Tuesday, July 29, 2008

Media Miliki Peran Penting Menyikapi Konflik

Muhlis Suhaeri dan Jessica Wuysang

Borneo Tribune, Pontianak
Media massa memiliki peran penting dalam menyikapi konflik. Media bisa menjadi racun atau obat, tergantung bagaimana mengelolanya. Hal itu dikatakan Amirudin al Rahab dari Elsam, Jakarta, dalam seminar dan lokakarya mengenai kekerasan komunal di Hotel Kapuas Palace, Senin (28/7). Lokakarya difasilitasi oleh Elpagar, Pontianak.

Menurutnya, media perlu mendidik dengan baik wartawannya, sehingga bisa menyikapi dan memahami permasalahan yang dihadapi atau suatu konflik. Akibat tidak memahami dan melakukan suatu prosedur yang baik, media bisa mengobarkan konflik yang terjadi.


Ketidakmampuan media dalam menyikapi suatu konflik, bisa juga berasal dari media yang tidak dikelola dengan baik. Sehingga media cenderung memberitakan berita-berita yang sensasional. Hal ini bisa membuat konflik makin besar.

Untuk meredam konflik, media massa harus bekerja sama dengan berbagai pihak, untuk meredam konflik yang terjadi.

AKBP Hendi Handono, Wadir Reskrim Polda yang juga menjadi pembicara mengemukakan, konflik bisa ditangani bila dilakukan cara preventif sebelum konflik terjadi. Konflik bisa mereda, bila ada kejujuran, transparansi, saling memaafkan, ada kepastian, dan selalu melakukan komunikasi yang baik.

Pembicara lainnya, Hardi Sujaie dari Fisipol Untan menyatakan, ketika terjadi konflik di Kalbar, media tidak melakukan fungsi yang baik dalam meredam konflik. Dari studi yang dilakukan terhadap pemberitaan media ketika terjadi konflik di Kalbar, ada 30 persen pemberitaan media malah memprovokasi konflik. Hanya 10 persen yang berusaha meredam konflik. Sisanya, biasa saja dalam memberitakan suatu konflik. Studi itu dilakukan antara 1998-2002.

Ia berkata, prilaku media yang tidak sensitif konflik bisa terjadi karena beberapa hal.
Ketika itu muncul kebebasan pers yang demikian besar, sehingga pers tidak memiliki alat kontrol. Sementara, kontrol dari dalam perse sendiri kurang bisa dilakukan, karena perusahaan pers dan pekerja pers, tidak memiliki pemahaman yang baik mengenai konflik.

Karenanya, dia mengimbau media untuk bisa bersikap profesional ketika terjadi konflik, sehingga tidak memperparah konflik itu sendiri.

Hardi memaparkan, sejak tanggal 17 Agustus 1945, telah terjadi beragam konflik sosial di Indonesia dengan beragam bentuk. Baik vertikal maupun horizontal. Dari sekian banyak kerusuhan konflik yang terjadi di Indonesia, secara umum kekerasan komunal itu lebih cenderung bernuansa politik. Misalnya, konflik antarmassa dan elite politik pendukung calon kepala daerah dalam Pilkada langsung.

Selain bernuansa politis, kekerasan komunal juga disebabkan oleh perebutan sumber daya, tawuran, amuk massa, etnik atau agama, dan melibatkan aparat keamanan.
Ini disebabkan perbedaan pemahaman yang timbul dari berbagai etnis. Sehingga konflik antarsuku, ras, dan agama, akan selalu menyertai di tengah-tengah merebaknya isu global.

Hal inilah yang terjadi hingga kini. Bahkan, jika pemerintah tidak segera menyikapinya, tidak tertutup kemungkinan, konflik semacam itu masih akan mengancam di tahun-tahun mendatang.

Lalu apa yang menjadi peran pers saat memberitakan suatu peristiwa yang terjadi di daerah rawan konflik? Pertama, pers mau tidak mau harus berdiri di luar dari mereka yang berkonflik. Masalahnya, seringkali pers terlibat atau sengaja melibatkan dirinya pada kelompok yang berkonflik. Tentu saja ini akan mengurangi objektivitas pemberitaannya. Bahkan seringkali pers menikmati keuntungan dibalik keterlibatannya.

Kedua, tidak terlibatnya pers dalam konflik akan memberikan otonomi pers untuk memilih dan memilah kalimat. Sehingga kata-kata secara lebih jernih sesuai untuk kepentingan semua pihak. Kata-kata yang memprovokasi tidak akan muncul manakala pers tak melibatkan diri dalam konflik tersebut.

Itulah sebenarnya, mengelola pers yang diserahkan pada mereka yang tak punya kepekaan akan berita, hanya akan menjadikan pers itu sebagai alat untuk mencapai keuntungan dan kepentingan sepihak.

Pers tugasnya adalah melihat, memperkaya fakta dan data kemudian melaporkannya saja. Interpretasi diserahkan pada masyarakat. Masih jauh untuk mencapai tujuan pers berperan sebagai pelopor pendidikan multikultur. Tetapi, usaha ke arah itu tentu harus didorong dan dipupuk. Maka, berikan informasi yang benar dan berimbang, pers akan melaporkan apa adanya.

Yadi Indradi, Danlanud yang hadir dalam seminar itu mengatakan, pers bisa menjadi dinamisator dan katalisator dalam suatu konflik. Ia menegaskan, jangan memberikan ruang pada militer untuk berada di depan, dalam menangani suatu konflik. Bila militer berada di depan, maka doktrin yang dimiliki dalam penanganan konflik adalah kill or to be kill.

Karenanya, ia mengajak semua masyarakat untuk melakukan civilisasi. ”Konflik tidak akan bisa berakhir. Yang bisa dilakukan adalah, meminimalisir konflik,” kata Yadi.

Listyawati Nurcahyani, Kepala Balai Kajian Sejarah dan Nilai tradisional Pontianak, memberikan masukan mengenai peran pers dalam memberitakan masalah konflik. ”Pers seharusnya tidak hanya memberitakan masalah konflik saja. Tapi juga menulis berbagai hal yang mengenai pemulihan konflik,” kata Listyawati. Selama ini, menurutnya media kurang berimbang dalam memberitakan hal itu.□

Edisi cetak ada di Borneo Tribune 29 Juli 2008
Foto Jessica Wuysang

Baca Selengkapnya...

Saturday, July 26, 2008

Antar Ajung

Menghidupkan lagi ritual dan tradisi yang telah lama ditinggalkan

Oleh; Muhlis Suhaeri

Siapa tak kenal Sambas? Sambas dikenal dengan jeruknya yang manis dan keelokan pariwsata budayanya. Sambas berada di pantai utara wilayah Kalimantan Barat. Berjarak sekitar 250 km dari ibukota provinsi, Pontianak.

Masyarakat Sambas hidup dari pertanian dan maritim. Kombinasi ini membuat budaya, tradisi dan pola kehidupan masyarakatnya, mengabungkan hal tersebut. Salah satunya budaya Antar Ajung. Ritual yang dilakukan sebelum menyemai padi. Asa juga ritual menjelang panen, ruah emping. Ruah artinya keselamatan. Emping berarti panen.

Antar Ajung memiliki makna, mengantar ajung. Ajung berasal dari kata Jung. Ini nama untuk kapal dengan dua layar utama. Bentuknya mirip kapal Shanghai dalam film-film Hongkong. Masyarakat susah menyebut kata Jung. Untuk lebih memudahkan pengucapan, ditambah huruf A.


Sejak dulu, masyarakat Sambas memang sudah akrab dan mengenal jenis kapal layar ini. Sambas merupakan pelabuhan internasional, dulunya.

Antar Ajung merupakan budaya masyarakat pesisir Melayu Sambas, ketika hendak menyemai padi. Dilakukan pada bulan Jumadil Awal, pada kalender Hijriah. Atau, pada Juni, penanggalan masehi. Biasanya, bulan itu musim hujan mulai datang. Tujuan lainnya, menyatukan musim tanam. Bila menanam secara bersama, hama padi akan berkurang.

Ritual Antar Ajung tak tentu waktunya. Pelaksanaan berdasarkan kesepakatan para tetua adat. Lalu, apa makna Antar Ajung bagi warga di Sambas?

“Dengan pelaksanaan Antar Ajung, kite dijaohkan dari marabahaya,” kata Azis Auli (68), warga Pipitteja, Paloh, Sambas. Masyarakat berharap, dengan Antar Ajung mereka dijauhkan dari berbagai macam roh jahat, hama wereng dan tikus. Karenanya, ruh-ruh jahat itu, mesti ‘diikat’ dan dibawa dengan ajung, menuju laut lepas. Dia percaya, ada perubahan hasil panen karena pelaksanaan Antar Ajung.

Tahun 2008, merupakan tahun kedua pelaksanaan Antar Ajung secara besar dan bersama-sama. Tradisi ini sudah 50 tahun ditinggalkan masyarakat. Alasannya, karena dianggap syirik atau menyekutukan Allah.

Kalaupun ada yang tetap melakukannya, sendirian saja. Misalnya, Awang Bujang (75) yang sudah melaksanakan Antar Ajung sejak 1953. Setiap tahun, dia membuat Ajung sendiri, dan melarungkannya ke laut. Sekarang ini, Dinas Pariwisata Sambas sudah mulai membantu kegiatan ini. Bahkan, sudah menjadikannya agenda pariwisata.

Pelaksanaan Antar Ajung dilaksanakan di Kecamatan Tanah Hitam dan Paloh. Setiap dusun membuat satu ajung. Tak ada pakem dalam pembuatan ajung. Ukurannya tak dibatasi. Besar atau kecil, terserah saja.

Saya coba tanya pada Azis tentang hasil panen, setelah dilaksanakan Antar Ajung.
“Kalau ajungnya besar, hasil panennya besar juga?”
“Hehehe.......”

Azis tak memberi jawaban. Sawah di Sambas diukur dengan borong. Dia kerjakan tiga borong. Enam borong setara dengan satu hektar. Untuk menghasilkan satu ton padi, biasanya dengan luasan dua borong. Itupun hasil panen setahun sekali.

Ajung dibuat dari kayu Jelutung. Warga menyebutnya kayu Pelaik atau Lempung. Ini jenis kayu ringan dan mudah terapung. Warga juga menggunakan kayu Sengon, atau lainnya. Kayu diambil dari pinggir hutan di sekitar kampung.

Panjang ajung sekira 1-2 meter. Lebar badan sekira 20-30 cm. Tinggi layar sekira 2-3 meter. Ada tiga layar di ajung. Layar depan, berfungsi menentukan arah kapal, selain kemudi tentunya. Layar utama dan kedua untuk membuat ajung berlayar. Di samping ajung diberi cadik atau katir. Ini sebagai penyeimbang, supaya ajung tidak roboh. Di bagian buritan ada kemudi dari kayu keras. Biasanya dari kayu Baris atau Kompas yang bisa tenggelam.

Ajung dibuat beramai-ramai atau sendiri. Tak ada ritual khusus dalam membuat ajung. Namun, komposisi panjang, tinggi dan lebar layar sangat menentukan, ajung bisa melaju dengan kencang atau tidak.

Biaya pembuatan ajung ditanggung secara bersama seluruh warga dusun, atau orang yang merasa mampu melakukannya. Satu ajung menghabiskan dana sekitar Rp 250-300 ribu. Sanggar Buana Lancang Kuning memberi bantuan Rp 50 ribu, pada setiap dusun, untuk pembuatan ajung.

Azis Auli membuat ajung sendiri. Ia menghabiskan waktu sebulan lamanya. Namun, tak demikian dengan Mathan (35), warga Tanah Hitam, Paloh. Dia membuat ajung bersama lima orang dari dusunnya, selama empat hari. Ajung itu dibuat dari kayu Sengon yang tengahnya dibuat lubang jalur, sehingga menyerupai bentuk perahu sungguhan. Setelah bagian tengah dicoaki, atasnya ditutup dengan triplek tipis, sehingga berat ajung akan ringan. Alat membuat ajung terdiri dari ketam, kapak, pabang, cat, paku, kain, dan lainnya.

Satu hari sebelum pelaksanaan Antar Ajung, masyarakat mengambil air di tong besar. Yang sudah didoakan sang pawang. Air itu dicipratkan ke rumah masing-masing. Zar’in, warga Pipitteja, sore itu memercikkan air ke sekitar rumah. Ia percaya, ini sebagai tolak balak. Malamnya, diadakan doa bersama di setiap dusun.

Doa dilakukan di rumah yang ada ajungnya. Ajung diberi sesajian dan ‘bekal’. Ada ketupat, kue cucur daram-daram, miniatur perabotan dapur, nyirok atau alat penampi beras, pinang, buah kelapa, beras ratih atau padi yang disangrai. Bekal ini diibaratkan, dalam berlayar orang membutuhkan semua peralatan dan makanan tersebut. Buah pinang disediakan, karena dulu orang suka menyirih. Kelapa mesti ada, sebab bisa diminum di perjalanan. Beras ratih untuk menyambut kedatangan tamu. Yaitu, makhluk tidak bisa dilihat.

Dalam ritual ini, ada acara menjumput beras kuning dan retih, lalu ditaburkan ke ajung. Ada daun juang, pepapas, daun mayang, menyan, dan air di tempayan yang telah diberi doa. Warga datang ke acara selamatan dengan membawa ketupat. Setelah sampai di rumah yang punya hajat, ketupat dikumpulkan dan dimakan secara bersama. Tuan rumah menyediakan kopi, teh dan makanan kecil. Begitulah kebersamaan yang menaungi ritual ini.

Malam itu, warga di Dusun Pipitteja, berkumpul di rumah Azis Auli. Ada satu ajung di pelataran rumah. Seorang pawang atau dukun, telah memberi doa dan mengisi ajung dengan berbagai syarat dan bekal. Tepat di depan rumah, anak-anak melafalkan lagu-lagu berbahasa Arab, diiringi sebuah musik dari kerincingan. Tepat pukul 21.00 WIB, mereka berdoa. Setelah itu makan bersama.

Kepala Desa Pipitteja, Nandes (37), hadir dalam kesempatan itu. Dalam upacara tersebut, kepala desa melimpahkan sepenuhnya kegiatan kepada tokoh adat.

Meski pernah lama tak diadakan, sebagian besar warga mengetahui ritual Antar Ajung. Mereka bercerita pada anak-anaknya. Setidaknya, itulah yang dilakukan Abdul Rosyid (59), warga Pipitteja. Ia punya enam anak. Semua anak tahu cerita tentang Antar Ajung.

Agak jauh dari lokasi itu, suasana lebih semarak. Di Dusun Danau Peradah, Paloh, ratusan orang ramai berkumpul. Ada puluhan ajung. Setiap ajung ditaruh pada sebuah kayu penyangga. Ada berbagai perlengkapan ritual, mulai dari beras ratih, daun juang, pinang, apam, dan lainnya.

Dulu, ada 16 pawang. Satu ajung satu pawang. Sekarang ini, cuma ada dua pawang. Di dusun ini, ritual mengisi ajung meriah sekali. Ada puluhan orang dukun. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka diminta masyarakat menyembuhkan penyakit atau mengusir ruh jahat. Usia mereka beragam. Dari anak muda hingga orang tua. Dukun bisa dimasuki ruh halus. Masuknya ruh harus melalui ritual dan upacara khusus. Bangsa halus ini mesti dipanggil. Ketika ruh hendak masuk ke raga, para dukun ini, kadang terjengkang ke belakang. Setelah itu sadar lagi, dan ruhnya bisa masuk.

Hamdi, dukun muda duduk di arena kegiatan. Di hadapannya, Awang Bujang (75), pawang, duduk sambil mengisap rokok. Hamdi mengikat kain kuning di kepalanya. Ia memusatkan diri. Konsentrasi. Setelah itu, dia terjengkang ke belakang. Lalu, ia bangkit dan duduk lagi. Tak berapa lama, ada yang ”masuk”. Terjadi dialog antara Hamdi yang sudah kerasukan dengan Awang Bujang.

”Sape name?”
”Saye orang kebenaran dari Batu Bejamban, Paloh.”

Bahasa Melayu Sambas, hampir sama dengan bahasa Melayu Pontianak atau bahasa Betawi. Cuma, beda dilogat atau ejaan. Sape name dan saye dilafalkan dengan nada tinggi, seperti menyebut kata tempe.

Paloh hingga sekarang, dianggap angker dan keramat. Nama tempat yang ada di sana, menyiratkan hal itu. Misalnya, Tanah Keramat, Tanah Hitam, dan lainnya. Pusat kehidupan bangsa dan ruh halus, ada di Batu Bejamban. Ini sebuah batu di Sungai Tengah. Bentuknya seperti jamban, tempat orang mandi. Letaknya sekitar tiga jam naik perahu klotok dari steigher di Tanjung Harapan, Sekura. Konon, banyak bersemayam ruh orang sakti dan keramat. Seorang warga Malaysia menyumbang sebuah villa, karena mendapat lotere, setelah menyepi di sana.

Awang minta Hamdi memeriksa perahu Lancang Kuning. Setelah menjumput bertih dan beras kuning, ia keliling memeriksa satu persatu ajung. Dengan mata terpejam dan tangan bergetar terus, Hamdi yang sudah kemasukan ruh, berkeliling memeriksa setiap ajung.

Ketika sadar dan selesai melakukan ritual, saya bertanya pada Hamdi.
”Bagaimana rasanya ketika kemasukan ruh orang kebenaran, Gusti Imam?”
”Seperti mimpi saja.”
“Kok bisa berjalan ke mana-mana?”
“Dituntun same orang kebenaranlah.”

Acara berlangsung hingga tengah malam. Ada puluhan dukun. Mereka punya karakter dan kelakuan unik, saat kemasukan ruh. Ada yang menari-nari sambil diiringi musik. Berlari-lari terus mengitari lapangan. Berjingkrak-jingkrak. Bahkan, ada yang naik ke beberapa ajung. Pakaian yang dikenakan juga beragam. Ada model pakaian Melayu, Dayak, Tionghoa, dan lainnya. Sesuai dengan ruh yang masuk. Ruh terdiri dari panglima perang, orang keramat, dan dote-dote (datuk).

Emma dari Sanggar Buana Lancang Kuning mengatakan, tahun ini tak hanya ritual Antar Ajung. Tapi juga ada festival. Ada 18 ajung bakal dilarung ke laut. Yang dinilai dalam festival adalah, kecepatan ajung ke tengah laut. Bentuk dan keindahan. Dalam Antar Ajung kali ini, ada berbagai pertunjukkan budaya dari setiap peserta. Tujuannya, selain melakukan ritual, juga melestarikan dan menampilkan berbagai budaya Sambas.

Menurutnya, kalau Antar Ajung sudah dilaksanakan, pawang tidak boleh bicara apapun mengenai ritual adat ini. Dikhawatirkan bisa kena ke tubuhnya. Ada beberapa pantangan harus dijauhi, setelah ritual Antar Ajung. Tidak boleh memotong binatang, ayam, kambing dan lainnya. Pantang menebang kayu besar atau sagu. Tidak boleh melaksanakan acara bersifat keramaian. Seperti pernikahan, sunatan atau lainnya. Seluruh masyarakat berlaku hal ini. Dulu, tiga hari pantangannya. Sekarang ini, satu hari saja berlaku.

Bila ada yang melanggar, hukumannya membuat ketupat 100 buah. Ketupat harus dibagikan ke seluruh rumah warga. Hukuman ini terasa ringan. Namun, ini merupakan sanksi moral. Semua orang jadi tahu kesalahannya. Selain itu, mereka yang melanggar, harus membayar Rp 25 ribu. “Uang itu sebagai infak ke masjid setempat,” kata Abdul Gani (61), Ketua Dewan Adat Melayu Desa Pipitteja, Kecamatan Pimpinan.

Pagi hari, masyarakat berbondong-bondong memenuhi jalan. Mereka mengarak ajung menuju pantai Tanah Hitam. Setiap dusun mengarak ajung yang mereka buat. Jarak dusun dengan tempat prosesi sekitar 15-17 km. Kalau terlalu jauh, biasanya ajung diangkut dengan mobil bak terbuka. Setelah dekat, baru diarak beramai-ramai.

Dalam arakan itu, ajung didampingi pawang. Dia selalu mengibaskan mayang atau bunga pinang yang terlebih dulu dicelup ke air tolak balak. Pinang menjadi ciri khas dari tradisi di masyarakat Melayu. Masyarakat Dayak biasanya pakai daun juang.

Tiba di pantai Tanah Hitam, semua ajung dijejer di pinggir pantai berpasir putih ini. Wilayah ini terletak di laut China Selatan. Menurut Mathan, yang tinggal di sana, dinamakan Tanah Hitam, karena dulunya ada tanah berwarna hitam. Sekarang tak ada lagi.

Serombongan peserta dari Dusun Peria Desa Tanah Hitam, didampingi tiga pawang perempuan. Sunnah (70), Halipah (65), dan Limah (60). Ketiganya memakai pakaian kuning, khas busana Melayu. Ketiganya mengisi ajung dengan ritual di pinggir pantai ini.

Pelepasan ajung berlangsung dua kali. Ajung yang bersifat ritual dan festival. Ajung ritual merupakan penyelenggaraan yang bersifat tradisi. Ajung festival merupakan ajung yang dilombakan.

Tepat tengah hari, ajung tradisi dilarung ke tengah laut. Beberapa orang menggotong ajung dan membawanya ke air. Begitu di air, angin yang bertiup kencang, langsung membawa ajung ke tengah lautan. Namun, ada juga ajung yang tak bisa jalan, bahkan miring dan hampir tenggelam.

Ajung yang dilarung ke laut, bisa sampai ke pulau Serasan di laut Natuna. Jaraknya sekira 10 jam perjalanan dengan perahu mesin nelayan dari pantai ini.

Selepas ajung dilarung, orang kembali lagi ke pinggir pantai. Sebuah panggung sederhana didirikan untuk menampung para penyanyi dan pengisi acara. Rombongan dari Pemda dan DPRD Sambas juga datang, meski dalam bentuk perwakilan.

Pertunjukkan dilanjutkan. Tarian dan nyanyian kembali bergemuruh. Dalam kata sambutannya yang dibacakan staff-nya, bupati Sambas, Burhanuddin A. Rasyid mengatakan, melalui kegiatan ini, diharapkan bisa mengembangkan perbedaan dalam kemenangan. “Gali terus nilai budaya, sepanjang tidak bertentangan dengan nilai agama,” katanya.

Menjelang pukul 15.00 WIB, awan mendung mulai menutupi areal kegiatan. Gerimis mulai menetes. Ajung yang berderet di pinggir pantai, serentak diberi aba-aba untuk segera dilarung. Dua hingga empat orang dari setiap dusun, mengangkat ajung. Setelah diberi aba-aba, mereka berlari dengan serentak menuju laut.

Kondisi itu menimbulkan pemandangan dramatik. Ada teriakan. Ada cipratan air laut. Ada pandangan ribuan warga. Semua meluruh bersama dengan ajung yang mulai terlarung.□

Edisi cetak ada di Koran Tempo, Agustus 2008

Foto Muhlis Suhaeri






Baca Selengkapnya...

Tuesday, July 22, 2008

Alasan Menang Mochtar Lubis Award

Ini alasan, mengapa tulisan mereka menang Mochtar Lubis Award.

Kategori Public Service
Finalis (judul disusun berdasarkan urutan abjad). Hancurnya Infrastruktur di Sulawesi Barat oleh Sidik Pramono dari Harian Kompas, Jakarta, 10 Mei 2008. Krisis Air Bersih Ancam Bandung oleh Zaky Yamani dari Harian Pikiran Rakyat, Bandung, 17 Maret 2008. Mencari Angka dalam Jerami oleh Daspriani Y. Zamzami dari Majalah Aceh Kini, Januari 2008. Politik Pendidikan Penebus Dosa oleh Asrori S. Karni dari Majalah Gatra, Jakarta, 23 Januari 2008. Save Our Airport oleh Gatot Rahardjo dari Majalah Angkasa, Jakarta, Maret 2008.

Pemenang
Politik Pendidikan Penebus Dosa oleh Asrori S. Karni dari Majalah Gatra, Jakarta, 23 Januari 2008.


Alasan Pemilihan Pemenang
Untuk kategori Pelayanan Publik, Dewan Juri menerima total 36 naskah. Sebagian besar peserta berasal dari Jakarta dan mengangkat persoalan Jakarta. Sejumlah daerah di luar Jakarta juga ikut ditampilkan, yaitu Aceh, Sumatera Barat, Batam, Lampung, Bandung, Banten, Surabaya, Bali, dan Sulawesi Barat. Jumlah peserta non-Jakarta ini tentu masih sangat terbatas dibandingkan dengan luasnya daerah di Indonesia serta kayanya ragam persoalan dari daerah-daerah yang belum terwakili itu, yang mungkin jauh lebih pelik dibandingkan apa yang tersaji pada naskah-naskah yang masuk tahun ini.

Dari total 36 naskah ini, kurang dari setengahnya – yaitu hanya 16 naskah -- yang benar-benar bisa dimasukkan ke dalam kelompok dengan tema Pelayanan Publik.. Sisanya menyajikan tema yang sama sekali tidak terkait dengan aspek Pelayanan Publik.

Beberapa dari naskah peserta ini sebetulnya memiliki potensi untuk dikembangkan lebih jauh agar aspek Pelayanan Publiknya dapat lebih muncul. Beberapa karya hanya berupa snapshots atau potret sekilas, sebagian lainnya berupa laporan bernuansa kemanusiaan (human interest).

Adapun naskah yang benar-benar masuk dalam kelompok Pelayanan Publik (dengan jumlah 16 naskah tadi), sebagian besar masih memiliki sejumlah kekurangan untuk disebut sebagai laporan jurnalistik yang kuat. Beberapa kekurangan tersebut adalah: lemahnya data yang diperoleh dari observasi langsung di lapangan, terlalu menyandarkan diri pada data yang diperoleh dari narasumber resmi namun tidak menunjukkan kegigihan untuk menggugat data-data resmi ini lebih jauh, penempatan data yang terkesan asal jadi sehingga melelahkan pembaca, struktur yang kurang kokoh (banyak bagian yang sebenarnya bisa dihilangkan atau tak terlalu relevan), kurangnya aspek edukasi dan advokasi, serta penggunaan bahasa yang tampaknya masih bisa disempurnakan lebih jauh. Dengan kata lain: tidak ada karya dari kategori Pelayanan Publik ini yang betul-betul tampil menonjol.

Dewan Juri menilai lima aspek, yaitu kandungan informasi (termasuk akurasi, kekayaan data, tingkat kesulitan mendapatkan data, unsur advokasi dan edukasi, serta dampak tulisan terhadap masyarakat) dengan bobot nilai 30%; ide tulisan (orisinalitas, aktualitas, relevansi dan kreativitas dalam menemukan sudut pandang dan mengolah bahan) dengan bobot nilai 25%; lalu sistematika penulisan, kelancaran dan kejelasan tulisan, dan penggunaan Bahasa Indonesia (masing-masing dengan bobot nilai 15%). Berdasarkan panduan ini, dan melalui diskusi yang demokratis, Dewan Juri menetapkan lima finalis dan karya dengan nilai tertinggi yang kemudian ditetapkan oleh Dewan Juri sebagai pemenang jatuh kepada: Politik Pendidikan Penebus Dosa oleh Asrori S. Karni, terbit di Majalah Gatra, Jakarta, 23 Januari 2008.

Karya yang menjadi pemenang ini memiliki kekuatan dari sisi tema/subyek yang dipilih, yang pada intinya ingin mengedepankan pentingnya “pendidikan bagi semua warga negara”. Dalam konteks filosofis inilah tulisan ini sekaligus mengkritik kebijakan pemerintah karena bertentang dengan misi “pendidikan bagi semua warga negara” tadi, terbukti dari perlakuan diskriminatif yang selama ini dialami oleh sekolah-sekolah yang berbasis pada agama, seperti pesantren, madrasah, seminari. Perlakuan pilih-kasih tadi tampak antara lain dari relatif terbatasnya anggaran yang disediakan pemerintah bagi lembaga-lembaga pendidikan berbasis agama tersebut.

Gugatan ini menjadi terasa relevan dan kontekstual dengan kondisi aktual bangsa Indonesia saat ini, yang mengalami demoraliasasi hampir di semua lini. Kondisi ini sekaligus merupakan sebuah ironi, mengingat bangsa Indonesia seringkali membanggakan diri sebagai bangsa yang religius, namun kenyataan yang tertuang dalam tulisan ini menunjukan rendahnya keberpihakan pemerintah terhadap pendidikan agama. Padahal seharusnya pemerintah memberikan porsi perhatian (termasuk alokasi anggaran) yang setidaknya sama antara pendidikan umum dan pendidikan berbasis agama. Tulisan ini juga menunjukkan sisi kemandirian dari lembaga pendidikan berbasis agama, serta kemampuannya menahan diri untuk tidak terseret dalam arus komersialisasi pendidikan yang kini telah merambah lembaga pendidikan hampir pada semua jenjang.

Tulisan ini niscaya akan menjadi lebih kuat andaikata hasil pengamatan dari lapangan lebih diperkaya dari apa yang telah disajikan oleh penulisnya. Data dan pengamatan dari lapangan tersebut dapat berfungsi sebagai ilustrasi yang memperkuat tulisan sekaligus sebagai alat untuk mekonfrontir data-data resmi yang tampak jauh lebih mendominasi dalam tulisan ini.

Dewan Juri (berdasarkan urutan abjad)
Arya Gunawan Usis
Teten Masduiki
Tulus Abadi

Kategori Feature
Finalis (judul disusun berdasarkan urutan abjad)
Frederick Sitaung: Guru Sejati Papua oleh Ahmad Arif dan Luki Aulia dari Harian Kompas, Jakarta, 1 September 2008. Hari Kembang oleh Agus Sopian dari Majalah Arti, Jakarta, Mei-Juni 2008. Mbak Suko: Simbol Perlawanan Petani oleh Ahmad Arif dan Sri Hartati Samhadi dari Harian Kompas, Jakarta, 10 April 2008. Meno Kaya Tidur di Selokan oleh Ahmad Arif, Luki Aulia dan Aryo Wisanggeni Genthong dari Harian Kompas, Jakarta, 13 September 2007. Ya Ampun, Sulitnya Sekolah oleh Indira Permanasari dari Harian Kompas, Jakarta, 31 Juli 2007.

Pemenang
Meno Kaya Tidur di Selokan oleh Ahmad Arif, Luki Aulia dan Aryo Wisanggeni Genthong dari Harian Kompas, Jakarta.

Alasan Pemilihan Pemenang
Ada kecenderungan menggembirakan saat kami menyimak 59 karya yang masuk untuk kategori feature. Banyak tulisan memiliki gagasan bagus, dan mereka berhasil menampilkan berbagai aspek kehidupan yang memperkaya wawasan serta bersifat menggugah. Tema yang muncul cukup beragam, dari perjuangan guru di daerah terpencil, perlawanan kreatif petani, kegigihan pedagang kembang, sampai dakwah di kalangan TKW Hongkong. Meskipun demikian, sayang, banyak gagasan bagus itu kurang tergarap dengan baik. Deskripsi yang dipakai sering klise, metafora kurang menggigit, dan penyuntingan kurang rapi.

Dari lima finalis satu berupa feature panjang karya wartawan majalah, empat yang lain adalah feature pendek karya wartawan koran. Kelimanya memiliki tema yang mencerminkan pemikiran dan watak Mochtar Lubis: kepedulian pada kemanusiaan, keadilan, seni dan lingkungan.

Meno Kaya Tidur di Selokan kami pilih sebagai pemenang dengan pertimbangan sebagai berikut. Karya ini menampilkan sudut pandang yang unik untuk sebuah persoalan sosial-ekonomi yang kompleks. Kritik sosial yang disajikan sangat tajam dengan menggunakan paradoks dan ironi yang tidak klise. Karya ini membuat pembaca tergugah akan betapa berlapis-lapisnya persoalan di daerah pertambangan. Dengan ini kami juga ingin menunjukkan bahwa tulisan pendek di koran pun bisa ditulis dengan pendekatan feature secara memikat.

Dewan Juri (berdasarkan urutan abjad)
Farid Gaban
Sori Siregar
Yusi Avianto Pareanom

Kategori Investigasi
Finalis (judul disusun berdasarkan urutan abjad)
The Lost Generation oleh Muhlis Suhaeri dari Harian Borneo Tribune, Pontianak, 10-28 Februari 2008. Menguak Tabir Dosa Ekologi di Balik Proyek PLTP Sibayak oleh Erwinsyah dari Surat Kabar Harian Ekonomi Medan Bisnis, Medan, 31 Maret-5 April 2008.
Muslihat Cukong di Lahan Cepu oleh Bagja Hidajat dkk dari Majalah Tempo, Jakarta, 7 Januari 2008. Roger... Roger... Intel Sudah Terkepung, oleh Budi Setyarso dari Majalah Tempo, Jakarta, 26 Agustus 2007. Zatapi dengan Sejumlah Tapi oleh Yosep Suprayogi, Philipus SMS Parera dkk dari Majalah Tempo, Jakarta, 30 Maret 2008.

Pemenang
The Lost Generation oleh Muhlis Suhaeri dari Harian Borneo Tribune, Pontianak, 10-28 Februari 2008.

Alasan Pemilihan Pemenang
Mochtar Lubis Award 2008 ini adalah kompetisi pertama yang menyertakan kategori investigasi. Sebuah kategori yang sulit, yang dalam jurnalisme sering disebut sebagai induk dari dari semua jurnalisme. Sebuah pekerjaan investigasi dewasa ini tak lagi mendapatkan perhatian yang layak dari pimpinan media di Indonesia. Di lingkungan media cetak hanya media besar yang masih memberikan tempat bagi liputan jenis ini.

Naskah yang masuk ke juri pada kompetisi kali ini total berjumlah 13 naskah. Ada hal yang menggembirakan dalam kompetisi kali ini. Antara lain bahwa meski didominasi oleh media besar nasional, ternyata ada juga naskah yang berasal dari tulisan media di daerah. Hal ini betul-betul membesarkan hati.

Kita semua patut merasa berbesar hati melihat semangat investigasi masih tumbuh. Di tengah tuntutan rutinitas wartawan koran dan tekanan deadline yang padat, ternyata masih ada beberapa wartawan yang –dengan keterbatasan waktu dan logistik— menyempatkan diri untuk mengupayakan peliputan investigasi, yang makan waktu dan tenaga, serta kerap tidak didukung penuh oleh organisasi redaksi.

Kriteria penjurian yang digunakan adalah muatan pilihan tema (15%), muatan proses penggalian(50%), dan penulisan (35%). Muatan pilihan tema terdiri dari aktualitas, magnitude, upaya membongkar kejahatan, skala atau kompleksitas kejahatan. Untuk muatan proses terdiri dari unsur rechecking, kompetensi nara sumber, data pendukung, adanya riset,dan upaya melakukan verifikasi. Sedangkan dari sisi penulisan yang diukur adalah gaya dan logika bahasa, kejelasan, deskripsi, penggunaan bahasa yang tidak klise, akurasi, keberimbangan, dan kedalaman tulisan.

Beberapa karya terlihat menonjol dalam hal semangat dan gairah (passion). Ini catatan yang menggembirakan melihat serbuan ”jurnalisme ludah” (sikap kewartawanan yang hanya ”menadahi” ludah para pejabat) yang tiap kali membanjiri ruang hidup kita. Sayangnya, semangat dan gairah yang menggebu-gebu itu seringkali membuat para wartawan muda terlalu terburu-buru menurunkan hasil investigasi yang belum matang benar. Barangkali, semangat yang berlebihan ini pula yang membuat wartawan kita kurang punya semangat ”skeptis” dalam dosis yang normal.

Setelah melewati penjurian secara terpisah, para juri memilih lima karya yang dinilai memenuhi kelayakan untuk masuk dalam nominasi calon pemenang Mochtar Lubis Award untuk kategori investigasi. Lima karya terbaik ini antara lain The Lost Generation, Muslihat Cukong di Lahan Cepu, Zatapi dengan Sejumlah Tapi, Roger... Roger... Intel Sudah Terkepung, dan Menguak Tbr Ds Ekologi di Blk Proy. PLTP Sibayak.

Namun, dari 5 karya yang ada, para juri akhirnya bersepakat untuk memilih tulisan berjudul The Lost Generation yang dimuat secara serial melalui 19 tulisan. Para juri terpesona membaca karya ini, karena tulisan ini memberikan pemahaman sejarah tentang praktik-praktik militerisme, politik pecah belah, operasi intelijen, kisah tragis manusia yang terjebak di antara situasi pergantian politik negara, dan akar perdagangan perempuan serta konflik komunal di daerah Kalimantan Barat.

Dewan juri terkesan pada gairah penulis untuk mencari data, menelusuri dokumen tua dan hasil riset para peneliti, menelusuri fakta dan menjumpai mereka yang terlibat dengan mengandalkan ingatan. Penelusuran ini sungguh tidak mudah mengingat kejadian ini sudah hampir 40 tahun berlalu, dan sebagian besar dari rakyat Indonesia bahkan sudah melupakan kekejian yang memakan puluhan ribu jiwa dan hilangnya satu generasi. Suatu tragedi yang dianggap tak pernah ada.

The Lost Generation dalam paradigma hak asasi manusia merupakan sebuah kejahatan yang berindikasikan pelanggaran HAM berat, yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan. Ribuan penduduk sipil terbunuh. Sebagian besar dari mereka juga dipindahkan secara paksa dari daerah pedalaman.

Juri memang menemukan beberapa kelemahan dari karya ini. Di antaranya, istilah G-30S/PKI, yang menurut tidak terlalu tepat. Penulis juga tidak konsisten menggunakan istilah hanya G-30S. Selain itu ada beberapa konfirmasi yang tidak dilakukan, penyebutan nama narasumber yang tidak lengkap dan penulisan yang tersendat di beberapa bagian. Ada beberapa sumber penting yang tampaknya tak digunakan oleh si penulis, tapi barangkali keseriusan dan tekad untuk mengungkapkan skandal dibalik peristiwa yang distigma sebagai ”PGRS/Paraku” ini memberikan berbagai nilai lebih.

Si penulis mewawancarai puluhan orang saksi korban, saksi mata, dan saksi pelaku. Ia juga melakukan sejumlah penelusuran dukumen dan karya penelitian yang pernah dibuat orang mengenai peristiwa ini. Dari karyanya, kita melihat penulis sangat serius menemui orang-orang dalam jangkauan ratusan kilometer yang terpisah di berbagai kecamatan dan kabupaten – meskipun barangkali dengan logistik yang terbatas.

Juri berharap yang ditunjukkan oleh 5 para yang karyanya terpilih sebagai lima karya terbaik bisa memberikan inspirasi kepada para wartawan Indonesia. Terutama untuk terus berupaya mengungkapkan berbagai skandal dan kejahatan yang selama ini tersembunyi atau sengaja disembunyikan. Sebuah semangat jihad tanpa pernah kompromi yang selalu ditunjukkan oleh almarhum Mochtar Lubis semasa hidupnya.

Dewan Juri berdasarkan urutan abjad
Dwi Setyo Irawanto
Maria Hartiningsih
Yosep Adi Prasetyo

Kategori Fotojurnalistik
Finalis (judul disusun berdasarkan urutan abjad)
Dag Dig Dug di Bukit Segambut (Operasi TKI) oleh Arie Basuki dari Koran Tempo, Jakarta, 9 Maret 2008. Jalan Tol Sedyatmo Km 26 Terputus oleh Agus Susanto dari Harian Kompas, Jakarta, 3 Februari 2008. Limbah di Banjir Kanal oleh Lasti Kurnia dari Harian Kompas, Jakarta, 5 September 2007. Mengungsi di Rel Kereta Api oleh Yuniadhi Agung dari Harian Kompas, Jakarta, 4 Februari 2008. Sepak Bola Rusuh oleh Ignatius Danu Kusworo dari Harian Kompas, Jakarta, 17 Januari 2008.

Pemenang
Dag Dig Dug di Bukit Segambut (Operasi TKI) oleh Arie Basuki dari Koran Tempo, Jakarta, 9 Maret 2008.

Alasan Pemilihan Pemenang
Foto Dag Dig Dug di Bukit Segambut (Operasi TKI) ini terpilih menjadi pemenang untuk kategori fotojurnalistik karena alasan-alasan sebagai berikut. Isu yang diangkat oleh Arie Basuki ini sering kita dengar tetapi jarang tampil di media massa secara utuh. Tema pada foto ini langka terungkap secara visual. Foto ini merupakan simbol visual yang mewakili ketidakberdayaan dan ketidakadilan, hal-hal inilah yang memang harus diangkat oleh pers dalam menjalankan fungsinya.

Foto ini memunculkan kedalaman dan usaha (effort) dalam mengambil gambar juga keberanian si fotografer menghadapi resiko yang tinggi. Foto ini juga menunjukkan semangat berjuang demi si miskin, hal ini selaras dengan kritik Mochtar Lubis yang menyindir bahwa di Indonesia ini ada begitu banyak orang kaya yang berada di atas, sementara mereka yang di bawah tidak mendapatkan bagian.

Catatan juri terhadap Dag Dig Dug di Bukit Segambut (Operasi TKI) ini adalah perlu adanya peningkatan dari aspek editing foto atau cropping yang masih belum sempurna.

Dewan Juri (berdasarkan urutan abjad)
Julian Sihombing
Oscar Motuloh
Sinartus Sosrodjodjo

Kategori In-Depth TV Reporting
Finalis (judul disusun berdasarkan urutan abjad)
Kartini yang Terdampar di Negeri Orang oleh Widyaningsih dkk dari SCTV, Jakarta, 20 April 2008. Mengeruk Laba dari Bangkai Sapi Darussalam Burnahan dkk dari ANTV, Jakarta, 19 September 2007. Pengoplosan di Balik Kisruh Minyak Tanah oleh Darussalam Burnahan dkk dari ANTV, Jakarta, 5 September 2007. Perburuan Ilegal Gading Gajah oleh Andi Azril dkk dari SCTV, Jakarta, 9 Maret 2008. Pintu Harapan untuk Si Miskin oleh Endah Saptorini dkk dari Astro Awani, Jakarta, 27 Oktober 2007.

Pemenang
Mengeruk Laba dari Bangkai Sapi Darussalam Burnahan dkk dari ANTV,
Jakarta, 19 September 2007. dan Pintu Harapan untuk Si Miskin oleh Endah Saptorini dkk dari Astro Awani, Jakarta, 27 Oktober 2007.

Alasan Pemilihan Pemenang
Juri memutuskan ada dua pemenang untuk kategori ini karena kedua lipuan ini mempunyai kekuatan ide, investigasi, dan tehnik yang memadai. Keduanya memunculkan fakta yang tidak diketahui masyarakat luas, tim menggali dan melakukan riset karena topik yang diangkat bukan isu yang tersaji begitu saja, tidak mengikuti mainstream berita.

Mengeruk Laba dari Bangkai Sapi mengingatkan kita pada kepentingan publik yang dikhianati, cara-cara yang kejam, tidak berperikemanusiaan, yang sudah memasuki wilayah animal cruelty dan crime against public health. Dari segi kesehatan, kita sebagai konsumen dilanggar haknya untuk mendapat jaminan kelayakan produk. Bagi umat Islam bahkan konsumen menjadi pemakan produk haram (bangkai).

Pintu Harapan untuk Si Miskin mengingatkan kita pada semangat Mochtar Lubis untuk melakukan kritik social yang lugas. Bertutur tentang problem kemiskinan yang dialami segenap lapisan masyarakat, khususnya kaum urban, dan ketidakadilan yang dialami untuk mendapatkan haknya.

Tayangan ini juga berhasil menampilkan praktek-praktek tersembunyi dari birokrasi yang korup, berbelit-belit, dan tidak punya empati, apalagi sense of urgency. Secara detil juga ditayangkan betapa pincangnya fasilitas umum yang diberikan rumah-sakit yang diberikan pada pasien yang miskin. Tetapi tayangan ini tidak berhenti pada kritik semata, melainkan juga mengangkat perjuangan orang-orang miskin untuk meraih harapannya, menjadi sejahtera, mempunyai solidaritas pada sesama yang miskin.

Sebagai catatan, khusus untuk Pintu Harapan untuk Si Miskin, anggota Dewan Juri Riza Primadi tidak terlibat dalam penjurian.

Dewan Juri berdasarkan urutan abjad
Bimo Nugroho
Dana Iswara
Riza Primadi

Kategori Fellowship
Finalis (judul disusun berdasarkan urutan abjad)
Proposal Divestasi KPC: Menggerus Batu Meninggalkan Bara oleh I Gusti Gede Maha Adi, Majalah Tempo, Jakarta. Proposal Investigasi Korupsi Dana Rekonstruksi Pasca Gempa Bumi di Yogyakarta 27 Mei 2006 oleh Bambang Muryanto wartawan lepas, Masjidi dari MQ Radio dan Gigin W Utomo dari Majalah Swasembada, Yogyakarta.

Pemenang
Proposal Investigasi Korupsi Dana Rekonstruksi Pasca Gempa Bumi di Yogyakarta 27 Mei 2006 oleh Bambang Muryanto wartawan lepas, Masjidi dari MQ Radio dan Gigin W Utomo dari Majalah Swasembada, Yogyakarta.

Alasan Pemilihan Pemenang
Dalam upaya menetapkan Mochtar Lubis Fellowship 2008, tiga anggota Dewan Juri telah melakukan penilaian atas sembilan usulan rancangan peliputan penyidikan atau investigative reporting yang diterima oleh Panitia Penyelenggara Mochtar Lubis Award 2008.

Dewan Juri menilai kesembilan rancangan tersebut dengan berpedoman pada panduan gagasan berikut untuk dapat meraih Mochtar Lubis Fellowship 2008:
o Rancangan peliputan penyidikan mengungkapkan peristiwa atau masalah yang terkait dengan kepentingan orang banyak.
o Rancangan ini memaparkan gagasan secara lengkap dan matang.
o Rancangan ini memiliki gagasan yang menarik dan memiliki kompleksitas yang mendalam untuk diterbitkan dalam bentuk buku sekira 100 halaman.
o Rancangan ini memuat perencanaan investigasi yang masuk akal dan realistis untuk dapat dilaksanakan dalam waktu empat bulan dengan biaya yang tersedia.
o Rancangan ini dapat menjadi model untuk Mochtar Lubis Fellowship pada tahun-tahun selanjutnya.

Dewan Juri menyampaikan penghargaan yang tinggi kepada kesembilan tim yang telah berpartisipasi dalam program Mochtar Lubis Fellowship 2008, sebagai bagian dari program Mochtar Lubis Award yang pertama kali ini digelar di Indonesia.

Gagasan-gagasan yang dituangkan dalam kesembilan usulan rancangan itu sangat menarik sehingga tidak terelakkan perdebatan antara ketiga anggota Dewan Juri dalam menentukan peraih penghargaan ini.

Dewan Juri berpendapat, tema-tema yang digagas pada rancangan peliputan penyidikan itu sangat layak dikembangkan. Namun, kebanyakan tema itu lebih tepat ditelusuri dan ditulis untuk bentuk laporan berkedalaman atau in-depth reporting.

Dewan Juri, dalam sidangnya yang pertama pada 20 Juni 2008, bersepakat dengan suara bulat untuk menetapkan dua usulan sebagai rancangan peliputan penyidikan yang paling memenuhi panduan rumusan tersebut. Kedua usulan rancangan itu adalah:
1. “Divestasi KPC: Menggerus Batu Meninggalkan Bara”; dan
2. "Investigasi Korupsi Dana Rekonstruksi Pasca-Gempa Bumi di Yogyakarta 27 Mei 2006"

Pada 1 Juli 2008, Dewan Juri mengadakan seleksi lanjutan dengan mengikuti presentasi dan mewawancarai wakil-wakil kedua tim pengusul rancangan peliputan penyidikan tersebut. Dalam sidangnya yang kedua hari itu, Dewan Juri akhirnya bersepakat dengan suara bulat pula untuk menetapkan peraih Mochtar Lubis Fellowship 2008, yaitu:
o "Investigasi Korupsi Dana Rekonstruksi Pasca-Gempa Bumi di Yogyakarta 27 Mei 2006"—rancangan yang diusulkan oleh tim yang terdiri atas Bambang Muryanto (wartawan freelance), Gigih W. Utomo (reporter lepas), dan Masjidi (reporter).

Dewan Juri menetakan pilihan tersebut berdasarkan pertimbangan berikut:
1. Dari segi tema, sasaran peliputan penyidikan ini bersifat kemanusiaan dan menyentuh nilai-nilai kemanusiaan.
2. Dari segi kepentingan publik, dampak dari hasil peliputan ini menyangkut kehidupan masyarakat yang luas.
3. Dari segi pendidikan, hasil peliputan ini dapat menjadi contoh bagi daerah lain yang mengalami peristiwa yang serupa dan diharapkan praktik penyalahgunaan wewenang serta sikap tidak berperikemanusiaan tidak terulang.
4. Dari segi waktu, dengan rencana investigasi selama empat bulan sejak Agustus sampai November 2008, diharapkan peliputan ini dapat dilaksanakan sepenuhnya.

Dewan Juri berdasarkan urutan abjad
Atmakusumah Astraatmadja
Murizal Hamzah
Susanto Pudjomartono

Sumber: Pengumuman panitia Mochar Lubis Award
Foto by Bajo Winarno

Baca Selengkapnya...

Monday, July 21, 2008

Jurnalis Borneo Tribune Raih Penghargaan Jurnalistik

Borneo Tribune, Jakarta
Jurnalis Harian Borneo Tribune, Muhlis Suhaeri, meraih penghargaan Mochtar Lubis Award (MLA), untuk kategori investigasi. Tulisan berjudul The Lost Generations, dimuat secara bersambung di Harian Borneo Tribune pada 10 Februari-28 Februari 2008. Acara penghargaan berlangsung di Hotel Century Park, Jakarta, Jum'at (18/7).

Penyelenggaran MLA baru dimulai tahun ini. Dalam sambutannya, Ignatius Haryanto, Direktur Program Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) mengatakan, MLA diberikan sebagai penghargaan terhadap profesi jurnalistik. “Kita ingin merangsang munculnya karya-karya jurnalistik terbaik,” kata Ignatius.


Aristides Katoppo, dari Sinar Harapan dan Dewan pengawas MLA ketika memberikan sambutan berkata, pena wartawan digunakan untuk kepentingan umum, kebenaran, dan tidak takut dengan bahaya, serta tidak tergoda dengan materiel. “Wartawan memerlukan profesionalisme dan dilindungi dengan sistem nilai dan etika,” kata Katoppo.

Mengapa penghargaan ini diberi nama MLA?
Ia lahir pada 7 Maret 1922 di Padang. Meninggal pada 2 Juli 2004 di Jakarta. Sebagai jurnalis, Mochtar Lubis dianggap konsisten terhadap kemerdekaan pers. Pendiri dan Pemimpin Redaksi Harian Indonesia Raya, tak gentar menghadapi berbagai tekanan dan kekuasaan pemerintah Orde Lama dan Baru, yang terus menekan kebebasan pers. Demi memperjuangkan idealismenya tersebut, Mochtar Lubis harus mendekam beberapa kali dalam penjara pemerintah Orla dan Orba. Konsistensi dan keberaniannya, membuat Mochtar Lubis diberi gelar Wartawan Jihad.

Sebagai wartawan, Mochtar Lubis pernah meliput di berbagai medan berbahaya. Seperti, perang Korea pada 1950. Berkat kegigihannya memperjuangkan kebebasan pers, ia mendapat penghargaan Ramon Magsaysay pada 1958.

Selain sebagai wartawan, Mochtar Lubis juga dikenal sebagai sastrawan. Beberapa karya novel dan kumpulan cerpen antara lain: Tidak Ada Esok (novel, 1951). Si Jamal dan Cerita-Cerita Lain (kumpulan cerpen, 1950). Teknik Mengarang (1951). Teknik Menulis Skenario Film (1952). Jalan Tak Ada Ujung (1952). Harta Karun (cerita anak, 1964). Tanah Gersang (novel, 1966). Senja di Jakarta (novel, 1970). Novel ini diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Claire Holt dengan judul Twilight in Jakarta, 1963. Judar Bersaudara (cerita anak, 1971). Penyamun dalam Rimba (cerita anak, 1972). Harimau! Harimau (1975). Manusia Indonesia (1977). Maut dan Cinta (1977). Berkelana dalam Rimba (cerita anak, 1980). Kuli Kontrak (kumpulan cerpen, 1982). Bromocorah (kumpulan cerpen, 1983). Selain itu juga ada berbagai terjemahan yang dilakukannya.

Segudang prestasi dan konsistensi itulah, yang membuat nama Mochtar Lubis diabadikan untuk penghargaan tertinggi di bidang jurnalistik ini. Penghargaan ini didukung orang-orang handal dan punya kemampuan di bidangnya. Ada tokoh pers, praktisi hukum, aktivis, dosen, fotografer, dan lainnya. Dewan juri itu antara lain, Arya Usis, Atmakusumah Astraatmadja, Bimo Nugroho, Dana Iswara, Farid Gaban, Julian Sihombing, Maria Hartiningsih, Murizal Hamzah, Oscar Motuloh, Riza Primadi, Sinartus Sosrodjojo, Sori Siregar, Susanto Pudjomartono, Teten Masduki, Tulus Abadi, Yosep Adi Prosetyo dan Yusi Avianto Pareanom.

MLA tahun ini, ada 234 peserta. Dari jumlah itu, 21 orang merupakan jurnalis perempuan. Peserta merupakan jurnalis dari seluruh Indonesia. Ada lima kategori yang diusung: Public service, feature, investigasi, foto jurnalistik dan In-Dept Reporting bagi TV. Satu lagi penghargaan adalah, pemberian Fellowship atau dana liputan untuk menulis buku.

Setiap kategori ada lima finalis. Setiap pemenang mendapat hadiah Rp 50 juta. Untuk Fellowship sebesar Rp 40 juta.

Malam itu, pengumuman pertama diberikan untuk kategori Fellowship. Ada dua finalis. Proposal Investigasi Korupsi Dana Rekonstruksi Pasca Gempa Bumi di Yogyakarta 27 Mei 2006 oleh Bambang Muryanto dari The Jakarta Post, Masjidi dari MQ Radio dan Gigin W Utomo dari Majalah Swasembada, Yogyakarta. Proposal kedua berjudul, Divestasi KPC: Menggerus Batu Meninggalkan Bara oleh I Gusti Gede Maha Adi, Majalah Tempo, Jakarta. Pemenangnya adalah Bambang Muryanto, Masjidi dan Gigin W Utomo.

Kategori In-Depth TV Reporting: Kartini yang Terdampar di Negeri Orang oleh Widyaningsih dkk dari SCTV, Jakarta, 20 April 2008. Mengeruk Laba dari Bangkai Sapi Darussalam Burnahan dkk dari ANTV, Jakarta, 19 September 2007. Pengoplosan di Balik Kisruh Minyak Tanah oleh Darussalam Burnahan dkk dari ANTV, Jakarta, 5 September 2007. Perburuan Ilegal Gading Gajah oleh Andi Azril dkk dari SCTV, Jakarta, 9 Maret 2008. Pintu Harapan untuk Si Miskin oleh Endah Saptorini dkk dari Astro Awani, Jakarta, 27 Oktober 2007. Kategori ini memiliki dua pemenang, Endah Saptorini dari Astro dan Darussalam Burnahan dari ANTV.

Untuk kategori public service adalah, Hancurnya Infrastruktur di Sulawesi Barat oleh Sidik Pramono dari Harian Kompas, Jakarta, 10 Mei 2008. Krisis Air Bersih Ancam Bandung oleh Zaky Yamani dari Harian Pikiran Rakyat, Bandung, 17 Maret 2008. Mencari Angka dalam Jerami oleh Daspriani Y. Zamzami dari Majalah Aceh Kini, Januari 2008. Politik Pendidikan Penebus Dosa oleh Asrori S. Karni dari Majalah Gatra, Jakarta, 23 Januari 2008. Save Our Airport oleh Gatot Rahardjo dari Majalah Angkasa, Jakarta, Maret 2008. Pemenang untuk kategori ini, Asrori S. Karni dari Majalah Gatra.

Kategori feature, Frederick Sitaung: Guru Sejati Papua oleh Ahmad Arif dan Luki Aulia dari Harian Kompas, Jakarta, 1 September 2008. Hari Kembang oleh Agus Sopian dari Majalah Arti, Jakarta, Mei-Juni 2008. Mbak Suko: Simbol Perlawanan Petani oleh Ahmad Arif dan Sri Hartati Samhadi dari Harian Kompas, Jakarta, 10 April 2008. Meno Kaya Tidur di Selokan oleh Ahmad Arif, Luki Aulia dan Aryo Wisanggeni Genthong dari Harian Kompas, Jakarta, 13 September 2007. Ya Ampun, Sulitnya Sekolah oleh Indira Permanasari dari Harian Kompas, Jakarta, 31 Juli 2007. Kategori ini dimenangkan oleh Luki Aulia dan Aryo Wisanggeni Gentong dari Kompas.
Kategori Fotojurnalistik, Dag Dig Dug di Bukit Segambut (Operasi TKI) oleh Arie Basuki dari Koran Tempo, Jakarta, 9 Maret 2008. Jalan Tol Sedyatmo Km 26 Terputus oleh Agus Susanto dari Harian Kompas, Jakarta, 3 Februari 2008. Limbah di Banjir Kanal oleh Lasti Kurnia dari Harian Kompas, Jakarta, 5 September 2007. Mengungsi di Rel Kereta Api oleh Yuniadhi Agung dari Harian Kompas, Jakarta, 4 Februari 2008. Sepak Bola Rusuh oleh Ignatius Danu Kusworo dari Harian Kompas, Jakarta, 17 Januari 2008.

Kategori investigasi diumumkan terakhir kali. Dalam sambutannya sebelum membacakan pemenangnya, Yosep Adi Prasetyo atau biasa dipanggil Stanley menyatakan, puncak dari karya jurnalistik adalah liputan investigasi. “Diperlukan berbagai kemampuan untuk melakukan peliputan ini,” katanya.

Lima finalis itu adalah, The Lost Generation oleh Muhlis Suhaeri dari Harian Borneo Tribune, Pontianak, 10-28 Februari 2008. Menguak Tabir Dosa Ekologi di Balik Proyek PLTP Sibayak oleh Erwinsyah dari Surat Kabar Harian Ekonomi Medan Bisnis, Medan, 31 Maret-5 April 2008. Muslihat Cukong di Lahan Cepu oleh Bagja Hidajat dkk dari Majalah Tempo, Jakarta, 7 Januari 2008. Roger... Roger... Intel Sudah Terkepung, oleh Budi Setyarso dari Majalah Tempo, Jakarta, 26 Agustus 2007. Zatapi dengan Sejumlah Tapi oleh Yosep Suprayogi, Philipus SMS Parera dkk dari Majalah Tempo, Jakarta, 30 Maret 2008. Pemenangnya adalah Muhlis Suhaeri dari Harian Borneo Tribune.

Mendapat penghargaan ini, bulu kudukku kian merinding. Apalagi bila mengingat kata-kata dari Mochtar Lubis, “Mestinya pers bisa berfungsi sebagaimana seharusnya. Kalau dia tidak lagi berfungsi sebagaimana seharusnya, saya rasa lebih bagus dia berhenti, tutup.”

Secara tegas, Mochtar Lubis juga mengatakan, bila tidak bisa menjalankan profesi wartawan sesuai dengan kode etiknya, maka harus mencari profesi lain yang tidak perlu berkorban sebesar profesi jurnalis...... SEPAKAT.□

Edisi cetak ada di Borneo Tribune 21 Juli 2008
Foto by Bajo Winarno


Baca Selengkapnya...

Saturday, July 19, 2008

Penghargaan untuk Tingkatkan Kualitas Jurnalistik

Kompas
Sabtu, 19 Juli 2008

Dewan Pengawas Mochtar Lubis Award Aristides Katoppo (kiri) memberikan selamat kepada para pemenang Mochtar Lubis Award 2008, (dari kiri) Muhlis Suhaeri (harian Borneo Tribune), Asrori S Karni (majalah Gatra), Ahmad Arif dan Luki Aulia (harian Kompas), serta Arie Basuki (Koran Tempo) di Hotel Century Atlet Park, Senayan, Jakarta, Jumat (18/7). Mochtar Lubis Award 2008 baru pertama kalinya diberikan, yang terdiri atas enam kategori pemenang, yaitu Features, Investigasi, Foto Jurnalistik, Public Service, In-Depth TV Reporting, dan Fellowship.(Foto Lasti Kurnia/Kompas Image).


Jakarta, Kompas - Para pemenang dan penerima Mochtar Lubis Award yang dimotori Lembaga Studi Pers dan Pembangunan atau LSPP diumumkan, Jumat (18/7) malam. Dengan pemberian penghargaan tersebut, kualitas jurnalistik dari segi profesionalitas, etika, serta keberanian membela kebenaran dan keadilan diharapkan semakin meningkat, seperti yang telah diteladankan wartawan tangguh Mochtar Lubis.

Mochtar Lubis merupakan pemimpin dan pendiri Indonesia Raya yang terbit tahun 1949 hingga 1958 kemudian dibredel. Mochtar dipenjara selama 10 tahun.

Indonesia Raya terbit kembali pada tahun 1968 hingga 1974 sampai kemudian ditutup selama-lamanya. Mochtar Lubis merupakan tonggak dan legenda hidup pejuang kebebasan pers. Mochtar juga dikenal sebagai sastrawan dan pernah menjadi Pemimpin Redaksi Horison.

Pemenang Fellowship Investigasi diberikan kepada Bambang Muryanto (The Jakarta Post), Masjidi (MQ Radio) dan Gigin W Utomo (majalah Swasembada Yogyakarta) dengan proposal investigasi ”Korupsi Dana Rekonstruksi Pascagempa Bumi di Yogyakarta 27 Mei 2006”.

Pemenang Kategori Feature adalah Ahmad Arif, Luki Aulia, dan Aryo Wisanggeni Gentong (harian Kompas) dengan karya ”Meno Kaya Tidur di Selokan”.

Kategori Investigasi dimenangi Muhlis Suhaeri (harian Borneo Tribune, Pontianak) dengan karya ”The Lost Generation”.

Untuk kategori In-Depth TV Reporting terdapat dua pemenang, yakni Darussalam Burnahan dan kawan-kawan (ANTV) dengan karya Mengeruk Laba dari Bangkai Sapi serta Endah Saptorini dan kawan-kawan dari Astro Awani dengan karya Pintu Harapan untuk si Miskin.

Kategori Publik Service dimenangi Asrori S Karni (Gatra) dengan karya ”Politik Pendidikan Penebus Dosa”. Kategori Foto Jurnalistik dimenangi Arie Basuki (Koran Tempo) dengan karya ”Dag Dig Dug di Bukit Segambut”.

Para pemenang masing-masing mendapatkan hadiah uang Rp 50 juta, sementara untuk Kategori Fellowship Rp 40 juta.

Direktur Program Mochtar Lubis Award, sekaligus Direktur Eksekutif LSPP Jakarta, Ignatius Haryanto, dalam sambutannya mengatakan, acara itu diadakan guna memperpanjang semangat jurnalistik dan memberikan penghargaan tertinggi kepada para jurnalis terbaik. ”Dengan penghargaan ini, kami ingin merangsang hadirnya karya jurnalistik berkualitas,” ujarnya. (INE)

Baca Selengkapnya...