Saturday, January 26, 2008

Tebang dan Lelang

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak

Ketika pertama kali dilantik menjadi Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono dengan tegas memerintahkan, menindak tegas para pembalak kayu. Perintah itu diikuti dengan berbagai operasi di lapangan.

Hasilnya, para pembalak dan cukong kayu tiarap semua. Sebuah kebijakan, tentu ada dampaknya. Begitu juga dengan pemberantasan pembalakan liar ini. Kebijakan ini memiliki dampak begitu nyata pada perekonomian di Kalbar. Terutama bagi daerah-daerah yang menjadi sentra bagi pambalakan liar. Ekonomi langsung lumpuh. Perputaran uang menghilang. Warung, tukang ojek, tukang sampan, penginapan, dan berbagai bidang usaha langsung kolaps.

Kondisi itu makin terasa di daerah sepanjang perbatasan dengan Malaysia. Misalnya di Lanjak, Badau, Jagoi Babang, Sintang dan sekitarnya.


Dulunya, daerah-daerah itu menjadi salah satu pintu masuk kayu ke Serawak, Malaysia. Di Malaysia kayu hasil pembalakan liar langsung distempel perusahaan yang ditunjuk pemerintah. Maka, jadilah kayu itu legal dan sah.

Selain menampung kayu dari Indonesia, para pembalak liar yang biasanya dilindungi dan bekerja sama dengan para samseng atau preman dari Serawak ini, juga langsung melakukan aksinya di sepanjang perbatasan. Patok perbatasan digeser dan kayu langsung diambil dari hutan-hutan di Indonesia. Dengan cara ini, kayu dibawa masuk ke Malaysia.

Dari berbagai perbincangan dan informasi dengan para pelintas batas, hal ini masih banyak ditemui di sepanjang perbatasan Indonesia dan Malaysia, hingga sekarang.

Dengan kondisi seperti ini, tak heran bila Malaysia yang hutannya tinggal sedikit, menjadi negara eksportir kayu terbesar di dunia.

Perubahan kebijakan pemerintah RI dalam penanganan pembalakan liar, membuat cukong dan para pembalak liar menjadi kelimpungan. Namun, mereka juga tak kalah akal. Sebuah metode baru pun digelar.

Tebang dan lelang.

Dengan metode ini, para pembalak dengan leluasa melakukan aksinya. Syaratnya, harus ada kerja sama. Dan ini sifatnya lebih terbuka. Maka publikasi pentingnya hasil tangkapan menjadi agenda tersendiri, dan harus dipublikasikan di media massa.

Logikanya dibuat sederhana saja. Berbagai pihak yang berkepentingan disuruh bicara di media. Daripada kayu tidak dimanfaatkan, kenapa tidak dijual saja. Hasilnya untuk kas pemerintah.

Hemm. Enak saja. Pemerintah yang mana?

Nampaknya, logika sederhana itu bakal terus dijalankan. Baru-baru ini, aparat menemukan 2.000 log kayu gelondongan yang dihilirkan melalui Sungai Kapuas. Dengan logika sederhana saja, tak mungkin kayu itu tidak ketahuan. Dengan jumlah yang begitu banyak. Dengan kecepatan rakit yang hanya mengikuti arus Sungai Kapuas. Sudah pasti kayu itu bakal ketahuan.

Ketika ditangkap, anak-anak dan perempuan ada yang ikut di atas rakit. Atas nama memberi makan keluarga, pekerjaan itu dilakukan. Apa boleh buat, hanya itu pekerjaan yang bisa dilakukan.

Bukankah ini lagu lama? Dari mana orang kampung memiliki modal sebesar itu, dan mampu menghilirkan rakit kayu sebanyak itu, kalau tak ada pemilik modal atau cukong dibelakangnya?

Karenanya, pemerintah dan aparat harus bertindak tegas. Tak ada lelang bagi kayu yang ditangkap. Semua kayu harus dihancurkan. Supaya tak ada pembalakan lagi.

Untuk itu, semua harus turut mengawasi proses itu. Pemerintah, aparat, tokoh masyarakat, LSM, akademisi, jurnalis, dan lainnya. Semua harus ikut mengawasi dan mengawal kasus ini.

Bila hutan kita ingin hutan lestari. Tak ada banjir dan bencana, maka kita harus berani mengatakan: tak ada lelang bagi kayu yang ditangkap. Semua harus dimusnahkan!!

Foto Marfa Chandra

Baca Selengkapnya...

Friday, January 25, 2008

Mengembalikan Ruh Pemekaran

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak

Pemekaran bukan untuk bagi-bagi kekuasaan. Seharusnya memang demikianlah adanya. Bila kita konsisten dan memegang prinsip itu, langkah yang harus dilakukan selanjutnya, tentunya saja mengembangkan wilayah yang dimekarkan.

Bila demikian adanya, hal pertama yang harus dilakukan adalah, di mana pusat pemerintahan dan pusat perniagaan harus dibangun?

Baru-baru ini, Bupati Kabupaten Pontianak, Agus Salim, sudah berani memberikan pernyataan dengan membagi pusat pemerintahan dan perdagangan. Kota Mempawah dijadikan sebagai pusat pemerintahan, Sungai Pinyuh sebagai kota perdagangan.


Dari segi pengembangan wilayah, logika ini baik sekali. Dengan membagi daerah berdasarkan peruntukannya, akan didapat suatu formula yang tepat. Pembangunan daerah bisnis, tentu berbeda dengan pusat pemerintahan. Rencana tata ruang dan tata wilayah (RTRW) tentu berbeda. Konsep pembangunannya pun berbeda.

Contoh yang baik tentang hal, ini bisa kita lihat pada model pembagian pusat bisnis dan pemerintahan di Amerika. Negeri Paman Sam menjadikan New York sebagai pusat dari kegiatan bisnis dan perdagangan. Washington DC sebagai pusat pemerintahan.

Pembagian dua peran itu, tentu dengan sebuah kebutuhan, kota akan berkembang puluhan bahkan ratusan tahun kedepan. Nyatanya memang demikian. Ratusan tahun setelah didirikan, dua kota itu semakin berkembang. Penduduk bertambah. Tentunya, kebutuhan lahan untuk tempat tinggal, juga bertambah. Begitu pun dengan kebutuhan terhadap sarana dan prasarana, semakin bertambah. Dua kota itu, masih sanggup memenuhi berbagai kebutuhan lahan untuk itu.

Coba kalau dua fungsi kota pemerintahan dan bisnis digabung? Dalam jangka puluhan tahun, pemenuhan terhadap lahan, mungkin saja masih bisa dilakukan. Tapi, bagaimana bila ratusan tahun lagi? Apakah lahan yang tersedia masih tersedia?

Contoh buruk dari pengabungan pusat pemerintahan dan bisnis menjadi satu, bisa kita lihat pada Jakarta. Gubernur Jenderal JP Coen, mungkin tak berpikir, setelah ratusan tahun, kota yang didirikannya akan semakin tenggelam permukaan tanahnya.

Tenggelam karena penduduknya semakin bertambah. Peruntukan lahan tidak jelas, karena pusat bisnis dan pemerintahan menyatu. Kota menjadi kehilangan sumber daya, bagi pengembangan yang bakal dilakukan. Hal ini, tentu saja membuat kota menjadi kolaps.

Kota sebagai pusat pemerintahan dan bisnis, membuat berbagai wilayah dikembangkan berdasarkan logika kebutuhan saat itu saja. Ruang publik terampas oleh berbagai pembangunan mall. Daerah resapan air, terampas oleh pembangunan perumahan. Pada akhirnya, ini mengorbankan kebutuhan jangka panjang, dan tata kelangsungan sebuah kehidupan masyarakat kota itu sendiri.

Hal ini bisa kita lihat dengan kasat mata. Industri di Jakarta, perhotelan, perkantoran, atau kegiatan bisnis lainnya, menyedot air tanah bagi kebutuhan industrinya. Akibatnya, air laut meresap puluhan kilometer ke daratan. Air tanah di Jakarta menjadi asin dan tak layak konsumsi. Ketika hujan datang, tanah tak mampu menyerap air, karena tak punya pori-pori. Semua tertutup beton. Akibantnya, banjir selalu terjadi.

Tak heran bila wacana pemisahan pusat kota pemerintahan dan bisnis, juga terjadi pada Jakarta. Ketika itu, 1928, pemerintah Belanda ingin memindahkan ibu kota ke Bandung. Hal itu diiringi dengan pembangunan berbagai gedung sebagai pusat pemerintahan. Salah satunya adalah Gedung Sate. Namun, krisis ekonomi dunia pada era 1930-an, membuat pembangunan pusat pemerintahan itu terhenti. Dan pemisahan dua fungsi itu pun hilang bersama waktu.

Era Presiden Sukarno dan Suharto, wacana pemindahan ibukota juga terjadi. Presiden Sukarno ingin pusat pemerintahan pindah ke Balikpapan. Presiden Suharto ingin pusat pemerintahan pindah ke Jonggol. Keduanya sepakat, Jakarta sudah tak layak lagi sebagai pusat pemerintahan. Sudah terlalu padat dan tak bisa dikembangkan.

Di Kalbar, hal yang sama juga sedang terjadi. Lihat saja pemekaran di depan mata kita. Misalnya, Kabupaten Kubu Raya (KKR). Rencananya, pusat pemerintahan akan ditempatkan Sungai Raya. Alasannya, karena sebagian besar penduduk KKR ada di Sungai Raya.

Logika sederhananya, bila dipandang dari kaca mata pelayanan dan kepentingan sesaat, pendapat itu ada benarnya. Biarlah wilayah yang paling banyak penduduk ini, mengenyam kemudahan bila berurusan dengan berbagai kebutuhan pelayanan pemerintahan.

Namun, bila dilihat bagi pengembangan wilayah puluhan tahun atau malah ratusan tahun kedepan, daerah ini sudah tak bisa dikembangkan lagi. Dengan jumlah penduduk yang sudah padat, tentu peruntukan lahan untuk berbagai pengembangan, bakal tidak ada.

Kenapa pusat pemerintahan tidak dibuat di daerah lain saja. Misalnya di Rasau Jaya, Kubu, Padang Tikar, atau lainnya. Daerah-daerah itu masih punya banyak lahan untuk dikembangkan, untuk puluhan bahkan ratusan tahun kedepan. Selain itu, dengan menempatkan pusat pemerintahan di daerah yang masih terbuka, tentu saja membuat daerah itu jadi maju.

Yang pasti, ruh dari pemekaran adalah, menciptakan kesejahteraan dan pengembangan daerah. Bukan untuk kepentingan sesaat. Apalagi untuk bagi-bagi kekuasaan saja. □

Foto Lukas B. Wijanarko

Baca Selengkapnya...

Thursday, January 24, 2008

Berharap pada Pemekaran?

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak

Gegap gempita pemekaran pasca otonomi daerah, menjadi euforia tersendiri. Berbagai wilayah di Indonesia dimekarkan. Semua wilayah dipecah. Provinsi dipecah. Kabupaten dipecah. Orang daerah rela berduyun-duyun datang ke Jakarta, untuk memuluskan agenda yang diusung. Semua bersatu dalam satu pemahaman dan kesepakatan.

Demikianlah adanya pemekaran. Berbagai alasan dikemukakan. Ada yang bilang untuk mempercepat laju pembangunan. Mempermudah rentang kendali wilayah. Mempermudah pelayanan kepada masyarakat, dan lainnya. Karenanya, wilayah yang dianggap bisa dimekarkan, bakal dimekarkan.

Bila alasannya memang demikian, alangkah indahnya pemekaran itu. Apalagi dengan wilayah seperti Kalbar, yang luasnya satu setengah kali pulau Jawa. Tentunya menjadi harapan semua masyarakat, bila konsep awal dari pemekaran itu bisa dilaksanakan.


Lalu, sudahkah pemekaran menjawab permasalahan di atas? Nampaknya belum semuanya. Pemekaran di berbagai daerah, tidak semuanya berjalan dengan mulus. Dalam artian, pemekaran tidak serta merta membuat pembangunan atau pelayanan menjadi mudah.

Di beberapa daerah, pemekaran yang dilakukan, malah membuat daerah induk menjadi terbebani dengan berbagai subsidi, kepada daerah yang dimekarkan. Tidak adanya berbagai potensi sumber daya alam dan manusia (SDA dan SDM), atau sarana prasarana pendukung, membuat daerah yang dimekarkan harus merangkak pelan sekali dalam membangun daerah itu. Sebab, sebagian besar uangnya, digunakan untuk membangun infrastruktur dan sarana pendukung yang belum tersedia.

Yang lebih parah lagi dalam pemekaran adalah, orientasi mencari berbagai kekuasaan dari daerah yang dimekarkan. Hal ini terlihat, begitu daerah yang dimekarkan menjadi daerah otonom dan berdiri sendiri.

Satu persatu orang muncul dan memberikan berbagai pernyataan, bahwa mereka yang paling berperan dan punya jasa memekarkan daerah tersebut. Berbagai pernyataan itu muncul di media massa. Tak hanya itu. Pembuatan pernyataan juga diiringi dengan dukungan. Ada yang mengatasnamakan dan mendapat dukungan dari partai, organisasi kemasyarakatan, agama, etnis atau profesi.

Semua berlomba-lomba tampil mengenalkan diri pada masyarakat. Tak heran bila dalam keseharian, muncul berbagai wajah baru di media massa. Semua berusaha tampil dan dikenal. Namun, sedikit sekali dari mereka yang tampil, membawa semangat kebersamaan, untuk membangun daerah yang baru dimekarkan, dan bicara urusan rakyat kecil.

Semua berlomba-lomba mensosialisasikan diri melalui berbagai macam cara. Ada yang melalui kegiatan olah raga, sosial, pendidikan, acara keagamaan dan lainnya. Apa yang dilakukan tersebut, bermuara pada satu hal. Menapak jalan untuk memperoleh kekuasaan.

Berbagai pernyataan dikeluarkan untuk menarik simpati. Berbagai simbol dan identitas dimunculkan untuk memperoleh legitimasi dan kepercayaan diri dan golongan. Bagi mereka merasa tak percaya diri dengan prestasi dan kemampuan yang dimiliki, tentu mencari hal paling mudah dalam mendongkrak popularitas. Karenanya, tak heran bila muncul berbagai isu agama dan sentimen etnis dimunculkan.

Repotnya lagi, isu etnis dan agama itu, dilakukan untuk menekan suatu kelompok etnis, agama, atau golongan lainnya. Hal ini tentu saja membuat masyarakat saling berhadap-hadapan. Etnis satu berhadapan dengan etnis lain. Agama satu berhadapan dengan agama lain. Golongan satu berhadapan dengan golongan lain.

Isu-isu agama, etnis dan golongan memang sengaja dilanggengkan oleh para elit politik untuk mencari dukungan dan memperoleh kekuasaan. Kondisi SDM masyarakat yang masih rendah, bukannya diberi pendidikan politik yang baik, malah dipolitisir.

Kalau memang begitu orientasi orang memekarkan suatu daerah, buat apa kita berharap dari pemekaran?

Edisi cetak di Borneo Tribune 24 Januari 2008
Foto Muhlis Suhaeri

Baca Selengkapnya...

Wednesday, January 23, 2008

Memanusiakan Buruh

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak

Sebuah pertanyaan terlontar. Siapakah buruh itu? Buruh adalah mereka yang bekerja dan menggantungkan hidupnya dari gaji dan mendapat upah, dari jasa atau tenaga yang dikeluarkannya. Jadi, siapapun yang bekerja dan mendapatkan gaji, mereka adalah buruh. Orang yang bekerja di bank, rumah sakit, perusahaan sawit, jurnalis, swalayan, toko, atau dimanapun, adalah buruh. Nasib buruh, pekerja, karyawan, SDM, atau apapun namanya, selalu rentan terhadap tindakan pemutusan hubungan kerja (PHK).

Hal ini tidak saja terjadi di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, tapi juga di negara-negara maju. Bedanya, kalau di negara lebih maju ada kesadaran untuk berhimpun dan membuat serikat buruh. Sehingga ketika muncul permasalahan antara perusahaan dan buruh, ada wakil yang berpihak dan membela hak-hak buruh.


Sebaliknya, di negara-negara berkembang, hal ini belum sepenuhnya muncul. Tak heran, bila timbul suatu permasalahan antara buruh dan majikan atau pemilik modal, perusahaan dengan sewenang-wenang bertindak menurut pemahamannya sendiri.

Repotnya lagi, pihak pemerintah yang seharusnya menjadi mediator dan penengah dalam berbagai kasus persengketaan itu, cenderung diam dan tak ada tindakan. Meskipun sudah ada berbagai peraturan dan UU yang menjadi acuan, bagi penyelesaian masalah tersebut. Hal itu nampaknya tak begitu dihiraukan. Untuk apa, toh, kaum buruh sendiri juga tidak tahu dengan hak yang mereka miliki.

Pemahaman orang tentang makna dan arti buruh sangat sempit. Buruh dianggap mereka yang bekerja dan mengandalkan tenaganya, untuk pekerjaan-pekerjaan berat. Tak heran, muncul berbagai istilah baru, sebagai bentuk pengaburan makna buruh itu sendiri. Seperti, pekerja kerah putih, ekspatriat, eksekutif dan lainnya.

Pemaknaan dan determinasi ini memang sengaja dimunculkan, sebagai bentuk dari pengkotak-kotakan kelas buruh. Sehingga ketika terjadi permasalahan di suatu perusahaan, misalnya sawit, kayu, garmen, atau perusahaan apapun, tidak akan menimbulkan simpati bagi buruh di perusahaan yang lain.

Untuk apa, toh, kelas mereka berbeda. Begitulah logika sederhananya. Mereka tidak sadar, bahwa siapapun punya peluang yang sama, untuk dipecat kapan pun. Sekali lagi, kapan pun.

Selama menjadi buruh dan tergantung dari gaji, setiap saat buruh punya peluang yang sama, untuk menelan pil pahit bernama PHK.

Kemarin, tindakan sewenang-wenang perusahaan terhadap buruh kembali terjadi. Ketika terjadi permasalahan antara perusahaan dengan buruh, perusahaan dengan arogansi memutuskan secara sepihak permasalahan itu. Kata kuncinya adalah pemutusan hubungan kerja (PHK).

Dengan melakukan PHK, permasalahan dianggap selesai. Dan duri yang mengganjal dalam perusahaan, dianggap sudah hilang. Benarkah demikian?

Tentu saja tidak. Dengan melakukan pemutusan hubungan kerja, perusahaan harus menanggung beban baru dalam melakukan sebuah proses produksi. Perusahaan harus mencari karyawan baru. Mengajari dan mendidik kembali. Menyesuaikan ritme kerja mulai dari awal, dan lainnya.

Semua itu tentu membutuhkan energi, pemikiran, dan waktu. Padahal, semua elemen itu yang mendasari sebuah proses produksi. Bila elemen itu terus berputar dari awal, tentu menganggu proses produksi itu sendiri.

Dalam suatu proses produksi, tentu terdapat berbagai macam elemen pendukung. Ada pemilik modal. Ada SDM. Ada mesin, dan lainnya. Buruh, karyawan, pekerja atau apapun namanya adalah aset. Aset yang tak terpisahkan dalam suatu proses produksi. Bila aset itu tidak dipelihara dengan baik, tentu akan aus dan tumpul. Apalagi kalau harus bongkar pasang dan main ganti. Tentu membuat ritme kerja tidak selaras.

Menghadapi hal ini, kaum buruh semestinya juga harus sadar. Kekuatan mereka menjadi bagian dari suatu proses produksi. Ketika terjadi tindakan sewenang-wenang, mereka pun menggunakan kekuatannya dengan cara mogok. Namun, pemogokan harus dikoordinasi dengan baik. Ada tahapan dan proses yang harus dilakukan. Ada kesadaran dari semua orang. Tidak asal mogok. Karenanya, buruh harus berserikat dan berorganisasi.

Kesadaran dan perubahan itu, harus muncul dari diri buruh itu sendiri. Karena mengharapkan perubahan dari para pemodal, hanya ilusi belaka.□

Edisi Cetak 23 Januari 2008
Foto Lukas B. Wijanarko

Baca Selengkapnya...

Tuesday, January 22, 2008

Kebijakan yang Timpang

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak

Seorang ibu rumah tangga mengeluh. Sudah beberapa minggu ini, ia sulit mendapatkan bahan bakar untuk memasak. Minyak tanah sulit didapatkan. Kalaupun ada, ia harus berdesakan dan antre hingga beberapa jam. Hanya untuk mendapatkan beberapa liter minyak tanah.

Masyarakat biasa dijatah lima liter saja untuk keperluan sehari-hari. Sisanya yang puluhan jerigen, dibawa dengan bus. Untuk mendapatkan lima liter minyak itu pun, tidak pasti kapan minyak tanah di depot bisa dibeli Tidak setiap hari depot minyak tanah buka.

Setiap kali ada pertanyaan dari masyarakat, ke mana larinya minyak tanah, sang pemilik depot minyak tanah selalu menjawab dengan kalimat sama. Kiriman belum datang. Semua dijatah dari sananya. Masyarakat pun cuma manggut-mangut. Bagi masyarakat, jalur distribusi minyak tanah, tak begitu penting dari mana asalnya dan bagaimana distribusinya. Yang mereka tahu, ketika butuh minyak tanah, dengan mudah hal itu didapatkan. Titik.


Tak hanya itu. Ketika pemerintah mencanangkan konversi minyak tanah ke elpiji, ini pun menimbulkan masalah baru. Sekali lagi, pemerintah tidak menyiapkan infrastruktur yang baik, ketika kebijakan itu digulirkan. Akibatnya, ketika kebijakan ini pun membuat masyarakat susah.

Pemerintah tak sanggup menyiapkan tabung gas elpiji bagi warga. Perusahaan yang ditunjuk oleh pemerintah, tak sanggup menyediakan tabung gas elpiji. Alhasil, pemerintah harus mengimpor tabung-tabung gas tersebut.

Lagi-lagi, pemerintah mendatangkan barang, untuk memenuhi kebutuhan kita sendiri. Sebagai bangsa, kita sama sekali tak mandiri. Tak bisa memenuhi kebutuhannya sendiri.
Atau, karena mental para pembuat kebijakan kita yang selalu menjadikan sesuatu, sebagai proyek dan menghasilkan uang untuk dipungut bagi dirinya.

Anehnya lagi, kebijakan tak populis itu, dibungkus dengan sebuah suguhan, pembagian tabung tiga liter kepada masyarakat. Semua dibagikan secara gratis. Lucunya, masyarakat yang mendapatkan tabung itu, dijual lagi.

Untuk apa? Toh elpiji juga tak tersedia di semua tempat. Susah mendapatkannya. Mau fakta? Sekarang ini, coba saja cari elpiji di toko atau distributor sekalipun.

Hari ini, seorang pemilik toko yang biasa menjual gas elpiji, mengeluh tak karuan. Sudah berminggu-minggu, tokonya tak mendapat pasokan gas elpiji. Alasannya? Sekarang ini pasokan gas di Kalbar, hanya dari satu perusahaan. Inilah yang disebut dengan monopoli.

Sebelum gas dipegang satu perusahaan, tokonya biasa mendapat kiriman dari Jakarta, 5-6 kali seminggu. Setiap pengiriman bisa puluhan tabung. Sekarang ini, tokonya hanya mendapat kiriman sekali saja dalam seminggu. Itupun hanya 10 tabung. Bayangkan, berapa kerugian yang harus dia tanggung dalam hal ini.

Kelangkaan gas, membuat pemilik toko menaikkan harga gas. Sebelum dipegang oleh satu perusahaan, ia biasa menjual elpiji seharga Rp 75 ribu per/tabung. Kini, ia menjual gas elpiji Rp 90 ribu per/tabung. Fantastik. Naiknya Rp 15 ribu per/tabung atau sekitar 20 persen.

Lagi-lagi, masyarakat yang langsung kena imbas dari kebijakan tidak populer ini. Kebijakan itu juga menjadi lahan empuk bagi para spekulan dan pembuat kebijakan yang ingin mendapatkan untung. Dengan kondisi perekonomian seperti sekarang, hal itu makin memberatkan beban masyarakat.

Ironis memang. Bangsa Indonesia dijajah Belanda, karena VOC ingin melakukan monopoli perdagangan. Begitu merdeka dan memasuki era pemerintahan Orde Baru, monopoli juga terjadi di mana-mana.

Sekarang ini, ketika Orde Baru sudah tumbang, muncul para pedagang yang ingin melakukan monopoli terhadap suatu produk. Dan hal itu pun, dilindungi dan difasilitasi para pejabat yang ingin mendapatkan keuntungan dari kebijakan yang dibuat.

Tak ada cara lain. Masyarakat harus mengkritisi berbagai kebijakan yang tidak populer ini.

Foto Lukas B. Wijanarko

Baca Selengkapnya...