Pontianak
Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers) Jakarta hari ini akan mengadakan seminar mengenai jaminan kebebasan pers berekspresi. Kegiatan ini akan dilaksanakan di Hotel Santika Pontianak, menampilkan pembicara misbahuddin Gasma, SH.
Demikian dikatakan Panitia Pelaksana, Muhlis Suhaeri di Pontianak belum lama ini. Menurutnya, dalam seminar ini akan dibahas paradigma dibalik penyusunan rancangan KUHP, serta ancaman rancangan KUHP tersebut terhadap kebebasan pers dan berekspresi di Indonesia.
Seminar ini digelar keprihatianan terhadap kebebasan pers selam ini. Katanya UUD 1945 mengatur bahwa negara menjamin serta mengakui hak setiap warga negara. Termasuk hak mendapatkan dan menyampaikan pendapat.
Pada tingkat operasional dapat diartikan mendapatkan dan menyampaikan informasi dalam dilakukan melalui media massa. “Ini menunjukkan betapa sistem pemerintahan di Indonesia menempatkan fungsi pers sebagai satu fungsi kontrol sosial dan kekuasaan. Tatapi faktanya, selama Orde Baru pers dibungkam,” kata Muhlis.
Menurutnya, pemerintah tidak segan memberangus media, bila dianggap membahayakan penguasa. Ketika era reformasi, pers mendapat angin segar mengembangkan eksistensinya, tetapi tidak diikuti peningkatan SDM para pekerja pers. Hingga tak jarang banyak perusahaan pers bermunculan, tetapi tidak lama runtuh. Hingga hanya media yang dikelola profesional yang mampu bertahan.
“Tetapi itu belum cukup. Perusahaan media dan pekerja pers, masih mengalami hambatan di lapangan ketika melakukan tugas-tugas,” katanya.
Perlakuan buruk dan kekerasan terhadap jurnalis maupun aset perusahaan media kerap terjadi. Dicontohkannya, seperti serombongan massa mendatangi kantor salah satu media cetak karena tidak puas terhadap pemberitaan. Kaca dan berbagai peralatan dirusak. Bahkan baru-baru ini di Kota Singkawang, sekelompok massa tidak dikenal melempar kantor biro media cetak hingga menteror sang jurnalis.
Menurutnya, reaksi negatif terhadap insan pers, tentu ada pemicunya. Yaitu cenderung disebabkan pemberitaan yang dinilai tidak berimbang. Atau masyarakat yang bersangkutan tidak tahu mekanisme pengaduan dan penyelesaian konflik, ketika berhadapan dengan pers.
Masyarakat harus diberi pengertian ketika merasa dirugikan pemberitaan. Dan untuk itu masyarakat dapat melakukan hak jawab. Dan media harus mampu bersikap adil dalam memuat hak jawab dari masyarakat.
Dengan demikian hak jawab tidak sekedar slogan dalam mengatasi masalah akibat pemberitaan pers. Juga memberikan ruang bagi masyarakat dalam mengungkap hak jawab, kebenaran dalam versinya,” imbuhnya.
“Ketika hal itu dipahami semua pihak, munculnya kekerasan terhadap pekerja pers dapat diminimalisir,” harap Muhlis. (aga)
Edisi Cetak, Harian Equator, 25 Juli 2006
Tuesday, July 25, 2006
Hari Ini LBH Pers Gelar Seminar Kebebasan Berekspresi
Posted by Muhlis Suhaeri at 11:47 AM 0 comments
Labels: Pers
LBH Pers Gelar Seminar Kebebasan Berekspresi
Pontianak-Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers) Jakarta, hari ini akan mengadakan seminar mengenai jaminan kebebasan pers berekspresi. Kegiatan ini akan dilaksanakan di Hotel Santika Pontianak, menampilkan pembicara misbahuddin Gasma, SH.
Demikian dikatakan Panitia Pelaksana, Muhlis Suhaeri di Pontianak belum lama ini. Menurutnya, dalam seminar ini akan dibahas paradigma dibalik penyusunan rancangan KUHP, serta ancaman rancangan KUHP tersebut terhadap kebebasan pers dan berekspresi di Indonesia.
Seminar ini digelar keprihatianan terhadap kebebasan pers selam ini. Katanya UUD 1945 mengatur bahwa negara menjamin serta mengakui hak setiap warga negara. Termasuk hak mendapatkan dan menyampaikan pendapat. Pada tingkat operasional dapat diartikan mendapatkan dan menyampaikan informasi dalam dilakukan melalui media massa.
“Ini menunjukkan betapa sistem pemerintahan di Indonesia menempatkan fungsi pers sebagai satu fungsi kontrol sosial dan kekuasaan. Tatapi faktanya, selama Orde Baru pers dibungkam,” kata Muhlis.
Menurutnya, pemerintah tidak segan memberangus media, bila dianggap membahayakan penguasa. Ketika era reformasi, pers mendapat angin segar mengembangkan eksistensinya, tetapi tidak diikuti peningkatan SDM para pekerja pers. Hingga tak jarang banyak perusahaan pers bermunculan, tetapi tidak lama runtuh. Hingga hanya media yang dikelola profesional yang mampu bertahan.
“Tetapi itu belum cukup. Perusahaan media dan pekerja pers, masih mengalami hambatan di lapangan ketika melakukan tugas-tugas,” katanya.
Perlakuan buruk dan kekerasan terhadap jurnalis maupun aset perusahaan media kerap terjadi. Dicontohkannya, seperti serombongan massa mendatangi kantor salah satu media cetak karena tidak puas terhadap pemberitaan. Kaca dan berbagai peralatan dirusak. Bahkan baru-baru ini di Kota Singkawang, sekelompok massa tidak dikenal melempar kantor biro media cetak hingga menteror sang jurnalis.
Menurutnya, reaksi negatif terhadap insan pers, tentu ada pemicunya. Yaitu cenderung disebabkan pemberitaan yang dinilai tidak berimbang. Atau masyarakat yang bersangkutan tidak tahu mekanisme pengaduan dan penyelesaian konflik, ketika berhadapan dengan pers.
“Masyarakat harus diberi pengertian ketika merasa dirugikan pemberitaan. Dan untuk itu masyarakat dapat melakukan hak jawab. Dan media harus mampu bersikap adil dalam memuat hak jawab dari masyarakat," kata Muhlis.
Dengan demikian hak jawab tidak sekedar slogan dalam mengatasi masalah akibat pemberitaan pers. Juga memberikan ruang bagi masyarakat dalam mengungkap hak jawab, kebenaran dalam versinya.
“Ketika hal itu dipahami semua pihak, munculnya kekerasan terhadap pekerja pers dapat diminimalisir,” harap Muhlis. (aga)
Edisi Cetak, Harian Equator, 25 Juli 2006.
Posted by Muhlis Suhaeri at 3:05 AM 0 comments
Labels: Pers
Saturday, July 1, 2006
Cetak Biru Kelapa Sawit di Perbatasan Indonesia-Malaysia
Oleh: Muhlis Suhaeri
Rencana penanaman mega proyek kelapa sawit 1,8 juta hektar di sepanjang perbatasan Indonesia-Malaysia, membuat polemik di tingkat nasional maupun lokal. Rencananya, Kalimantan Barat kebagian 1 juta hektar, dan Kalimantan Timur 0,8 juta hektar. Berbagai pendapat pro dan kontra terus bergulir. Nah, bagaimana sebenarnya masalah ini, marilah kita ikuti wawancara wartawan Matra Bisnis dengan Ir. Idwar Hanis, Kepala Dishutbun Kalbar.
Karakter kawasan perbatasan merupakan hutan yang sulit dijangkau. Hal ini, tentu sana menyulitkan bagi sosial kemasyarakatan, pertumbuhan ekonomi dan lainya. Kawasan ini kurang tersentuh semua sektor pembangunan, termasuk perkebunan. Penyebab dari semua itu, karena kurangnya fasilitas dan infrastruktur pendukung.
Ketika akan melakukan pengembangan suatu investasi, tentu saja harus memenuhi beberapa pra kondisi. Sekarang ini disadari, bahwa banyak implikasi-implikasi tidak begitu optimal menangani suatu perbatasan. Kawasan perbatasan tentu dilihat sebagai suatu kawasan dengan topografi. Yang mempunyai banyak sekali potensi alam. Khususnya di Kalbar.
“Menurut saya, perhatian kita sebetulnya bukan hanya sawit. Konsentrasi tidak usah terlalu besar pada sawit. Tapi, bagaimana konsentasi dalam rangka penyelamatan hutan-hutan itu,” kata Idwar.
Dia yakin, pemerintah daerah tidak akan mengorbankan hutan, bagi peruntukan perkebunan. Hal itu jelas pelanggaran dan tidak diperbolehkan. Idwar yakin dan menjamin, pemerintah daerah sebagai institusi yang diberikan kewenangan, tidak akan berani memberikan ijin pembangunan perkebunan. Yang peruntukannya bukan untuk perkebunan.
Mengenai tingkat kesuburan lahan di perbatasan, struktur tanah, ekosistem, keanekaragaman hayati dan tingkat kesuburan tanahnya, semestinya satu kawasan untuk satu perkebunan harus ada data jelas. Sementara itu, data yang ada pada pemerintah masih sangat umum. Dalam arti, kondisi lahannya seperti apa, topografi, jenis tanah, vegetasi, dan lainnya. Data-data itulah yang diberikan pada investor.
Nah, bukankah sawit tidak bisa ditanam pada tanah dengan kemiringan 60 derajat? Sementara kareakter daerah perbatasan kondisi kemiringannya seperti itu. Bagaimana hal itu mestinya?
Menurut agronomi memang tidak boleh. Dan tidak ada yang menanam pada lahan itu. Ini baru asumsi saja, apabila akan menanam di sana. Nyatanya, belum ada yang menanam. Baru sebatas ijin. Ijin itu pun, nanti akan diuji lagi hasil surveinya. “Jadi, saya juga ingin melihat, ada atau tidak perusahaan menanam di kemiringan yang tidak dibenarkan secara teknis. Tidak ada,” kata Idwar.
Dalam masalah pengadaan bibit sawit, Kalbar telah memesan 22 juta kecambah sawit. Namun, dari jumlah itu, baru bisa dipenuhi 3 juta. Jadi, terbatasnya kecambah sawit, juga menjadi kendala tersendiri. Sementara ini, jumlah perusahaan ada sekitar 40 perusahaan sawit. Tahun 2006, pemerintah ingin memperbesar kapasitas proses pengadaan sawit di Parindu, Kabupaten Sanggau. Di sana diperkirakan bisa menghasilkan 7 juta kecambah, pertahunnya.
Dari jumlah itu, yang menjadi kecambah sekitar 70-80%. Dari 7 juta ini, yang dipelihara atau menghasilkan kecambah hanya 4 juta. Sisanya, 3 juta, dilepas untuk menjadi CPO. Dari 4 juta ini, 3 juta dikirim ke Medan untuk diproses menjadi kecambah sawit, setelah itu dikirim lagi ke Kalbar untuk kebutuhan Kalbar. Dan 1 juta diproses di Kalbar. Angka itu tentu kecil sekali jumlahnya.
“Ini yang kita harapkan dalam tahun 2006. Dapat meningkatkan produksi jumlah kecambah sawit. Karena sawit tidak boleh sembarangan mengambil dari pohon sawit,” kata Idwar. Salah satu kontrol dalam masalah sawit, bibit yang ditanam harus berasal dari pembibitan resmi. Di Indonesia ada 6 tempat pembibitan. Semuanya di Sumatera Utara.
Dalam rangka pengembangan sawit di Kalbar, sebetulnya sudah ada perencanaan secara makro. Total pengembangan perkebunan di Kalbar, hanya 1,5 juta saja. Jumlah itu di wilayah perbatasan dan non perbatasan. Sekarang ini, baru berkembang sekitar 360 ribu hektar, dari total lahan pertanian lahan kering (PLK) atau hutan. Padahal, jumlah lahan yang ada sekitar 3,2 juta. Hal itu dianggap sudah cukup proporsional.
Lalu, mega proyek yang sekarang ini sedang diperbincangkan adalah di perbatasan. Tapi, di Kalbar yang bisa untuk perkebunan hanya 530 ribu hektar saja. Dan itu tidak hanya untuk sawit. Namun, bisa juga ditanami komoditi, yang memang sudah dikenal masyarakat perbatasan, seperti, karet, kakao dan lada.
Persoalannya, pembangunan perkebunan investasi berskala besar, yang diminati adalah perkebunan sawit. Komoditi karet, kakao dan lada, tetap menjadi perhatian. Pemerintah akan menfasilitasi dan mengikuti program yang ada. Contohnya, dalam pengembangan karet, pemerintah akan mengikuti program Probangkara (Program Pengembangan Agribisnis Berbasis Karet Rakyat). Termasuk petani karet yang ada di daerah perbatasan. Tak lebih dari itu.
Tapi, kalau ternyata ada angka di atas angka 530 ribu hektar, tentu diluar kewenangan. Dan hal itu akan merubah suatu tata ruang. Di sana sudah teridentifikasi dan tata ruangnya jelas. Hutan lindung ada berapa hektar. Tapi, untuk kawasan non PLK, sudah bukan lagi aset Pemda. Itu sudah menjadi aset negara. Artinya, setiap perubahan status, harus melalui pemerintah pusat.
Kenyataannya pemerintah pusat melalui Menteri Pertanian akan melakukan itu?
“Nah, kalau ternyata ada niat untuk dirubah, tentu prosesnya panjang,” kata Idwar. Dia yakin, Pemda Kalbar berpegang pada tata ruang yang ada. Ijin kepada perkebunan tidak boleh diberikan kepada kawasan yang bukan PLK. Harus ada pelepasan dulu dari Kehutanan. Ini seperti pernyataan kontradiksi. Kalau pemerintah pusat ingin membabat hutan. Dan ini sebenarnya persepsi masyarakat yang menangkap begitu, atau memang pemerintah.
Lalu, bagaimana menurutnya? “Setahu saya, tidak ada perencanaan pembangunan, akan mengorbankan hutan. Yang sekarang status tata ruangnya adalah hutan produksi,” kata Idwar. Perbatasan memang harus dilihat sebagai kawasan yang harus dibina dan menjadi teras atau halaman depan dari suatu negara.
Nah, perbatasan tidak hanya dilihat sebagai perkebunan. Ada pembangunan infrastruktur, SDM dan aspek-aspek lain. Untuk perkebunan tentu dilihat dari potensi lahan perkebunan yang tersedia. Potensi pariwisata dan lainnya, harus dibangun sesuai dengan kondisi ekologi yang ada.
Dalam memberikan ijin perkebunan, ada tiga hal mesti diperhatikan. Pertama, menurut UU No 12 tahun 1984, ini menyangkut budidaya. Bahwa, pilihan budidaya mengembangkan pertanian dan perkebunan, diserahkan pada masyarakat. Pemerintah dalam hal ini, hanya memberikan arahan. Terutama regulasi mengenai perkembangan pasar, ekologis serta ekonomi. Artinya, masalah perkebunan tidak lagi dikendalikan dari atas. Jadi lebih banyak bersifar button up. Dari bawah.
UU No 18 tahun 1984, juga memberikan acuan terhadap sistem agribisnis pembangunan perkebunan. Yang tidak bisa dilihat secara parsial. Tetap harus pada sebuah sistem agribisnis menyangkut lahan, bahan tanaman, aspek politis, kelembagaan, keuangan, dan pemasaran. Dan yang tak kalah pentingnya adalah aspek lingkungan.
Bahkan, untuk komoditas tertentu, diharuskan dengan proses pengolahan. Seperti sawit misalnya, harusnya sistem paket. Maksudnya, dalam suatu sistem budidaya, harus menanam dan sekaligus paket pengolahan. UU tersebut juga memberikan acuan, bahwa keluasan sistem kebun, khususnya sawit, hanya 20 ribu hektar perijin untuk sebuah perkebunan besar dalam propinsi. Dan 100 ribu hektar untuk antarpropinsi atau nasional.
Bidang sawit dan perkebunan besar, diatur lagi dalam SK Menteri Pertanian No 357, tentang ijin usaha perkebunan. Disini lebih detail sebenarnya. Yang pertama adalah kewenangan, pemberian ijin ada pada pemerintah kabupaten, untuk usaha perkebunan di kabupaten. Kecuali usaha perkebunan, yang manajemennya mendapatkan arahan lahan dua kabupaten dalam propinsi. Kalau perkebunan lintas propinsi, ijinnya juga mendapatkan dari pusat. Ini menyangkut kewenangan.
Pemberian ijin melalui beberapa tahapan, dan tidak bisa langsung tanam. Ijin pertama dikeluarkan berupa ijin usaha perkebunan. Di kabupaten lebih keras lagi. Sebelum diberikan ijin usaha perkebunan, beberapa kabupaten menerapkan harus ada informasi lahan dulu. Jadi, ada satu kawasan dimana ada satu lahan, yang memang dibenarkan untuk pembangunan perkebunan sesuai dengan tata ruang. Maka pihak kabupaten atau pemerintah daerah, dalam hal ini memberikan lahan dulu. Misalnya, ini lahan masih bebas dan belum diarahkan untuk investasi lain, atau informasi lainnya.
Sebelum memberikan informasi lahan, investor harus melakukan pra survei. Bagaimana topografinya, bagaimana keadaan masyarakatnya, dan beberapa aspek lain. Setelah melihat, juga diwajibkan menyusun Amdal (Analisa Dampak Lingkungan). Biasanya investor menggunakan tim independen, untuk mendalami kawasan yang telah diarahkan. Lalu, investor mesti melengkap syarat administrasi lain. Dan syarat itu, akan diferifikasi pemerintah yang ditunjuk bupati. Setelah itu, barulah dikeluarkan ijin perkebunan.
Dengan ijin usaha perkebunan itupun, investor belum bisa melakukan aktifitas apa-apa. Melalui ijinnya ini, mereka mulai bisa melakukan studi kelayakan yang lebih detail lagi. Misalnya, menyusun perencanaan tanam harus melakukan sosialisasi ke masyarakat. Sambil memperoleh apa yang disebut dengan ijin lokasi. Jadi, biasanya antara informasi lahan, dengan ijin usaha perkebunan maupun ijin lokasi, keluasannya sudah mengalami seleksi. Katakanlah, informasi lahan diberikan 10 ribu. Setelah dilakukan survei, tinggal 8 ribu atau dibawahnya.
Ini artinya, pada saat investor diberikan ijin sebelum melakukan operasional, ada tahapan seleksi pada kelayakan. Termasuk seleksi berkaitan dengan dampak lingkungan. Yang juga tidak bisa dilupakan untuk diinformasikan, disamping beberapa perangkat hukum. Ada satu dokumen lagi, mesti diajukan dalam acuan pembangunan perkebunan, yaitu masalah rencana tata ruang propinsi atau kabupaten.
Di sana sebenarnya sudah jelas. Mana boleh digarap dinas pertanian, perkebunan, dan lainnya. Yang bisa diarahkan itu adalah PLK. Ini saja kalau berbicara tentang masalah perbatasan, hanya 530 ribu hektar. Tidak 1,8 juta hektar. Artinya, kalau dari proses regulasi, seleksi, semua kewenangan ada di kabupaten atau pemerintah daerah.
Lalu, bagaimana dengan kabar, mega proyek sawit perbatasan sudah ada cetak birunya blue print,“Saya tidak yakin, kalau pemerintah pusat, sudah merubah UU-nya, merubah SK barangkali bisa. Kita lihat saja,” kata Idwar. Orang boleh saja membuat perencanaan. Membuat blue print untuk pengembangan. Sepanjang belum ada ijin dikeluarkan. Kalau ijin sudah ada, dan bisa melihatnya, maka hal itu baru, oke, kata Idwar.
Luasan lahan 530 hektar, diperuntukkan bagi BUMN, BUMD, dan masyarakat. Hal itu tidak boleh melanggar kavling yang sudah diatur. Kecuali memang sudah dilepas oleh Menteri Kehutanan. Tinggal ditanya, sudah ada pelepasan kawasan atau belum? Kalau sudah ada pelepasan kawasan, tinggal tanya Menteri Kehutanan, kenapa harus dilepas. Karena sebetulnya ada porsi itu.
Setiap kawasan harus ada porsi, berapa kawasan hutan lindung, dan yang dibudidayakan. Artinya, tidak yakin kalau hutan di Kalbar, sudah ada blue print untuk sekian hektarnya. Kecuali memang sudah mendapat rekomendasi dari pihak berwenang.
“Blue print yang dimaksud, belum sampai pada kantor kami,” kata Idwar. Memang dalam hal ini, BUMN di bawah Kementerian BUMN. Yang berkaitan dengan budidaya sawit itu sendiri tidak ada suratnya.
Nah, bagaimana dengan ijin yang sudah diberikan pada beberapa perusahaan. Misalnya di Kabupaten Sintang, dan Kapuas Hulu? Pemberian ijin konteknya tidak lari dari koridor dan ketentuan yang sudah ada. Lahan PLK saja. Kalau masuk ke lahan non PLK, prosesnya cukup panjang. Seperti, investor harus minta ijin pelepasan kawasan hutan. Kewenangan itu ada pada menteri kehutanan, dan pemerintah pusat. Setahu Idwar, saat ini ada peraturan tidak diperkenankan melepas kawasan hutan. Kalau ada surat itu, berarti kontroversi.
Idwar melihat beberapa pendapat yang mengatakan, proyek ini seolah analog dengan proyek satu juta gambut di Kalimantan Tengah. Proyek di Kalteng itu memang besar dan dibiayai melalui APBN. “Kita lain sistemnya. Kita punya lahan potensial, dan ditawarkan pada investor. Boleh lokal, boleh asing. Tidak masalah,” tutur Idwar. Hal itu memang harus dibangun. Namun, mesti tetap berada pada koridor. Intinya, masalah mega proyek sawit di sepanjang perbatasan, tidak perlu dianggap terlalu berlebihan.
Apalagi menangani kawasan perbatasan, pada saatnya akan ditangani secara lebih khusus. Akan ada badan pengelola perbatasan. Tinggal menunggu PP (Peraturan Presiden). Bagaimana mengelola ini. Tapi, badan ini tentu sifatnya menfasilitasi. Memberikan rekomendasi terhadap pembangunan di daerah perbatasan. Pembangunan yang berada di sektor-sektor bersangkutan, menjadi tanggung jawab sektor bersangkutan.
Menurut Idwar, sepanjang pantauanya, ijin untuk kawasan perbatasan sudah diberikan. Ijin untuk pengembangan sawit di beberapa kabupaten sudah dikeluarkan. Tapi, semuanya berada di suatu kawasan, yang memang perencanaannya untuk lahan perkebunan. Kebetulan yang mengadakan ijinnya itu komoditinya sawit.
Dalam beberapa kasus, pemberian ijin ini sering salah arah. Dalam artian, investor bukan perusahaan sawit, tapi diberikan ijin sawit. Hutan sudah habis dibabat, dan sawit tidak ditanam. Nah, bagaimana hal itu terjadi? Terutama dalam kontek mega proyek sawit perbatasan? Sekarang ini, yang harus lebih diperhatikan dalam rangka pemberian ijin adalah, pemerintah kabupaten.
Pemerintah propinsi hanya memberikan koridor, termasuk pengawasan. Misalnya, apakah pelaksanan ijin sudah benar atau tidak. Apakah lahan sudah disesuaikan dengan peruntukannya atau tidak. Pemberian lahan melampaui kewenangan atau tidak. Yang berwenang memberikan ijin, lalu mencabut lagi adalah kabupaten, sepanjang perusahaannya ada di kabupaten.
Nah, yang barang kali harus ditingkatkan saat ini adalah, kalau dari segi administrasi. Idwar yakin tidak mungkin keliru. Dokumen yang diperlukan dan perlunya suatu ijin, dia pikir tidak terlalu sulit untuk menyeleksi.
Yang penting sebenarnya, kalau investor sudah punya ijin melakukan operasional. Instrumen untuk melakukan kontrol harusnya lebih baik. Pertama, mengatur bagaimana berinteraksi dengan masyarakat setempat. Contoh, ketika sudah mendapat alokasi lahan bakal tanam.
Maka, ketentuan yang berlaku di dalamnya adalah, investor harus membangun kemitraan dengan masyarakat setempat. Dalam hal ini, konsepnya tentu masyarakat harus didahulukan. Dibanding dalam rangka melakukan kerja sama dengan investor yang kebetulan masuk. Masyarakat difasilitasi untuk pembangunan perkebunan.
Toh, hasilnya nanti bisa dikerjasamakan, dan diolah investor bersangkutan. Kecuali, pada lahan tertentu. Harus ada yang mengatur, bagaimana cara membebaskan lahan-lahan negara.
Kedua, ketika investor sudah melakukan perencanaan pembangunan, harusnya tingkat pengawasannya lebih baik. Jangan sampai investor mereka melakukan pembukaan dengan cara land clearing atau pembakaran. Dalam satu tahun tertentu, harus ada persiapan melaksanakan penyiapan bahan tanaman, dalam arti kata pembibitan. Ini merupakan instrumen dalam rangka mengontrol. Misalnya, kalau investor punya bibit baru untuk 500 hektar, padahal area tanam 1000 hektar.
Hal ini harus dipertanyakan. Artinya, kalau memang bibitnya dipersiapkan untuk 500 hektar, buka lahannya jangan 1000 hektar. Fungsi kontrol pemerintah kabupaten harus ada. Menurut Idwar, dalam masalah pembukaan lahan saja, sekarang ini sudah lebih baik. Sudah ada beberapa perusahaan yang teridentifikasi melakukan pembukaan lahan, dan tidak mengikuti prosedur, akan dilakukan proses hukum. Sudah ada beberapa perusahaan terkena proses itu.
Seandainya, kebun sawit 1,8 juta hektar bakal dibuka, akan membuat pemeliharaan pasar internasional CPO dan PKO terpenuhi. Perolehan devisa pasti cukup besar. Nah, bagaimana efeknya bagi pemerintah daerah?
“Yang jelas, secara nasional pemerintah berkeinginan menjadi penghasil minyak sawit terbesar di dunia,” kata Idwar. Tentunya dengan mengharapkan hasil tidak hanya di Kalbar. Angka 1,8 juta hektar, barangkali tidak hanya di perbatasan Kalbar. Tapi, juga di beberapa tempat lain. Efeknya memang besar.
Namun, Idwar melihat, hal itu tidak hanya semata-mata sawit. Proses pengembangan pembangunan di bidang sawit, juga akan dirasakan sebagai pertumbuhan ekonomi di kawasan yang baru dibuka. Selain terjadi penyerapan tenaga kerja di bidang sawit, ada peluang penyerapan tenaga kerja. Yang merupakan imbas dari sawit.
Terbukanya isolasi kawasan dan dibangunnya jalan penghubung, tentu saja bakal memberikan pengaruh. Tidak hanya bagi perkebunan, tapi juga bagi daerah. Seperti, terbukanya jasa angkutan dan lainnya. Jadi, efek lain akan cukup besar. Sawit tidak hanya dilihat sebagai penghasil CPO. Keinginan daerah sebenarnya, apabila rasio produksi sudah bisa dimungkinkan, seharusnya di Kalbar bisa dibangun industri lebih hilir. Misalnya, mengolah bahan baku berasal dari CPO.
Sekarang ini, Kalbar hanya salah satu daerah penghasil CPO. Yang mengolah buah tandan segar menjadi CPO. Sangat kecil porsinya yang diolah menjadi bahan baku minyak goreng. Tapi, lebih besar yang dikirim ke luar Kalbar. Pada saatnya nanti, potensi sawit dengan CPO-nya, bisa melahirkan basis industri berbasis CPO. Banyak sekali industri hilir berbasis sawit. Seperti, margarin, sabun, dan lainnya, bisa dikembangkan di Kalbar.
Sekarang ini, isu pengganti BBM juga makin marak. Kabarnya, sawit bisa dijadikan energi alternatif. Biodiesel bukan dihasilkan dari CPO. Tapi, merupakan limbah sawit, istilahnya CPO kolam. Dan ini peluangnya besar sekali, untuk membangun energi terbarukan. Termasuk dalam hal ini bukan hanya sawit, tapi komoditi lain. Artinya, ada peluang untuk menumbuhkan ekonomi, di kawasan tertentu. Hal ini akan berdampak pada peningkatan ekonomi daerah.
“Sekali lagi kita mengharapkan, sawit yang tumbuh tidak industri berskala besar. Industri berskala besar harus bersinergi dengan masyarakat. Kalau itu bisa, berarti tidak ada masalah,” kata Idwar. Yang menjadi persoalaan sekarang adalah, akibat pembangunan managemen sawit pada masa yang lalu. Terutama sentralistik. Lebih mengutamakan investor daripada masyarakat.
“Dan hal itu kita akui sebagai salah satu yang harus diperbaiki,” kata Idwar. Sekarang ini, dengan kewenangan yang ada di Kalimantan, dia pikir keinginan yang aneh, bila mengubah hutan lindung menjadi sawit. Hal itu tidak bakal ada. Kecuali, Pemda Kalbar punya keinginan sama. Kalau pemerintah pusat punya keinginan demikian, tapi pemerntah propinsi dan kabupaten tidak berkeinginan, maka tidak akan jalan.
Memang pemerintah kabupaten mengeluarkan ijin untuk pemanfaatan hutan. Tapi, kalau perkebunan tetap di lahan non hutan. Kalau ada aktifitas penebangan di hutan, tentunya bukan untuk perkebunan, namun semacam ijin HPH. Idwar melihat, pemberian ijin yang diberikan pemerintah pada daerah perbatasan, masih dalam koridor dibenarkan secara tata ruang.
Perkebunan selalu memonitor ijin yang telah diberikan. Bahkan, ijin yang diberikan, tidak hanya di perkebunan. Di tingkat propinsi ada lima instansi secara reguler melakukan evaluasi pemanfaatan lahan. Seperti, Dinas Perkebunan, Kehutanan, Bapedalda, BPN dan Bappeda.
“Sampai saat ini, kami belum mendapatkan ijin yang dikeluarkan kabupaten untuk PTP. Dan tidak tahu kalau ada jalur lain, misalnya,” kata Idwar. Sampai saat ini, berdasarkan ketentuan yang ada, ijin dikeluarkan oleh kabupaten. Tapi, berdasarkan ketentuan yang ada, tidak ada ijin lagi dikeluarkan pemerintah pusat. Bahkan, propinsi saja tidak mengeluarkan, sepanjang untuk investasi di kabupaten bersangkutan.
Bagaimana bila ada informasi, bahwa semua ijin yang ada di daerah perbatasan sudah habis, karena sudah diberikan pada orang. Jadi, orang yang mau mendapat ijin baru, bisa mendapatkannya dari orang yang lahannya tidak digarap? Mereka hanya menjadi broker izin atas lahan?
“Kami tidak sampai memantau sepeti itu,” kata Idwar. Artinya, ketika ada satu badan usaha mengajukan ijin, persyaratannya diproses oleh Pemda kabupaten. Nah, ijin ada batas waktunya. Kalau sampai tidak melakukan aktifitas, akan diingatkan tiga kali. Bila tidak mengindahkan, ijin akan dicabut. Kalau sudah dicabut, bisa dialihkan untuk investor lain.
“Saya pikir, isu seperti itu bisa saja terjadi. Tapi, kalau dari instrumen kontrol yang dilakukan, hal itu sepertinya tidak bisa terjadi. Jual beli ijin itu tidak boleh. Sepanjang pengetahuan kami, pemindahan ijin itu tidak pernah dilakukan,” kata Idwar.***
Foto by Nurul Hayat, Edisi Cetak, minggu ketiga, Januari 2006, Matra Bisnis
Posted by Muhlis Suhaeri at 10:16 AM 0 comments
Labels: Perkebunan