuhan, keduanya memutuskan pindah ke Kecamatan Sungai Raya.
“Di Terentang sempit cari lapangan kerja,” kata Suyono. Menjual hasil bumi juga sulit, karena jalan jelek. Di pertanian hanya cukup untuk makan. Kebutuhan sehari-hari hanya bertani. Jadi, tak ada sampingan.
“Namanya orang, tentu ingin perubahan,” kata Suyono.
***
Radak I, termasuk Kecamatan Terentang. Pertama kali ditempati transmigram pada 1984. Ada 500 KK menempati lokasi tersebut. Pada 2010, tinggal 439 KK. Padahal, idealnya ada 3.000 KK. “Karena tak ada penghidupan, orang pergi ke kota untuk mengubah nasib. Kalau ekonomi cukup, warga tidak akan pindah ke kota,” kata Sumardi (36), Kades Radak I.
Sumardi tinggal 26 tahun di Radak. Ia jadi kepala desa angkatan ketiga. Jabatan itu warisan dari kakek dan bapaknya.
Ia berkata, Kecamatan Terentang itu TTT. Artinya, tertinggal, terlantar dan terisolir. “Karenanya, Kecamatan Terentang harus dipacu,” kata Sumardi.
Ia berpendapat, pemerintah belum memberikan terobosan. Ada perusahaan besar masuk ke Terentang, namun belum memberikan kontribusi pada warga. Seperti, beroperasinya tiga perusahaan yang bergerak di bidang Hutan Tanaman Industri (HTI). Ada PT Iciko, BPG dan Rezeki Kencana. Warga transmigrasi kurang dilibatkan dari segi lapangan kerja. “Kalaupun ada yang kerja di HTI, hanya sebagai kroconya,” kata Sumardi.
Menurutnya, daya tampung banyak. Investor sudah ada. Tapi, tak bisa beroperasi secara penuh. Menurutnya, pemerintah harus mendukung sektor pertanian. Caranya, memberikan alat dan mesin pertanian. Selama ini, warga menggunakan pola tanam tanpa olah tanah (TOT).
Ia berharap, pemerintah membantu alat pertanian. Sehingga program pemerintah KKR, peningkatan beras lokal dan Terentang sebagai penyangga pangan, bisa terlaksana.
“Insya Allah dengan cara itu, urbanisasi bisa diperkecil. Sehingga menuntaskan pengangguran,” kata Sumardi.
Sampai saat ini, belum ada transportasi darat dari Pontianak ke Terentang. Ada Sungai Kapuas yang membatasi. Perjalanan ke Terentang dapat ditempuh dari Sukalanting di Kecamatan Sungai Raya ke Teluk Bayur, Kecamatan Terentang. Butuh waktu sekitar 5-6 jam dengan perahu klotok. Biayanya Rp 20 ribu. Bila menggunakan speed boat 40 PK, sekitar satu jam. Biayanya 50 ribu.
Sebelum ke penyeberangan ke Sukalanting, jalan harus diperbaiki. Butuh waktu sekitar 1-2 jam dari Sukalanting ke Pontianak. Padahal, jaraknya tak lebih dari 35 km. “Idealnya, akses ke ibukota harus ada jalan yang baik,” kata Rasudi, Camat Terentang.
Tak adanya jalan membuat warga kesulitan memasarkan hasil pertanian, karena akan lama di perjalanan. Ongkos menjadi mahal. Namun, waktu lebih penting. Lama di perjalanan akan membuat sayur layu, busuk, dan tak laku.
Jumlah penduduknya Terentang sekitar 11 ribu. Tingkat kepadatan penduduk masih sedikit. Masih banyak lahan tidur tak digarap. Pada 2010, ada transmigran masuk ke Kecamatan Terentang sebanyak 100 KK. Mereka akan ditempatkan di Terentang Hulu.
“Terentang kecamatan yang tertinggal. Investor bisa masuk ke Terentang untuk atasi pengangguran,” kata Rasudi.
Hal yang sama dikatakan Muhammad Layim, dari Pemuda Pelopor. Menurutnya, Terentang daerah yang ditinggalkan dari segi pembangunan. “Kurang ada perhatian,” kata Layim.
Tidak ada tindak lanjut dan kesinambungan pembangunan dari segi ekonomi, sosial, dan ekologi. “Kalau kita kritis dianggap musuh,” katanya.
Menurutnya, masyarakat harus ikut berperan. Pemerintah harus lakukan sosialisasi, begitu ada pembangunan. Menciptakan modal butuh bimbingan. “Agar tidak terputus, karena SDM-nya rendah,” kata Layim.
Ia berkata, pemerintah setempat harus proaktif dari segi permodalan dan kembangkan potensi. “Sarana dan prasarana sangat tidak mendukung. Sehingga orang kabur dari sana,” kata Layim.
Banyak yang mengkritisi program transmigrasi. Pendapat muncul seiring tata kelola dan penanganan program yang dianggap tak ada koordinasi antara satu institusi dengan lainnya.
Dalam bukunya berjudul “Ayo ke Tanah Sabrang”, Patrice Levang peneliti dari Perancis menulis, pada 12 Desember 1950, setelah menempuh perjalanan panjang yang melelahkan dengan bus, 23 kepala keluarga dari Jawa Tengah, akhirnya menjejakkan kaki di Lampung. Keluarga-keluarga itu berasal dari kota yang terlampau padat penduduknya atau lahan kritis. Mereka menghindar dari kelaparan dan penyakit, menuju tanah baru yang menjanjikan kehidupan lebih baik. Mereka merupakan keluarga pertama yang memanfaatkan program ambisius pemerintah Indonesia, yang bertujuan memberikan lahan dan kesempatan kerja kepada warga termiskin. Program itu bernama transmigrasi.
Transmigrasi berasal dari politik etis yang dikeluarkan Belanda: pendidikan, irigasi dan migrasi. Bagian ketiga menjadikan kolonisatie pada 1905, sebagai cikal bakal transmigrasi masa kini. Asisten Residen, H.G. Heijting, yang pertama mempelajari kemungkinan pemindahan penduduk Jawa dari Karesidenan Kedu (Jawa Tengah), ke daerah-daerah lain di luar Jawa. Dia juga yang usulkan dalam setiap pemindahan, ada kelompok inti yang terdiri dari 500 KK. Keluarga ini mendapat jaminan hidup selama setahun. Transmigrasi dibagi menjadi tiga fase. Fase percobaan (1905-1931), Fase Kedua (1931-1941) dan Pascaperang.
Kini, setelah seabad lebih usia program transmigarsi, tabir permasalahan masih menyelimuti program ini. Ada silang pendapat dalam penanganan.
“Kalau menuruti hati nurani, saya tidak ingin ada program transmigrasi lagi. Tapi, kalau melihat kondisi di Jawa, masih diperlukan program transmigrasi,” kata Akhmadi (40), Ketua Perhimpunan Keluarga Transmigran RI (PATRI) Kalimantan Barat.
Menurutnya, ada kewajiban lain yang membuat, ia harus dukung program transmigrasi. Apalagi dengan berbagai permasalahan yang terjadi di Jawa. Misalnya, kurangnya lahan pertanian, bencana alam, seperti lumpur Lapindo, banjir dan lainnya.
Akhmadi ingat betul, bagaimana program pembinaan dilakukan di daerahnya. Ia kelahiran Banyuwangi, Jawa Timur. Tahun 1982, ia sudah lulus SD. Keluarganya dapat tawaran transmigrasi ke Kendari, Sulawesi tenggara.
Keluarganya menjual seluruh barang dan rumah. Namun, ketika semua barang sudah dijual, pemberangkatan belum dilakukan. Terpaksa, dia bersama keluarga menumpang di rumah neneknya, hingga enam bulan. Untuk biaya hidup, terpaksa menjual berbagai barang yang ada, sekedar buat makan. Tiba-tiba, ada tawaran transmigrasi di Sekadau, Kalimantan Barat. Keluarga setuju saja. Ketika berangkat ke Sekadau, uang sudah habis sama sekali.
Ia menempati SP 1 Transmadya, Desa Landau Kodah, Kecamatan Sekadau Hilir, Kabupaten Sekadau. Wilayah itu diberi nama sesuai dengan nama CV yang jadi kontraktor pembangunan. Jarak dari Sekadau sekitar 12 km. Karena tak ada uang, sekeluarga hanya mengandalkan jatah hidup dari pemerintah. Selama berbulan-bulan hanya makan ikan asin.
“Jadi, sekarang kalau tak makan ikan asin, tak sah makannya,” kata Akhmadi, sembari tertawa. Akhmadi beruntung bisa mengenyam bangku kuliah di Fakultas Bahasa Inggris, Untan. Ia pernah menjadi guru sekolah dan kursus bahasa Inggris.
Menurutnya, program transmigrasi merupakan program nasional. Karenanya, penanganannya harus secara nasional. Bila ditangani secara nasional, kepentingan daerah praktis ikut terfasilitasi.
Transmigrasi pertama kali berjalan pada era Orde Baru. Pada zaman pemerintahan Gus Dur atau Abdurrahman Wahid, melalui kebijakan yang dituangkan, minta pada Riyas Rasyid menyusun konsep otonomi daerah pada 2001. Gus Dur juga membubarkan Departeman Transmigrasi (Deptran). Program transmigrasi tak ada kegiatan dari tahun 2001-2002. Tahun 2003, program kembali berjalan dengan konsep berbeda.
“Banyak sekali perbedaan transmigrasi antara dulu dan sekarang,” kata Akhmadi.
Dulu, setiap Satuan Pemukiman (SP), ada Kepala Unit Pemukiman Transmigrasi (KUPT). Lengkap dengan stafnya. Kaor KUPT dibantu staf bidang tata usaha, pembimbing ekonomi, serta pemukiman dan penempatan. Ada staf yang tangani penyuluhan bagi petani, pelayanan kesehatan dan membina masyarakat dari segi sosial budaya. Sejak otonomi daerah, tanggung jawab transmigrasi hanya di kepala desa beserta perangkatnya.
Masalah yang khas di daerah transmigrasi, biasanya benturan budaya. Sebab, proses akulturasi budaya akan terjadi. Warga dari berbagai daerah dan penduduk setempat, tentu punya banyak perbedaan. Sehingga bisa saja menimbulkan benturan budaya. Sehingga kalau ada masalah cepat tertangani. Pembinaan jelas. “Ibaratnya, dari belum bisa berenang hingga bisa berenang sendiri,” katanya.
Menurutnya, sekarang ini, antara Dinas Transmigrasi Provinsi dan Kabupaten/Kota tidak ada jalur koordinasi. Sehingga ketika ada massalah, saling lempar tanggung jawab. Misalnya, ketika suatu masalah diurus ke kabupaten/kota, dikatakan harus ke Dinas Provinsi. Sementara, orang provinsi berkata, hal itu bukan kewenangan mereka. “Kalau ada masalah, tak tahu di mana penyelesaiannya,” kata Akhmadi.
Sekarang ini, kepala Dinas Transmigrasi, karena yang menentukan adalah gubernur, bupati/walikota, kadang tak memahami transmigrasi. Dulu, transmigrasi ditangani langsung Departemen Transmigrasi (Deptran). Sehingga orang bertugas punya pengetahuan dan pemahaman tentang transmigrasi.
Sengkarut penanganan transmigrasi bisa dilihat dari berpindahnya penanganan di level departemen. Sudah berkali-kali transmigrasi pindah departemen. Dalam bukunya, Patrice Levang menulis, pada 1947, tranmigrasi masuk Departemen Tenaga Kerja dan Sosial. Tahun 1948, masuk Departemen Pembangunan dan Kepemudaan, kemudian ke Departemen Dalam Negeri. Sebagai dinas dari Departemen Pembangunan Daerah, transmigrasi kembali ke Departemen Sosial sebelum dijadikan Departemen pada 1957. Sejak 1959, transmigrsi digabungkan dengan Departemen Koperasi dan Pembangnan Masyarakat Desa dalam tiga bentuk yang berbeda. Kemudian dipindahkan ke Departemen Dalam Negeri. Selanjutnya ke Departemen Veteran, setelah itu kembali ke Departemen Koperasi. Tak lama kemudian dipindahkan ke Departemen Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi. Pada 1983, sepenuhnya menjadi Departemen Transmigrasi.
Dalam perkembangannya, transmigrasi digabung lagi dengan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Setelah itu, masuk Departemen Kependudukan. Lalu, menjadi Departemen Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
“Kalau dulu transmigrasi seolah dipaksakan. Sekarang jadi lebih parah. Karenanya, tak heran bila terjadi berbagai masalah mengenai transmigrasi,” kata Akhmadi.
Masalah itu misalnya, terjadinya penyerobotan tanah yang sudah menjadi hak para transmigran. Belum selesainya surat sertifikat tanah. Bahkan, meski ada sertifikat, transmigran tak mendapatkan tanah garapan. Penyebabnya? Ketika ada sosialisasi mengenai penempatan transmigrasi, yang tahu hanya para tokoh warga, kepala adat dan lainnya. Dalam perjalanannya, warga tak tahu mengenai hal itu.
Ia berharap, harus ada revisi terhadap program transmigrasi, termasuk revisi terhadapp UU Transmigrasi.
Mulyoto, Kepala PMKT Dinsosnakertrans Kalbar menyatakan bahwa, transmigrasi pada era Orde Baru dengan sistem target. Para transmigran didistribusikan sesuai kemampuan daerah. Pelaksanaanya bersifat sentralistik. “Provinsi menjadi wakil pemerintah pusat,” kata Mulyoto.
Petugas UPT disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan. Struktur dinasnya jelas. Ada kepala UPT dibantu beberapa petugas. Jumlah setiap penempatan di UPT sekitar 300-500 KK. Sehingga bisa menjadi desa baru.
Sejak otonomi daerah, transmigrasi menjadi kebutuhan daerah. Jumlah transmigran tergantung permintaan daerah di setiap UPT. Bisa 100 KK atau 200 KK. Semua pelaksanaan transmigrasi berada di kabutapen sebagai pelaksana. Provinsi berfungsi sebagai fasilitator, monitoring, bimbingan, serta evaluasi. Kebutuhan SDM di lapangan tidak terpenuhi. Banyak UPT hanya mengandalkan SDM yang tersedia. Malah di beberapa UPT, hanya menggunakan perangkat desa dengan bimbingan teknis dan pembekalan seadanya.
Padahal, transmigrasi merupakan dinas yang spesifik. Jadi, harus ada pelatihan tentang unit transmigrasi. Cuma, pada era otonomi daerah, kepada daerah terkadang memutasikan orang yang sudah paham transmigrasi ke bidang lain. “Sehingga harus mulai dari nol lagi,” kata Mulyoto.
“Jadi, krisis SDM terjadi di semua lini,” kata Mulyoto.
Upaya yang dilakukan, memaksimalkan potensi dan bimbingan, terkait yang ada tersebut. Hasilnya, tidak bisa maksimal seperti masa lalu, dimana petugas UPT lengkap. “Langkah yang ditempuh belum ada, karena masalah SDM yang tidak cukup di kabupaten,” kata Mulyoto.
Sementara program transmigrasi tetap berjalan, meski tak sebesar masa lalu. Pembinaan berjalan apa adanya. Sehingga hasilnya tidak maksimal. Akibat kekurangan SDM, kelayakan SDM di dinas kurang tersedia. Ketersediaan SDM, ini yang jadi soal, akibat pengembangan atau pemekaran kabupaten.
Menurutnya, regenerasi, kebutuhan dan pemenuhan belum imbang. Hal itu terjadi karena kemampuan pemerintah merekrut pegawai masih terbatas. Sementara itu, provinsi tak bisa memberikan saran pada kabupaten, menempatkan orang yang memang punya kapasitas di kabupaten.
“Semua berjalan sesuai dengan apa yang ada,” kata Mulyoto.
Tapi, hal itu tak hanya di lingkup transmigrasi. Juga terjadi di lingkup lainnya. Misalnya di bidang pertanian, dokter atau pelayanan kesehatan dan lainnya. “Yang jadi persoalan di pembinaan. Kabupaten sebagai penerima kegiatan, belum didukung SDM memadai di bidang transmigrasi. Terutama dalam jumlah dan kualitas,” kata Mulyoto.
Untung Hidayat, Sekretaris Dinsosnakertran KKR menyatakan, sukses tidaknya seorang transmigrasi tergantung dari banyak hal. Misalnya, pola dan tradisi berbeda dalam bercocok tanam. Di Jawa, kalau orang mencangkul harus dalam, sehingga tanahnya bisa diolah dengan baik. Sementara di Kalimantan, tanah gambut unsur hara tidak tebal atau tanah mentah. Mencangkul tak perlu terlalu dalam. Sebab, tanah subur hanya sekitar 20 cm di atas tanah.
Karenanya, kalaupun di Jawa seseorang bisa berhasil dalam bercocok tanam, di Kalimantan belum tentu. Sebab, banyak faktor berperan. Musim tanam lain. Cara bercocok tanam lain. Pengolahan tanah dan kesuburan tanah berbeda. Hal itu butuh penyesuaian dan waktu. Para transmigran yang masih tingal, merupakan transmigran terseleksi.
Tidak semua kabupaten di Kalbar ada program trans. Tergantung wilayahnya. Program transmigrasi masih berlangsung di Kabupaten KKR, Ketapang, Kayog Utara, Sambas dan Kapuas Hulu. Lima kabupaten itu masih usulkan program transmigrasi.
Pihaknya selalu meningkatkan pelayanan di satuan pemukiman dengan memberikan berbagai insentif, pada mereka yang bekerja di sektor pelayanan masyarakat. Di pemukiman ada tenaga kesehatan. Dokter dapat insentif Rp 300 ribu. Bidan Rp 300 ribu. Para medis Rp 250 ribu. Obat-obatan disediakan pemerintah.
Dalam bidang pertanian, sejak 2009, penyuluh pertanian lapangan (PPL) tidak diberi honor. PPL tidak membawahi desa transmigrasi. Sebab, sekarang jumlah trans tidak begitu besar. Sehingga ketika ada penyuluhan, warga trans ikut dengan peserta dari desa di mana dia tinggal.
Di lokasi transmigrasi dibentuk TKPMP. Tugasnya, membantu warga transmigrasi atau sebagai pembimbing. Setiap lokasi ada satu orang. Sistemnya kontrak satu tahun. TKPMP akan koordinasi dengan kepada desa.
Tiap tahun Depsosnakertran melakukan bimbingan teknis untuk FKPMP, pegawai yang melayani bidang itu. Petugas transmigrasi sebagai koordinator. Secara teknis, kehidupan orang hidup merupakan bagian dari dinas-dinas lainnya. Misalnya, pertanian dengan penyuluh pertanian. Kesehatan dengan penyuluh kesehatan. Segala aspek kehidupan ada di transmigrasi dan secara sektoral.
“Hal itu merupakan kewajiban di dinas secara sektoral,” kata Hidayat.
***
Sebagai wilayah yang memiliki luas sekitar 146.807 km persegi, Kalbar merupakan wilayah terbesar keempat setelah Irian Jaya, Kaltim dan Kalteng. Kalbar memiliki luas 7,53 persen dari luas Indonesia. Atau, 1,13 kali luas pulau Jawa. Berdasarkan sensus terakhir, jumlah penduduk Kalbar 4.4247.516 jiwa. Jumlah kepadatan penduduk 28 jiwa setiap kilometer persegi. Kalbar memiliki 12 kabupaten dan dua kotamadya. Wilayah itu terbagi atas 149 kecamatan, 80 kelurahan dan 1.417 desa.
Kalbar ditetapkan sebagai daerah transmigrasi melalui Keppres No. 12 Tahun 1974, tanggal 11 Maret 1974. Transmigrasi pertama di Kalbar, terdapat di Sungai Durian, Kubu Raya, dekat bandar udara Supadio. Namanya Trans Obyek.
Data dari Dinsosnakertrans, sejak ditetapkan pada 1974 hingga 2008, terdapat penempatan trans sebanyak 125.186 KK atau 512.310 jiwa. Pada 2009, terdapat penambahan sebanyak 725 KK. Jumlah UPT yang dibangun hingga 2008, sebanyak 328 UPT. Tahun 2009, terdapat satu UPT baru. Terdapat 212 UPT yang menjadi desa. Jumlah itu merupakan 15,80 persen dari jumlah desa di Kalbar. Jumlah UPT yang menjadi kecamatan baru, sebanyak 10 kecamatan. Dan, luas area yang dibangun seluas 271.975 hektar, dengan asumsi setiap KK mendapat 2,21 hektar setiap KK.
Dari ketersediaan lahan, sebagian besar wilayah Kalbar, bisa menerima transmigrasi. “Cuma, tergantung pemerintah daerah. Mau atau tidak membuat program transmigrasi,” kata Akhmadi.
Kabupaten Kubu Raya (KKR) merupakan salah satu kabupaten yang masih menerima para transmigran. Masih banyak wilayahnya yang bisa ditempati para transmigran. Saat ditanya mengenai transmigrasi, Muda Mahendrawan, Bupati KKR menyatakan, “Transmigrasi untuk membuka memotifasi masyarakat lokal. Yang paling penting di program transmigrasi sekarang adalah, diperencanaan.”
Ia menilai, transmigrasi pada masa Orde Baru ada sisi positif. Cuma, kadang tupang tindih juga. Sekarang, semua Pemda yang tangani. Karenanya, perlu ada sinergi dengan Pemda dalam rangka pemberdayaan masyarakat, pendidikan, dan lainnya. Artinya, harus mendasar pada pelayanan.
Ia memberikan penghargaan pada otonomi daerah. Pemda diberi hak menentukan kebutuhannya. Ada perjanjian dengan daerah pemasok transmigrasi, sebelum pelaksanaan kegiatan. “Sebab, transmigrasi tidak sekedar memindahkan penduduk. Tapi lebih kepada pemberdayaan daerah,” kata Mahendrawan.
Menurutnya, transmigrasi pascaotonomi daerah, Pemda diberi peran menentukan kebutuhannya sendiri. Tidak asal mendatangkan transmigran. Tapi dicari dulu, daerah mana yang siap kirim transmigran. “Bahkan, kita juga tahu CV-nya. Mereka seperti apa, kita harus tahu,” kata Mahendrawan.
Pemda lebih leluasa memilih peserta transmigrasi. Misalnya, pilihan peserta yang ahli di bidang tertentu. Setelah itu disampaikan ke departemen. Kalau cocok, baru perjanjian kerja sama dengan daerah pengirim transmigrasi. Misalnya, KKR ingin mengembangkan ternak itik di wilayahnya. Maka, dalam penentuan peserta transmigrasi, KKR bisa mengajukan peserta trans dari Brebes, Jawa Tengah. Sebab, daerah itu terkenal sebagai ahli beternak itik.
Ia berkata, program transmigrasi ideal sekali bagi orang yang bermukim di lokasi baru, berbaur dengan penduduk setempat, dengan fasilitas pemerintah di dalamnya dan mengandung hasil. Dalam hal ini berbagi segalanya. Penduduk setempat punya banyak sumber daya alam, tapi minim keterampilan. Yang didatangkan punya keterampilan di atas rata-rata, dan punya etos kerja tinggi. Ketika di lapangan mereka berbagi di lapangan.
“Dan itu, ideal sekali. Kalau mereka bisa bekerja sama dan saling memberi,” katanya.
Pemda harus menciptakan magnet terlebih dahulu. Misalnya dengan investasi yang masuk. Agar, orang tertarik mengirimkan peserta transmigrasi. Menurutnya, transmigrasi melibatkan pihak swasta dengan Pemda. Misalnya, perkebunan jagung. Ketika kebun jagung sudah berjalan, transmigrasi bisa masuk. Dengan adanya perkebunan, ada jaminan hidup kedepan. “Jauh lebih baik dari sistem dulu. Pemda lebih leluasa memilih trans,” kata Mahendrawan.
Dari segi komposisi, asal transmigran juga disandingkan dengan translokal. Transmigran lokal Pemda yang menentukan. Warga yang bermukim di lingkungan padat dan sesak, bisa dipindahkan. “Warga yang tak ada harapan lagi, kita giring ke daerah yang sudah ada jaminan transmigran,” kata Mahendrawan.
Dengan adanya pemukiman yang masuk, Pemda ingin masyarakat lokal, terjadi perubahan sosial di masyarakat. Esensinya, bagaimana melihat cara pandang tidak hanya secara fisik saja. Untuk menciptakan masyarakat produktif, salah satu cara dengan membuat warga heterogen. Warga transmigran diharapkan bisa memberikan motifasi dan inspirasi. Ketika warga lokal bergaul dengan warga pendatang, ada sesuatu bisa dipelajari. Sikap produktif warga transmigran diharapkan bisa tertular. Sehingga SDA bisa dikelola dengan baik.
“Transmigrasi mengajak perubahan sosial, agar tidak stagnan,” kata Mahendrawan.
Karenanya, perencanaan Pemda harus tepat, agar potensi bisa dimaksimalkan. Di daerah, semua instrumen harus diperkuat. Tidak hanya cetak sawah, tapi kelembagaan petani harus diperkuat, permodalan, teknologi, transportasi, akses keluar masuk sudah harus dipikirkan dari awal.
Mahendrawan berpendapat, kalau Pemda hanya berorientasi proyek dan transmigrasi bisa masuk, tanggung jawabnya bakal lebih besar. Sebab, tanpa disadari kalau ada trans tak betah, akan berpengaruh pada warga lainnya. Padahal, Pemda ingin warga berpikir terbuka, sehingga ada perubahan sosial.
Ia berharap, melalui cara tersebut, muncul partisipasi. Intinya, bagaimana cara warga ikut partisipasi. Salah satu cara, didorong komunitas yang produktif. Sehingga menular pada warga setempat.
Lokasi transmigrasi harus dilihat kembali ke tata ruang pengembangan kawasan, bagaimana Pemda fokus dengan sektor sistem yang dibangun. Misalnya, mengenai pertanian. Kalau orientasinya lebih pada bagaimana menentukan lahan, akan terjadi benturan. Misalnya, lahan produktif tak bisa untuk sawit. Dari segi ketahanan pangan dan lahan produktif berkelanjutan, bagaimana komitmen daerah itu. Harus ada lahan pangan di sana.
Pemda harus melihat struktur masyarakat setiap desa. Harus ada datanya sehingga bisa dilihat kapasitasnya. Harus diberi peluang investasi yang masuk ke lokasi itu. Cara menentukannya, melihat prospek di sana. “Biasanya kita menyediakan wilayah pencadangan dan dibuatkan SK,” katanya.
Pemda juga membuat program wilayah cadangan bersertifikat Pemda. Sehingga ketika trans masuk, fasilitas sudah ada. Pembangunnya bisa dilakukan investor atau Pemda. Tenaganya harus dipersiapkan.
Mahendrawan tak menampik bila pada era otonomi daerah, banyak pejabat yang tak sesuai dengan kemampuannya. Termasuk penempatan pejabat di transmigrasi. Menurutnya, hal itu kembali ke visi atau tidaknya seorang kepala daerah. “Karena terlalu banyak koptasi dalam masalah politik. Akhirnya, kerja tak bisa berjalan,” katanya.
Mengenai syarat bagi pembukaan sebuah wilayah baru bagi lokasi transmigrasi, Untung Hidayat mengatakan, daerah yang punya program transmigrasi usul ke pemerintah pusat. Setelah itu, Depsonakertran mencari daerah yang siap memberangkatkan tran. “Ada legalitas lahan untuk transmigrasi,” katanya.
Mekanismenya, dimulai dari desa setempat yang ingin ada penempatan program transmigrasi. Usulan melalui Badan Perwakilan Desa (BPD). Isinya, desa itu bersedia lahannya untuk transmigrasi. Setelah itu usul dilanjutkan ke camat dan bupati. Setelah ada pertemuan di tingkat desa, kecamatan dan kabupaten, dilanjutkan dengan peninjauan lokasi ke lapangan.
Bupati mengusulkan ke provinsi. Provinsi mencermati usulan kabupaten dengan mengadakan identifikasi lokasi. Pihak provinsi meneruskan usulan ke Menakertrans melalui Dirjen P4T (Pembinaan Penyiapan Pemukiman Penempatan Transmigrasi). Setelah itu, pusat membahas usulan tersebut. Berapa target di Kalbar, akan disesuaikan dengan dana di pemerintah pusat melalui dana Dekon. Kalau lokasi bisa untuk transmigrasi, Bupati membuat Surat Keputusan (SK) Pencadangan lahan.
Setelah SK terbit, Pemda harus membuat studi kelayakan. Namanya Rencana Teknis Satuan Pemukiman (RTSP). Dari studi kelayakan, akan diketahui daya tampung dari lahan tersebut. Setelah studi, lahan harus memenuhi syarat 2C4L. Artinya, Clear and Clean. Clear maksudnya, lahan harus jelas dan ada batas-batasnya. Clean, bebas dari kepemilikan atau penggunaan. Kepentingan surat-surat jelas. Sehingga tidak ada konflik dikemudian hari.
RTSP yang menentukan 4L. Yaitu, layak lingkungan, huni, berkembang dan usaha. Layak lingkungan berarti, lahan bisa dikembangkan dan tidak merusak lingkungan, dan tidak ada konflik dengan penghuni. Layak huni, lahan bisa dihuni dan layak dijadikan pemukiman. Layak berkembang, antara investasi dan hunian bisa sesuai. Misalnya, membangun jalan tidak terlalu panjang, dan langsung bisa menuju lokasi transmigarsi. Zaman dulu membangun jalan 50 km, bisa dilakukan. Sekarang harus efisien.
Idealnya, sekali penempatan 500 KK, sehingga bisa langsung menjadi satu desa. Rumah transmigran berupa rumah panggung dari kayu. Rumah itu dibuat seharga Rp 28-29 juta. Harga itu sangat minim. Rumah seperti itu, minimal dananya Rp 36 juta. Fasilitas umum, 1.300-1.500 meter. Pembangunan infrastruktur dananya hanya Rp 10 juta. Dana yang dibutuhkan untuk program transmigrasi setiap KK sekitar Rp 50-60 juta.
Tahun 1990-an, usaha perkebunan menanjak tajam. Tahun 1992, Deptran kembangkan transmigrasi perkebunan. Setiap KK dapat setengah hektar lahan pekarangan dan dua hektar lahan kebun kelapa sawit. Program itu ada di Sambas, Bengkayang, Sanggau, Ketapang, Sekadau, Melawi, Sintang, dan Ketapang.
Beberapa nama perusahaan di lokasi transmigrasi antara lain, di Kabupaten Sambas terdapat PT Multi Inti Sejati Plantations. Di Sanggau, PT Multi Prima Entake, PT Kalimantan Sanggar Pustaka. Di Sintang, PT PSDK. Di Ketapang, PT Benoa Indah Grup.
Dengan masuknya perusahaan, kondisi jalan ikut diperbaiki. Bagaimanapun, angkutan bagi buah tandan segar (BTS), membutuhkan kondisi jalan yang baik. Perusahaan ikut membuat dan memperbaiki jalan. Warga mendapat keuntungan dari mudahnya akses jalan. Warga mudah menjual hasil bumi.
Sejak pertama digulirkan, permasalahan mendasar transmigrasi berkutat pada minimnya akses transportasi dan komunikasi. Sehingga semuanya tidak lancar. Dengan adanya alat komunikasi, misalnya telepon genggam, kalaupun hasil bumi tak bisa dibawa ke pasar atau kota secara langsung, ada pedagang pengumpul. Mereka datang dan membeli hasil bumi tersebut. “Hasil muncul juga karena orang rajin bekerja dan transportasi, serta komunikasi yang mulai lancar,” kata Hidayat.
Endang Kusmiyati merasakan perubahan betul perubahan warga transmigrasi di tempatnya tinggal. Sekarang ini, Pandan sangat panas. Tak banyak lahan kosong untuk mengembalakan ternak kambing atau sapi, dengan masuknya perkebunan kelapa sawit masuk ke desa sekitar 1992.
Kini, hampir semua lahan milik masyarakat telah diserahkan kepada perusahaan. Kesejahteraan karena hadirnya perkebunan tersebut, masih begitu dirasakan sebagian besar masyarakat trans. Rumah-rumah karbot tidak ada lagi, lampu sentir atau pelita tak ada lagi. Kendaraan roda dua terparkir hampir di setiap rumah, walaupun dengan status kredit.
Ada dampak positifnya. Kesejahteraan ekonomi, sedikit demi sedikit merembet kearah pendidikan. Dulu, orang tua merasa cukup, bila anaknya tamat SMA. Kini, mereka memilih perguruan tinggi, bagi kelanjutan pendidikan anak-anak mereka. “Sudah tak terhitung jari lagi, anak-anak trans yang telah menjadi sarjana,” kata Endang.
Namun, Endang juga kecewa dengan adanya isu putra daerah, yang selalu dihembuskan ketika berlangsung sebuah hajatan politik. Meski terlahir di Kalbar, ia seakan tidak dianggap tidak memiliki hak yang sama dengan warga setempat.
Muda Mahendrawan, Bupati KKR menganggap, euforia politik terkadang membuat orang keluarkan isu putra daerah. Menurutnya, hal itu wajar saja, karena untuk keluarkan eksistensi. “Saya lihat tanpa dorongan untuk muncul komunitas yang lain, pemahaman politik masyarakat menjadi lambat,” kata Mahendrawan.
Percepatan perubahan sosial dan pemberdayaan, bisa dilakukan dengan transmigrasi. “Semakin kita tutup, transmigrasi ibarat menjadi teror politik. Kesadaran, partisipasi politik menjadi terlambat,” kata Mahendrawan.
Terbit di Voice of Human Right (VHR), 23 September-11 Oktober 2010
Monday, October 11, 2010
Derita di Tanah Sabrang (Bagian 1-4)
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
1 comment :
Investigasi yang menyeluruh kawan....mantap tulisannya...
Post a Comment