Sunday, August 30, 2009

Ferri Penyeberangan Kapuas

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Sungai Kapuas adalah nadi
yang membawa hidup bagi jantung Borneo.
Segala yang hidup seakan tak lepas dari alirannya.

Kapuas memberi hidup bagi semua yang hidup.
Bahkan, tetap menyemai bagi yang telah mati.
Sebab, dari alirannya semua bakal menyemai kehidupan itu sendiri.


Kapuas menghidupkan ekonomi, membentuk kultur sosial,
dan menghidupkan berbagai religi.
Memberikan ruang bagi mereka yang ingin menjalani hidup.

Kapuas selalu diarungi.
Memberi mantra bagi siapa saja yang melewati,
Untuk selalu kembali dan mengarunginya.

Begitu juga bagi kapal ferri penyeberangan,
Yang seolah tak pernah lelah, menempelkan lambungnya
pada Sungai bernama Kapuas…

Foto dan Teks: Muhlis Suhaeri

Edisi cetak ada di Borneo Tribune, 30 Agustus 2009


Baca Selengkapnya...

Sunday, August 23, 2009

Peziarahan

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Langkah-langkah ini serasa makin pelan,
Bahkan, saat kita harus berkejaran pada
ruang dan waktu yang tak bisa lagi menunggu
siap menggilas dan membuat kita seperti sepotong
daging yang teronggok dan membusuk
terlempar pada tepi sebuah jalan….

Peziarahan ini, harus kembali dijalani
‘tuk mengais secuil rahmat dan berkah yang Engkau
janjikan pada kami, hingga kaum-Mu ini harus
meratap dan berdoa penuh harap
untuk mendapatkan pahala terbesar-Mu….


Peziarahan ini, mesti kami jalani
bulan suci Ramadan kembali datang
membawa rejeki bagi para penjual bunga, kue, tukang parkir,
dan banyak umat-Mu….

Tapi, atas nama bulan suci, sebagian kaum-Mu,
melakukan perampasan hak dan main kuasa,
melebihi kuasa-Mu…..

Menutup warung makan, Café, membakar tempat prostitusi,
mengotong para PSK dan memasukannya dalam kerangkeng
mereka yang merasa berkuasa, melegalkan tindakan anarkis
atas nama kesucian bulan peziarahan ini….

Sesuci itukah Ramadan?
hingga ada sebagian umat-Mu berbuat jahat dan tak memiliki prikemanusiaan
pada yang lain?


Foto dan teks: Muhlis Suhaeri
Edisi cetak ada di Borneo Tribune 23 Agustus 2009

Baca Selengkapnya...

Wednesday, August 19, 2009

Korupsi yang Terus Berlanjut

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Masalah korupsi seolah tak ada hentinya di negeri ini. Berbagai praktek korupsi yang merugikan anggaran Negara, semakin menjadi-jadi. Apalagi dengan adanya pelaksanaan otonomi daerah.

Otonomi yang seharusnya menjadi jalan bagi daerah, untuk melakukan percepatan pembangunan dengan kemandirian pembangunan yang dilakukan, nyatanya menjadi kesempatan setiap pejabat di daerah, melakukan berbagai praktek korupsi.

Ditangkapnya para pelaku korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di berbagai daerah di Indonesia, nampaknya tak menyurutkan para pelaku, untuk menjarah dan mencari keuntungan pribadi dari setiap wewenang dan kekuasaan yang mereka miliki.


Masuknya para pejabat, mulai dari anggota DPR RI, gubernur, walikota hingga ke tingkat bupati, semakin menunjukkan praktek ini telah merasuk ke berbagai lini dan sektor.

Tak adanya hukum yang membuat efek jera, turut berpengaruh pada para koruptor, untuk terus melaksanakan prakteknya. Padahal, bila efek jera itu bisa dilakukan, dana pembangunan yang seharusnya bisa dikelola bagi kepentingan bersama, bisa diselamatkan.

Kita bisa mengambil contoh yang baik dari Republik Rakyat China (RRC) dalam penanganan masalah korupsi. China menghukum mati dan menyita semua harta para koruptor. Hukuman ini terlihat kejam. Namun, efek dan kerugian yang ditimbulkan oleh korupsi juga menyebabkan kemiskinan struktural dan membuat banyak orang menderita, karena tak bisa melaksanakan berbagai hak dan fasilitas yang seharusnya bisa mereka miliki.

Akibat korupsi, banyak dana hilang. Pemerintah tak bisa membangun berbagai fasilitas pendukung dan infrastruktur. Yang semestinya dapat dibangun dengan baik, karena adanya berbagai kebocoran dana akibat korupsi.

Hal ini membuat daerah tidak bisa maju dalam melaksanakan pembangunan. Efek selanjutnya adalah, kemiskinan massal yang terjadi pada masayrakat, karena sulit melaksanakan berbagai aktivitas sosisl, ekonomi, dan lainnya, akibat minimnya sarana penunjang ini.

Karenanya, menjadi kewajiban bersama bagi setiap masyarakat, aparat hukum, media massa, untuk sama-sama mengawasi setiap pembangunan yang dilakukan. Caranya, dengan melihat secara bersama pembangunan itu. Sebab, bila hal itu tak dilakukan, kebocoran dana akibat koruspi akan terus berlangsung.

Edisi cetak ada di Borneo Tribune, 19 Agustus 2009

Baca Selengkapnya...

Pentingnya Pembangunan Jalan

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Dalam sejarah perkembangan dan peradaban manusia, selalu diwarnai dengan upaya memperpendek waktu dan ruang. Karena itulah, berbagai rekayasa, karya, dan upaya dilakukan, untuk mencipta dan menemukan suatu alat atau teknologi, untuk menjangkau dan memperpendek waktu dan ruang tersebut.

Salah satu upaya dengan membuat jalan, jembatan, dan infrastruktur lainnya.

Dengan jalan, manusia bisa melakukan berbagai aktivitas dan kegiatan. Jalan memegang peranan penting bagi kehidupan manusia. Jalan merupakan urat nadi bagi kehidupan.


Ini bisa dimaklumi, sebab tanpa ada jalan, proses distribusi barang dan jasa akan sulit dilakukan. Dengan jalan yang baik, membuat jalur distribusi menjadi lancar. Selain itu, jalan yang baik akan mempermudah kegiatan ekonomi, sosial, budaya, dan lainnya.

Dalam berbagai pembangunan yang dilakukan, keberadaan jalan dengan sendirinya akan menghidupkan berbagai aktivitas ekonomi daerah, yang menjadi jalur perlintasan tersebut. Jalan membuka peluang bagi kemajuan dan tumbuhnya berbagai kegiatan.

Kalbar dengan wilayah yang cukup luas, sangat terkendala dalam menjangkau wilayahnya. Salah satu penyebabnya adalah, jalan yang tak dibuat dengan baik. Apalagi dengan kondisi tanah gambut yang ada, membuat kondisi jalan tak bisa bertahan lama.

Mudahnya jalan menjadi rusak, memang tak sepenuhnya karena faktor alam. Ada berbagai ulah manusia, dalam proses makin rusaknya jalan ini. Biaya pembangunan jalan yang semestinya dipergunakan untuk pembangunan, banyak yang menguap karena mental para birokrat yang masih “menyunat” biaya tersebut.

Akibatnya, hasil pembangunan jalan tidak sesuai dengan biaya yang dikeluarkan. Ini tentu saja merugikan kepentingan masyarakat yang setiap hari menggunakan jalan tersebut. Juga merugikan Negara.

Dalam hal ini, semua harus mengawasi dan melihat proses dari pembangunan yang dilakukan, apakah sudah sesuai dengan prosedur dan spesifikasi yang tertulis dalam total anggaran yang ada.

Setelah pembangunan jalan terwujud, pemeliharaan juga mesti dilakukan semua pihak, tak hanya pemerintah. Yang tak kalah penting, mental masyarakat juga harus siap dengan adanya jalan yang sudah jadi. Sehingga, jalan yang sudah baik, tak dikeruk lagi agar orang bisa mendapatkan uang, dari mengutip mereka yang melewati jalan tersebut.

Kondisi itu memprihatinkan semua pihak. Ditengah upaya membuka keterisoliran suatu wilayah, ada oknum yang memanfaatkan kondisi itu, dengan cara merusak jalan. Karenanya, perlu pembinaan wilayah dan ketegasan dari aparat, untuk mengamankan infrastruktur yang sudah ada.

Edisi cetak ada di Borneo Tribune, 19 Agustus 2009

Baca Selengkapnya...

Sunday, August 16, 2009

Kabut, Sang Pencabut

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Kabut asap seakan tak mau lepas dari udara
bumi Khatulistiwa

setiap tahun ada dan selalu berulang
menampakkan wajah pucatnya yang makin beringas
menutup wajah-wajah pasrah yang tak mau
menyunggi nasibnya sendiri

manusia seakan tiada nalar lagi menghadapinya
ilmu pengetahuan telah mati dibuatnya
hukum tak lagi menjejakkan kukunya di bumi
dibeli dengan cara borongan oleh
mereka yang punya modal
dan, runtuh seruntuh-runtuhnya……


tak menyisakan harap
pada hidup yang harus direngkuh

Ini akan terus berulang,
Sebab, kita hanya DIAM
Tak pernah lakukan tuntutan-tuntutan!


Teks dan Foto : Muhlis Suhaeri

Edisi cetak ada di Borneo Tribune 16 Agustus 2009


Baca Selengkapnya...

Wednesday, August 12, 2009

PLN, Monopoli Tanpa Kendali

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Sebenarnya amanat Undang-Undang Dasar 1945, yang menyebutkan bahwa, segala sesuatu yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara, dan digunakan sebesar-besarnya bagi kepentingan dan kemakmuran rakyat, merupakan sesuatu yang bijaksana dan pro rakyat.

Tak heran, dalam berbagai pelaksanaannya, segala sesuatu yang berhubungan dengan hajat hidup rakyat, dikuasai oleh Negara. Misalnya, perusahaan tambang, air, listrik, kereta api, telekomunikasi, dan lainnya. Melalui berbagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Negara menjalankan fungsi pelaksanaan dari berbagai perusahaan tersebut.


Namun, banyak dari perusahaan tersebut, karena tidak terurus dengan managemen yang baik dan karena berbagai praktek korupsi, akhirnya dijual kepada pemodal asing. Alasannya sederhana saja, daripada merugi terus. Bahkan, perusahaan yang dianggap masih sehat dan menguntungkan, juga dijual. Alasannya, si penjual dapat persenan dari perusahaan yang membelinya. Korupsi yang sudah kadung menggurita.

Satu lagi masalah yang hingga kini dialami dan masih terjadi, pada perusahaan-perusahaan Negara adalah, sistem monopoli. Dengan tidak adanya perusahaan lain yang menjadi pesaing, harusnya kepercayaan yang diberikan itu, dipegang dan dijalankan dengan baik. Namun, fakta dan kenyataan yang terjadi di lapangan, perusahaan Negara yang dianggap selalu identik dengan kebobrokan managemen, tak bisa mengubah citra dan performanya.

Salah satu contoh adalah Perusahaan Listrik Negara (PLN). Sebuah perusahaan pemerintah penghasil energi listrik. Di zaman moderen seperti sekarang ini, tak ada kehidupan yang tak ada kaitannya dengan listrik. Semua orang menggunakan listrik.
Dengan logika sederhana, bisa dipastikan perusahaan ini, alami keuntungan yang luar biasa. Tak ada pesaing dan produknya digunakan setiap orang. Mau apalagi. Namanya juga perusahaan tanpa pesaing dan menguasai hajat hidup orang banyak, seharusnya bekerja dengan profesional dalam menjalankan perusahaan.

Namun, seperti juga perusahaan Negara lainnya, salah urus di perusahaan pemerintah, sepertinya tak berhenti sampai sekarang. Ketidakbecusan aparatur, sistem yang korup, membuat perusahaan ini makin terseok-seok, tak bisa menjaga kinerjanya. Alhasil, pelanggan yang paling dirugikan.

Padahal, bila ada pelanggan yang terlambat membayar saja, saluran listriknya bakal diputus. Tapi, bila masyarakat sudah membayar dan memenuhi segala kewajibannya, PLN tak memberikan pasokan energi listrik dengan baik, tak ada sanksi yang diberikan pada perusahaan Negara ini.

Sebuah sistem kerjasama yang sangat timpang dan tidak adil. Memonopoli produk, tapi tak memberikan pelayanan yang baik.

Seharusnya, bila para pimpinan PLN masih punya jiwa dan hati, mereka akan malu dan mengundurkan diri. Tapi, mengharapkan hal itu, bagai pungguk merindukan bulan. Tak bakal terjadi. Sebab, mereka sudah buta hati, nurani dan profesi.



Baca Selengkapnya...

Saturday, August 8, 2009

*Stella Bianca

Bakat Bawaan dan Dukungan Keluarga

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Serombongan anak sekolah dengan baju putih. Celana atau rok bagian bawah berwarna merah. Sebuah dasi dan topi warna merah, menyerta dalam seragam yang dikenakan. Ada sekitar 50 anak. Mereka menyusuri jalan kecil menuju sebuah gedung. Tak terlalu besar, namun cukup untuk menampung anak-anak ini. Sekolah itu berada di sekitar Gunung Hangmui.

Suasana pengab dan panas. Bulir keringat mulai menetas. Cahaya di gedung sangat kurang. Tak ada penerangan. Mereka duduk di lantai dan mulai membuka tas. Sebuah buku dikeluarkan. Catatan di buku sudah terlihat lusuh. Mereka mulai membaca buku catatan.

Seorang remaja yang sedari tadi mengikuti anak sekolah ini, segera membidikkan kameranya. Lensa kamera menangkap setiap detail obyek dengan baik.
Itulah, proses kreatif dari sebuah foto berjudul Menanti Cahaya, karya Stella Bianka Karman. Foto ini dinyatakan sebagai juara I, dalam lomba fotografi bertema pendidikan Ulang Tahun Borneo Tribune ke II. Dari segi tema dan teknis pengambilan gambar, foto bagus dan kuat. Tak heran bila tim juri memilih foto ini, sebagai juara I.

Dalam suatu perbincangan di Borneo Tribune, setelah penyerahan hadiah, 1 Agustus 2009, Stella menyatakan, ketika ingin mengikuti lomba ini, dia sengaja hunting atau mencari foto sesuai tema yang dilombakan, tentang pendidikan.

“Ada rasa sedih. Iba. Ekonomi tidak selalu berimbang. Orang kalau tak mampu, belajarnya begitu,” kata Stella.

Tapi, dia juga ada perasaan tidak puas. Kemudian, ia berpikir lagi. Kalau dirinya seperti mereka, maka tak bisa makan puas. Dari kecil sudah kerja. “Jadi, saya belajar puaslah,” katanya.

Stella bersyukur dengan kondisinya. Tapi, kepuasan itu tidak seimbang. Seharusnya orang yang mampu, harus tahu diri. Mereka sudah mendapatkan itu, tapi tidak puas.

Stella tertarik dengan dunia fotografi, karena bisa menggunakannya, untuk mendokumentasikan suatu peristiwa dan orang lain. Ia suka fotografi sejak duduk di bangku SMP, sekitar 2005-2006. Ia belajar sendri.

Baginya, fotografi bersifat alamiah saja. Ibarat orang sedang lapar, tentu akan mencari makan. “Kalau mau melakukan, ya, melakukan saja,” katanya.

Orang tua memberikan dukungan dan inspirasi. Bahkan, sang mama, membelikannya kamera. Kalau selesai hunting foto, biasanya sang mama ingin tahu hasilnya.

Pernah suatu kali, foto-foto hasil cepretannnya, diperlihatkan pada teman-teman mamanya di Jakarta. Mereka bilang, “Stella punya bakat dan mata sebagai fotografer. Perlu dikembangkan,” kata Stella, menirukan ucapan sang mama.

Kalau sedang motret, biasanya dia akan mengambil gambar suatu obyek dari berbagai sudut atau angle. Kemudian dilihat gambarnya dari segi komposisi, warna dan lainnya.
Stella biasanya memotret tema tentang pemandangan. Terdiri dari laut, pantai, gunung, langit dan lainnya.

Di Singkawang, ia jarang melakukan hunting atau berburu foto. Biasanya hanya memotret pemandangan di belakang rumah. Langitnya selalu berubah-ubah. Ada gunung Poteng. Ada masjid. Ada air terjun.

Dari kecil hingga lulus SMP, Stella tinggal di Jakarta. Setelah ayahnya terpilih sebagai walikota Singkawang, Stella pindah ke Singkawang. Perubahan baru itu, dirasakannya susah banget. Beda jauh dengan Jakarta. SMA St. Ignasius Singkawang.

“Harus sesuaikan dengan daerah,” katanya.

Ia sempat protes. Namun, kedua orang tuanya menasehati, agar ia mencobanya dulu. Ayahnya berkata, “Orang daerah banyak yang sukses, karena mereka lebih mandiri.”

Setelah mengamati, Stella merasa pendapat itu, ada benarnya. “Kondisi membuat mereka untuk mandiri,” katanya.

Namun, selama di Singkawang, dia tidak boleh sembarangan keluar. Padahal, dia Jakarta, ia bebas jalan ke mana saja.

Stella punya hobi menulis. Apa saja. Cerpen, puisi, pidato, dan lainnya. Bahkan, kalau ada workshop menulis, ayahnya juga minta padanya untuk ikut. Stella juga menyenangi Bahasa Inggris. Kalau yang berhubungan dengan bahasa, ia menyenangi sejak duduk di bangku SMP. Selain itu, ayahnya juga minta padanya untuk main piano dan biola. Orang tua selalu memberikan motifasi.

“Kalau mau melakukan sesuatu, harus dengan baik. Jangan mengeluh. Apa yang kita lakukan ada hikmahnya,” kata Stella.

Bersama kawan-kawannya di SMA, Stella membuat antalogi puisi. Buku kumpulan puisi itu, ditulis tujuh siswa dan satu orang guru.

Stella juga selalu mencari informasi. Salah satunya dari Harian Borneo Tribune. “Koran ini bagus dan kreatif. Terutama dari segi pendidikan. Selain memberitakan juga melakukan kerja sama dan ada kegiatan,” katanya. Contohnya, lomba menulis dan fotografi yang diselenggarakan koran ini.

Ia selalu ingin mengembangkan bakatnya. Namun, dia juga tak berikan target, mau jadi fotografer atau musisi.

Lalu?

“Ingin jadi guru piano atau guru Bahasa Inggris. Kayaknya asyik,” jawab Stella dengan senyum khasnya.

Baca Selengkapnya...

Wednesday, August 5, 2009

Matinya Nurani, Listrik, Air, dan Kabut Asap

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Setiap tahun tiga peristiwa yang sama selalu terulang. Selalu ada listrik mati. Air PDAM payau dan mati, dan kabut asap. Padahal, dalam zaman modern seperti sekarang ini, peralatan apa yang tidak membutuhkan listrik, sebagai energi pengeraknya. Semua orang juga membutuhkan air bagi kelangsungan hidupnya.

Ketika hal-hal itu tidak terpenuhi dengan baik, tentu berakibat pada semua hal. Orang mengalami kerugian, karena tidak bisa berusaha. Kantor tidak bisa beroperasi memberikan pelayanan, karena listrik mati. Atau, sektor pelayanan publik, seperti rumah sakit, mengalami berbagai kendala, karena kurang pasokan energi.


Listrik dan air, juga salah satu yang berperan penting bagi masuknya investor ke Kalbar, selain berbagai syarat lainnya. Karenanya, bila tidak terpenuhi listrik dan air, jangan harap ada investor tertarik masuk dan menanamkan modalnya di Kalbar.

Repotnya lagi, para pihak yang berkepentingan dan bertanggungjawab terhadap permasalahan itu, seperti lepas tangan. Sungguh suatu sikap yang tak bisa ditoleransi. Seharusnya, kalau memang mereka tak sanggup menangani permasalahan itu, harus berani berkata atau mengundurkan diri dari jabatannya.

Kenyataannya, mereka diam seribu bahasa. Tak memberikan suatu penjelasan tentang kondisi yang terjadi. Kalaupun memberikan, hanya sekedar sebuah kamuflase dan menimpakan permasalahan yang terjadi, pada pihak lain. Saling lempar tanggung jawab. Itulah mental pemangku kekuasaan. Hanya mengambil enaknya, tak berani memperjuangkan apa yang jadi tanggung jawabnya.

Hal itu bisa dilihat dari berbagai pernyataan para pejabat di media massa, ketika memberikan sikap menanggapi pertanyaan masyarakat melalui media massa. Lebih kacau lagi, berbagai argumen tak masuk akal diberikan dengan melakukan justifikasi pada provinsi lain, atau pihak lain.

Ini bisa dilihat ketika muncul permasalahan kabut asap. Para pemangku kebijakan hanya saling lempar tanggung jawab dan menyalahkan orang atau institusi lain. Atau, paling parah lagi, hanya berharap pada hujan, agar kabut asap segera berhenti. Suatu penanganan yang sama sekali tidak memberikan perspektif mendidik, atau memang tak mengerti harus berbuat apa, terhadap permasalahan yang dihadapi.

Ini sesuatu yang aneh. Seorang pemangku kebijakan dan bertanggung jawab terhadap masalah yang dihadapi warga, tapi tak bisa memberikan solusi kongkrit. Namun, hanya bersandar pada alam yang akan memberikan hujan, agar kabut asap bisa berkurang atau berhenti.

Mendengar dan melihat cara berpikir pejabat seperti ini, kita seperti dihadapkan pada sebuah kondisi atau zaman beribu tahun sebelumnya. Dimana ilmu pengetahuan belum dimiliki manusia, untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya. Atau, memang hati dan nurani mereka sudah mati. Sehingga tak peduli dengan apa yang terjadi. Bila hal itu yang terjadi. Sudah saatnya masyarakat bergerak, menyampaikan tuntutan-tuntutan.

Edisi cetak ada di Borneo Tribune, 5 Agustus 2009

Baca Selengkapnya...

Saturday, August 1, 2009

"Breaking News" Evolusi Pematangan Seorang Jurnalis

Jafar M. Sidik
Jakarta, ANTARA
Jika Anda jurnalis televisi atau fotografer yang terbiasa meliputi konflik, Anda mungkin tak asing dengan nama ikonik Martin Fletcher, jurnalis veteran yang kini menjadi Kepala Biro jaringan televisi NBC di Tel Aviv.

Peraih lima penghargaan Emmy ini berbagi pengalaman jurnalistiknya dalam otobiografi renyah nan bermakna, "Breaking News; A Stunning and Memorable Account of Reporting from Some of the Most Dangerous Places in the World," terbitan Thomas Dunne Books, Maret 2008.

Dalam lebih dari tiga dekade meliput perang, revolusi, dan bencana, Martin merintis karir dari seorang kamerawan hingga akhirnya menjadi produser dan wartawan perang kawakan yang dihormati dunia.


Mulanya, dia hanya pemuda yang menerjuni dunia kewartawanan agar bisa melihat dunia. "Saya bukan orang muda yang diutus untuk menyelamatkan dunia, sebaliknya yang saya buru adalah uang dan kesempatan berkeliling dunia," katanya agak berseloroh.

Dia tak mempersiapkan diri menjadi wartawan perang, bahkan dia tak terlatih mengoperasikan kamera video. Tapi akhirnya dia selalu ada di tengah perang. "Saya adalah saksi kelahiran Hizbullah di wilayah pendudukan Israel di Lebanon Selatan pada 1982. Lima tahun kemudian, pada 1987, saya menyaksikan Sheikh Ahmad Yassin mendirikan Hamas."

Kendati mengisahkan kengeriaan, nestapa, kematian dan kehancuran, Martin tak mendedah semua itu dengan dramatisasi atau narasi yang narsistis, malah dia menyisipinya dengan tuturan dan kisah-kisah konyol nan jenaka.

Satu hari pada 1967, ketika Arab dan Israel berperang, Martin masih hijau pengalaman, apalagi meliput perang. Wartawan top Inggris dari Sunday Times, Nicholas Tomalin, menasihatinya agar jangan jauh-jauh dari konvoi tentara. Ironisnya, justru mobil Nicholas yang dihantam roket anti tank Suriah, hanya lima menit setelah menasihati Martin.

Nyaris tak ada perang sejak 1960an hingga kini yang tak diliputnya, dari Siprus, Bosnia, Kosovo, Somalia, Rhodesia, Zaire, sampai Aghanistan. Dia berada di daerah konflik dan bencana, dari Rwanda, Sudan, sampai Kamboja. Dia pernah ditanya, "Mengapa kamu pergi ke Zaire? Di sana kan bahaya." Dia menjawab, "Untuk itulah saya pergi."

Kian tua, perspektif jurnalistiknya semakin matang dan melihat konflik lebih luas dari sekedar propaganda, tentara, senjata dan kehancuran. Adalah Irv Margolies, Kepala Biro NBC di London yang mengubahnya, "Orang tak peduli pada bangunan, pesawat atau senjata. Orang peduli pada orang."

"Sejak itu, untuk pertamakali dalam hidupku, saya menjadi hanyut lebih dalam pada tragedi manusia di sekitar saya," aku Martin.

Dia semakin hirau pada etika dan moral berita, termasuk saat menggali pendapat para pelaku kejahatan kemanusiaan dan panglima perang penindas rakyat.

Batinnya selalu bertanya, etiskah menyantap makanan yang dihidangkan pemimpin yang merampoki rakyatnya sendiri? Pantaskah mengambil gambar korban perang yang tengah meraung menangis, hanya dua meter darinya? Beranikah kita tetap kritis terhadap penindas rakyat padahal mereka sedang menentukan nasib hidup kita?

"Saya menjadi gampang tersentuh oleh orang-orang yang saya liput, menjadi lebih sensitif terhadap garis yang mesti saya seberangi untuk diberitakan," katanya.
Dia pun menempatkan korban sebagai subyek, tidak lagi sebagai obyek. Katanya, tak ada yang lebih baik ketimbang membiarkan orang menceritakan kisahnya sendiri.

Maka, semakin dalamlah dia memotret orang-orang terpinggirkan, mereka yang disudutkan dan tak dikanalisasi media, mereka itu termasuk penjahat perang dan orang-orang dari gerakan perlawanan yang kadung disamakan dengan teroris. Itu dilakukannya karena dia merasa memikul tanggungjawab untuk mengajak manusia menghentikan kebencian dan penderitaan.

Namun ketika NBC mengeluarkan kebijakan, mengurangi TED (Time exposed to danger) atau mempersempit ruang publikasi bagi para perusak kemanusiaan, Martin mematuhinya. Sewaktu ditawari mewawancarai Abu Musab al-Zarkawi, teroris sadis yang dihargai 25 juta dolar AS, Martin menampik demi TED.

"Mereka akan menerbangkanku ke Baghdad, lalu mengantarkanku ke teroris Alqaeda di lapangan. Saya menolak secara halus."

Kemudian Rwanda mengubah dirinya. Di situ, Martin mulai berani mencampakkan sensasi dan eksklusivitas liputan. Ketika kamerawannya melihat gambar "kuat" berupa gelimang mayat korban genosida sehingga dimintanya mobil berhenti agar bisa mengambil gambar, untuk pertama kali dalam karir jurnalistiknya Martin berkata, "Tidak, saya tak ingin melihatnya, jalan terus."

Independen

Martin menyesali keterlambatannya di Rwanda, tapi dia lebih menyesali dunia yang lambat mencegah pembantaian ratusan ribu orang hanya gara-gara etnis. Dia lalu semakin fokus pada korban perang, apalagi sejak awal dia tak tertarik meliput raja atau presiden atau liputan-liputan seremonial.

"Saya jarang mewawancarai kepala negara atau bos perusahaan. Saya tak peduli apa yang jenderal-jenderal katakan. Tak seorang pun yang menjual cerita kepadaku, dan tak satu pun kebijakan yang mengubah pandanganku. Saya hanya peduli pada orang yang menjadi korban," tulisnya.

Di otobiografinya ini, Martin menumpahkan rangkaian petualangan hidupnya yang mengekspos dilema-dilema yang dihadapi seorang jurnalis di wilayah konflik.

Dia mengupas teror bunuh diri, kelaparan, dan perang dari perspektif yang berbeda dari kebanyakan jurnalis. Dia tidak kagok berdekatan dengan tokoh-tokoh antagonis seperti panglima perang Somalia Mohammad Farrah Aidid atau para aktivis Palestina, termasuk para pemuda Brigade al-Aqsa. Tetapi dia juga tak pernah kehilangan pandangan jernih, kekritisan dan independensinya.

"Saya ngeri dengan kekerasan, simpati kepada korban, memahami peneror yang adalah juga korban yang terperangkap oleh lingkaran kebencian sejak mereka dilahirkan," katanya merujuk aksi bom bunuh diri warga Palestina.

Dia lukiskan dilema itu lewat tuturan seorang ibu Israel, Nurit Peled-Elhanan, yang anaknya menjadi korban bom bunuh diri.

Ditelepon PM Israel Benjamin Netanyahu yang hendak berbelasungkawa, Nurit menampik. "Dia (Netanyahu) berpikir seperti teroris. Saya menyalahkannya karena membuat peneror bunuh diri terinspirasi oleh pandangan (politiknya)."

Semakin senja, Martin kian menolak eskpos dentuman meriam, salak senjata, atau derap langkah tentara sehingga ketika meliput Sudan dan Kosovo, dia begitu bergairah menggambarkan pada dunia betapa manusia di bagian lain menderita karena lapar, kebrutalan perang dan diabaikan.

Dia merasa sudah tugasnya memperlihatkan dan melaporkan pada dunia apa yang terjadi, sekaligus belajar dari situ. "Saya bukan polisi, saya tak mampu menawari jawaban, tapi saya bisa membantu korban menyampaikan apa yang menjadi pertanyaan mereka sampai mereka tahu dunia mempedulikan mereka."

Untuk itu, dia videografikan habis-habisan Fida, bocah Sudan yang sekarat dan digendong ayahnya ke tenda pengungsi setelah berjalan sejauh 120 mil. Dia tampilkan Fida agar dunia tergugah pada derita Afrika. Pun ketika di Kosovo, dia close up Yehona, gadis cilik yang tercerabut dari keluarganya setelah kampungnya dibabat para pembunuh rasialis.

Martin juga kerap menjadi orang pertama yang mengekspos bukti kekejaman perang dan konflik bersenjata sehingga dunia tergugah.

Semakin tua, disamping semakin humoris dan gemar menertawai petualangan hidupnya yang gemar menantang maut, tidak berubah narsis, Martin kian dekat pada orang-orang yang dinistakan oleh dunia, oleh pemimpin, tatanan dan media massa.

Dia menjalani evolusi, dari seorang jurnalis petualang, menjadi guru yang melihat semua hal dari segala sudut.

Di akhir bagian bukunya, dia menulis, "Di dunia yang terobsesi selebritis, kemewahan, dan (kisah) sukses, saya fokus pada mereka yang terpinggirkan dan menjadi korban. Kini saya yakin bahwa kerjaku adalah juga berupa perjalanan mencapai penemuan, dalam mana saya berupaya memahami derita keluargaku sendiri dengan menjadi saksi dan menyelami penderitaan orang lain."

Asal tahu saja, hampir seluruh keluarga kedua orangtua Martin musnah dihabisi Nazi Jerman pada Perang Dunia Kedua. (*)

Diterbitkan di Borneo Tribune, 2 Agustus 2009

Baca Selengkapnya...