Wednesday, September 30, 2009

Waspada terhadap Muntaber

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Sungai, selain menjadi urat nadi perekonomian, juga menjadi pasokan air minum. Berbagai kehidupan di Kalbar, tak bisa dipisahkan dengan kehidupan sungai. Sungai melebur dengan warga, menciptakan suatu harmoni. Ada berbagai budaya dan tradisi lahir, karena kedekatan manusia dengan sungai.

Namun, saat musim kemarau tiba, biasanya sungai di berbagai daerah di Kalbar, alami kekeringan. Kekeringan menciptakan pola interaksi yang berubah. Misalnya saja dalam masalah penyediaan air bagi kehidupan warga. Sungai merupakan sumber mata air bagi segala kehidupan yang dibutuhkan bagi kehidupan yang harus dijalani.

Karenanya, musim kering membuat pasokan air bagi warga menjadi terkendala. Dengan berkurangnya air sebagai pasokan warga, tentu saja berpengaruh terhadap kesehatan warga.

Dengan berkurangnya air, membuat pola hidup dan sanitasi menjadi kurang maksimal. Bahkan, kekurangan air bersih juga membuat warga alami berbagai penyakit. Salah satunya adalah muntaber.

Hal ini, tentu perlu penanganan yang baik. Pemerintah melalui dinas dan instansi terkait, mestinya segera mempersiapkan berbagai langkah, untuk mencegah terjadinya korban di masyarakat. Ini harus dilakukan, agar warga yang sudah alami berbagai kesulitan hidup, tak lagi harus menanggung dan mengeluarkan uang dalam jumlah besar, bagi biaya pengobatan yang mereka lakukan.

Selain itu, pemerintah juga harus berupaya dan lakukan pencegahan, agar muntaber tak meluas dan jadi bencana. Dengan cara itu, korban dapat dihindari dan sebisa mungkin, dapat ditekan jumlahnya.

Penangangan yang dilakukan harusnya tak terbatas pada bidang pengobatan saja. Pemerintah harus sedari awal, memberikan berbagai sarana dan sarana yang bisa digunakan warga. Agar, mereka bisa menjalani pola hidup yang lebih baik. Salah satunya dengan fasilitas air bersih.

Kalbar yang memiliki sumber air melimpah, karenanya harus dijaga dengan baik. Sehingga air yang menjadi sumber kehidupan, tidak tercemar dan rusak kualitas airnya.

Ini tentu saja bukan peran pemerintah saja. Semua harus berperan menyelamatkan sumber air baku bagi kehidupan. Sehingga semua bisa hidup lebih layak dan sehat. Dengan hidup sehat, tentu saja berpengaruh pada produktifitas warga. Sehingga berbagai roda ekonomi, sosial, politik, dan lainnya dapat tumbuh dengan baik.

Edisi cetak ada di Borneo Tribune 30 Septemebr 2009

Baca Selengkapnya...

Wednesday, September 16, 2009

Kisruh Ijazah Palsu

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Setiap ada hajatan pemilihan legislatif (Pileg), selalu saja ada kasus ijasah palsu.
Munculnya kasus ini, tentu tidak berdiri sendiri. Ini menyangkut sistem yang melibatkan banyak orang dan institusi.

Ada orang yang terlibat. Ada sekolah atau kampus yang dianggap berperan melegalkan. Atau, ada orang yang memfasilitasi praktek tersebut.

Pendidikan sebagai salah satu syarat keikutsertaan seseorang dalam suatu proses politik, tentu membawa sebuah konsekwensi bahwa, mereka yang tak pernah mengenyam pendidikan secara formal, akan terganjal partisipasi politiknya.


Pendidikan sebagai salah satu syarat ikut partisipasi politik, tentu punya argumentasi tersendiri. Sebab, orang yang akan menjunjung nasib warga, harus memiliki dasar yang baik. Salah satunya tentu saja dari segi pendidikan. Sebab, dengan pendidikan yang baik, akan membuat cara berpikir seseorang, menjadi baik. Itu konsekwensi logis saja.

Bila salah satu syarat itu tak terpenuhi, orang melakukan cara singkat atau potong kompas, untuk atasi tak adanya dokumen atau ijazah, sebagai salah satu syaratnya.

Cara ini dianggap paling gampang. Apalagi dengan buruknya sistem administrasi kependudukan atau pendataan kita. Sehingga orang sulit untuk dicek ulang bila terjadi pelanggaran terjadi.

Ini tentu suatu ironi. Orang yang akan memanggul tanggung jawab sebagai penyambung lidah rakyat, melakukan suatu praktek yang tak mencerminkan prilaku yang patut dan mencerminkan etika, atau moral yang baik. Belum menjabat saja sudah melakukan suatu praktek kecurangan yang sangat mendasar, apalagi bila mereka berkuasa nanti.

Inilah yang selalu terjadi dan terus terjadi. Ijazah palsu menjadi mata rantai yang seakan tak ada putusnya. Sanksi terhadap munculnya kasus ini yang dianggap tak terlalu keras, juga kerap melatarbelakangi orang melakukan praktek pemalsuan ijazah.

Padahal, sanksi terhadap permasalahan ini sangat jelas. Polisi berhak melakukan pemeriksaan. Nah, tentunya harus ada yang melaporkan. Kalaupun sudah ada yang melaporkan, kasus ini masih bisa terus berjalan. Tentunya, polisi yang harus punya kehendak.

Di sanalah hukum berperan. Apakah keadilan memang bisa ditegakkan dengan sebaik-baiknya, atau hanya orang yang punya kuasa dan uang, bisa membeli hukum.
Ini tentu menjadi tantangan tersendiri pada aparat penegak hukum, memperlihatkan sejauhmana kredibilitas mereka di bidangnya.

Pengadilan yang adil dan memenuhi rasa keadilan bagi seluruh masyarakat, tentu menjadi harapan semua warga. Nah, bagaimana kasus ini akan tertangani. Mari kita lihat bersama.

Edisi cetak ada di Borneo Tribune 16 September 2009

Baca Selengkapnya...

Sunday, September 13, 2009

Pulau (Kabung) Berkabung

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Semoga saja, ini bukan sebuah kutukan, karena menyandang nama Kabung.
Nama yang terlanjur identik dengan kesedihan, petaka, susah, dan bencana…

Kabung adalah sebuah pulau penuh potensi,
Berada di pinggiran laut yang kaya hasil ikan, Laut Cina Selatan
Namun, Kabung seakan terlupakan dan tercerabut dari wajah pembangunan
Tak terurus dan termarjinalkan…


Pemerintah tak mengulurkan tangannya melalui pemberian berbagai sarana,
pembangunan listrik, dermaga, modal bagan, pengering ikan, sarana air bersih, dan penunjang lainnya.
Buruknya transportasi membuat warga selalu berhadapan dan dicengkram maut
Sulitnya mendapat pendidikan, membuat anak putus sekolah
Potensi ekonomi lokal tak bergerak, karena terhambat minimnya infrastruktur
Tak adanya modal, membuat warga selalu terbelit hutang pada tengkulak
Yang menyungkurkannya pada kemiskinan yang akut dan abadi…

Inilah wajah pembangunan kita
Selalu berpikir tentang sesuatu yang besar,
Namun permasalahan mendasar tak tersentuh dan terabaikan…..


Foto dan Teks: Muhlis Suhaeri
Edisi cetak ada di Borneo Tribune edisi 13 September 2009

Baca Selengkapnya...

Tuesday, September 8, 2009

Bersikap Tegas terhadap Penyebab Asap

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Permasalahan kabut asap selalu terjadi setiap tahun di Kalbar. Pemerintah dan instansi terkait, seolah tidak berkutik dan tak punya solusi, terhadap permasalahan yang kerap terjadi ini. Permasalahan itu selalu terulang setiap tahunnya. Anehnya lagi, pihak-pihak yang terkait, selalu melempar tanggung jawab terhadap permasalahan tersebut.

Permasalahn asap, tidak bisa dipandang sebagai masalah yang berdiri sendiri. Dengan adanya kabut asap, semua sektor bakal terganggu. Orang menurun kemampuan dan kinerjanya, karena berbagai penyakit akibat asap. Seperti, munculnya ISPA, dan lainnya. Anak-anak kecil harus hidup menanggung beban penyakit, karena kualitas udara yang mereka hirup.


Kabut asap juga mengganggu sektor ekonomi. Berbagai jadwal penerbangan bisa saja dibatalkan dan membahayakan, bila kondisi itu terus terjadi. Begitu juga dengan perjalanan darat atau laut. Semua terkait dan beresiko, bila ada kabut asap terjadi di Kalbar.

Akibat penundaan dan perubahan jadwal, tentu merugikan semua pihak. Tidak hanya perusahaan, tapi juga pengguna jasa alat transportasi tersebut.

Dengan adanya kabut asap, berapa kerugian yang harus dialami seluruh masyarakat yang terkena dampak langsung, dari kegiatan segelintir orang ini.

Jangan juga alasan ekonomis, tidak adanya cara mengolah pertanian, menjadi suatu legitimasi bagi orang, untuk melegalkan kegiatan yang mereka lakukan. Juga jangan sampai pihak perusahaan perkebunan, menggunakan kesempatan yang sama, karena pembakaran merupakan cara paling murah dalam melakukan sebuah proses produksi. Tapi berbahaya bagi kesehatan semua orang.

Ini tentu saja perlu perhatian semua pihak. Kalau mau tegas, aparat keamanan juga tidak terlalu sulit mendeteksi dan menentukan, siapa dan wilayah mana terdapat pembakaran hutan dan lahan. Bukankah, semua wilayah tercatat kepemilikannya.

Karenanya, tidak terlalu sulit menentukan dan mengidentifiaksi. Permasalahannya adalah, sejauhmana kemauan dan niat melakukannya. Kita semua tentu setuju dan berharap, ada tindakan tegas aparat secara hukum, terhadap para pembakar hutan dan lahan ini. Sebab, dalam hokum pun sudah jelas sanksinya, bagi para pembakar hutan dan lahan ini.

Karenanya, kita semua sepakat dengan tindakan tegas yang akan dilakukan Polda Kalbar, dalam menyikapi permasalahan ini. Kita juga berharap, hal itu tidak sekedar ungkapan manis dan enak didengar saja.

Prinsipnya, segala tindakan tegas dan bersifat penegakkan hukum, mesti ditegakkan demi berlakunya kesadaran massal semua warga, akan pentingnya saling menjaga dan menghargai kehidupan bersama yang sedang dijalani. Bagaimanapun, cara hukum harus dilakukan, agar ada efek jera pada para pelaku pembakaran hutan dan lahan.

Edisi cetak ada di Borneo Tribune, 8 September 2009

Baca Selengkapnya...

Sunday, September 6, 2009

Jurnalis Mesti Mampu Sajikan Informasi Bermutu

Eko Susilo
Borneo Tribune, Pontianak
Pelajaran berharga diberikan dua wartawan senior yang hadir sebagai pembicara dalam diskusi lesehan bertema “Merespon Isu, Mengolah Berita” yang digelar Sekretariat Bersama (Sekber) 43, bersama Tribune Institute, didukung FLEGT, di markas Sekber Jalan Karimana No. 43 Pontianak, Sabtu (5/9).

Diskusi diikuti jurnalis-jurnalis dari berbagai media, baik cetak maupun elektronik ini, mengupas sisi kesalahan perspektif jurnalis dalam merespon isu baik di tingkat lokal maupun nasional.


Ahmad Yunus, freelance writer menuturkan kelemahan jurnalis saat ini adalah, tidak mampu menangkap realita yang terjadi di masyarakat. Hal ini bisa terlihat dari kebiasaan jurnalis yang lebih banyak mewawancarai narasumber yang berasal dari kalangan pejabat, polisi dan kalangan birokrat lainnya ketimbang mewawancarai petani, buruh, nelayan dan lainnya.

“Dan apapun yang mereka katakana, akan kita tulis tanpa mengecek kebenarannya,” kata Ahmad.

Padahal, tugas jurnalis adalah bagaimana melihat konteks-konteks itu dan menangkap suara-suara yang tidak pernah didengar. Sehingga pada nelayan dan petani dan masyarakat umum ini tidak hanya menjadi warga yang pasif, tetapi menjadi publik yang aktif. Mereka tidak hanya berbicara pada media. Tetapi juga berbicara dalam kebijakan publik.

Dalam peliputan konflik menurut Ahmad, jurnalis tidak bertugas untuk meredam konflik melalui tulisan yang dibuatnya, karena pilihan tersebut akan datang dari masyarakat sendiri. Yang harus dilakukan jurnalis adalah, membuka ruang seluasnya dan menjelaskan substansi masalah sebanyak mungkin, sehingga informasi ini semakin bermutu.

“Kita jangan terjebak pada peristiwa, tapi kita berbicara pada konteks, karena bisa jadi seseorang yang disebut korban, pada konteks sebelumnya dia adalah pelaku konflik,” tuturnya.

Dalam jurnalisme konflik ini, sang jurnalis perlu membuat tulisan yang sangat mendasar, bukan hanya pada tataran permukaan. Berbeda dengan pola-pola jurnalisme tradisional yang cenderung menyalahkan seseorang. Oleh karena itu, jurnalis harus berupaya membangun perspektif dari dirinya sendiri.

“Dengan susunan redaksi yang semakin beragam akan menumbuhkan kematangan redaksi itu sendiri,” tuturnya.

Ahmad mengatakan, dalam peliputan konflik, jurnalis harus menjaga independensinya untuk tetap mengatakan kita adalah wartawan di lapangan. “Bukan justru mewakili etnis atau agama tertentu,” ucapnya.

Tanggung jawab media menurutnya adalah, bagaimana menghasilkan berita yang bermutu dan beragam sehingga pembaca memiliki banyak pilihan.

Ahmad Yunus dalam sesi terakhirnya juga berbicara mengenai Pecojon. Sebuah lembaga yang mendidik para jurnalis, untuk menulis dan menanggapi sebuah konflik dengan perspektif seorang jurnalis yang sensitif dengan konflik yang terjadi.

Sedangkan wartawan senior Farid Gaban, mengatakan, kesalahan media dari sisi pemberitaan yang cenderung memanipulasi fakta dan menjerumuskan pembaca.

Ia mengambil contoh pemberitaan yang dibuat oleh media nasional yang mengangkat isu yang saat ini sedang hangat, yaitu isu terorisme dan klaim kebudayaan oleh negara tetangga, Malaysia.

“Hal-hal seperti SARA sangat mudah dimanipulasi untuk memunculkan sensasi berita,” kata Farid.

Menurut mantan Managing Editor Majalah Tempo dan Harian Republika ini, contoh kasus terorisme, banyak media yang menghukum orang yang belum diketahui, apakah benar-benar merupakan tokoh teroris atau bukan. Media ini kebanyakan menuliskan berita hanya dari satu narasumber, yaitu polisi.

“Dan akan jadi dosa besar wartawan bila seseorang yang dinyatakan sebagai teroris ternyata tidak terbukti,” katanya.

Dalam peliputan isu terorisme, jurnalis sering kali sudah menjadi hakim hanya melalui pernyataan dari polisi. Pemberitaan yang belum tentu benar ini akan menimbulkan dampak yang besar karena akan menimbulkan rasa takut pada masyarakat dan secara tidak langsung media sudah menjadi alat propaganda polisi.

Farid mengungkapkan berita-berita yang muncul ini merupakan bias dari orang-orang yang berada di Jakarta. Padahal, orang Jakarta tidak memiliki pemahaman yang sama dengan orang-orang yang berada di Kalimantan. Contoh kasus dalam persoalan hubungan Indonesia-Malaysia yang akhir-akhir ini sedikit menegang, akibat munculnya pemberitaan soal klaim Malaysia terhadap tari Pendet yang berasal dari Bali.

“Mereka (orang Jakarta) mudah saja berpikir untuk berperang, tanpa memikirkan orang-orang yang berada di perbatasan,” paparnya.

Oleh karena itu, menurut Farid, media dalam merespon isu harus memperhatikan kepentingan publik. Jangan sampai karena mengejar sensasi, sehingga mengesampingkan kepentingan publik, kemudian mengutamakan kepentingan pribadi atau perusahaan medianya.

“Media saat ini sudah terjebak pada satu agenda yang dibuat oleh orang lain,” katanya.

Bagaimana seseorang jurnalis membangun sebuah berita yang layak? Farid Gaban memaparkan sembilan elemen jurnalisme yang dirumuskan Bill Kovach dan Tom Roshentiel. Elemen jurnalisme ini meliputi jurnalis sebagai pencari kebenaran, loyalitas utama jurnalisme kepada warga negara serta disiplin verifikasi.

“Jurnalis harus menjaga independensinya, serta membuat dirinya sebagai pemantau independen dari kekuasaan,” kata Direktur PENA Indonesia ini.

Menurutnya, jurnalis memiliki tanggung jawab untuk mendapatkan semua fakta serta menyusunnya dalam sebuah konteks yang tepat. Tugas jurnalis adalah membuat verifikasi dan membuat filter berita yang penting dan berita yang tidak penting. Kualitas profesional seorang jurnalis juga dapat diketahui dari rasa ingin tahu yang besar, kematangan dan tanggung jawab, pengetahuan umum yang luas, kreativitas dan imajinasi serta kesabaran dan ketekunan.

“Memiliki keberanian, kejujuran dan integritas serta memiliki cara berpikir independen dan selalu mencari jawaban atau suatu gejala atau masalah,” ucap Farid.

Edisi cetak ada di Borneo Tribune, edisi 6 September 2009
Foto by Andi Fahrizal


Baca Selengkapnya...

Wednesday, September 2, 2009

Pertambangan Illegal Terus Terjadi

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Kerusakan lingkungan akibat pertambangan illegal, seolah tak pernah berhenti dari aktivitasnya. Meskipun pihak keamanan terus melakukan razia secara terus menerus.

Hal itu bisa dilihat dengan masih banyaknya kegiatan yang dilakukan. Kabar terbaru, Kepolisian Kalbar, kembali melakukan operasi terhadap para pelaku pertambangan illegal di Ketapang. Operasi dilakukan, karena kegiatan itu semakin berani dan banyak jumlahnya. Dalam operasinya, polisi tak tanggung-tanggung melakukannya. Sebanyak 100 personil Brimob, dan 40 personil Pol Air diterjunkan lakukan operasi.

Polda bahkan menutup jalan keluar dan masuk lokasi pertambangan dengan mendirikan Poskotis atau Pos Komando Taktis. Tak hanya itu, polisi juga menyekat distribusi BBM yang masuk ke lokasi pertambangan.


Dalam operasi tersebut, polisi juga keluarkan imbauan kepada pekerja tambang maupun masyarakat sekitar, yang terkait pertambangan illegal. Polda mendirikan papan peringatan, yang berisi sanksi, tentang pertambangan illegal di lokasi pertambangan.

Dari operasi yang dilakukan, polisi menangkap 13 tersangka. Menyita barang bukti ratusan mesin. Puluhan ton timah hitam.

Maraknya pertambangan liar, khususnya timah hitam, bukan tanpa sebab. Mahalnya timah hitam juga menjadi penyebab, kegiatan itu semakin massif dilakukan. Apalagi hasil akhirnya, dihargai dengan uang dolar. Semakin lengkap kegiatan itu dilakukan.

Ketapang memang daerah unik. Setelah illegal logging kayu yang melibatkan berbagai unsur aparat, mulai dari kepolisian, kehutanan, cukong, dan warga, kini kegiatan illegal juga merambah ke sektor tambang.

Repotnya lagi, karena massifnya kegiatan, polisi menurunkan aparat dari pusat, Mabes Polri hingga Kepolisian Kalbar, untuk lakukan operasi dan penanganan kegiatan itu. Turunnya aparat dari pusat dan provinsi, tidak akan dilakukan bila permasalahan yang terjadi berskala kecil, dan bisa ditangani tingkat Polres.

Semoga saja, langkah aparat kepolisian melakukan penertiban, juga diiringi dengan penegakan hukum, melalui sidang terhadap para pelaku yang sudah tertangkap. Dalam hal ini, pihak kejaksanaan dan kehakiman, harus melakukan sinergi yang baik. Sehingga kasus itu bisa ditindak dengan tegas, melalui pemberian hukuman yang setimpal pada para pelaku yang sudah tertangkap, dan barang bukti yang sudah menguatkan tindakan illegal tersebut.

Selain itu, semua unsur masyarakat, media, LSM, para akademisi, dan para stakeholder, mesti berikan perhatian pada proses persidangan yang bakal digelar. Agar, ada efek jera bagi para pelaku. Dan, bukan sekedar dagelan hukum, atau kepentingan orang tertentu, bagi kegiatan yang jelas merusak lingkungan tersebut.

Edisi cetak ada di Borneo Tribune, 2 September 2009

Baca Selengkapnya...