Sunday, November 27, 2005

Mengolah Limbah, Menuai Rupiah

Oleh: Muhlis Suhaeri

Siapa bilang barang limbah tak ada nilainya? Mau tahu buktinya, lihat saja penuturan pengrajin mebel kayu, yang menggunakan semua bahan bakunya dari limbah pabrik kayu. Apa yang dia lakukan, menghasilkan sebuah karya cukup menarik ‘tuk dinikmati semua kalangan. Ya, semua yang dikerjakannya, berawal dari limbah dan berujung pada rupiah.


Awalnya pada tahun 1980-an. Ketika itu, Kota Pontianak dibanjiri kursi tamu dan kursi makan dari Singapura. Kursi itu sederhana saja bentuknya. Sebuah kursi yang sanggup membuat enam orang duduk dalam satu ruang dan waktu. Kursi itu bernama kursi tamu 321. Maksudnya, kursi panjang untuk tiga orang. Kursi agak pendek untuk dua orang. Dan satu kursi buat satu orang. Tentu saja ditambah dengan satu meja.


Kursi itu seluruh bahannya dari kayu. Pada setiap bilah kayunya, dibaut dan direkatkan dengan mur. Hasilnya, sebuah kursi yang kuat sekali. Untuk kursi makan, biasanya terdiri dari satu meja makan dengan enam kursi. Kursi itu rangkanya dari besi bulat, dan tempat duduknya dari kayu. Ketika itu, hanya orang kaya saja bisa menikmati kursi itu.

Lalu, muncul pertanyaan dalam benak Khou Yak Hau, biasa dipanggil Ayak, 53 tahun. “Apa tidak mungkin, kursi yang begitu sederhana, masyarakat Pontianak tidak membuatnya?”

Berawal dari pemikiran itulah, dia mulai mengasah kemampuannya. Alhasil, barang yang dibuatnya, dapat dinikmati semua kalangan. Orang miskin pun dapat menjajal dan memajang barang itu di rumah. Barang yang dibuat menyebar seantero wilayah. Bahkan, kursi tamu dan kursi makan itu sempat dibawa juga ke Singkawang dan Pemangkat. Oleh pedagang yang ada di sana, barang dibawa ke Batam melalui pedagang antarpulau.

Nah, terpenuhinya kursi di Pontianak dan Batam, membuat pabrik kursi yang ada di Singapura tutup. Pabrik yang ada di Singapura, ternyata dibuat untuk pemasaran Pontianak dan Batam. Ketika orang Pontianak sanggup membuat kursi, pabrik mereka tutup, karena harga produksinya lebih mahal dari kursi buatan Pontianak.

Akhirnya, orang pada ikut-ikutan membuat kursi. Padahal, mereka tidak punya pengalaman dan hanya punya modal saja. Hal itulah yang membuat pasaran kursi menjadi hancur. Apa pasal? Mereka hanya mengejar penjualan saja dan mutu tidak memperhatikan kualitas. Rangka kursi yang seharusnya dilas mengeliling, cuma dilas sedikit saja. Kursi yang seharusnya menggunakan besi tebal diberi besi kecil dan tipis, sehingga kursi cepat rusak. Orang tidak mau lagi memakai kursi ini.

Sekarang ini, minat orang pada kursi kayu ini mulai tumbuh lagi. Hal itu bisa dilihat pada penjualannya yang semakin meningkat. Meski penjualan kursi tidak dapat diperkirakan jumlahnya perbulan, tapi ada musim tertentu yang bisa menjelaskannya. Sebut saja pada saat Lebaran, Natal dan Imlek.

Pada hari besar itulah, orang butuh meja dan kursi untuk menyemarakkan suasana rumahnya. Contoh saja kursi yang diproduksi Ayak. Pada awal bulan puasa hingga menjelang Lebaran, ada sekitar 200 pasang kursi tamu 321 yang laku terjual. Ketika Imlek, kursi tamu Ayak laku hingga seratusan pasang. Ini untuk satu pengrajin saja. Sementara, di Pontianak ada sekitar 20 pengrajin kursi yang sama. Hitung sajalah, berapa kira-kira penjualan kursi ini.

Kenapa orang memakai kursi ini, alasannya sederhana saja. Kalau orang pakai kursi busa, kemampuan busa hanya lima hingga enam tahun saja. Dan untuk membeli kursi itu, karena harganya yang cukup mahal, orang harus menabung dulu agar bisa membelinya. Lain halnya dengan kursi kayu ini. Cukup dengan uang Rp 650 ribu, Anda bisa membawa pulang satu set kursi tamu 321. Kursi makan dijual dengan harga Rp 60 ribu perkursi. Anda bisa mencari kursi ini di sebagian besar toko mebel.

Setelah Lebaran, Natal dan Imlek, pengrajin akan membuat berbagai macam barang, sehingga produksinya tidak berhenti. Barang seperti kursi kantor, kursi bakso, rak handuk, rak TV, tempat kordin dan lainnya, produksinya akan lebih ditingkatkan. Bahkan, anak tangga juga dibuat.

Model kursi itu sederhana saja. Untuk pasaran di Pontianak, yang penting adalah harganya murah. Karena kalau barang banyak modelnya, jatuhnya malah mahal. “Simpel saja. Bagaimana caranya enak kerja dan cepat. Sehingga kita bisa menjual dengan harga murah. Yang bisa murah itu kalau kerjanya cepat,” kata Ayak.

Produksi harus ada target setiap harinya. Untuk kursi tamu, targetnya 6 set kursi sehari. Sekarang ini, hasil produksinya masih dibawah 10 set. Kursi makan, diatas 6 set atau 100 kursi perhari. Kalau dibawah angka itu, akan rugi. Di lahannya seluar sekitar 3000 meter, Ayak sanggup mempekerjakan 34 orang. Bahkan pernah hingga 43 pekerja.

Sistem kerja gajinya harian. Bagi pekerja baru, gajinya mulai dari Rp 10-12 ribu. Ada juga pekerja borongan. Tukang las, paling tidak bisa mendapatkan uang Rp 80 ribu perhari. Jam kerja mulai pukul 7. Pada pukul 9.00-9.30, karyawan mendapatkan rehat sambil menyerutup secangkir kopi. Pukul 11.00-12.00, waktunya istirahat makan siang. Kerja mulai lagi pada 12.00-16.00.

Besi untuk membuat kerangka kursi makan didatangkan dari Jakarta. Besi itu biasa disebut star bults. Perbatang harganya Rp 30 ribu. Satu batangnya sepanjang 6 meter. Satu kursi makan butuh sekitar 3,5 meter besi. Ukuran besinya 7/8. Artinya, ketebalannya dibawah 1 inchi. Satu inchi sama dengan 2,2 cm. Ketebalan besi ada yang 0,8 mili hingga 1 inchi.

Bahan baku diperoleh dari kayu pabrik yang sudah tak terpakai. Harga perkubik Rp 500 ribu. Sebelum membeli barang akan dilihat dulu, berapa persen bahan itu yang kira-kira masih bisa dipakai. Cara pembelian bahan baku juga bisa dilakukan dengan memborongnya. Pihak pabrik biasanya setuju saja, karena kalau pun tidak dibeli, barang itu akan dibuang juga. Harga kayu setiap truk Rp 1-2 juta. Satu truk biasanya berisi 4-5 kubik. Pada hari biasa, dalam satu minggu membeli bahan baku sekitar satu truk. Pada hari Lebaran, Imlek, bisa mencapai dua truk. Kadang kondisi kayu terlalu rusak dan ukurannya pendek. Maka, kayu itu akan dibeli lebih murah.

Tunggul kayu yang sudah puluhan tahun dibuang, juga akan digunakan. Caranya, tunggul itu dibelah dengan mesin chainsaw. Meski bagian luar kayu sudah rusak, tapi dalamnya masih bagus. Dan bagian tengah kayu itulah yang diolah. Kayu yang biasa dipakai adalah tembesu (bedaru), bengkirai, meranti dan lainnya. Banyak jenis kayu bisa dipakai. Tinggal pilih sesuai dengan keinginan.

“Saya memanfaatkan kayu-kayu yang sudah tak terpakai untuk dikumpulkan, ini merupakan limbah semua kayunya, dan tidak ada yang kita beli itu dari kayu empat meter yang masih bagus,” tutur Ayak.


Profil, Ayak

Namanya Ayak. Guratan-guratan garis menanda jelas pada wajahnya. Sekali melihat, orang akan langsung dapat melihat karakternya. Keras dan tegas. Ketertarikan Ayak pada dunia mebel dan industri kerajinan, tak muncul begitu saja. Sedari kecil dia sudah terbiasa mendengar suara mesin.

Dulu, bapaknya seorang pengusana tahu. Dan dia suka sekali dengan kerajinan tangan. Sayangnya, dia tidak pernah kerja di sebuah perusahaan besar, sehingga tidak punya pengalaman lain dalam bekerja. Meski begitu, semua model mebel yang ada di perusahaannya, dia kreasi dan ciptakan sendiri.

Sebelumnya, dia membuka toko bangunan pada tahun 1997. Mulai tahun 2004, dia beralih membuat kursi, karena toko bangunan banyak saingan.

Dalam menjalankan bisnisnya, Ayak mempunyai tiga pedoman. Pertama, harus tegas dalam kerja. Dia mengarahkan anak buahnya sesuai dengan apa yang harus dikerjakan. Kedua, cara kerja jangan buang waktu dan bercanda. Area kerja berhubungan dengan mesin, maka orang harus berhati-hati. Semua mesin ada putarannya. Salah sedikit saja dalam bekerja, bisa membahayakan jiwa.

Cara bekerja dan menangani mesin juga harus benar. Misalnya, ketika karyawan sedang mengebor atau memotong. Pekerja harus tahu di mana harus berdiri, sehingga tidak membahayakan jiwanya. Pekerja juga mesti tahu, kapan harus memakai sarung tangan dan kapan tidak. Untuk pekerjaan yang mengebor, tidak boleh pakai sarung tangan. Karena begitu terserempet mata bor, tangan yang menggunakan sarung tangan juga akan tertarik, sehingga tangan ikut terkena mesin bor. Tapi, untuk pekerjaan yang memegang kayu, dan kalau tidak pakai sarung tangan akan membuat tangan lecet, ya harus pakai sarung tangan. Ketiga, barang harus kuat. Untuk membuat barang yang kuat, tentu harus tahu teknik dan cara pembuatan yang baik.

Selain itu, kerja harus kompak dan saling tukar pikiran dengan pekerja. Cara pandang pekerja juga harus dimengerti. Dalam menangani karyawan, memang ada aturan ketat dalam peraturan, sehingga mereka mengerti dan kerja betul. Tidak boleh main kasar dengan pekerja tentunya. Masalah etos kerja, Ayak menilai pekerja di sebagian besar wilayah ini, masih tertinggal. Dia mengaku belum pernah keluar negeri. Namun, dia bisa menilai ketertinggalan itu dari banyak hal. Bisa dari pengusaha, pekerja, atau kurangnya perhatian dari pemerintah.

Suatu ketika datang tamu dari Taiwan. Orang itu berkeliling ke beberapa perusahaan yang sama di Pontianak. Setelah itu, dia lihat perusahaan Ayak. Menurut orang Taiwan, yang tidak sembarangan membuang bahan hanya di perusahaannya. Cara mendidik anak buah juga baik. Tapi, dibandingkan dengan cara kerja orang Taiwan, masih jauh. Mereka lebih rajin dan betul-betul kerja.

Kesulitan apa yang ditemui dalam menjalankan perusahaannya?

Kesulitan yang dialami adalah masalah modal. Modal yang ada tidak sesuai dengan usaha. Namun, masalah utama yang ada di Pontianak, adalah masalah harga. Barang yang murah itulah, yang biasanya laku di Pontianak. Supaya barang harganya murah, produksinya harus cepat, supaya menekan ongkos produksi. Kalau tidak, dia akan merugi. Karenanya, dia mengkhususkan diri, pada barang murah dan sederhana. Jadi, barang itu dapat dipakai di rumah, kantor, atau menaruhnya di teras bisa.

Hal lain adalah masalah investasi mesin. Karena yang utama alat harus lengkap. Untuk mesin saja menghabiskan uang Rp 600 juta. Ada mesin gesek, ketam, pemotong, bubut, genset, bor, spindel (membuat bentuk kayu sesuai dengan yang diinginkan). Belum lagi membeli pisau bagi mesinnya. Satu pisau ada yang harganya ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Bahkan, ada pisau yang satu set harganya mencapai Rp 5 juta.

Jadi, untuk membeli pisau saja, bisa membeli satu mobil Kijang. Semua itu dilakukan, juga demi kegemarannya membuat kerajinan tangan. Dia pernah meminjam uang dari bank untuk usahanya. Uang itu dia belikan alat-alat. Akhirnya, modal malah tersedot semua ke investasi mesin, dan untuk menjalankan produksi payah.

Meski Ayak telah membuka usaha dan menciptakan lapangan kerja, namun pemerintah belum punya perhatian pada apa yang dilakukannya. Hal sederhana yang bisa dilihat adalah, tidak adanya perhatian dalam bentuk penyuluhan. Atau, kerja sama untuk perbaikan mutu produksi. Malahan, yang datang dari pemerintah adalah orang yang menanyakan masalah perijinan. Orang itu datang dan mengajukan diri untuk mengurus masalah perijinan.

“Masalah ijin dan membayar pajak memang menjadi kewajiban kita. Tapi, kalau ijinnya sampai tinggi sekali, dan tidak sesuai dengan yang sebenarnya, pengusaha tentu keberatan,” katanya.

Apalagi ditengah naiknya BBM seperti sekarang ini. Semua orang mengalami kesulitan. Begitu juga dengan dirinya. Dia ingin melihat negara ini maju, karenanya semua yang sifatnya membangun dan usaha, seharusnya dibantu dengan baik.

Apa yang dialami Ayak, adalah potret buram penanganan masalah pembangunan di negeri ini. Hal itu tentu tidak dialaminya sendiri, tapi juga orang lain. Bila hal itu terus dibiarkan, apa yang akan terjadi kedepannya. Tentunya, iklim investasi dan bisnis akan sulit berkembang di Kalbar khususnya, dan Indonesia pada umumnya.

Padahal, negara kita butuh sosok-sosok yang sanggup mendongkrak perekonomian seperti Khou Yak Hau, atau Ayak........***




Foto by Lukas B. Wijanarko, "Ruang Pamaer."
Edisi Cetak, minggu ketiga November 2005, Matra Bisnis

Baca Selengkapnya...

Monday, November 21, 2005

Mendulang Uang dari Bisnis Dodol

Oleh: Muhlis Suhaeri

Setiap yang berjiwa, tentu membawa ruh dan makna. Setiap yang tercipta, tentu ada guna dan faedahnya. Begitulah. Alam memberi banyak limpahan pada bumi untuk memunculkan beraneka tetumbuhan dan hewan. Tinggal, bagaimana manusia memanfaatkan dan mengolahnya.


Salah satu contoh adalah lidah buaya. Siapa yang tak kenal tumbuhan satu ini?

Berdasarkan penelitian, tumbuhan ini mempunyai banyak manfaat dan berguna bagi kesehatan. Dan ini pun sudah terbukti dengan munculnya berbagai produk kosmetik, atau obat-obatan yang berbahan baku tumbuhan ini. Diolah menjadi produk apa pun, lidah buaya berguna bagi kesehatan. Salah satunya adalah dodol dan kerupuk lidah buaya. Nah, bagaimana orang melirik peluang itu? Marilah kita lihat bersama.


“Peluang bisnis ini tergantung orang punya niat,” begitulah penuturan Yuliana (59 tahun). Dalam bisnis ini, semua bahan pertumbuhannya bagus. Lidah buaya berguna bagi kesehatan. Dan untuk mendapatkan bahan ini tidak susah, karena di Kalbar banyak.

Lidah buaya banyak dibuat untuk berbagai panganan, dodol, sirup dan lainnya. Untuk mendapatkannya, biasanya dari petani yang langsung mengirim ke perusahaan. Dalam seminggu yang dibutuhkan sekitar 3-5 keranjang lidah buaya. Satu keranjang berisi 100 kg lidah buaya segar. Harga lidah buaya perkilo Rp 750. Lidah buaya itu untuk dodol dan kerupuk lidah buaya. Dia juga membuat dodol dari buah nangka dan nenas.

Usaha membuat dodol dirintis sekitar tahun 2000. Namun, untuk kerupuk lidah buaya baru sekitar 4 bulan. Dalam satu bulan, produksi dodol lidah buaya sekitar 200 kg. Dodol nanas sekitar 30-50 kg. Dodol dijual perkilo dengan harga Rp 35 ribu. Dodol nanas produksinya kecil, karena orang Kalbar kurang begitu mengenal nanas.

Untuk membuat kerupuk lidah buaya, harus mencampurnya dengan tepung tapioka. Untuk 35 kg lidah buaya, harus mencampurnya dengan 20 kg tepung tapioka. Dari adonan itu akan didapat 20 kg kerupuk lidah buaya. Setiap 200 gram kerupuk dijual seharga Rp 9.000. Itu untuk harga toko. Kalau dijual langsung ke orang, akan dipatok dengan harga, Rp 12.500.

Yang unik adalah proses menemukan resep kerupuk lidah buaya. Yuliana mencari dan mencoba sendiri. Dia membaca buku, lalu mencobanya langsung. Selama tiga bulan melakukan percobaan itu. Tentunya, butuh dana lumayan besar, tenaga dan pikiran untuk melakukannya.

Pertama kali mencoba, dia mendapatkan kerupuk yang tidak bisa mengembang. Coba lagi, kerupuknya hangus. Coba lagi, kerupuknya berwarna kuning, putih dan sebagainya. Sampai akhinya, dia mendapatkan sebuah komposisi yang dirasa tepat untuk sebuah kerupuk. Semua hasil uji coba itu disimpannya di rumah. “Untuk kenang-kenangan,” ucapnya sembari tersenyum.

Dia tidak terlalu ekspansif dalam membuat pemasaran dodolnya. Pemasaran masih di seputar Kalbar. Dia masih menggantungkan pada tenaga pemasaran. Kebanyakan orang juga datang ke dia, dan membawa produksinya ke berbagai daerah di Indonesia.

Bahkan, produksinya dibawa pengusaha hingga Singapura dan Australia. Kapasitas produksinya tergantung pemasaran dan permintaan. Inginnya tentu saja, usaha itu terus berkembang, sehingga dapat menambah alat-alat dan jumlah karyawan. Sekarang ini jumlah karyawannya ada 5 orang.

Kendala utama yang dihadapi dalam bisnis ini, terutama masalah kemasan dan pemasarannya. Untuk menembus sulitnya pemasaran, dia pernah mengikuti beberapa kali pameran industri kecil. Dalam masalah kemasan produksinya, dia harus memesannya ke Jakarta.

Di Pontianak tidak ada mesinnya. Perusahaan dari Jakarta itu yang menawarkan desain padanya. Dan inilah kesulitannya. Cara mendapatkan kemasan, butuh waktu 3 bulan sebelumnya. Yuliana yakin dengan produk lidah buaya yang dihasilkan. Bila produk itu dikemas kurang bagus, tentu saja akan mengurangi nilai dari produk itu sendiri.

Sampai saat ini, pemerintah daerah belum memberikan alternatif atas kesulitan yang dihadapi. Dia sudah memberikan saran pada pemerintah, agar bisa diberikan bantuan dalam masalah pengemasan produknya. Kalaupun tidak secara langsung, dapat dilakukan secara tidak langsung. Misalnya, membuat pelatihan atau mendatangkan ahli. Yang dapat memberikan arahan dan langkah yang baik, bagi kelangsungan pengusaha industri kecil seperti dirinya.

Mengenai permasalahan yang dihadapi pengusaha kecil seperti Yuliana, Dirjen Industri Kecil dan Menengah, Sakri Widhianto, memberikan pendapatnya. “Di sini orangnya sangat dinamis dan aktif. Mengenai kurang kemasan dan pelatihan, banyak kesempatan yang dapat kita bantu. Supaya mereka juga bisa menjual barang itu ke luar dan tidak hanya di sini.”

Kalau sifatnya sudah pakai mesin, terpaksa harus membeli mesinnya. Tapi, kalau membuatnya tidak terlalu banyak, akan dibuat sendiri. Dirjen memuji produk lidah buaya yang dianggapnya sudah bagus, dan sudah massal produksinya.

Bagaimana dengan sarana dan prasarana air bersih? Sebuah industri tidak terlepas dari kebutuhan yang satu ini. Dengan tidak dapat digunakannya air tanah untuk prose produksi, tentu sebuah kesulitan tersendiri. Agaknya, dia sudah mengantisipasi hal itu. Di rumahnya, dia sudah membuat dua tandon air. Masing-masing bak besar itu sanggup menampung air hujan 40 kubik. Total jenderal, dia mempunyai cadangan 80 kubik air.

Hemmm.....Kalau pun tidak hujan 3 bulan, proses produksi masih bisa berlangsung. Seandainya dua tandon itu tidak mencukupi, dia akan membeli air dari mobil tangki. Tapi, dia tidak tahu berapa harganya. “Karena kita memang tidak pernah menggunakannya,” jawab Yuliana.

Sampai sekarang, konsumen produknya adalah bandar udara di Pontianak dan toko kue. Produk itu belum masuk ke berbagai hotel berbintang. Karena memang tidak tahu bagaimana cara masuk ke sana. Kalau ada yang memberikan peluang?

“Tentu saja mau,” jawabnya dengan sumringah.”***

Foto by Lukas B. Wijanarko, "Bertani."
Edisi Cetak, minggu ketiga, November 2005, Matra Bisnis

Baca Selengkapnya...

Perkembangan Ekonomi Indonesia

Oleh: Muhlis Suhaeri

C. Herinowo
Komisaris Utama PT Bank Central Asia

Ada beberapa hal yang bisa dilihat mengenai perekonomian Indonesia. Perkembangan ekonomi kurang menguntungkan, bila dilihat dari sisi nilai tukar rupiah. Adanya kenaikan suku bunga di Amerika. Yang tidak direspon dengan cepat dalam tingkat yang memadai oleh Bank Indonesia.

Suku bunga di luar negeri mempunyai dampak begitu besar, bagi perekonomian di Indonesia. Ini bukan hanya tipikal negara berkembang, bahkan negara maju sekali pun. Pengalaman menarik terjadi pada tahun 1991, ketika ada penyatuan Jerman Barat dan Jerman Timur. Pemerintah Jerman harus membangun Jerman Timur.


Pemerintah Jerman melakukan devisit financing besar-besaran. Namun, hal ini malah menciptakan inflasi. Pemerintah Jerman tidak mau tahu tahu, dan inflasi harus segera dibabat. Mereka menaikkan suku bunga bank. Akibatnya, terjadi krisis moneter di hampir sebagian besar Eropa, termasuk Inggris, Spanyol dan lainnya.

Bahkan, Italia sempat keluar dari sistem moneter Eropa. Yang lebih penting lagi adalah, terjadinya krisis di negara-negara Skandinavia, seperti, Finlandia, Swedia, Norwegia dan Denmark. Sektor perbankan di kawasan itu hancur lebur. Yang menyebabkan pemerintah harus mengambil alih bank yang ada. Melihat pengalaman itulah, suku bunga penting sekali artinya, bagi perekonomian suatu negara. Dan suku bunga dapat disesuaikan, jika itu mengharuskan.

Hal yang juga berpengaruh terhadap perekonomian suatu negara, adalah kenaikan harga minyak dunia. Bagaimana tidak, dengan naiknnya harga minyak dunia, berdampak bagi permintaan dolar untuk mengimpor minyak.

Struktur pasar valuta asing yang pincang, turut pula menyumbang kondisi sebuah perekonomian. Dampak itu lebih signifikan, karena kebetulan di Indonesia terjadi perubahan struktur dalam penyampaian dollar, dari hasil minyak maupun pembeliannya. Perubahan itu terlihat pada UU Migas baru yang mulai berlaku awal 2004. Dulu, kontraktor minyak asing menyetorkan valuta asing tagihan pemerintah melalui Pertamina. Dan perusahaan minyak negara itu meneruskannya ke Bank Indonsia. Dalam UU Migas yang baru, kontraktor asing langsung menyetornya ke BI.

Oleh karena itu, pada awalnya menjadi suatu gangguan yang besar. Awalnya Pertamina malah lebih ekstrem lagi, karena mereka melakukan penawaran pada bank. Siapa yang memberikan rate terbaik, akan diberikan. Tapi, dengan penawaran-penawaran itu, kurs menjadi melemah dengan cepat.

Dari segi inflasi, kedepan seharusnya jauh lebih rendah dari yang lalu. Dan ini diawasi oleh BI dengan yang namanya inflasi inti (core inflation), yang nilainya sebesar 8,9%. Oleh karenanya, kalau inflasi intinya sebesar itu, sebetulnya suku bunga yang ada sekarang ini, 12,5%, mungkin sudah cukup. Tapi, untuk hati-hatinya, prediksi kenaikan suku bunga akan masih meningkat. Meskipun tidak terlalu signifikan.

Di BCA memprediksi, akhir tahun ini suku bunga sekitar 13%. Dan pada gilirannya akan bergerak mencapai angka 14%. Namun, pada akhir 2006 akan turun kembali sekitar 13%. Dan seterusnya. Tentu saja situasi semacam ini kondisional. Yaitu sangat tergantung pada nilai tukar rupiah. Kalau posisi itu bergerak lagi, tentu saja kondisi akan berubah.

Nah, bagaimana dengan kenaikan suku bunga bank? Lalu, apa dampaknya bagi perbankan dan sektor real? Kalau suku bunga BI mencapai, katakanlah 16%, suku bunga kredit akan bergerak sekitar 18-20%. Sekarang ini, di perbankan sudah ada yang menetapkan untuk corporate custumer sekitar 18%.

Dari segi keuangan pemerintah banyak yang memprediksi, dengan kenaikan minyak seperti sekarang ini, akan terjadi kebangkurtan ekonomi. Tapi, kalau dilihat keuangan pemerintah lumayan bagus dan sehat. Bahkan, sebelum kenaikan BBM, sektor migas dari pemerintah masih menghadirkan suatu surplus.

Pemerintah memandang perlu menaikkan harga BBM, karena kecenderungan beberapa tahun terakhir ini, surplus yang dimiliki pemerintah semakin lama semakin menipis. Dan bukan tidah mungkin, suatu ketika akan menjadi devisit. Karenanya ini menjadi sesuatu yang sangat penting sekali.

Belum lagi adanya penyeludupan dan sebagainya. Oleh karena itu, kenaikan BBM merupakan suatu keharusan. Dengan kenaikan BBM, APBN pemerintah menjadi jauh lebih sehat dari sebelumnya. Tentunya dengan catatan, surplus yang dihasilkan tidak dihamburkan. Kalau hal itu dijaga, kondisi perekonmian akan selamat.

Ukurannya apa?

Devisit APBN pemerintah hanya berkutat di 1%, atau kurang dari 1% dari PDB. Dan ini suatu devisit yang kecil dibandingkan negara lain. Misalnya saja Amerika Serikat yang mencapai angka 5%, Jepang 7-8%. Begitu pun dengan kondisi utang Indonesia yang begitu besar. Secara rasio, utang pemerintah dibanding PBD, juga sudah menurun sekali. Sekarang ini berada di atas 40%, dibawah 50%. Dan ini lebih kecil dari negara-negara, yang selama ini dianggap sebagai negara modal bagi Indonesia. Di Eropa ada negara-negara yang utangnya 100% dari PDB. Bahkan Jepang ratio utangnya mencapai 160-170% dari PDB.

Terakhir dari segi sektor real. Salah satu contoh terjadi di Unilever. Yang agak mengherankan adalah, penjualan kwartal ketiga pertumbuhannya bagus sekali. Bukan dari segi keuntungannya, tapi dari segi jumlahnya. Ini berarti terjadi pertumbuhan real. Sebenarnya di sektor pertambangan juga mengalami pertumbuhan yang luar biasa.

Sekarang ini, keuntungan dari batu bara, mungkin sudah lebih dari sepertiga keuntungan Migas. Karena produksinya sudah sekitar 150 juta ton. Satu tonnya sekitar 40-50 US dolar. Kedepannya perolehan yang didapat pemerintah berarti sekitar 6 milyar dolar sendiri dari batubara. Belum lagi dengan timah, yang sekarang ini lagi juga lagi booming.

Dengan adanya inflasi, sebenarnya pemerintah tidak perlu pesimis betul menghadapinya. Yang paling penting adalah selalu bersikap optimis.***

Edisi Cetak, minggu ketiga November 2005, Matra Bisnis
Foto Lukas B. Wijanarko

Baca Selengkapnya...

Wednesday, November 16, 2005

Si Mungil yang Setia Menemani Hidangan

Oleh: Muhlis Suhaeri

Bentuknya kecil, mungil dan imut. Dia seperti tak berdaya. Namun, begitu Anda meremasnya, seketika itu juga leleran airnya akan membuat lidah seolah menari, dan mengikuti jenis masakan yang terhidang. Begitulah, jeruk mungil ini, yang mempunyai nama latin, Ciprus Hystix ABC. Atau, biasa disebut jeruk sambal.

Bagi masyarakat yang hidup di Kalimantan Barat, jeruk sambal merupakan pelengkap makanan. Yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan mereka sehari-hari. Untuk memasak, orang butuh jeruk sambal. Untuk melepaskan dahaga, orang juga biasa memeras jeruk sambal.


Begitu juga ketika tenggorokan sakit. Jeruk sambal merupakan salah satu alternatif, dan dijadikan andalan. Perasan jeruk sambal terbukti sanggup mengobati sakit tenggorokan. Sebenarnya, bagaimanakah simungil ini hadir di meja makan, marilah kita lihat faktanya.

Namanya Andi Aswandi (45 tahun). Lelaki ini tinggal di Dusun Tiga, Simpang Banjar, Sungai Rengas, Kecamatan Kakap, Pontianak. Tempat itu biasa dia lalui dengan kendaraan roda dua sekitar satu jam dari Pontianak. Setiap harinya, lelaki berperawakan kurus ini, biasa mangkal di Pasar Flamboyan.

Dia membawa hasil kebunnya ke pasar yang berada di pinggir jalan raya cukup ramai ini. Pasar itu mulai buka pukul 3 subuh hingga 7 pagi. Sorenya, geliat pasar kembali berdenyut pada pukul 3 sore hingga 11 malam.

Dalam sehari, Aswandi biasa membawa jeruk hasil kebunnya sekitar 30-50 kg. Pembeli jeruk sambal biasanya penjual bakso, pemilik rumah makan, dan rumah tangga. Jeruk itu dijual seharga Rp 2000. Tapi, kalau harga jeruk sambal lagi baik, dia bisa menjual seharga Rp 3000. Harga musim jeruk yang baik pada Juni, Juli dan Agustus.

Pada bulan itulah, biasanya matahari bersinar dengan teriknya. Karenanya, orang selalu mencari jeruk, supaya airnya bisa diperas sebagai minuman. Harga jeruk sambal semakin tinggi pada hari menjelang lebaran. Pada momen seperti itu, harga jeruk sambal mencapai Rp 6.000.

Jeruk sambal tidak tergantung pada musim. Tanaman ini selalu berbuah setiap saat. Untuk tumbuhnya tanaman ini, tidak memerlukan berbagai persyaratan khusus. Cara menanam jeruk dengan membuat terumbu terlebih dahulu. Terumbu dibuat dengan menaikkan tanah menjadi sebuah gundukan setinggi 30 cm.

Membuat terumbu biasa dilakukan dengan cangkul. Setelah gundukan terbuat, tanah dibiarkan selama dua minggu. Setelah itu baru dihancurkan dengan cangkul. Selama tanah dibuat terumbu tidak perlu diberi pupuk. “Jeruk sambal kalau diberi pupuk malah cepat mati. Jeruk ini hanya diberi pupuk setahun sekali atau dua tahun sekali,” kata Aswandi.

Bibit jeruk sambal biasanya diperoleh melalui pencangkokan dari dahan pohon yang sudah besar. Harga sebuah cangkokan yang masih menempel di pohon sekitar Rp 2.500. Bila bibit sudah ditambak (dimasukkan plastik yang sudah ada tanahnya), harganya Rp 5000. Bibit yang sudah ditambak biasanya siap untuk ditanam.

Jeruk sambal mulai berbuah pada usia 3 tahun. Begitu muncul buahnya, jeruk muda itu langsung dibuang semua. Tujuannya, supaya buah berikutnya bisa besar. Kalau tidak dibuang, buah selanjutnya akan tumbuh kecil. Pohonnya pun akan cepat mati. Nah, setelah pohon berusia 4 tahun, barulah bisa diambil buahnya.

Tanaman jeruk tidak boleh terlalu banyak air, karena akan mati. Banyaknya hujan yang turun, juga berpengaruh pada kualitas jeruk. Kulit jeruk akan muncul bintik-bintik. Jeruk sambal tak perlu perawatan khusus. Yang pasti, di sekitar tumbuhnya pohon harus bersih dari rumput. Satu pohon bisa menghasilkan 1 kilo perhari.

Biasanya jeruk tidak bisa langsung dipetik semua. Pada minggu berikutnya, jeruk baru bisa dipetik lagi. Aswandi mempunyai 400 pohon jeruk sambal. Dalam sebulan, dia bisa menghasilkan 500 kg.

Biasanya jeruk dijual langsung oleh para petani ke pasar. Pasar Flamboyan dan Sentral di Pontianak, merupakan pasar yang biasa digunakan untuk memasarkan jeruk sambal. Menurut Aswandi, jeruk ini jarang dibawa langsung oleh petani ke berbagai daerah. Di Sungai Rengas tak ada koperasi yang menampungnya. Ada sekitar 5 orang yang menanam jeruk sambal di Sungai Rengas. Dalam sebulan, daerah itu bisa menghasilkan 3 ton jeruk sambal.

Musim jeruk sambal tidak pernah putus. Setiap hari selalu ada. Kalau harga jeruk dianggap menguntungkan, biasanya pedagang akan langsung mencari ke sentra jeruk di Sungai Rengas. Pedagang akan berbondong-bondong membawa jeruk.

Namun, bila harga jeruk dianggap murah, mereka tidak akan mengambil jeruk. Harga jeruk yang murah hanya memberatkan ongkos transportasi, sehingga pedagang merugi. Rata-rata pedagang di Pasar Flamboyan dan Sentral, campur dalam berjualan sayur dan tidak menjual jeruk saja.

Berapa langganan Aswandi?

“Tidak ada langganan. Pelanggannya siapa saja,” ungkapnya. Dalam sehari, dia biasanya menghabiskan 10-15 kg untuk dijual.

Jeruk yang bagus tidak ada bintik pada kulitnya. Bintik itu tidak masuk sampai ke dalam buah. Bintik muncul karena banyaknya hujan yang terjadi. Pembeli tidak bisa memilih jeruk yang mereka beli. Penjual biasanya memberikan jeruk sambal secara acak. Jeruk sambal tahan hingga 3 hari. Yang kulitnya kuning, hanya tahan 1-2 hari saja. Kalau jeruk tidak laku, maka akan langsung dibuang.

Sebagian besar masyarakat mengkonsumsi jeruk sambal. Contoh saja Hamidun (53 tahun), seorang tukang bakso di Pasar Flamboyan. Dalam sehari, dia biasa membeli jeruk satu hingga satu setengah kg untuk dagangannya. Jeruk itu dia beli dengan harga berkisar Rp 3000-4000 perkilo. Harga jeruk memang tak tetap.

Hamidun selalu menyediakan jeruk sambal untuk baksonya. Kenapa?
”Sebab orang Pontianak memang begitu. Meskipun di meja sudah ada cuka, orang masih tanya jeruk,” jawab lelaki kelahiran Purwodadi, Jawa Tengah, ini. Namun, sekarang ini Hamidun tidak pernah lagi menyedian cuka pada meja baksonya.

Hal itu dibenarkan Setianto (31 tahun). Bila makan bakso, dia selalu memeras jeruk sambal pada kuah baksonya. Menurut pria yang tinggal di Sungai Raya Dalam ini, “Jeruk berfungsi menghilangkan rasa amis dan bau lemak. Jeruk juga mengandung asam, sehingga merangsang orang untuk makan.”

Setianto juga selalu menggunakan jeruk sambal ketika sakit tenggorokan. Menurutnya, perasan air jeruk sambal bagus untuk sakit tenggorokan. Begitu pun ketika batuk mulai menimpa. Dia akan mengambil 5 butir jeruk sambal dan memerasnya. Perasan itu akan langsung diminum, tanpa dicampur air terlebih dulu.

Dia mengaku tidak mengalami kesulitan mendapatkan jeruk sambal di Pontianak. Namun, saat berada di pedalaman, terutama di kecamatan, dia merasa susah mendapatkan jeruk sambal. Setianto biasa membeli jeruk dengan harga Rp 4000-5000 perkilo.

Jeruk sambal lebih diminati sebagai penambah rasa dari pada cuka. Yang dengan konsentrasi zat kimia tertentu. Cuka diencerkan dengan air untuk mengurangi rasa keasamannya. Tapi, untuk daerah lain, seperti Singkawang, tampaknya orang masih tertarik menggunakan cuka sebagai zat penambah rasa. Masyarakat merasa lebih aman makan bakso dengan jeruk sambal dari cuka. Tak heran jika sekarang ini, pemilik warung jarang menyediakan cuka di meja rumah makannya.

Bagaimana peran pemerintah dalam melihat potensi jeruk sambal?

“Jeruk sambal merupakan tumbuhan yang gampang tumbuh, tidak perlu lahan luas, dan merupakan tanaman khas Kalbar. Saya keliling hampir di seluruh Indonesia, tapi tidak pernah mendapatkan jeruk ini di lain tempat,” kata Ida Kartini, Kepala Disperindag, Kalbar.

Menurutnya, jeruk sambal juga enak dijadikan sirup. Dia mengaku paling suka dengan sirup jeruk. Dalam berbagai kesempatan di dapur, perempuan berjilbab ini selalu menggunakan jeruk sambal bagi setiap masakannya.

Misalnya, untuk membuat sambal, menghilangkan berbagai bau makanan, dia selalu menggunakan jeruk sambal. Ketika memasak udang, dia pasti menggunakan jeruk sambal dari pada cuka. Alasannya, “Kalau pakai cuka, mungkin saja bisa sakit maag. Kalau jeruk ini alami. Dan bisa membuat ikan terasa enak,” katanya.

Menurut Ida, wilayah Kalbar memang cocok bagi pengembangan bisnis agrobisnis. Dengan pemgembangan itu diharapkan mulai muncul peluang bisnis. Memang perlu kerja sama bagi semua pihak dalam menangani masalah itu. Selain masalah dana, harus ada bimbingan teknis, juga lahan untuk produksinya.

“Dan disinilah diharapkan ada pengusaha besar yang bermitra dengan pengusaha kecil. Sehingga dengan cara itu, produksi bisa dipasarkan dalam negeri dan ekspor,” kata Ida.

Namun, Ida mengaku tidak ada angka pasti mengenai berapa areal, dan produksi jeruk sambal di Kalbar. Jeruk sambal masih sebatas konsumsi lokal saja. Kerja sama dalam hal ini bisa dilakukan dengan dinas lainnya, seperti Dinas Pertanian. Misalnya, berapa lahan dibutuhkan, kapasitas lahan, dan lainnya.

“Dalam rapat kordinasi dengan dinas lain, terutama Dinas Pertanian, saya sering menanyakan angka yang real, dan bisa diterima calon investor/pengusaha, yang bisa mengolah itu,” tutur Ida.

Bila orang hendak membuat suatu industri, seperti sirup jeruk, tentu harus tahu berapa jumlah dari suatu bahan atau produk. Jangan sampai mesin menganggur, karena tidak ada bahan baku. Harus ada hitungan, dan membuat informasi tentang jeruk sambal yang akan dibuat sirup. Dengan hal itu, seorang pengusaha akan berpikir sesuai dengan kapasistas dan kemampuannya.

Yang menjadi pertanyaan adalah, seandainya ada seorang pengusaha ingin menanamkan uangnya pada produk ini, sejauhmana Disperindag akan menfasilitasi?

“Jangankan Disperindag. Semua dinas-dinas lain juga akan memberikan berbagai kemudahan. Pemerintah akan menfasilitasinya,” jawabnya dengan sungguh-sunguh.

Apalagi bagi jeruk sambal yang tidak diatur tata niaganya, dan bebas diperdagangkan. Dan kalau perlu untuk ekspor, atau antarpulau, tentu saja harus ada SIUP (Surat Ijin Usaha Perdagangan). “Dan itu gampang mengurusnya,” ujar perempuan itu memberi semangat

Yang pasti, pengusaha harus lebih proaktif untuk mengetahui, apa yang dibutuhkan pasar. Dia berharap, pengusaha besar mau bermitra dengan pengusaha kecil. Karena pengusaha besar inilah, yang menguasai modal, pasar, informasi dan lainnya.

Memang demikianlah seharusnya fungsi pemerintah. Menjembatani semua peluang bisnis yang ada, melalui berbagai kebijakan dan peraturan. Kita semua berharap, ungkapan itu tidak hanya manis di slogan saja. Tapi juga manis dipelaksanaan.

Ibaratnya, sesegar sirup jeruk, yang terhidang pada sebuah siang nan terik dan dahaga. Semoga.***

Foto by Lukas B. Wijanarko, "Pasar Malam Tradisional."
Edisi Cetak, minggu ketiga, November 2005, Matra Bisnis

Baca Selengkapnya...

Monday, November 14, 2005

Mebel Jepara di Bumi Katulistiwa

Oleh: Muhlis Suhaeri

Keberadaan mebel Jepara, tak diragukan lagi. Keindahan motif dan keluwesan desain yang menempel pada berbagai perabot, menjadikan produk mebel ini dicari orang. Di mana pun keberadaannya. Mebel Jepara selalu menempati ruang tersendiri bagi para peminat mebel.


Pilihan orang dalam memilih mebel adalah mengenai kualitas, harga bersaing dan model yang unik. Bisnis mebel yang harus diperhatikan adalah dalam masalah proses pengerjaan.


Terkadang dalam memesan mebel, orang membawa desain sendiri. Dan hal ini akan dikenakan biaya tambahan. Selain itu, mebel yang ada di Kalbar juga harus mengirim gambar yang diminta oleh pemesan itu ke Jepara. Waktu untuk menunggu hingga pesanan itu bisa disanggupi atau tidak sekitar satu bulan.

Pembeli mebel jati tidak bisa dipastikan berapa laku dalam sebulan. Terkadang dalam sehari bisa laku satu set mebel yang mahal, namun dilain waktu mebel yang ada juga akan mengkir dan tak terbeli. Karena itu, dari segi pendapatan tak tentu.

Masing-masing tenaga kerja dalam proses produksi mebel terpisah orangnya. Ada yang khusus mengamplas, mengukir, menyetel, memberi jok, dan finishing. Hal ini dilakukan untuk menjaga agar mutu dan kualitas mebel tetap baik.

Mekar Jepara mempunyai delapan orang pekerja. Mereka dibayar secara harian. Jadi kalau tidak ada kerjaan ya mereka diam saja di toko. Namun, Jepara Mekar mempunyai 50-60 karyawan di Jepara. Untuk menjaga kelangsungan hidup para karyawan agar tidak terus bekerja, mau tidak mau harus dipikir bagaimana mereka mendapatkan pekerjaan secara berkesinambungan.

Cara, pemilik tidak bertahan terus pada harga yang mereka patok. Dengan mendapatkan untung seadanya, mereka berharap seluruh karyawan yang ada terus bekerja. Bisnis mebel memang lagi pada jeblok, sehingga tidak bisa mematk harga tinggi pada konsumen yang datang. Kalau pihak pengusaha inginnya sistem kerja dalah borongan, sehingga mereka tidak repot dalam mengurus berbagai macam hal.

Bisnis mebel adalah bisnis kebutuhan tersier, jadi sifatnya tidak rutin. Dan hanya laku pada saat tertentu saja. Kaena itu butuh kesabaran untuk menjalankan bisnis ini. Mebel hanya laku pada saat tertentu saja seperti menjelang lebaran, natal dan tahun baru, serta Imlek. Biasanya yang laku pada saat itu adalah lemari sudut, kursi dan meja tamu, dan meja prasmanan.

Sebaliknya, pada bulan April, Mei dan Juni, orang biasanya tidak membeli apapun untuk kebtuhan mebel. Tidak itu saja, bisnis lain juga mengalami lesu pada bulan-bulan ini. Apa sebabnya?

“Mereka ibaratnya menabung dulu, setelah mereka berlebara, natalan atau Imlek,” kata Dahria.

Nah, pada bulan haji, orang biasanya akan banyak membeli perlengkapan untuk satu set kamar tidur, seperti tempat tidur beserta meja rias, dan lemari. Pada bulan ini, biasanya orang melaksanakan pernikahan.

Mengenai model dan desain yang disukai, masing-masing masyarakat mempunyai karakteristik tersendiri. Bukan bermaksud menonjolkan atau mengutak-atik masalah etins, selera sebuah etnis bisa dikelompokkan dalam beberapa kategori.

Bila yang datang ke tempat mebel itu seorang beretnis Tionghoa, maka dia akan menyukai motif dengan ukiran burung, naga, atau huruf kanji. Orang Melayu lebih suka dengan mebel yang seluruhnya berupa ukiran. Mereka tidak mau bila mebel itu ada unsur bernyawa. Hal ini menyangkut sebuah keperayacaan, bahwa menyimpan gambar atau patung mahlug bernyawa kurang mendatangkan keberuntungan. Orang Dayak fleksibel dalam memilih mebel. Mereka akan memilih jenis mebel yang ada di hadapan mereka. Bila itu dianggap bagus dan suka dengan bentuknya, maka mereka segera membelinya.

Kendala utama dalam bisnis mebel di Kalbar adalah masalah pengiriman barang. Sering terjadi, barang yang sudah dicek dan masuk ke kapal, begitu sampai di tempat tujuan, tiba-tiba barang itu menjadi raib.

Nah lho?

Barang sebesar itu bisa raib tanpa bekas. Hal ini terjadi ketika barang sedang dalam perjalanan. Dan agen pengiriman tidak memberikan respon ketika kehialangan itu dilaporkan pada perusahaannya. Yang terjadi justru saling menyalahkan antara karyawan ekspedisi itu. Karyawan yang ada di Semarang berkata, bahwa kehilangan barang terjadi ketika barang itu berada di Pontianak. Sebaliknya, karyawan yang ada di pontianak menepis, dan menyatakan bahwa barang hilang ketika sedang dilakukan pengangkutan kapal di pelabuhan Semarang. Mereka saling lempar tanggung jawab. Ini tidak hanya terjadi sekali dua kali, tapi sudah berkali-kali.

Yang lebih parah lagi ketika menjelang kenaikan harga BBM, 1 Oktober 2005. Kapal tidak bisa berangkat karena tidak ada BBM. Sehingga beberapa pesanan dari konsumen tidak bisa terkirim. Menghadapi hal ini, tentu saja memberithaukannya pada konsumen. Ada konsumen yang mengerti dan bisa memahami, namun ada juga yang tak mengerti dan mengeluhkan pelayanan yang dilakukan.

Karena mendapatkan pelayanan yang tidak baik itulah, Jepara Mekar membuat sebuah janji dan motto dalam berbisnis, “Memberi service yang baik.” Service atau pelayanan yang baik tidak sekedar obral janji. Mereka membuktikannya dengan langkah kongkrit. Pelayanan dilakukan ketika konsumen datang dan pada saat purna jual. Misalnya, ketika orang yang beli mebel di tempat mereka mengalami masalah dengan mebel yang mereka beli, seketika itu juga akan dilakukan perbaikan dan pelayanan.

Ukiran mebel yang patak bisa langsung diperbaiki. Kayu yang terkena serangga langsung bisa disuntik dengan obat kimia atau minyak tanah. Semua tidak dikenakan biaya tambahan. Semua itu dilakukan dalam rangka memberikan pelayanan yang baik dan mengikat pelanggan untuk tetap kembali ke tempat mereka. Nah, kalau Anda ingin memperbaiki jok atau busa, mereka juga bisa melakukannya. Kekuatan busa biasanya berkisar antara 5-6 tahun. Untuk yang satu ini, tentu dibutuhkan biaya.

Bukankah untuk mengganti busa, juga harus membeli bahannya?

Dalam segi pelayanan, dia memperlakukan pelanggan dengan baik dan secara kekeluargaan. Dan yang penting dalam pelayanan harus jujur dan menyatakan apa adanya.” Tamu diajak dalam suasana kekeluargaan. Bahkan, ketika mereka tidak sedang belanja, terkadang ada yang sengaja mampir hanya untuk berbincang sambil minum kopi.

Tak hanya pelanggan di Pontianak, Mekar Jepara merambah pemasaran hingga ke Malaysia. Namun, mereka tidak menempatkan toko atau mebel di sana. Pedagang Malaysia yang datang langsung membawa barang mereka. Ya, mereka memang belum bisa membuka toko langsung ke negeri Jiran itu. Maklumlah, modal sendiri, tanpa bantuan dari bank.

Hal yang patut disayangkan, dalam bidang pemasaran mereka tidak menggunaakn dunia maya yang tanpa batas itu. Tak ada website atau brosur apapun di toko ini. Padahal, dunia maya melalui internetnya, merupakan cara yang ampuh juga untuk menjaring pembeli dan membuka jaringan penjualan. Mereka juga belum pernah membuka stand dengan ikut pameran tentang mebel.

Dalam bisnis ini sebenarnya masih terbuka banyak peluang. Namun, karena minimnya modal, tentu saja ide dan rencana pengembangan itu terbentur dengan kondisi yang ada.

Bisnis mebel jepara juga sudah merambah ke Malaysia. Banyak dari pedagang Malaysia yang langsung datang ke Pontianak untuk mencari mebel. Untuk mebel yang masuk ke malaysia, kualitasnya memang dibuat lain. Standar kualitasnya benar-benar dijaga.

Sebuah barang yang ada di Pontianak dan Malaysia, dengan desain dan model yang sama, harganya bisa jauh beda. Perbedaan disebabkan karena bahan kayu dan pengerjaan akhir atau finishingnya. Pedagang mebel di Pontianak lebih suka mencari pasar mebel dengan harga di bawah. Sementara pasar mebel di Malaysia mencari kualitasnya lebih bagus, dan harga tinggi.

Banyak juga masyarakat yang masih awam dengan kayu. Begitu mereka datang ke sebuah toko mebel, mereka akan berkata, “Apakah ini dari kayu jati?”

Menanggaai hal ini, mereka maklum saja dan berusaha menjelaskan dan memberi contoh mebel dengan harga dan kualitas yang standar saja.

Memang pertanyaan itu tak muncul begitu saja. Kelangkaan dan sulitnya bahan baku kayu jati membuat seorang pengusaha mengakali hal tersebut. Salah satunya dengan mencampur kayu yang ada dengan kayu lain, seperti kayu nangka.

Untuk satu set meja makan dengan enam kursi, harganya ada yang Rp 8 juta. Namun, ada juga yang seharga Rp 3,8 juta. Untuk satu set tempat tidur yang baik bisa mencapai angka hingga rp 30 juta. Namun, yang kualitas biasa dapat dibeli dengan harga Rp 6 juta.

Untuk mebel yang berada di ruang dapur dan taman jarang yang laku. Perkantoran juga banyak yang menggunakan mebel jati Jepara. Dan permintaan untuk mengisi ruang perkantoran pemerintah maupun swasta cukup bagus angkanya.

Mahalnya mebel karena kualitas kayu jati yang digunakan dalam pengolahan dan pengeringannya sangat lama. Proses oven itu memakan waktu hingga 4 bulan. Kedua, ukirannya sangat halus. Ketiga, pengerjaan finishing yang dilakukan sangat baik. Kayu jati yang baik malah tidak menggunakan warna, sehingga urat kayu terlihat dengan jelas.***

Edisi Cetak, minggu kedua November 2005, Matra Bisnis


Baca Selengkapnya...

Tuesday, November 1, 2005

Dia yang Terus Bekerja

Jika Anda punya gaji sekitar Rp 30 juta sebulan, maukah menyisihkan waktu dan tenaga lagi, untuk sebuah usaha yang “hanya” menghasilkan uang Rp 2 juta perbulan?

Mengapa tidak? Itulah jawaban Yuliana.

Perempuan yang dikarunia empat anak itu, telah membuktikannya. Dalam kesehariannya, dia bekerja sebagai unit manager sebuah asuransi, Manulife. Meski telah mendapatkan gaji yang cukup wah di tempatnya bekerja, dia masih menekuni sebuah usaha industri kecil.

Di perusahaan tempatnya bekerja, nenek dari seorang cucu ini, telah mendapatkan gaji Rp 30 juta. Bayangkan? Dengan uang Rp 30 juta perbulan, dia masih mau bersusah payah mencari dan menghasilkan uang yang jauh dari gajinya.


Apa motifasi dia melakukan hal itu?

“Yang pasti, usaha yang dijalankan ini telah menghidupi beberapa orang dan menciptakan lapangan tenaga kerja,” katanya memberi jawaban.

Apa yang dilakukannya memberikan pekerjan pada orang yang butuh kerja. Salah satu contoh, ada seorang janda yang kerja padanya. Perempuan itu merasa bersyukur karena mendapatkan pekerjaan dengan mengaduk dodol. Dengan cara itulah dia bisa membayar uang sekolah bagi anaknya. Dalam sebulan, perempuan itu bisa mendapat uang satu juta lebih. Kerjanya mengaduk dodol terus.

Melihat hal itulah, Yuliana akan selalu meneruskan usaha ini. Banyak juga orang yang berkata, dia punya gaji besar, kenapa masih mau melakukan ini. Mereka tidak tahu, bahwa apa yang dia kerjakan bisa membantu banyak orang. Dari segi kesehatan juga banyak manfaat yang didapat, karena dodol itu tanpa bahan pengawet.

Bagaimana Yuliana memulai usaha?

Awalnya, sebuah kekecewaan. Kekecewaan pada anaknya. Ceritanya ada seorang anak Yuliana yang kuliah teknik pada sebuah universitas di Malaysia. Ketika pulang ke Pontianak, sang anak selalu membeli lidah buaya dan membuat adonan dodol. Ada sebuah pertanyaan yang dia lontarkan pada anaknya. “Kok kamu disekolahkan mahal-mahal keluar negeri, cuma mengaduk dodol?”

Ada sebuah ketidakrelaan pada apa yang dibuat sang hati. Padahal sudah ratusan juta dia habiskan, untuk memperoleh pendidikan bagi anaknya. Kemudian anak itu pergi ke Jakarta. Selepas anaknya hijrah ke Jakarta, Yuliana selalu berpikir, ini anak sekolah tinggi pasti ada visi dan misinya.

Lalu, dia melanjutkan resep-resepnya dan menguji sendiri. Sampai akhirnya ketemu sendiri. Dia mulai membuat dodol pada tahun 2000. Ketika itu, dodol buatannya hanya untuk teman-teman sendiri saja. Tak terasa, sudah 5 tahun dia menekuni usaha itu.

Yuliana belum merasa perlu untuk mencari uang ke bank, bagi pengembangan usahanya. Dia belum pernah menawarkan diri mengambil uang ke bank. Orang dari bank pun belum ada yang datang menawarkan bantuan modal. Dia merasa apa adanya saja dalam mengembangkan usaha itu. Berawal dari uang yang ada saja. Yang dia kejar adalah permintaan dari produksinya.

Sekarang ini, sudah lima bulan yang lalu dia mengudnurkan diri sebagai unit manager, dan pindah ke agen manager. Dia merasa sayang meninggalkan pekerjaan itu, karena terlanjur sayang dengan nasabahnya. “Mereka baik dengan saya. Mereka dengar saya usaha ini, mereka dukung,” kata Yuliana.

Dalam masalah hak paten, dia merasa belum waktunya membuat hak paten bagi produksinya. Selain karena biayanya mahal, juga harus memikirkan produknya dulu. Kalau memang produknya sudah banyak, baru bisa memikirkan tentang hak paten. Yang penting, produk ini harus terus diperbaiki. Itulah visi dan misi dalam bisnisnya.

Apa targetnya dalam bisnis yang ditekuninya sekarang?

“Pokoknya, saya kejar terus target dan penghasilannya. Akan saya kejar terus, sampai punya penghasilan, seperti saya kerja di manulife,” jawab ibu ini, penuh semangat.***

Edisi Cetak, 7 November 2005, Matra Bisnis

Baca Selengkapnya...